Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
Akar Jejak Pemikiran Quranisme


Bagi sebagian orang, Quranisme tidaklah asing di telinga mereka. Tapi bagi sebagian lagi, Quranisme tampak begitu asing. Apakah ini sekte baru? Agama baru? Atau apa?

Quranisme secara sederhana adalah sebuah gerakan intelektual Islam yang mengusung doktrin bahwa sudah sepatutnya Al-Qur'an diandalkan sepenuhnya sebagai segala hukum agama dan pengertian keagamaan Islam tanpa melibatkan penukilan lain, terutama hadits. Dalam keyakinan Quranis, Al-Qur'an sudah sangat jelas dan terperinci sebagai satu-satunya dasar pengambilan pendapat hukum, tidak memerlukan tambahan dari nashlain. Walaupun keyakinan ini dengan mudah dianggap sesat oleh kalangan Muslim mainstream, tapi sebenarnya di kalangan internal Quranis sendiri memiliki keragaman pendapat. Sebagian Quranis ada yang berkeyakinan bahwa semua hadits pada dasarnya palsu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi bagi sebagian Quranis lainnya, ada yang berkeyakinan bahwa setiap hadits tertentu, yang secara lahiriah tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, dapat diyakini kebenarannya. Itu artinya, Quranis sendiri tidak bisa serta-merta dikatakan sebagai gerakan anti-hadits. Dalam hal ini, Quranis memiliki karakter keyakinan yang sama: Al-Qur'an tidak dapat dipertanyakan lagi kebenarannya, sedangkan hadits harus dipandang secara skeptis dan kritis.

Jadi sejak kapan Quranisme muncul? Apakah benar bahwa Quranisme baru muncul di abad ke-20? Apakah benar bahwa sepanjang sejarah, ummat Muslim senantiasa menggunakan Al-Qur'an dan hadits sebagai sumber hukum agama seperti yang sering kita dengar belakangan ini?

Mengingat banyaknya artikel yang cenderung menempatkan Quranisme secara negatif, dan umumnya artikel-artikel tsb tidak dalam rangka peninjauan historis, maka dalam hal ini, TS terdorong untuk merangkum berbagai literatur kesejarahan yang diharapkan dapat membuka cakrawala pengetahuan dan wawasan kita semua tentang keragaman pemikiran Islam di masa awal kemunculan Islam.

Thread ini tidak dalam rangka mempromosikan maupun mengkritik Quranisme. Thread ini hanya merangkum jejak akar pemikiran Quranisme sepanjang sejarah intelektual Islam, dalam kerangka sejarah itu sendiri. Jika agan-agan ingin membela ataupun menyanggah Quranisme, atau ingin mengetahui lebih detil tentang ajaran dan penafsiran Quranisme, silahkan agan-agan langsung ke thread Anda Bertanya Quranist Menjawab (ABQM).

INDEX THREAD
  1. Penggunaan Ra'yi Tabi'in Senior
  2. Abu Hanifah dan "Proto-Quranisme" (1)
  3. Abu Hanifah dan "Proto-Quranisme" (2)
  4. Rivalitas Ahlur-Ra'yi VS Ahlul-Hadits
  5. Kebangkitan Anti-Pluralisme Islam dan Intoleransi
  6. Munculnya Ahl-e Hadith dan Oposisi Ahl-e Quran
  7. Quranisme dalam Reformisme Islam
  8. Quranisme Hari Ini
  9. Trivia


Versi ringkas pelacakan sejarah Quranisme di thread ini dapat ditonton di channel Youtube Let's Talk Religion.



Bagi yang ingin mendalami sejarah Islam awal dan kritik sejarah Islam, silahkan bergabung ke thread ane: Misteri Islam Awal (MIA).
Diubah oleh tyrodinthor 08-05-2021 16:54
atmajazone
pakisal212
androidiot
androidiot dan 21 lainnya memberi reputasi
20
10.2K
263
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
tyrodinthorAvatar border
TS
tyrodinthor
#3
ABU HANIFAH DAN "PROTO-QURANISME" (2)


.... Lanjutan

Itu bukti pertama. Bukti kedua yang tidak dapat terbantahkan bahwa Abu Hanifah sangat enggan menggunakan nashhadits dalam mengeluarkan pendapat fiqh-nya, adalah dari tulisan Abu Hanifah sendiri. Abu Hanifah menulis kitab berjudul Al-'Alim wal-Muta'allim (judulnya hampir ambigu dengan kitab 'Adabul-'Alim wal-Muta'allim karya K.H. Hasjim Asjari). Kitab kalam Islam yang misterius dari Abu Hanifah ini ber-genre balaghah (retorika) yang termasuk karya tulis Murji'ah yang pertama kali. Kitab ini ditulis dalam bentuk dialog antara seorang 'alim ("orang yang berpengetahuan") dengan muta'allim ("orang yang menuntut pengetahuan"), atau antara guru-murid, dimana guru tsb diatribusikan sebagai Abu Hanifah, sedangkan muridnya diatribusikan sebagai Abu Muqatil. Pada kitab ini, sang 'alim menyampaikan berbagai ajarannya tentang 'aqidah, sunnah, fiqh, adab, dan syarah melalui penukilan Al-Qur'an dan penafsirannya melalui penalaran akal/rasio murni dan pendekatan linguistik, tanpa ditemukan sedikitpun penukilan hadits.

Salah satu contohnya, ketika sang muta'allim (Abu Muqatil) yang mengeluh kepada sang 'alim (Abu Hanifah) tentang sedikitnya amalan-amalan fiqh yang diperolehnya selama mengembara, dan dia berkeinginan sang 'alim memberitahu banyak tentang 'ilm ("pengetahuan", istilah yang merujuk prototype ilmu-ilmu agama / awa'il). Sang 'alim menjawab (Al-'Alim wal-Muta'allim Hal. 9) sbb:

نعم، ما رأيت في ابتحائك عما يغنيك، واعلم ان العمل تبع للعلم كما أن الاءتمناء تبع للبصر، فالعلم مع العمل اليسير أنفع من الجبل مع العمل المكثير، ومثل ذلك الزاد القليل الذي لابد منه في المفازة مع الهداية بها أنفع من الجهالة مع الزاد الكثير ولذلك قال الله تعلى: ( قُلْ هَلْ اِسْتَوِى الذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ) و ( إِنمَا يَتَذَكرُ أُولُو الْأَلْبَابِ )

"Ya, aku tidak melihat apa yang kamu cari akan memperkaya [pengetahuan]-mu, ketahuilah bahwa tindakan ('amal) harus didasari oleh pengetahuan ('ilm), sama seperti iman yang didasari oleh cara pandang. 'Ilm dengan sedikit 'amal lebih bermanfaat daripada gunung yang dipenuhi 'amal. Demikian pula, sedikit peraturan yang diperlukan disertai dengan bimbingan ['ilm] di dalamnya lebih bermanfaat daripada lebih banyak tidak tahu, dan oleh karena itu Allah telah berfirman: "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS 39:9) dan "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran" (QS 13:19)".

Dengan cara inilah, Abu Hanifah juga tidak menganggap Yahudi dan Kristen adalah kafir. Dia menulis (Al-'Alim wal-Muta'allimHal. 11-13) tentang makna iman ("percaya") dengan 'amal ("tindakan/perbuatan"). Abu Hanifah ditanya tentang status orang-orang Yahudi dan Kristen, apakah mereka mu'minin atau kafir. Abu Hanifah menjawabnya dengan teknik qiyas dari Al-Qur'an, tanpa juga sedikitpun menukil hadits. Selengkapnya sbb:

الست تعلم ان رسول الله صلوات الله وسلامه عليهم أجمعين لم يكونوا على اديان مختلفة ولم يكن كل رسول منهم يأمر قومه بترك دين الرسول الذي كان قبله لأن دينهم كان واحداً، وكان كل رسول يدعو الى شريعة نفسه وينهى عن شريعة الرسول الدءي قبله لأن شرائعهم كثيرة مختلفة، ولذلك قال الله تعلى: ( لِكُل جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا، وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمةً وَاحِدَةً )، واوصاهم جميعا باقامة الدين وهو التوحيد وان لا يتفرقوا لأنه جعل دينهم واحداً، فقال: ( شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الديْنِ مَا وَصىٰ بِهِ نُوْحًا وَالذِيْ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ، أَنْ أَقِيْمُوا الديْنَ وَلَا تَتَفَرقُوا فِيْهِ )، وقال سبحانه: ( وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوْحِيَ إِلَيْهِ أَنهُ لَا إِلهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ )، وقال جل وعلا: ( لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ، ذلِكَ الديْنُ الْقَيمُ )، اى لا تبديل لدينه، فالدين لم يبدل ولم يحول ولم يغير، والشرائع قد غيرت وبدلت لانه رب شيء قد كان حلالا لأناس قد حرمه الله عز وجل على آخرين، ورب امر امر الله به اناسا ونهى عنه آخرين، فالشرائع كثرة مختلفة، والشرائع هي الفرائض مع انه لو كان العمل بجميع ما امر الله به والكف عن جميع ما نهى الله عنه دينه لكان كل من ترك شيئا مما امر الله تعالى به او ركب شيئا مما نهى الله عنه تاركا لدينه ولكان كفرا، وإذا صار كافرا ذهب الذي بينه وبين المسلمين من المناكحة والموارثه واتباع الجنائز واكل الذبائح واشباه هذا لأن الله تعالى اوجب ذلك كله بين المؤمنين من اجل الايمان الذي به حرم الله تعالى دماءهم وأموالهم الا بحدث، وإنما امر الله تعالى المؤمنين بالفرائض بعد ما اقروا بالدين، فقال سبحانه: ( قُلْ لِعِبَادِيَ الذِيْنَ آمَنُوا يُقِيْمُوا الصلَاةَ )، فقال الله تعالى: ( يَا أَيهَا الذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ ) و ( يَا أَيهَا الذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ) واشباه هذا، فلو كانت هذه الفرائض هي الأيمان لم يسمهم مؤمنين حتى يعملوا بها وقد فصل الله تعالى الايمان من العمل، فقال تعالى: ( الذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصالِحَاتِ )، وقال: ( بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ ) اى مع إيمانه، وقال: ( وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ ) فجعل الايمان غير العمل، فالمؤمنون من قبل ايمانهم بالله يصلون ويزكون ويصومون ويحجون ويذكرون الله وليس من قبل صلاتهم وزكاتهم وصومهم وحجهم بالله يؤمنون، وذلك بأنهم آمنو ثم عملوا فكان عملهم بالفرائض من قبل إيمانهم بالله، ولم يكن إيمانهم من قبل عملهم بالفرائض، ومثل ذلك ان الرجل إذا كان عليه الدين وهو يقر بالدين ثم يؤدى، وليس يؤدى ثم يقر بالدين، وليس إقراره من قبل ادائه ولكن اداؤه من قبل اقراره، والعبيد من قبل اقرارهم لموالهم بالعبودية ويعلمون لهم، وليس من قبل عملهم يقرون لهم بالعبودية، وذلك أنه كم من انسان يعمل لآخر، ولا يكون بذلك مقرا له بالعبودية، ولا يقع عليه اسم الاقرار بالعبودية، وآخر قد يكون مقرا بالعبودية ولا يعمل فلا يذهب عنه اسم اقراره بالعبودية
"Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Rasulullah, shalawatullahu wasallamahu 'alaihim ajma'in, tidak berbeda din? Dan tidak pernah ada setiap Rasul dari masing-masing din mereka memerintahkan ummatnya untuk meninggalkan din Rasul yang ada sebelum dia, karena pada dasarnya din mereka adalah satu, dan setiap Rasul menyerukan syari'at-nya masing-masing dan menolak syari'at Rasul sebelumnya, karena syari'at mereka banyak mengalami perbedaan pendapat. Terkait itu, Allah berfirman: "Untuk masing-masing ummat di antara kamu, Kami berikan syari'at dan manhaj-nya yang jelas, [yang] jika sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu sudah dijadikan-Nya satu ummat [saja]" (QS 5:48). Dan Dia menganjurkan mereka semua [para Rasul] untuk menegakkan din, yakni [din] tauhid, dan tidak berpecah-belah karena Dia telah menjadikan din mereka satu, sebagaimana firman[-Nya]: "Dia telah men-syari'at-kan bagi kamu sebuah din yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu [Muhammad], dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan 'Isa yaitu: "Tegakkanlah din dan janganlah kamu berpecah-belah terhadapnya" (QS 42:13). Dan firman Yang Maha Suci: "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya: "Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian" (QS 21:25), dan [lagi] firman Yang Maha Agung lagi Perkasa: "Tidak ada yang berubah dari yang telah diciptakan Allah, itu semua din yang lurus" (QS 30:30), maksudnya: Tidak usah berpindah dari din-Nya, din tidak berubah, tidak berganti, dan tidak berbeda. Yang berubah adalah syari'at-nya, dan perubahan itu karena Tuhan menghendaki demikian. Ada yang dihalalkan Allah bagi sekelompok orang, namun diharamkan-Nya untuk sekelompok orang lainnya, dan Tuhan memerintahkan suatu perintah Allah bagi sekelompok orang dan melarangnya bagi kelompok lainnya dari sekelompok orang lainnya. Maka itulah banyak syari'at berbeda. Dan syari'at adalah suatu ketetapan yang dengan itu semua orang dapat meng-'amal-kan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Din-Nya tidak sekali-kali untuk setiap orang yang meninggalkan sesuatu yang diperintahkan Allah ataupun menjalankan sesuatu yang dilarang Allah, dan itu dapat menyebabkan kekufuran. Dan jika seseorang hanya mengkufuri salah satu di antara din-nya dengan [din] Muslimin, sedang dia masih menjalankan [ketentuan] pernikahan, warisan, mengikuti [ketentuan] penguburan, dan memakan makanan sembelihan dan sejenisnya, itu karena tidak lain Allah Yang Maha Tinggi yang telah menuntut ini semua di antara Mu'minin, karena iman terhadap apa yang dilarang Allah-lah yang telah mengharamkan darah dan harta mereka, kecuali oleh suatu sebab. Sebaliknya, Allah Yang Maha Tinggi memerintahkan kaum Mu'minin untuk menjalankan ketetapan[-Nya] setelah mereka tentu saja berikrar kepada din-nya, sebagaimana firman Yang Maha Suci: "Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat" (QS 14:31), dan [lagi] firman Allah Yang Maha Tinggi: "Hai orang-orang yang beriman, telah ditetapkan bagimu [hukum] qishash" (QS 2:178) dan "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah" (QS 33:41), dan seterusnya. Dan jika ketetapan ini bukan iman, maka Dia tidak akan menyebut mereka Mu'minin sampai mereka meng-'amal-kan [ketetapan]-Nya, karena Allah telah memisahkan antara iman dengan 'amal, sebagaimana firman Yang Maha Tinggi: "Orang-orang yang beriman dan yang ber-'amal saleh" (QS 103:3), dan lagi firman[-Nya]: "[Surga itu] untuk siapapun yang menyerahkan diri dan menghadapkan wajahnya untuk Allah, sedang dia orang [yang berbuat] bajik" (QS 2:112), maksudnya: disertai imannya, [juga] firman[-Nya]: "Dan siapapun yang menginginkan kehidupan di akhirat dan berusaha menuju itu, sedang dia Mu'min" (QS 17:19), jadi Dia menjadikan iman selain 'amal. Maka [yang disebut] Mu'minin itu adalah mereka yang beriman kepada Allah terlebih dahulu, lalu shalat, zakat, puasa, haji, dan mengingat Allah, bukan mereka yang shalat, puasa, haji terlebih dahulu, lalu beriman kepada Allah. Keimanan mereka bukanlah karena [menjalankan] ketetapan[-Nya]. Jadi, setelah beriman, lalu ber-'amal [saleh]. Maka, yang benar itu orang beriman baru meng-'amal-kan ketetapan[-Nya], bukan meng-'amal-kan ketetapan[-Nya] baru beriman. Perumpamaannya seperti seseorang berhutang, maka dia mengakui hutangnya terlebih dahulu, baru melunasinya. Bukan melunasinya terlebih dahulu, baru mengakui hutangnya".

Untuk atestasi kedua di atas, dapat tampak dengan jelas beberapa unsur doktrin irja'. Abu Hanifah yang dijuluki sebagai "Murji'ah dalam Sunnah"memiliki pendapat bahwa 'amal seseorang tidak berhubungan dengan iman. Iman saja, atau 'amal saja, belum menjamin keselamatan seseorang di akhirat. Keduanya harus berjalan beriringan, dan bagi Abu Hanifah, iman seharusnya mendahului 'amal. Pada atestasi di atas, suatu 'amal yang tidak didasari iman adalah sia-sia, tapi tidak seorang pun dapat mengetahui keimanan seseorang. Konteks zaman dari literatur ini adalah fakta bahwa pada saat itu orang-orang Yahudi dan Kristen memiliki penampilan dan tradisi yang serupa dengan Muslim. Menariknya, berbagai ritual seperti pernikahan, waris-mewaris, hingga penguburan, adalah ritual yang umum digunakan masyarakat 'Abbasiyyah, apapun agamanya. Dan yang terpenting adalah cara Abu Hanifah memaknai din bukan sebagai agama, melainkan seperti kredo (creed), dan kredo ini mengusung doktrin yang sama, yaitu Tauhid. Bagi Abu Hanifah, perbedaan antara Muslim dengan Yahudi dan Kristen bukan terletak pada din-nya, yang dia sebut sama-sama Tauhid, melainkan pada syari'at (kodifikasi hukum/peraturan) dan manhaj (konsistensi). Dan lagi, dengan merujuk QS 5:48, Abu Hanifah tidak menyebut salah satu syari'at dan manhaj sebagai yang paling benar. Hal ini karena keyakinan irja' bahwa iman tidak bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana kufur tidak bisa bertambah dan berkurang, sehingga memperbanyak 'amal tidak berarti apa-apa tanpa diikuti iman kepada din Tauhid ini. Kita dapat melihat pula apa yang dimaksud sebagai syari'at dan manhaj bagi Abu Hanifah adalah masalah 'amal, yang tidak berhubungan dengan iman. Pada akhir atestasi di atas, Abu Hanifah menggunakan teknik mitsal (perumpamaan), salah satu teknik turunan dari teknik qiyas yang biasanya tidak merujuk pada ayat Al-Qur'an, melainkan merujuk pada nalar murni. Teknik ini juga sebenarnya ada di banyak ayat Al-Qur'an yang sering mengumpamakan sesuatu dengan sesuatu lainnya, namun untuk penggunaannya dalam kalam, Abu Hanifah yang terlihat paling menonjol menggunakannya.

Berkenaan dengan teknik qiyas (analogi), Abu Hanifah memang dikenal sebagai faqih yang pertama kali menggunakan teknik ini untuk mengeluarkan ra'yi dan kalam-nya. Secara teknis, qiyas adalah upaya menganalogikan suatu gejala/fenomena pada realitas dengan suatu diskursus yang ada di dalam Al-Qur'an untuk menentukan suatu dictum/hujjah (pendapat hukum). Penggunaan teknik ini memungkinkan seorang 'ulama untuk memberikan analogi yudisial, deduksi general, dan/atau silogisme dalam bentuk jukstaposisi (perbandingan dua elemen berbeda untuk diukur persamaan hakikatnya). Jika qiyas di zaman sekarang ini telah diatur syarat dan ketentuannya (yang umumnya mengikuti madzhab Syafi'i), seperti misalnya qiyas untuk menentukan mana pendapat shahabat yang lebih layak dijadikan sunnah, atau madzhab Hanbali yang menggunakan qiyas untuk yang tidak ditemui dari pendapat shahabat, maka qiyas di masa Abu Hanifah masih berbentuk prototype tanpa aturan baku. Dan sepanjang sejarah Islam klasik, Abu Hanifah lah yang diketahui pertama kali menggunakan teknik qiyas.

Dari kedua bukti di atas, kita mengetahui bahwa Abu Hanifah terbiasa mengeluarkan pendapat dengan mengutip Al-Qur'an, lalu menafsirkannya melalui penalaran, tanpa sedikitpun menggunakan hadits. Cara Abu Hanifah ini merupakan "Proto-Quranisme" yang muncul di abad ke-7.
Diubah oleh tyrodinthor 07-05-2021 10:15
hayang.dahar
ronny398
atmajazone
atmajazone dan 4 lainnya memberi reputasi
5