LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#112
BAB 26 "MENCARI MELDA"
"Muljoko tadi memberi kabar melalui telepon, usahakan jangan sampai berita ini bocor ke wartawan dan jangan sampai berita ini diliput media." Perintah niko kepada anggotanya untuk bungkam masalah kasus yang baru saja mereka temukan.

"Baik, komandan." Jawab yusti. "Tapi komandan, bukankah ini hotel terpencil, mana ada media yang mau meliput. Apakah mereka tahu jika hotel ini akan segera beroperasi?"

"Yusti, beberapa minggu lalu, berita hotel yang pindah kepemilikan ini tayang di surat kabar lokal. Tak heran jika ada satu atau dua wartawan yang mengincar berita secara diam-diam. Maka dari itu, muljoko ingin nama baik liam terjaga dan menyembunyikan kasus ini dari awak media. Kita patroli seolah tak terjadi apa-apa. Jangan bawa ambulan masuk, pakai mobil pick up untuk mengangkut mayat itu menuju gedung forensik."

Niko menatap mayat yang telah mengering itu, kulit keriput yang menempel pada tulang menggambarkan betapa sakitnya ketika proses kematiannya tiba. Dalam benak niko, ia memiliki banyak pertanyaan yang mungkin hanya bisa di jawab oleh jasad malang di hadapannya.

"Kenapa bisa begini. Tak ada tanda kekerasan fisik. Hanya ada sebuah goresan kecil di leher nya. Rasanya aku ingin cepat-cepat memasukkannya ke dalam ruang forensik. Aku penasaran dengan hasil autopsi mayat ini." Niko menutupi tubuh dan wajah jasad itu dengan kain putih. Lalu ia pergi ke ruang lobby dan bergabung bersama anak buahnya yang lain demi menaati perintah muljoko agar mereka berdiam di satu titik.

"Aku baru melihat mayat kering begini. Sebelumnya, aku hanya melihat tikus yang mati kering karena racun. Apa dia mati karena racun yang sama?"

---

Di perjalanan muljoko dan tirto sama-sama membisu dengan pikiran yang menerawang entah kemana.

Dalam batinnya, muljoko terusik dengan satu hal yang ingin segera ia datangi. Tapi, di sisi lain muljoko juga penasaran tentang siapa keturunan terakhir hoxward yang bisa memutus mata rantai perjanjian setan yang di lakukan oleh gerald.

"Menurutmu apa yang harus kita lakukan?"

"Aku hanya berharap satu hal. Hotel itu tidak jadi di operasikan. Hanya itu. Aku tak ingin lagi melihat banyak korban. Bahkan setelah perjanjian ini putus, aku tak ingin bangunan itu tetap ada." Kata tirto.

"Aku akan atur waktu ku agar bisa menjumpai liam segera. Tapi, aku juga penasaran dengan duko, pria yang bekerja dengan rumaida. Aku harus mencari cara untuk menemui nya."

"Aku rasa rekanmu si Hendra akan tahu banyak hal. Kau bisa introgasi dia, apa saja yang dia ketahui sekarang."

Muljoko lagi-lagi diam.

"Kau mau ke hotel langsung?" Tanya tirto.

"Sebelumnya, aku mau kau antar aku je rumah melda. Saat ini juga. Keadaannya sungguh gawat."

Tirto bingung. Ia mencoba mencerna ucapan teman lamanya itu.

"Hey! Ada apa memang?"

"Baik. Aku akan beritahu saja. Tirto, cincin itu ada pada melda. Dia yang menggunakan cincin batu berlian hitam itu."

Tirto menatap muljoko dengan tatapan tajam. "Kau jangan ngawur!"

"Aku serius, beberapa waktu yang lalu, aku melihatnya menggunakan cincin itu setelah ia berhasil keluar dari ruang bawah tanah bersama anggota ku yang bernama rudi."

"Kau tentu tahu kan, kemana arah pikiran ku pergi?"

"Mayat waria itu kan?"

"Ya! Ayo cepat! Kita ambil jalan pintas. Tembus jalan makam dekat hutan yang kita lalui tadi. Rumah nya tak jauh dari sana!" Pintar tirto.

---

"Aku tidak tahu jika muljoko memiliki tanda lahir biru legam atau tidak. Memang kenapa?"

"Iya. Jika memang ada. Dia berarti keturunan hoxward." Kata ken.

"Hmm.. Jangan ambil kesimpulan sekonyol itu ya! Mana mungkin, tampang sahabatku tidak ada bule-bulenya. Astaga!" Bantah hendra. "Lalu, mengapa kalian mengawasiku?"

"Sebenarnya kami mengawasi muljoko, tapi atas dasar perintah rema, kami juga harus mengawasi anda, karena di khawatirkan anda akan merusak semuanya." Jawab emil.

"Aku merusak semua? maksud kalian?"

"Kami tidak paham. Kami hanya menjalankan tugas." Jawab emil.

"Oh! Kata-kata mutiara para tawanan. Sudahlah, kau tanya sendiri jika orang itu tiba!" Hendra meluyur pergi menuju kamarnya meninggalkan kedua pengintai dalam keadaan tubuh terikat.

Saat Hendra berjalan menuju kamarnya, ia di kagetkan dengan suara gedoran pintu rumahnya.

"BRAKK!! BRAKKK!!!"

"Astaga! Apa lagi ini." Hendra berjalan tanpa rasa waspada menghampiri daun pintu. Di intipnya siapapun dari balik kubang kecil pada permukaan pintu.

"Dokter tomboy ini. Tiba juga kau!"

Hendra membuka pintu nya. Di dapatinnya seorang wanita sedang bertolak pinggang menanti sambutan sang tuan rumah.

Hendra menatap wanita itu dari atas ke bawah. Alisnya tertekuk sebelah. Bola matanya terbalik ke atas.

"Lama sekali buka pintu. Kau tentu tahu kan jika wanita tak boleh berlama-lama berada di luar rumah?" Kata tamu tersebut.

Hendra acuh. Baginya wanita di hadapannya sama sekali tak menarik minatnya sebagai lelaki tulen. Walau ia mengenakan rok mini, tetapi melihat pola tingkahnya untuk sekedar bersalaman rasanya Hendra akan risih.

"Persetan. Bandit mana yang mau menyentuh wanita setengah sepertimu. Aku perintahkan kau untuk masuk jika kau memang suruhan muljoko!"

"Baik. Komandan muljoko yang memerintahkan aku mengurus tawanan yang luka kaki nya akibat-"

"Ssstttt!!! Kau tak usah banyak bicara. Cepat lakukan tugasmu, dan setelah itu cepat pergi juga." Kata Hendra sengit.

Wanita itu menatap Hendra dengan garang.

"Tampan tapi menyebalkan! Bawa aku temui pasien ku malam ini."

Dengan wajah masam. Hendra menutup pintu menuntun wanita itu menuju sebuah ruangan gelap tempatnya mengunci kedua tawanan nya malam ini.

---

"Kenapa muljoko tak tiba juga? Malam semakin dingin. Entah kenapa perasaan ku sedikit tidak enak berada di bangunan ini."

Niko berjalan mondar-mandir seorang diri di beranda hotel menunggu kehadiran muljoko dan mobil patroli yang akan ia gunakan untuk mengangkut mayat waria tersebut.

Nyanyian binatang malam memecah kesunyian yang menghinggapi niko. Rasa gelisah juga menghantui, ia merasa tak enak hati. Seperti ada yang mengamatinya dari kejauhan di tengah belantara itu.

"Aku tak boleh menyalakan pencahayaan terlalu lama. Aku khawatir akan memancing binatang buas datang ke sini, terutama ular. Di sini sangat lembab dan juga banyak tanaman rambat yang bisa menjadi tempat persembunyian binatang melata."

Niko berulang kali mengecek ponsel nya. Tak ada pesan dari muljoko. Hanya ada gambar sebuah jam, dimana garis nya terus berputar menelan waktu.

Niko mencoba menghubungi muljoko melalui SMS memintanya untuk segera hadir. Ia tak biasanya khawatir seperti ini. Perasaan nya sedang dipermainkan perasaan was-was. Bukan karena pasca melihat mayat. Tapi, lebih kepada ucapan muljoko yang memintanya untuk diam di satu tempat.

"Kalau tidak ada apa-apa, tak mungkin dia meminta kami untuk diam."

Niko terus berjalan mengitari beranda tanpa ia sadari, ada sepasang mata mengamatinya dari kejauhan.

---

"Sudah sampai? yang mana rumahnya?" Tanya muljoko.

"Ini!" Tunjuk tirto.

Mereka turun dan berjalan menuju pintu rumah dengan langkah cepat. Tirto mengetuk pintu rumah reot itu dengan kencang.

"Rosma! Rosma!"

Namun belum ada jawaban. Kali ini ketukan---lebih tepatnya sebuah gedoran---lebih kencang lagi.

"Rosma!"

"Iya tunggu sebentar!"

Tirto menghentikan pukulannya. Ia menunggu pintu itu di buka untuknya.

"Kau kenapa berisik sekali malam-malam?!!" Bentak rosma. Mata rosma kaget menangkap kehadiran muljoko di balik punggung tirto. "Ini siapa?"

"Sudah. Nanti aku jelaskan semua! Rosma, dimana melda?"

Kini rosma yang kaget mendengar pertanyaan tirto perihal anaknya.

"Kau juga mencari melda ternyata. Dia tak ada. Pergi sejak sore." Kata rosma dengan nada datar.

"Kau kenapa tak awasi anakmu! Kau tahu bahaya sedang mengintai dia!"

Rosma semakin di buat bingung.

"Ada apa dengan melda?"

"Dia memakai cincin hitam itu. Dan tanpa aku jelaskan, kau akan tahu akibatnya apa! Jadi aku pinta, kau cari anakmu. Kurung dia. Kalau bisa kau lepas cincin itu dari jemarinya."

Muljoko dan tirto melangkah pergi meninggalkan rosma dengan mulut terganga.

"Lalu kalian mau kemana? Kenapa tidak bantu aku cari melda?" Kata rosma dengan nada meninggi. Ia panik setelah mendengar apa yang di kenakan oleh anak nya.

"Kami mau ke hotel. Ada mayat yang ditemukan di sana. Rekan kami menemukan sebuah luka sayatan pada leher mayat yang mengering itu. Aku tak mau berburuk sangka pada anakmu, tapi aku rasa dia punya pengaruh besar terhadap kematian waria tersebut. Aku pinta kau segera cari, sebelum sesuatu yang buruk terjadi."
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 10 lainnya memberi reputasi
11