Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Adzhar
Adzhar
         
         Doa yang selalu terlantun dalam percakapan manis antara aku dan Rabb-ku, “Hembuskanlah rasa ke dalam dadanya.”

         Tiada angin yang terlampau kencang, tiada hujan yang terlampau deras, tiada siang yang terlampau sesak, dan tiada malam yang terlampau kelam dan sunyi, tiada yang mampu meluluhlantakkan untaian doaku yang dengan ganas menerobos seluruh penjuru langit. Meski dengan wujud yang kian hancur, menjadi kepingan, serpihan, berantakan. Doa-doaku terseret-seret, perih, berusaha menggapai penghujung angkasa.

***

            Hari ini adalah hari pertamaku memasuki dunia perkuliahan. Sastra Inggris, yang entah mengapa menarik perhatianku secara tiba-tiba sebelum aku memutuskan untuk mendaftar di kampus ini, salah satu kampus negeri yang terletak di kota Bandung. Sebelumnya, tak pernah sedikit pun terbesit untuk meminati jurusan tersebut. Namun, inilah takdir yang telah tertulis, takdir yang mengguratkan namaku dan namanya untuk bertemu di tempat ini, kampus kami tercinta.   

            “Permisi, gedung V arahnya kemana, ya?” Aku yang sedang berdiri mematung di depan gerbang kampus untuk menunggu teman baruku, tiba-tiba dikagetkan dengan suara lembut yang merenggut lamunan.

            Butuh waktu sepersekian detik untuk mengembalikan fokusku sebelum akhirnya aku menjawab secara spontan, “Oh, gedung V? Kita berangkat sama-sama saja.”

            Matanya terbelalak, “Maaf?”

            Ah, ya, terkadang ucapanku terhempas begitu saja tanpa hambatan. Dia laki-laki, aku perempuan, dan kami tak saling mengenal sebelumnya. Tidak kah ucapanku untuk mengajaknya berangkat bersama dianggap kurang sopan? “Ah, maaf, maksudku... aku juga ada kelas di gedung V. Kita bisa berangkat bersama jika kau mau. Ya, jika kau mau. Tentu saja.”

            “Oh... kau mahasiswi baru?” Tanyanya dengan segurat senyum di wajah, manis.

            “Emmm, iya. Kau juga?” Ucapku sedikit canggung.

            “Ya, aku mahasiswa baru. Maka dari itu, aku tidak tahu letak gedung yang akan aku tempati di hari pertama ini,” seulas senyum lagi-lagi terpancar.
            Aku balas tersenyun, “Jangan katakan kau kelas A.”
            “Ok, kita satu kelas.”
            Kebetulan? Mungkin saja. Namun, bukan kah setiap kejadian tidak pernah ada yang kebetulan? Entahlah, lupakan saja. Kami pun berjalan beriringan menuju gedung V, tempat dimana kami belajar di hari pertama perkuliahan ini. Masalah teman baruku yang sudah kuajak janjian di depan gerbang? Sepertinya lupakan saja. Toh laki-laki ini pun termasuk teman baruku.

            Sesampainya di kelas, tanpa berpikir panjang, dia langsung menempati kursi di barisan pertama. Kesan pertamaku, dia mungkin laki-laki yang rajin. Ya, mungkin saja. Sedangkan, aku menempati kursi di barisan ketiga, tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang, cukup. Selang beberapa lama, teman baruku, Rania, sampai di kelas dengan pandangan berkeliling ke seluruh sisi ruangan, sebelum akhirnya terfokus kepadaku. 

            “Naya, kan?” Tanyanya dengan napas sedikit tersengal.

            “Iya. Kamu... Rania?” Balasku tanpa merasa berdosa.

            “Betul! Kau memang selalu tega seperti ini, ya, sepertinya?” Dengus Rania kesal.

            Aku hanya tersenyum tanpa rasa sesal, “Maafkan aku.” Sungguh pertemuan pertama dengan kesan yang buruk.  

            Sepanjang pelajaran berlangsung, aku selalu mencuri pandang untuk menatapi sosoknya. Sosok yang dari tempat dudukku tampak punggungnya saja. Siapa tadi namanya? Akhyar? Samar-samar aku mendengar namanya disebutkan dosen sebelum tangannya terangkat sebagai tanda hadir. Namanya Akhyar? Betul, kah? Sial, aku tak mendengarnya.

            “Siapa namanya?” Tanyaku kepada teman yang ada di sebelahku, Rania.

            “Siapa?”

            “Yang itu.”

            “Yang mana?”

           “Laki-laki dengan kemeja berwarna biru dan celana creamdengan rambut tertata rapi ke belakang”

            “Ya? Emm... Adzhar?”

            “Adhar?”

            “Adzhar.”

            “Adzhar?”

          “Betul, Adzhar. Kenapa? Kau suka? Ini baru hari pertama, tak usah gegabah,” kata demi kata tertutur bebas dari mulut Rania.

            “Tidak... emm... mungkin.”

            “Mungkin? Kau keterlaluan, ya, Nay. Ini masih hari pertama.”

          “Tidak mungkin. Aku tak pernah bilang aku menyukainya, aku hanya menanyakan namanya,” jawabku  ketus.

            Cinta pada pandangan pertama? Terdengar seperti omong kosong saja.

***

            Hari demi hari terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Berjalan? Tidak, sepertinya melesat. Dari mulai UTS, UAS, sampai libur akhir semester satu selama satu bulan. Semuanya melesat begitu saja.

         Sekarang sudah memasuki semester ke dua, rasanya baru kemarin pertemuanku dengan Adzhar. Ya, Adzhar, sosok laki-laki pandai dengan tutur kata yang lembut dan sikap santunnya yang tiada dua, sukses membuat kehidupan perkuliahanku begitu berwarna. Soal penampilannya? Tak perlu ditanya, setiap harinya dia selalu memakai kemeja dan rambut rapi yang tersisir ke belakang. Tak hanya itu, lengan kemejanya pun selalu digulung sampai sikut. Sempurna. Dia sosok yang tak banyak bicara, bersuara seperlunya saja. Dia pun tak banyak tertawa, seulas senyum cukup menghidupkan raut wajahnya. Dia termasuk mahasiswa yang menonjol di kelas, selalu menjawab dan bertanya ketika proses pembelajaran berlangsung. Dia pintar, nilai-nilai mata kuliahnya tak pernah mengecewakan. Semangat belajarnya sungguh luar biasa. Satu lagi yang membuatku kagum, dia sangat religious. Wawasan tentang agamanya sangat luas. Bahkan, dia selalu bercerita bahwa dia ingin berkuliah di Kairo, Mesir. Betul, Universitas Al-Azhar. Dia selalu berangan, suatu hari, dia bisa menjadi penghafal Al-Qur’an. Luar biasa, bukan? Kurasa, dia sempurna tanpa celah. Dia... ya, aku, menyukainya.

            Aku menatap langit dengan awan putih tergulung indah, lamunanku terbang mengangkasa. Di lantai dua gedung V, sembari menunggu mata kuliah yang akan dimulai sekitar setengah jam lagi, aku hanya termangu dengan pikiran tak tentu arah. Hembusan angin menerpa wajah. Mungkin, pukul satu siang adalah waktu yang tepat untuk tertidur. Kenapa suasana panas seperti ini harus digunakan untuk belajar?  

            “Nay!”

            Aku terperanjat, lamunanku buyar. Apakah dia selalu seperti ini, muncul tanpa ada tanda-tanda kehadiran sebelumnya? “Ya? Adzhar, kau mengagetkanku saja.”

            “Maaf,” dia menyeringai.

            “Kenapa?” Tanyaku berbasa-basi.

            “Aku mau pinjam buku catatanmu, basic structure.”

            “Bukannya itu mata kuliah semester satu?”

       “Ya, betul. Aku hanya ingin memahaminya kembali. Salah satu mata kuliah sulit bagiku.”

        Beruntung, mata kuliah tersebut adalah mata kuliah yang sangat kusukai. Lebih tepatnya, aku selalu mencari celah darinya. Jika ada mata kuliah yang dirasa kurang dimengerti olehnya, aku selalu belajar mati-matian untuk menguasainya. Untuk apa? Kau akan tahu semuanya, “Oh, basic structure, ya? Sepertinya catatannya masih ada. Nanti kucarikan.”

         Senyumnya terkulum. “Apa perlu aku ajarkan juga? Aku dapat nilai A untuk mata kuliah tersebut,” ucapku sedikit membanggakan diri.

            “Sungguh?”

            “Ya, betul. Bagaimana?”

            “Bagaimana... apanya?”

            “Mau kuajarkan?”

            “Emm... jika kau tak keberatan.”

         “Tentu saja tidak. Aku yang menawarkan. Besok akan kubawa buku catatannya,” ujarku sambil tersenyum simpul. Dia tidak tahu dan tidak pernah tahu, ada gejolak luar biasa yang berusaha sekeras mungkin untuk keluar dari dalam ragaku. Membayangkan bisa belajar berdua dengannya saja membuat jantungku berdebar tak karuan.

~Bersambung~


Adzhar [PART 2]
Adzhar [PART 3]
Adzhar [PART 4]
Adzhar (PART 5/SELESAI)


Sumber Gambar
Diubah oleh nanitriani 16-03-2022 17:00
fahmiahdf428
mr..dr
bukhorigan
bukhorigan dan 14 lainnya memberi reputasi
15
3.4K
58
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
#7
Adzhar [PART 5/SELESAI]
Adzhar
Tiga ahun berlalu semenjak kejadian menyesakkan itu. Banyak hal yang telah kulewati, dari mulai sibuknnya menyusun skripsi beserta sidangnya, wisuda, sampai getirnya mencari pekerjaan. Sekarang, aku sudah bekerja sebagai copywriter di salah satu perusahaan iklan yang terbilang tidak terlalu terkenal, biasa saja. Apapun itu, aku harus tetap mencintai pekerjaanku demi mewujudkan mimpiku. Ya, mimpi terbesarku untuk saat ini adalah dapat mengenyam pendidikan S2 dengan biaya sendiri. Ah, benar, bagaimana dengan kisah kelamku bersama laki-laki dambaanku, Adzhar? Tentu saja, semuanya sudah kukubur sejak hari dimana semuanya berakhir. Bagaimanapun juga, seindah apapun perasaan yang mengakar di dalam hati, semuanya harus dibunuh jika memang diperlukan. Sekarang, sudah ada Raihan, laki-laki yang berniat menikahiku meskipun hatiku belum yakin sepenuhnya. Salah satu penyebabnya adalah orangtuaku tidak pernah memberi restu bahwa anak gadisnya harus dinikahi oleh laki-laki itu. Aku tidak tahu pasti, namun, ayahku bersikeras bahwa Raihan bukan laki-laki yang baik untukku. Oleh karena itu, aku harus sedikit meyakinkan mereka tentang kebaikan yang dimiliki olehnya.

Hari ini, hari yang terbilang sangat melelahkan bagiku. Menjelang isya, aku baru boleh pulang dari tempat kerjaku. Aku mendongak ke atas, menatap hamparan langit yang hanya menampakkan kegelapan, tiada gemintang, hanya ada rembulan yang cahayanya termakan oleh lampu-lampu kota yang kian gemerlap seiring larutnya malam. Aku menghela napas, rasa sesak mulai mencengkeram dada, rasanya sudah lama aku melupakan arti bahagia dalam hidupku. Selama ini, aku hanya merasa ragaku saja yang hidup, hatiku sudah mati sejak sekian lama. Tak ada tangis, tak ada pula tawa. Entah apa yang harus aku tangisi di dalam hidupku dan entah apa pula yang harus aku tertawakan atas semuanya.

Sesampainya di tempat kos, aku terlalu lelah untuk membersihkan diri. Tubuhku langsung ambruk ke dalam hangatnya tempat tidur. Aku melihat ponselku yang sejak tadi tak aku perhatikan. Kulihat ada notifikasi dari grup kelas kuliahku dulu yang isinya tentang ajakan acara reuni yang akan diadakan di tempat makan di dekat kampus kami dulu. Untuk waktunya, diagendakan pada hari sabtu. Tunggu ... hari sabtu? Itu berarti besok. Aku semakin membenamkan diriku di tempat tidur. Tanpa menunggu lama, rasa kantuk mulai mengalahkanku, aku pun terlelap.
***


Dengan ragu, aku mulai melangkahkan kaki untuk memasuki pintu tempat makan tersebut. Ada sedikit sesal bagiku, harusnya aku menghabiskan hari liburku untuk tidur saja di tempat kosku. Selain itu, Rania juga tidak ikut acara reuni ini karena dia sedang berada di kampung halamannya.

Aku mulai memasuki ruangan, kulihat sudah banyak teman kampusku yang duduk di beberapa kursi yang sudah diatur untuk acara reuni kami. Aku memutar pandanganku untuk mencari teman yang kuanggap dekat. Namun, mataku terfokus ke satu titik. Aku mengerjap-ngerjapkan mata seolah tak percaya apa yang sedang aku lihat. Aku mematung untuk beberapa saat, suara bising yang semula Cumiakkan telinga, kini tersisa dengungan saja. Rasa panas seolah menguliti pipiku, debaran jantungku mulai tak terkendali, dan tanpa terasa air mataku luruh tanpa ada perintah dari pemiliknya. Punggung itu, meski sudah lama aku tak memandanginya, aku masih mengenalinya. Ya, benar, Adzhar. Meski aku hanya melihatnya dari belakang, namun aku sudah sangat menengalinya baik dari depan maupun sebaliknya.

Dengan hati yang kubuat setegar batu karang, aku mulai melangkahkan kaki dan duduk di kursi di sembarang tempat. Sepanjang acara berlangsung, aku tak pernah memberanikan diri untuk menatapnya meskipun hanya satu detik. Hatiku yang sudah tersusun kembali, enggan rasanya kubuat berantakan lagi. Tidak ada yang mengetahui seberapa lama aku harus merekatkan kepingan demi kepingannya yang hancur dan kehilangan rupa.

Acara dimulai pada pukul satu siang dan selesai pukul setengah 4 sore. Setelah acara berakhir, tanpa pikir panjang, aku mulai beranjak dari tempat dudukku dan bersiap-siap untuk pulang. Namun, ada seseorang di belakangku yang memanggil namaku. Suara itu ... tentu saja aku masih mengenalinya.

“Naya!” Suara lembut itu tidak pernah berubah.

Dengan spontan aku menoleh. Meskipun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu, tetap saja aku tersentak saat mendapati Adzhar yang sedang berdiri di hadapanku, “Iya... Adzhar?”

Dia tersenyum. Senyum itu, goresan sederhana yang mengukir di wajahnya, meskipun sudah beberapa tahun tak bertemu, senyum itu tetap sama. Tidak ada yang berubah darinya, termasuk rambut rapinya dan kemeja dengan lengan yang tergulung sampai sikut. “Aku ingin berbicara denganmu. Bisakah kita duduk sebentar di sini dan memesan makanan lagi?”

Harus ada jeda waktu sebelum mulutku terbuka untuk mengeluarkan jawaban, “Apakah penting?”

“Kurasa ... tidak.”

“Bukankah sudah kuperingatkan bahwa jika suatu saat kita bertemu, kau tak perlu menyapaku. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Kau ingat?”

“Aku ingat.”

“Lantas?”

“Kenyataannya aku masih mengenalmu,” Dia menghela napas, “Hanya sebentar saja. Jika makanan butuh waktu lama untuk dihabiskan, kalau begitu kita pesan minuman saja. Bagaimana?”

Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya memberi jawaban, “Baiklah.”
***


Dua gelas minuman sudah diletakkan di meja kami oleh pelayan. Hening masih menyelimuti suasana di antara kami. Mulutku rasanya kelu, tak ada satu kata pun yang sanggup terucap. Begitu pula dengan Adzhar, dia hanya menatap kosong ke arah gelas minuman yang baru saja dipesanya.

“Naya ... aku ingin meminta maaf dengan cara yang benar,” satu kalimat akhirnya meluncur dari mulutnya.

“Aku sudah memaafkanmu.”

“Sungguh?”

“Ya.”

“Emm ... bagaimana hari-harimu?”

“Aku tidak pernah menangis.”

Dia tersenyum, “Baguslah.”

“Pun tertawa.”

Dahinya berkerut, “Ya?”

“Tak ada makna di dalam hidupku.”

Pandangannya mulai mengarah kepadaku. Kedua bola matanya menyuguhkan rasa simpati, “Sekali lagi aku minta maaf telah mengecewakanmu.”

“Aku tidak pernah kecewa. Sudah cukup kata maafnya. Kau hanya membuang-buang napasmu saja.”

Dia tertunduk, “Apakah mungkin kau masih mengharapkanku?”

Sungguh pertanyaan yang paling berani yang pernah aku dengar. Aku menciptakan senyuman di bibirku meski lebih cocok disebut seringai, “Kau sendiri?”

“Emm ... aku sih biasa saja. Aku hanya ingin berteman denganmu.”

“Apakah kau percaya bahwa jodoh itu tak akan kemana?” Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“Tentu saja, asalkan kau berdoa,” jawabnya sigap.

“Aku hanya malu berdoa untuk meminta pasangan hidup.”

“Kenapa? Berdoa itu harus, termasuk berdoa untuk meminta pasangan hidup. Namun, selain berdoa, kau juga harus memperbaiki diri agar kau pantas menerima pasangan hidup yang terbaik dari Tuhan,” jelasnya dengan yakin.

Aku termenung, rasanya seperti nasihat yang menyakitkan bagiku. Entahlah, aku merasa ada pesan tersirat yang berusaha dia sampaikan. Dia seolah sedang memberitahuku bahwa kualitas diriku tidak cukup baik untuk dapat menikah dengannya. Namun, mungkin semuanya hanya pikiran burukku saja.

Setelah beberapa lama, akhirnya pembicaraan kami berakhir, pembicaraan yang topik utamanya hanya permintaan maaf darinya. Setelah itu, kami memutuskan untuk pulang ke tempat masing-masing. Selama percakapan tadi, aku tak sempat menanyakan kabar dirinya atau kegiatan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Di hari saat semuanya telah berakhir, aku memang sudah berjanji untuk tidak mengusik kehidupan pribadinya.

Sebelum pulang, aku memutuskan untuk duduk terlebih dahulu di halte bus yang ada di seberang kampus. Aku memandangi bangunan kampusku yang berdiri gagah. Bangunan itu, tempat yang menjadi saksi kisah orang-orang yang berlalu lalang menapakinya, termasuk secuil kisah manis tentang pertemuan antara aku dan Adzhar. Kenangan demi kenangan mulai menyerang benakku. Senyumannya, tatapannya, semua yang ada pada dirinya mulai mendesak ingatanku yang telah lama usang. Rasa panas kembali menyelimuti kedua bola mataku, buliran air mata kembali membasahi pipiku tanpa terasa. Rasanya, hatiku kembali tak berdaya dibuatnya.

Apakah kau pernah merasakan perasaan yang sangat tulus, ketika tangis pun rela kau genggam selama itu bersamanya? Apakah kau pernah merasakan perasaan yang tulus, ketika jiwamu akan menemukan kedamaian hanya dengan berada di dekapannya? Apakah kau pernah merasakan perasaan yang tulus, ketika kau sanggup menapaki getirnya siang dan perihnya malam selama itu bersamanya? Apakah kau pernah merasakan perasaan yang tulus, ketika kau merasa bebanmu akan sirna hanya dengan obrolan ringan menjelang terlelap? Ya, aku sedang merasakannya. Perasaanku kembali menyeruak memenuhi dadaku, bahkan mengalahkan perasaan yang dulu, saat pertama kali melihatnya atau saat dia berjanji untuk menikahiku. Aku tak tahu pasti, aku hanya merasakan perasaan yang tulus ini untuk kali pertama. Ya, perasaan yang timbul karena cara dia mencintai Rabb-nya. Aku tak bisa menemukan alasan lain yang lebih tepat selain itu.

Aku kembali menghela napas, menatap hamparan langit yang sudah siap berselimut senja. Desiran angin menerpa wajahku namun tak sanggup membuat air mataku mengering. Beberapa kendaraan semakin sibuk berlalu lalang di hadapanku, suara bisingnya yang selalu sukses Cumiakkan telingaku, kini rasanya tak mengganggu. Karena, meskipun keadaan di sekitarku sangat hidup, relung jiwa di dalam ragaku layaknya telah mati. Satu keputusan tiba-tiba menyerang tekadku tanpa aba-aba. Benar, aku harus memberitahu Raihan bahwa aku tak sanggup menikah dengannya.

Sejak hari itu, doaku mulai mengalun di udara. Hari berganti hari, semakin aku kehilangan jejaknya. Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, waktu terus berlari kencang, dengan kejamnya menyeretku yang kian tertatih kehilangan arah.

Tiada angin yang terlampau kencang, tiada hujan yang terlampau deras, tiada siang yang terlampau sesak, dan tiada malam yang terlampau kelam dan sunyi, tiada yang mampu meluluhlantakkan untaian doaku yang dengan ganas menerobos seluruh penjuru langit. Meski dengan wujud yang kian hancur, menjadi kepingan, serpihan, berantakan. Doa-doaku terseret-seret, perih, berusaha menggapai penghujung angkasa. “Tuhan, hembuskanlah rasa ke dalam dadanya.”
***


Namaku Naya, usiaku beranjak 30 tahun pada bulan Maret mendatang. Aku sedang menempuh pendidikan S2 pada tahun pertama di salah satu kampus swasta di kota Bandung. Kegemaranku adalah menulis. Kau tahu apa alasannya? Ya, ragaku akan mati tetapi tidak dengan tulisanku. Jika aku menorehkan kisahku dengan beberapa tokoh yang terpaut di dalamnya, itu berarti, mereka sudah terukir selamanya di dalam dunia penaku. Sebesar apapun mereka berusaha untuk keluar, nama mereka secara tersirat akan selalu bersemayam di dalammnya sekalipun nyawanya telah terrenggut dari dunia. Ya ... mau bagaimana lagi, memang begitulah seharusnya.

Aku meregangkan tubuh untuk beristirahat beberapa menit dari kegiatan menulisku. Aku melihat jam bulatku yang terpampang di dinding kamar, waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi. Aku memutuskan untuk membuka ponselku dan berselancar di antara postingan demi postingan yang ada di Instagram. Semua postingan menampilkan kehidupan orang-orang yang begitu bahagia. Sangat berbeda denganku, hanya ada beberapa foto saja yang bersarang di akun Instagramku, itupun hanya fotoku sewaktu wisuda S1, kegiatan magang di kampusku dulu, dan halaman novel yang kubaca. Memang, hidupku tak seberwarna orang lain, tak ada yang patut aku tampilkan kepada seluruh dunia tentang hidupku.

Tak terasa setengah jam berlalu hanya dengan melihat foto-foto di Instagram. Aku mulai tersenyum sendiri ketika kudapati foto Rania bersama suami dan anak perempuannya yang sangat cantik. Jariku terus bergerak, menyelami postingan demi postingan sampai ke dasar. Gerakan jariku terhenti, memandangi satu foto yang tak mampu kuabaikan. Satu goresan senyum kembali merekah di wajahku ketika aku melihat foto Adzhar dengan tatapan mata dan senyumannya yang tak pernah berubah. Kembali kuperhatikan wajah-wajah lain yang berada di sisi kanan dan kirinya. Sungguh, keluarga kecil yang terlihat bahagia. Senyuman istrinya seolah tak mungkin luntur dari wajahnya yang teduh. Kedua anaknya, laki-laki dan perempuan, tampak tawa yang tulus dari wajah-wajah kecilnya. Kuamati wajah kedua anak itu, sepertinya yang perempuan sangat mirip dengan Adzhar, goresan tawa dan matanya serupa dengan ayahnya. Sedangkan yang laki-laki, sepertinya bentuk wajah dan matanya mirip dengan ibunya. Tuhan maha adil, bukan?
***


Aku tidak pernah menyesal untuk semua tawa dan tangis yang telah kulalui selama ini. Pun, aku tak pernah kecewa atas rasa yang telah kuukir untuk Adzhar, laki-laki dambaanku. Untuk sekarang, aku telah berhenti mengutuk semesta atas semua yang terjadi. Aku hanya perlu melangkahkan kaki dengan hati yang tegar dan senyum yang tak boleh luntur. Aku selalu percaya, suatu saat, akan datang hari dimana Tuhan akan memberiku sosok laki-laki terbaik yang dibutuhkan olehku. Ya, sosok laki-laki yang mengenal Tuhan-nya dengan baik, sosok laki-laki yang mampu menuntunku meraih damainya hidup, dan sosok laki-laki yang akan menemani sampai akhir usiaku.

Jadi, apakah kau percaya bahwa tidak ada doa yang sia-sia?

~TAMAT~


Bonus:
Adzhar
(Kenang-Kenangan dari Pantai Alexandria)

Sumber Gambar Cover
Diubah oleh nanitriani 03-05-2021 15:55
deninurhidayat1
Daniswara92
Daniswara92 dan deninurhidayat1 memberi reputasi
0