Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Adzhar
Adzhar
         
         Doa yang selalu terlantun dalam percakapan manis antara aku dan Rabb-ku, “Hembuskanlah rasa ke dalam dadanya.”

         Tiada angin yang terlampau kencang, tiada hujan yang terlampau deras, tiada siang yang terlampau sesak, dan tiada malam yang terlampau kelam dan sunyi, tiada yang mampu meluluhlantakkan untaian doaku yang dengan ganas menerobos seluruh penjuru langit. Meski dengan wujud yang kian hancur, menjadi kepingan, serpihan, berantakan. Doa-doaku terseret-seret, perih, berusaha menggapai penghujung angkasa.

***

            Hari ini adalah hari pertamaku memasuki dunia perkuliahan. Sastra Inggris, yang entah mengapa menarik perhatianku secara tiba-tiba sebelum aku memutuskan untuk mendaftar di kampus ini, salah satu kampus negeri yang terletak di kota Bandung. Sebelumnya, tak pernah sedikit pun terbesit untuk meminati jurusan tersebut. Namun, inilah takdir yang telah tertulis, takdir yang mengguratkan namaku dan namanya untuk bertemu di tempat ini, kampus kami tercinta.   

            “Permisi, gedung V arahnya kemana, ya?” Aku yang sedang berdiri mematung di depan gerbang kampus untuk menunggu teman baruku, tiba-tiba dikagetkan dengan suara lembut yang merenggut lamunan.

            Butuh waktu sepersekian detik untuk mengembalikan fokusku sebelum akhirnya aku menjawab secara spontan, “Oh, gedung V? Kita berangkat sama-sama saja.”

            Matanya terbelalak, “Maaf?”

            Ah, ya, terkadang ucapanku terhempas begitu saja tanpa hambatan. Dia laki-laki, aku perempuan, dan kami tak saling mengenal sebelumnya. Tidak kah ucapanku untuk mengajaknya berangkat bersama dianggap kurang sopan? “Ah, maaf, maksudku... aku juga ada kelas di gedung V. Kita bisa berangkat bersama jika kau mau. Ya, jika kau mau. Tentu saja.”

            “Oh... kau mahasiswi baru?” Tanyanya dengan segurat senyum di wajah, manis.

            “Emmm, iya. Kau juga?” Ucapku sedikit canggung.

            “Ya, aku mahasiswa baru. Maka dari itu, aku tidak tahu letak gedung yang akan aku tempati di hari pertama ini,” seulas senyum lagi-lagi terpancar.
            Aku balas tersenyun, “Jangan katakan kau kelas A.”
            “Ok, kita satu kelas.”
            Kebetulan? Mungkin saja. Namun, bukan kah setiap kejadian tidak pernah ada yang kebetulan? Entahlah, lupakan saja. Kami pun berjalan beriringan menuju gedung V, tempat dimana kami belajar di hari pertama perkuliahan ini. Masalah teman baruku yang sudah kuajak janjian di depan gerbang? Sepertinya lupakan saja. Toh laki-laki ini pun termasuk teman baruku.

            Sesampainya di kelas, tanpa berpikir panjang, dia langsung menempati kursi di barisan pertama. Kesan pertamaku, dia mungkin laki-laki yang rajin. Ya, mungkin saja. Sedangkan, aku menempati kursi di barisan ketiga, tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang, cukup. Selang beberapa lama, teman baruku, Rania, sampai di kelas dengan pandangan berkeliling ke seluruh sisi ruangan, sebelum akhirnya terfokus kepadaku. 

            “Naya, kan?” Tanyanya dengan napas sedikit tersengal.

            “Iya. Kamu... Rania?” Balasku tanpa merasa berdosa.

            “Betul! Kau memang selalu tega seperti ini, ya, sepertinya?” Dengus Rania kesal.

            Aku hanya tersenyum tanpa rasa sesal, “Maafkan aku.” Sungguh pertemuan pertama dengan kesan yang buruk.  

            Sepanjang pelajaran berlangsung, aku selalu mencuri pandang untuk menatapi sosoknya. Sosok yang dari tempat dudukku tampak punggungnya saja. Siapa tadi namanya? Akhyar? Samar-samar aku mendengar namanya disebutkan dosen sebelum tangannya terangkat sebagai tanda hadir. Namanya Akhyar? Betul, kah? Sial, aku tak mendengarnya.

            “Siapa namanya?” Tanyaku kepada teman yang ada di sebelahku, Rania.

            “Siapa?”

            “Yang itu.”

            “Yang mana?”

           “Laki-laki dengan kemeja berwarna biru dan celana creamdengan rambut tertata rapi ke belakang”

            “Ya? Emm... Adzhar?”

            “Adhar?”

            “Adzhar.”

            “Adzhar?”

          “Betul, Adzhar. Kenapa? Kau suka? Ini baru hari pertama, tak usah gegabah,” kata demi kata tertutur bebas dari mulut Rania.

            “Tidak... emm... mungkin.”

            “Mungkin? Kau keterlaluan, ya, Nay. Ini masih hari pertama.”

          “Tidak mungkin. Aku tak pernah bilang aku menyukainya, aku hanya menanyakan namanya,” jawabku  ketus.

            Cinta pada pandangan pertama? Terdengar seperti omong kosong saja.

***

            Hari demi hari terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Berjalan? Tidak, sepertinya melesat. Dari mulai UTS, UAS, sampai libur akhir semester satu selama satu bulan. Semuanya melesat begitu saja.

         Sekarang sudah memasuki semester ke dua, rasanya baru kemarin pertemuanku dengan Adzhar. Ya, Adzhar, sosok laki-laki pandai dengan tutur kata yang lembut dan sikap santunnya yang tiada dua, sukses membuat kehidupan perkuliahanku begitu berwarna. Soal penampilannya? Tak perlu ditanya, setiap harinya dia selalu memakai kemeja dan rambut rapi yang tersisir ke belakang. Tak hanya itu, lengan kemejanya pun selalu digulung sampai sikut. Sempurna. Dia sosok yang tak banyak bicara, bersuara seperlunya saja. Dia pun tak banyak tertawa, seulas senyum cukup menghidupkan raut wajahnya. Dia termasuk mahasiswa yang menonjol di kelas, selalu menjawab dan bertanya ketika proses pembelajaran berlangsung. Dia pintar, nilai-nilai mata kuliahnya tak pernah mengecewakan. Semangat belajarnya sungguh luar biasa. Satu lagi yang membuatku kagum, dia sangat religious. Wawasan tentang agamanya sangat luas. Bahkan, dia selalu bercerita bahwa dia ingin berkuliah di Kairo, Mesir. Betul, Universitas Al-Azhar. Dia selalu berangan, suatu hari, dia bisa menjadi penghafal Al-Qur’an. Luar biasa, bukan? Kurasa, dia sempurna tanpa celah. Dia... ya, aku, menyukainya.

            Aku menatap langit dengan awan putih tergulung indah, lamunanku terbang mengangkasa. Di lantai dua gedung V, sembari menunggu mata kuliah yang akan dimulai sekitar setengah jam lagi, aku hanya termangu dengan pikiran tak tentu arah. Hembusan angin menerpa wajah. Mungkin, pukul satu siang adalah waktu yang tepat untuk tertidur. Kenapa suasana panas seperti ini harus digunakan untuk belajar?  

            “Nay!”

            Aku terperanjat, lamunanku buyar. Apakah dia selalu seperti ini, muncul tanpa ada tanda-tanda kehadiran sebelumnya? “Ya? Adzhar, kau mengagetkanku saja.”

            “Maaf,” dia menyeringai.

            “Kenapa?” Tanyaku berbasa-basi.

            “Aku mau pinjam buku catatanmu, basic structure.”

            “Bukannya itu mata kuliah semester satu?”

       “Ya, betul. Aku hanya ingin memahaminya kembali. Salah satu mata kuliah sulit bagiku.”

        Beruntung, mata kuliah tersebut adalah mata kuliah yang sangat kusukai. Lebih tepatnya, aku selalu mencari celah darinya. Jika ada mata kuliah yang dirasa kurang dimengerti olehnya, aku selalu belajar mati-matian untuk menguasainya. Untuk apa? Kau akan tahu semuanya, “Oh, basic structure, ya? Sepertinya catatannya masih ada. Nanti kucarikan.”

         Senyumnya terkulum. “Apa perlu aku ajarkan juga? Aku dapat nilai A untuk mata kuliah tersebut,” ucapku sedikit membanggakan diri.

            “Sungguh?”

            “Ya, betul. Bagaimana?”

            “Bagaimana... apanya?”

            “Mau kuajarkan?”

            “Emm... jika kau tak keberatan.”

         “Tentu saja tidak. Aku yang menawarkan. Besok akan kubawa buku catatannya,” ujarku sambil tersenyum simpul. Dia tidak tahu dan tidak pernah tahu, ada gejolak luar biasa yang berusaha sekeras mungkin untuk keluar dari dalam ragaku. Membayangkan bisa belajar berdua dengannya saja membuat jantungku berdebar tak karuan.

~Bersambung~


Adzhar [PART 2]
Adzhar [PART 3]
Adzhar [PART 4]
Adzhar (PART 5/SELESAI)


Sumber Gambar
Diubah oleh nanitriani 16-03-2022 17:00
fahmiahdf428
mr..dr
bukhorigan
bukhorigan dan 14 lainnya memberi reputasi
15
3.4K
58
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
#6
Adzhar [PART 4]
Adzhar
Adzhar : Kau ada waktu? Kita perlu bicara.

Tanpa menunggu persetujuan dariku, notifikasi panggilan masuk tiba-tiba muncul di layar ponselku. Satu kalimat langsung menghambur dari mulutnya tanpa aba-aba.

“Kau tahu, aku mendalami agama di sini,” ucapnya segera setelah aku menerima panggilannya.

Aku terdiam sejenak, aku sudah mengira apa yang akan terjadi selanjutnya, “Ya, kenapa?”

“Aku merasa munafik, menampik kesalahan yang kulakukan secara berulang. Kau juga pasti sudah tahu apa saja yang dilarang dalam agama kita, kan?”

“Aku tahu, lantas?”

“Aku kasihan kepadamu. Aku seolah mengikatmu tanpa kejelasan. Aku belum lulus kuliah dan kau pun demikian. Aku tak ingin mengekangmu dalam ikatan yang tidak pasti,” jelasnya tanpa gentar.

“Aku tak perlu dikasihani, kondisiku tak menyedihkan, sungguh,” jawabku berusaha tegar.

Dia terdiam sejenak, “Aku ingin melepaskanmu. Kau tahu, jika kita berjodoh, suatu saat kita akan dipertemukan kembali,” tuturnya seolah menenangkanku dengan secercah harapan yang nyatanya tak akan pernah ada.

Aku menarik napas dalam-dalam, sudah berancang-ancang akan ujung dari semua kisah ini, “Tidak. Aku tak ingin berjodoh denganmu. Jangan berani-berani kau jadikan ucapanmu sebagai doa,” aku terdiam sejenak, “Anggap saja kita tak pernah saling mengenal. Tuntas, kan?”

“Kalau begitu, ketika kita bertemu lagi, kita bisa berkenalan lagi,” ungkapnya seolah tak punya hati.

Degupan di dalam dadaku kian memberontak, seolah ada dentuman yang menghantam bagian kepalaku, rasa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuh, telapak tanganku mulai berkeringat dingin, emosiku mulai meluap, “Terima kasih, tapi itu tidak perlu.”

“Tak apa, kau berhak marah kepadaku, sungguh. Aku yang terlalu terburu-buru dalam mengutarakan rasaku. Aku minta maaf,” ungkapnya seolah menyesal. Namun, aku tak mendengar nada penyesalan dari ucapannya.

“Aku tahu, kau pasti sudah mengetahui hal-hal dasar dalam agama kita meskipun kau tak mengenyam pendidikan di sana. Kau sudah tahu, aku yakin. Kenapa dulu kau memulai semuanya padahal kau sudah tahu itu salah?"

"Maaf atas tingkah gegabahku dulu."

"Aku ingin bertanya.”

“Silakan.”

“Apakah kau tak pernah memikirkan perasaanku?” Tanyaku dengan napas yang memburu.

“Bukan begitu, hanya saja ....”

Tanpa memberi kesempatan untuknya menjelaskan, aku menyela, “Apakah kau sangat kesulitan menemukan hal yang dapat ditertawakan?”

“Nay ....”

“Apakah tidak ada hal lain yang bisa kau jadikan sebagai bahan gurauan selain hidupku?”

“Bisa kau dengarkan aku dulu?”

“Apakah tidak ada tempat lain untuk kau bermain-main selain di hatiku?”

“Cukup!” Geramnya dengan nada bicara yang meninggi.

“Kau anggap semuanya hanya lelucon saja, bukan kah demikian? Aku adalah sasaran empuk disaat kau kehabisan bahan untuk tertawa, begitu, kan?” Pekikku dengan sekuat tenaga menahan tangis.

“Apakah kau bisa berpikir jernih, sekali ini saja?” Desahnya dengan kekesalan yang terpendam.

“Dengar! Jika memungkinkan, jika suatu hari kita berpapasan di suatu tempat, aku mohon ... aku mohon ...,” aku mulai terisak, “aku mohon, kau tak perlu menyapaku. Kau boleh menganggapku makhluk yang tidak pernah ada di muka bumi ini, aku bersungguh-sungguh. Aku mohon ... aku mohon ... anggap saja semuanya tak pernah terjadi. Aku mohon ... di hari pertama kita bertemu di kampus ... ya ... sampai sekarang, anggap saja semuanya hanya mimpiku saja. Kau tak perlu menggap semuanya nyata. Aku mohon ... menjauhlah dari hidupku yang sudah cukup memuakkan ini,” degupan jantungku kembali normal, rasa dingin mulai menghilang, air mata luruh sudah. Ya, sensasi emosi yang mengungkung setiap jengkal tubuh itu adalah reaksi ketika aku harus menahan amarah dan tangisan dalam waktu yang bersamaan. Jika tangisku pecah, sensasi tersebut hilang.

Untuk beberapa saat, tak terdengar suara di seberang sana. Beberapa saat kemudian, ada tawa kecil yang terdengar, “Kalau begitu, sekali lagi aku meminta maaf. Kau tak usah menangis atas hal yang tak perlu ditangisi,” tuturnya. Namun, apakah itu benar-benar sebuah permintaan maaf?

Aku menatap layar ponselku, panggilan masih tersambung. Ya, mudah saja baginya untuk berkata itu semua: meminta maaf dan mendikteku untuk tidak mengutuk keadaan. Semuanya terdengar sebuah candaan yang bahkan tidak terdengar lucu. Dia yang memulai semuanya, dia yang mengakhirinya, tanpa sesal. Kupaksakan seulas senyum di wajahku, lagi dan lagi, aku menarik napas panjang, lalu kuakhiri panggilan tanpa menanggapi permintaan maaf darinya. Air mata kembali luruh, ada rasa sesak yang menghantam dada. Sekali lagi, aku menatap kontaknya yang masih bertuliskan nama yang menggelikan, “My Best One”. Foto profilnya yang semula menampilkan wajahnya dengan senyumannya yang tak pernah luntur, kini foto tersebut menghilang. Aku mencoba mengiriminya pesan dan tak terkirim. Betul, kontakku diblokir olehnya. Aku tersenyum, kembali menatap langit-langit kamar yang lengang. Ada kecamuk amarah yang tak mungkin tersampaikan, ada rasa perih yang menguliti hati yang tak bisa tergambarkan. Tak ada yang bisa aku lakukan selain memaafkan dan menerima semuanya.

Malam semakin larut dan semakin larut. Menjelang pagi, mataku masih enggan terpejam. Aku bangkit dari tempat tidurku yang semalaman tidak dipakai untuk tidur. Dengan mata yang sembab dan kepala pusing, aku memutuskan untuk bersiap-siap mandi dan bergegas berangkat ke kampus.

Lagi dan lagi, bumi masih akan tertap berputar, detik demi detik masih akan tetap menari-nari dengan senandung arah jarum jam. Semuanya akan tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa menunggu hatiku pulih. Senyum harus tetap terukir, hidupku kembali kulanjutkan.

Dia tidak pernah tahu dan tak akan peduli, setelah semua lelucon yang dia perbuat untuk menghancurkan hidupku, semuanya akan terpatri di dalam hatiku sampai hembusan napas terakhir menggantung di kerongkongan.

~Bersambung~


Bonus:
Adzhar

Sumber Gambar Cover
Diubah oleh nanitriani 01-05-2021 08:24
khuman
khuman memberi reputasi
1