Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Adzhar
Adzhar
         
         Doa yang selalu terlantun dalam percakapan manis antara aku dan Rabb-ku, “Hembuskanlah rasa ke dalam dadanya.”

         Tiada angin yang terlampau kencang, tiada hujan yang terlampau deras, tiada siang yang terlampau sesak, dan tiada malam yang terlampau kelam dan sunyi, tiada yang mampu meluluhlantakkan untaian doaku yang dengan ganas menerobos seluruh penjuru langit. Meski dengan wujud yang kian hancur, menjadi kepingan, serpihan, berantakan. Doa-doaku terseret-seret, perih, berusaha menggapai penghujung angkasa.

***

            Hari ini adalah hari pertamaku memasuki dunia perkuliahan. Sastra Inggris, yang entah mengapa menarik perhatianku secara tiba-tiba sebelum aku memutuskan untuk mendaftar di kampus ini, salah satu kampus negeri yang terletak di kota Bandung. Sebelumnya, tak pernah sedikit pun terbesit untuk meminati jurusan tersebut. Namun, inilah takdir yang telah tertulis, takdir yang mengguratkan namaku dan namanya untuk bertemu di tempat ini, kampus kami tercinta.   

            “Permisi, gedung V arahnya kemana, ya?” Aku yang sedang berdiri mematung di depan gerbang kampus untuk menunggu teman baruku, tiba-tiba dikagetkan dengan suara lembut yang merenggut lamunan.

            Butuh waktu sepersekian detik untuk mengembalikan fokusku sebelum akhirnya aku menjawab secara spontan, “Oh, gedung V? Kita berangkat sama-sama saja.”

            Matanya terbelalak, “Maaf?”

            Ah, ya, terkadang ucapanku terhempas begitu saja tanpa hambatan. Dia laki-laki, aku perempuan, dan kami tak saling mengenal sebelumnya. Tidak kah ucapanku untuk mengajaknya berangkat bersama dianggap kurang sopan? “Ah, maaf, maksudku... aku juga ada kelas di gedung V. Kita bisa berangkat bersama jika kau mau. Ya, jika kau mau. Tentu saja.”

            “Oh... kau mahasiswi baru?” Tanyanya dengan segurat senyum di wajah, manis.

            “Emmm, iya. Kau juga?” Ucapku sedikit canggung.

            “Ya, aku mahasiswa baru. Maka dari itu, aku tidak tahu letak gedung yang akan aku tempati di hari pertama ini,” seulas senyum lagi-lagi terpancar.
            Aku balas tersenyun, “Jangan katakan kau kelas A.”
            “Ok, kita satu kelas.”
            Kebetulan? Mungkin saja. Namun, bukan kah setiap kejadian tidak pernah ada yang kebetulan? Entahlah, lupakan saja. Kami pun berjalan beriringan menuju gedung V, tempat dimana kami belajar di hari pertama perkuliahan ini. Masalah teman baruku yang sudah kuajak janjian di depan gerbang? Sepertinya lupakan saja. Toh laki-laki ini pun termasuk teman baruku.

            Sesampainya di kelas, tanpa berpikir panjang, dia langsung menempati kursi di barisan pertama. Kesan pertamaku, dia mungkin laki-laki yang rajin. Ya, mungkin saja. Sedangkan, aku menempati kursi di barisan ketiga, tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang, cukup. Selang beberapa lama, teman baruku, Rania, sampai di kelas dengan pandangan berkeliling ke seluruh sisi ruangan, sebelum akhirnya terfokus kepadaku. 

            “Naya, kan?” Tanyanya dengan napas sedikit tersengal.

            “Iya. Kamu... Rania?” Balasku tanpa merasa berdosa.

            “Betul! Kau memang selalu tega seperti ini, ya, sepertinya?” Dengus Rania kesal.

            Aku hanya tersenyum tanpa rasa sesal, “Maafkan aku.” Sungguh pertemuan pertama dengan kesan yang buruk.  

            Sepanjang pelajaran berlangsung, aku selalu mencuri pandang untuk menatapi sosoknya. Sosok yang dari tempat dudukku tampak punggungnya saja. Siapa tadi namanya? Akhyar? Samar-samar aku mendengar namanya disebutkan dosen sebelum tangannya terangkat sebagai tanda hadir. Namanya Akhyar? Betul, kah? Sial, aku tak mendengarnya.

            “Siapa namanya?” Tanyaku kepada teman yang ada di sebelahku, Rania.

            “Siapa?”

            “Yang itu.”

            “Yang mana?”

           “Laki-laki dengan kemeja berwarna biru dan celana creamdengan rambut tertata rapi ke belakang”

            “Ya? Emm... Adzhar?”

            “Adhar?”

            “Adzhar.”

            “Adzhar?”

          “Betul, Adzhar. Kenapa? Kau suka? Ini baru hari pertama, tak usah gegabah,” kata demi kata tertutur bebas dari mulut Rania.

            “Tidak... emm... mungkin.”

            “Mungkin? Kau keterlaluan, ya, Nay. Ini masih hari pertama.”

          “Tidak mungkin. Aku tak pernah bilang aku menyukainya, aku hanya menanyakan namanya,” jawabku  ketus.

            Cinta pada pandangan pertama? Terdengar seperti omong kosong saja.

***

            Hari demi hari terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Berjalan? Tidak, sepertinya melesat. Dari mulai UTS, UAS, sampai libur akhir semester satu selama satu bulan. Semuanya melesat begitu saja.

         Sekarang sudah memasuki semester ke dua, rasanya baru kemarin pertemuanku dengan Adzhar. Ya, Adzhar, sosok laki-laki pandai dengan tutur kata yang lembut dan sikap santunnya yang tiada dua, sukses membuat kehidupan perkuliahanku begitu berwarna. Soal penampilannya? Tak perlu ditanya, setiap harinya dia selalu memakai kemeja dan rambut rapi yang tersisir ke belakang. Tak hanya itu, lengan kemejanya pun selalu digulung sampai sikut. Sempurna. Dia sosok yang tak banyak bicara, bersuara seperlunya saja. Dia pun tak banyak tertawa, seulas senyum cukup menghidupkan raut wajahnya. Dia termasuk mahasiswa yang menonjol di kelas, selalu menjawab dan bertanya ketika proses pembelajaran berlangsung. Dia pintar, nilai-nilai mata kuliahnya tak pernah mengecewakan. Semangat belajarnya sungguh luar biasa. Satu lagi yang membuatku kagum, dia sangat religious. Wawasan tentang agamanya sangat luas. Bahkan, dia selalu bercerita bahwa dia ingin berkuliah di Kairo, Mesir. Betul, Universitas Al-Azhar. Dia selalu berangan, suatu hari, dia bisa menjadi penghafal Al-Qur’an. Luar biasa, bukan? Kurasa, dia sempurna tanpa celah. Dia... ya, aku, menyukainya.

            Aku menatap langit dengan awan putih tergulung indah, lamunanku terbang mengangkasa. Di lantai dua gedung V, sembari menunggu mata kuliah yang akan dimulai sekitar setengah jam lagi, aku hanya termangu dengan pikiran tak tentu arah. Hembusan angin menerpa wajah. Mungkin, pukul satu siang adalah waktu yang tepat untuk tertidur. Kenapa suasana panas seperti ini harus digunakan untuk belajar?  

            “Nay!”

            Aku terperanjat, lamunanku buyar. Apakah dia selalu seperti ini, muncul tanpa ada tanda-tanda kehadiran sebelumnya? “Ya? Adzhar, kau mengagetkanku saja.”

            “Maaf,” dia menyeringai.

            “Kenapa?” Tanyaku berbasa-basi.

            “Aku mau pinjam buku catatanmu, basic structure.”

            “Bukannya itu mata kuliah semester satu?”

       “Ya, betul. Aku hanya ingin memahaminya kembali. Salah satu mata kuliah sulit bagiku.”

        Beruntung, mata kuliah tersebut adalah mata kuliah yang sangat kusukai. Lebih tepatnya, aku selalu mencari celah darinya. Jika ada mata kuliah yang dirasa kurang dimengerti olehnya, aku selalu belajar mati-matian untuk menguasainya. Untuk apa? Kau akan tahu semuanya, “Oh, basic structure, ya? Sepertinya catatannya masih ada. Nanti kucarikan.”

         Senyumnya terkulum. “Apa perlu aku ajarkan juga? Aku dapat nilai A untuk mata kuliah tersebut,” ucapku sedikit membanggakan diri.

            “Sungguh?”

            “Ya, betul. Bagaimana?”

            “Bagaimana... apanya?”

            “Mau kuajarkan?”

            “Emm... jika kau tak keberatan.”

         “Tentu saja tidak. Aku yang menawarkan. Besok akan kubawa buku catatannya,” ujarku sambil tersenyum simpul. Dia tidak tahu dan tidak pernah tahu, ada gejolak luar biasa yang berusaha sekeras mungkin untuk keluar dari dalam ragaku. Membayangkan bisa belajar berdua dengannya saja membuat jantungku berdebar tak karuan.

~Bersambung~


Adzhar [PART 2]
Adzhar [PART 3]
Adzhar [PART 4]
Adzhar (PART 5/SELESAI)


Sumber Gambar
Diubah oleh nanitriani 16-03-2022 17:00
fahmiahdf428
mr..dr
bukhorigan
bukhorigan dan 14 lainnya memberi reputasi
15
3.4K
58
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
#5
Adzhar [PART 3]
Adzhar
Sudah kuduga, dia pasti berhasil. Ya, dia sudah sukses menggapai salah satu mimpinya. Entah apa yang harus aku rasakan, bahagia atau mungkin sedih. Sebab, ada rindu yang tak mungkin lagi terbayar dengan temu, ada pilu yang menggelitik relung sendu, dan ada sesak yang mencekat ketika temaram menyergap lelap. Namun, rasaku perlahan akan luruh termakan waktu. Pun yang kutahu, semesta akan menyeretku untuk melupa, segera.
***


Kukira, akan sangat berat menghadapi dunia jika seseorang yang didamba tak bisa lagi terjamah. Bayangkan saja, bagaimana rasanya ketika sebuah rasa harus berkelana tanpa tujuan, terus mengalir tanpa bermuara? Memang, aku tak pernah berniat untuk membuat Adzhar mengetahui isi hatiku. Namun, mengetahui sebuah kebenaran bahwa tak ada kesempatan lagi bagiku untuk membuatnya mengetahui semuanya, rasanya menyakitkan, seolah ada sesal yang akan terus terpenjara dalam jiwa. Meskipun begitu, aku harus tetap bersahabat dengan desir angin yang selalu menerpa, hamparan langit yang selalu kupandangi kala menjingga, juga rembulan pun gemintang yang tetap menyuguhkan kilauan ketika temaram. Hidupku harus tetap berlanjut.

Kukira, kehilangan Adzhar bisa membuat kehidupanku di kampus menjadi tak berarti lagi. Ternyata aku salah, hanya butuh beberapa minggu saja luka di hati ini membasah. Setelahnya, aku mulai terbiasa, senyumku kembali merekah, lukaku pulih dan mengering sempurna. Aku berhasil melupakannya.

Semester 2, semester 3, semester 4, tuntas sudah kulewati. Sekarang sudah memasuki awal semester 5. Itu berarti, Adzhar di kampus barunya, Al-Azhar, baru memasuki semester 3. Persahabatanku dan Rania semakin terjalin dengan baik. Bahkan, orangtua kami sudah saling mengenal. Kami berasal dari luar kota Bandung, oleh karena itu, aku dan Rania saling mengandalkan layaknya keluarga sendiri. Ah, betul, bagaimana dengan Ardi? Dia sahabatnya Adzhar yang paling setia. Dimana ada Adzhar, Ardi selalu ikut. Menjengkelkan memang. Sekarang, dia tentu kehilangan sahabatnya. Sebagai gantinya, dia selalu mengikuti aku dan Rania, terutama ketika menjelang ujian atau ketika tugas sedang menumpuk. Kau pasti tahu maksud Ardi di balik itu semua, kan? Ayolah, tak perlu sungkan untuk menebaknya. Memang begitulah keadaannya.

Hari ini perkuliahan berjalan seperti hari-hari biasanya, tak ada yang spesial. Selepas Adzhar pergi, aku memang tak terlalu ambil pusing perihal perasaanku sendiri, tak ada lagi yang harus kukagumi di kampus. Aku memutuskan untuk menjalani hidup sewajarnya saja: melakukan apa yang harus dilakukan dan belajar mencintai diri sendiri. Aku mulai bertekad untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak perlu, termasuk jatuh cinta. Sungguh, itu tidak penting.

Pukul 12 siang, kelas selesai dan akan disambung lagi pukul 3 dan berakhir pukul 5 sore. Selama jam kosong, aku memutuskan untuk ikut ke tempat kos rania untuk salat zuhur, makan, dan jika sempat, kami akan tidur siang sebentar.

Kami sedang asyik memainkan ponsel masing-masing usai makan siang. Tiba-tiba, Rania membuka sebuah obrolan dengan topik yang sebenarnya enggan kubahas.

“Adzhar... emmm... apa kabar, ya?” Tanyanya sedikit berhati-hati.

“Kenapa kau tak tanyakan saja ke orangnya langsung?” Jawabku ketus.

“Aku tak punya nomor ponselnya. Kau punya?”

“Tidak. Untuk apa aku punya? Dan, sejak kapan kau peduli tentangnya?”

“Kau ini kenapa? Kita dan dia sempat berteman dekat, bukan?”

“Asal kau tahu, dia mungkin sudah melupakan kita. Ada banyak teman-teman di sana yang levelnya jauh di atas kita. Tak usah kau hiraukan hal yang tak patut untuk dihiraukan,” tuturku seolah menumpahkan amarah yang terpendam selama ini.

“Kenapa kau kesal?” Gerutu Rania.

“Tidak, aku tidak kesal.”

“Aku tahu kau kesal.”

“Terserah saja,” tukasku sembari membaringkan tubuh untuk tertidur sejenak.

Selang beberapa menit, dengan setengah kesadaran, aku mendengar ponselku berdering tanda pesan masuk. Aku meraba-raba untuk mencari posisi ponselku dengan mata yang masih terpejam. Aku menyerah, kubuka mataku, dengan malas kuraih ponselku yang ternyata ada di dekat kakiku. Kunyalakan layar ponsel, ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Kukumpulkan kesadaran sepenuhnya dan kembali mengerjap-ngerjapkan mataku untuk melihat deretan nomor yang terpampang di layar ponsel. Ada kejanggalan, kurasa nomor tersebut bukan berasal dari Indonesia. Aku memutuskan untuk membuka pesan tersebut.

Naya, apa kabar? Ini aku, Adzhar.


Mataku terbelalak, kubaca berulang kali, kata demi kata, bahkan huruf demi huruf, kuamati lamat-lamat. Adzhar? Benarkah?

NY: Kabar baik. Sebaliknya, apa kabar?

Aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sekali lagi kutatap layar ponselku. Status dari nomor tersebut masih online lalu typing. Aku menahan napas, menunggu pesan apa yang selanjutnya akan muncul. Jantungku kembali berdegup kencang. Rasa yang selama setahun terakhir ini sudah hilang dari diriku, rasa yang setahun terakhir ini tak pernah kuhiraukan lagi, rasa yang sepertinya kian ringkih dan segera mati. Sekarang, hanya menerima pesan singkat darinya saja, rasa itu kembali bertunas dan bersiap untuk tumbuh kembali.

Adzhar: Alhamdulillah, kabar baik.

Itu saja? Kurasa, dia hanya iseng menghubungiku. Tak lama kemudian, statusnya kembali typing, aku kembali menahan napas dengan rasa gugup yang mencengkeram.

Adzhar: Nay, semalam aku bermimpi. Kau mau tahu apa isi mimpiku? Meski kau tak ingin tahu, aku tetap akan memberi tahumu. Begini, aku bermimpi bahwa aku hendak berangkat ke Makkah, tentu saja untuk menunaikan ibadah haji. Lalu, teman-temanku mengantarkan keberangkatanku, termasuk kamu, Ardi, dan Rania. Namun, di mimpiku, kau adalah calon istriku.

Aku tersenyum geli, berusaha menahan tawa di sebelah Rania yang masih tertidur pulas. Apakah Adzhar merindukanku, sampai aku masuk ke dalam mimpinya?

NY: Betulkah? Kenapa sampai seperti itu? emoticon-Big Grin

Adzhar: Aku pun tidak tahu. Aku tak pernah berniat untuk bermimpi seperti itu, sungguh.

Dahiku terlipat. Mana ada seseorang yang bisa merencanakan sebuah mimpi. Gurauan Adzhar memang beda dari yang lain, tidak lucu.

NY: Lalu, kau tiba-tiba menghubungiku karena mimpi itu?

Adzhar: Begitulah. Aku jadi teringat padamu. Aku merindukanmu. emoticon-Smilie

Aku tersentak. Bagaimana mungkin Adzhar bisa merindukanku? Apakah dia sedang bercanda? Aku kembali membaringkan tubuhku, tak henti-hentinya aku tersenyum, membaca balasan demi balasan yang dikirim oleh Adzhar. Secercah harapan kembali muncul.

Sejak hari itu, hampir setiap hari, kami selalu berbalas pesan. Meski perbedaan waktu di antara kami terpaut 5 jam. Jadi, jika ditempatku sudah pukul 12 siang, di tempatnya masih pukul 7 pagi. Terkadang, perbedaan waktu tersebut kerap menjadi penghalang di antara kami. Seperti, ketika siang hari aku menghabiskan waktuku di kampus dan waktu senggangku hanya ketika malam hari, namun, ketika aku mendapatkan waktu senggangku, di tempat Adzhar masih siang hari dan dia pun sibuk dengan kegiatannya. Ketika aku terbangun di pagi hari, dia masih terlelap tidur karena di tempatnya masih malam. Begitulah seterusnya. Oleh karena itu, setiap harinya, kami berbalas pesan sesempatnya saja. Meskipun begitu, aku tetap meyakini bahwa kami masih dinaungi dengan hamparan langit yang sama meskipun berbeda warna. Ketika langitku menyuguhkan warna biru dengan hamparan awan yang menakjubkan, mungkin saja langitnya masih menyuguhkan temaram dengan kilauan rembulan dan gemintang. Ah ... ya ... kami pun kerap memotret langit di tempat kami masing-masing untuk kemudian saling bertukar foto langit tersebut. Aku berharap, suatu hari, kami bisa menatap langit dengan warna dan keindahan yang sama, di atas pijakan yang sama. Semoga saja.
***


Enam bulan sudah kedekatan kami berlangsung. Setiap hari kami selalu bertukar pesan, mulai dari bertukar cerita tentang hari-hari yang berat atau menyenangkan sampai berkhayal tentang masa depan. Ya, betul, masa depan, dimana aku dan dia bisa bertatap muka secara langsung, bukan sekadar langit yang sama yang menaungi kami, lebih dari itu, atap yang sama.

Hari ini adalah hari minggu. Meski hari sudah beranjak siang, namun aku masih terkapar di atas tempat tidur. Prinsipku, akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bermalas-malasan. Hal tersebut untuk membayar rasa lelah yang dilalui di hari senin sampai jumat. Ketika sedang asyik memainkan ponsel di atas tempat tidur, tanpa ada rencana untuk melakukan kegiatan apapun, tiba-tiba ponselku berdering, tanda panggilan masuk. Di layar ponsel, terpampang nama yang bertuliskan “My Best One” yang berarti Adzhar. Aku pun tak habis pikir kenapa aku menamai kontaknya seperti itu. Namun, untuk remaja yang sedang kasmaran, semua hal dianggap wajar saja.

“Halo, kau sedang apa?” Tanya Adzhar di seberang sana.

“Tidak sedang apa-apa,” balasku sedikit malu-malu.

“Kau tak ada kegiatan?”

“Tak ada, ini hari minggu.”

Obrolan kami terus berlanjut sampai hal-hal yang tidak penting sekali pun, semuanya dibahas. Hingga dia secara tiba-tiba menanyakan hal yang membuatku sedikit bertanya-tanya.

“Orangtuamu sudah tahu bahwa aku kuliah di sini?” Tanyanya tiba-tiba.

“Tentu. Aku sudah menciratakan banyak hal tentangmu kepada mereka.”

“Harusnya kau tak perlu banyak bercerita tentangku. Sudah cukup, untuk ke depannya, jangan lakukan lagi,” ungkapnya tegas.

Aku sedikit tersentak, “Kenapa?”

Ada keheningan beberapa detik di seberang sana sebelum akhirnya dia bersuara, “Karena itu tugasku, biarkan aku yang menceritakan tentang diriku kepada orangtuamu. Tentu saja, ketika aku datang ke rumahmu bersama keluargaku nanti.”

Rasanya, tak ada kata-kata yang mampu meluncur dari mulutku. Aku hanya bisa tersenyum, senyuman bahagia untuk ujaran indah yang baru saja dia ucapkan. Sedikit ragu, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Apa mungkin ... maksudmu ... kau ingin menikahiku?”

“Ya, kenapa tidak?” Sahutnya tanpa ragu.

Ada kebahagiaan yang mampu terdengar dari suara kami masing-masing. Tak henti-hentinya kami tertawa kecil di sela-sela obrolan ringan yang terbilang basa-basi saja. Namun, topik apapun, jika bersama Adzhar, semuanya terdengar menarik.

“Eh ... aku baru ingat, besok ada kegiatan yang mewajibkanku untuk tidak menggunakan ponsel. Ponselku akan disita selama kegiatan berlangsung. Kegiatan tersebut berlangsung selama lima hari. Nanti akan kuhubungi kembali begitu kegiatannya selesai.”

Aku tak bisa berbuat apa-apa selain percaya padanya, “Baik. Aku akan menunggu.”

“Kalau begitu, aku mau sarapan dulu, ya,” pungkasnya sambil mengakhiri panggilan.

Panggilan terputus, meninggalkan aku yang menatap langit-langit kamar, termangu lalu tersenyum, memikirkan kembali perkataan Adzhar yang tak pernah kuduga mempunyai niat untuk serius kepadaku. Sebelumnya, aku tak pernah menyangka semuanya akan seindah ini. Semuanya serasa seperti mimpi jika membayangkan kembali tentang bagaimana aku begitu mengaguminya secara sepihak. Ya, sekadar mengaguminya tanpa mengharap balasan apapun. Namun sekarang, keadaan begitu cepat berganti.
***


Tujuh hari sudah sejak Adzhar memberitahuku tentang kegiatanya yang berlangsung selama lima hari. Namun, sampai sekarang, meskipun sudah lebih dua hari, tak ada satu pun pesan darinya. Meski sedikit ragu, aku mencoba untuk menghubunginya lebih dulu. Ketika kubuka aplikasi pesan, ternyata statusnya online. Itu berarti dia sudah bisa memegang ponsel. Ada rasa kesal yang menyulut hati, buru-buru jariku bergerak untuk mengetik pesan dengan unsur sindiran, amarah, dan lainnya.

NY: Sepertinya selama ini kau baik-baik saja, ya?

Kulihat statusnya masih online. Tak lama, statusnya berubah menjadi typing. Aku menunggu dengan kesal balasan apa yang akan dia beri. Namun, pesan baru tak kunjung muncul, statusnya terus menunjukkan typing. Mungkin saja dia sedang mengetik pesan yang panjang. Ya, untuk menjelaskan semuanya, menjelaskan apa saja yang terjadi selama dia tak menghubungiku. Akhirnya, pesan baru darinya masuk.

Adzhar: Aku baik-baik saja.

Itu saja? Butuh waktu yang lama hanya untuk satu kalimat saja?

NY: Kenapa kau tak menghubungiku? Kau janji akan menghubungiku ketika kegiatannya telah selesai. Kau tak sepatutnya menyatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tak pantas.

Status Adzhar kembali typing. Dan lagi, statusnya tetap seperti itu untuk beberapa saat, seolah dia sedang mengetik pesan yang terbilang panjang. Atau mungkin ... dia hanya ragu harus membalas apa. Entahlah.

Adzhar : Kau ada waktu? Kita perlu bicara.

~Bersambung~



Sumber Gambar
Diubah oleh nanitriani 30-04-2021 04:28
0