Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.1K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#264
Part 42-b
Hubungan gue dengan Gladys baru berjalan sebulan lebih. Namun dalam kurun waktu itu, gue sudah dapat memahami dengan baik bagaimana aslinya Gladys; mungkin dari tampilannya, tidak ada yang keanehan sama sekali pada Gladys, dia selayaknya mahasiswi hedon yang sekali upload foto ke facebook bisa mendapat ratusan like (pada masa itu, like mencapai angka ratusan sudah sangat menakjubkan).

Secara fisik, Gladys tidak terlalu tinggi bahkan jika dibandingkan dengan Karina, tinggi badannya masih lebih tinggi dari pada Gladys, tapi Gladys juga tidak juga bisa dikatakan pendek, mungkin tingginya sekitar 165cm (dan untuk perbandingan, tinggi gue saat itu sekitar 173cm mungkin lebih karena angka itu angka yang gue dapatkan saat pendaftaran masuk SMK).

Gladys memiliki rambut yang panjang saat pertama kali gue bertemunya, namun dia memotongnya sedikit saat kami sudah berpacaran. Kulitnya sudah pasti bersih, walau tidak seputih Karina dan Melodi tapi kulit Gladys juga menurut gue masih sangat cocok untuk iklan sabun mandi.

Dan postur tubuh Gladys juga tidak bisa dikatakan gemuk, tidak juga bisa dikatakan kurus. Tubuhnya proposional (mungkin ini yang membuat gue suka), Gladys lebih berisi dari pada Melodi. To deduce secara penampilan Gladys ini bisa dikatakan sempurna! Maybe is yes she is perfect!

Namun siapa sangka dibalik kesempurnaan penampilannya tersimpan sebuah kepribadian yang cukup kelam di dalam diri Gladys, kehilangan sosok Ibu di saat remaja membuat Gladys yang dulunya selalu ceria seolah membuat Gladys dipaksa dewasa sebelum waktunya. Setidaknya itu yang gue ketahui dari Jimbo, seorang anak dari salah satu assitant rumah tangga di dalam keluarga Gladys yang memang sudah sejak kecil mengenal Gladys.

Tapi diluar apa yang diceritakan Jimbo pada gue tentang Gladys. Sebenarnya Gladys menyadari jika sifatnya yang moody, fetish-nya yang bisa dikatakan aneh, dia juga posesif, serta terkadang emosinya yang labil dan kerap tidak terkontrol adalah seseuatu gangguan di dalam dirinya. Hal itulah yang mendasarinya untuk menempuh pendidikan Psikologi pada jenjang pendidikannya setelah lulus SMA. Dia teralalu malu mengakui itu—bercerita pada orang lain tentang gangguan pada dirinya sendiri, sehingga dia mencari cara untuk mengatasi itu semua seorang diri.

Gue mengerti itu, apa yang dirasakan Gladys mungkin tak jauh berbeda dengan apa yang gue rasakan. Bedanya gue kehilangan sosok Ibu di saat gue belum bisa merasakan bagaimana sakitnya sebuah kehilangan. Pun gue kehilangan semuanya saat pribadi gue belum benar-benar terbentuk sehingga segala kehilangan itu mungkin tak berpengaruh sama sekali untuk pembentukan karakter gue hingga saat ini. Gue juga mungkin lebih beruntung, karena walaupun bisa dikatakan gue sudah tidak lagi memiliki keluarga kandung, tapi gue dikelilingi orang-orang yang menganggap gue sebagai keluarga, pun sebaliknya. 

Karena itu gue juga mengerti pada orang-orang yang dalam sebulan lebih gue berpacaran dengan Gladys ini mengatakan, jika hubungan gue dan Gladys tidaklah sehat. (Toxic kalau anak-anak jaman now bilang) Karena mereka hanya melihat Gladys secara tampilannya sempurnanya saja. Nata contohnya, lagi-lagi dia vokal sekali mengatakan kalau Gladys itu possesif dan hal itu tidak baik untuk suatu hubungan.

Ya, walau pun gue mengerti dan sejujurnya gue menyadari. Tapi ini semua bukan sekedar baik atau buruk. Karena hidup tidak sehitam dan putih yang nampak saja, ada hal-hal yang sulit dijelaskan dengan kata-kata—tentang bagaimana seseorang mampu bertahan di dalam hal-hal yang menurut kebanyakan orang sudah berada diluar garis logika pikirannya—gue merasakan sesuatu perasaan yang mampu menetralkan segala hal yang berada di luar garis logika dan terkemas ke dalam sebuah kemasan sederhana yang biasa digunakan para pujangga dalam menjelaskan hal-hal yang tidak masuk di dalam bilangan logika—cinta.

Walau juga sejujurnya dalam hal ini, hubungan gue dengan Gladys. Gue merasakan sebuah keresahan yang cukup menyita keheningan gue sebelum beranjak terlelap, tapi keresahan itu timbul bukan dari diri Gladys melainkan dari faktor keluarga.

Gue menyadari semenjak gue resmi berpacaran dengan Gladys banyak mata mengamati. Gue merasakan jika gue tengah di dalam pengawasan. Sudah saja gue sedikit pusing dengan orang-orangnya Pak Tri dan Ale yang masih saja mengintai aktifitas gue sehari-hari. Ditambah lagi kini semakin banyak mata mengarah waspada setiap kali gue melangkahkan kaki kemana saja. Gue merasa sedikit tidak nyama akan hal itu.

Tapi juga gue mengerti, Om Han pasti memiliki ekspetasi pada anaknya. Dia pasti memiliki kriteria tersendiri untuk siapa yang layak berada di sisi anaknya. Yang sudah pasti gue tidak berada di sana. Dan gue yakin itu semua demi kebahagiaan Gladys itu sendiri, walaupun belum tentu Gladys menerima itu.

Mungkin hal itu pula yang membuat gue celah kosong di dalam perasaan gue terisi oleh Arumi, walaupun sebenarnya Arumi sudah terlebih dahulu ada disana. Namun tidak bisa dipungkiri kehadiran Gladys merubah komposisi bunga yang ada di sabana hati gue—Bunga-bunga Arumi yang sebelumnya tumbuh tiba-tiba layu dan berganti dengan bunga-bunga yang dibawa Gladys yang secara ajaib begitu saja tumbuh dan memenuhi hampir di setiap jengkal sabana hati.

Hampir, gue katakan, karena celah kosong yang menuju sebuah bukit yang bernama masa depan itu sama sekali tidak bisa ditumbuhi oleh bunga-bunga yang di bawa Gladys. Dan putik-putik bunga Arumi yang sebelumnya layu, terbawa angin hingga mencapai celah kosong itu hingga akhirnya dia tumbuh memenuhi jalan setapak yang menuju ke bukit imajiner yang bernama masa depan.

Tapi itu semua hanya teori gue saja yang mencoba membuat segala hal-hal yang sudah melewati tepi nalar orang lain kembali masuk ke dalam logika. Tepatnya sebuah pembelaan diri dari apa yang sedang gue lakukan pada seseorang perempuan yang sedang di dalam pelukan. Karena gue merasa gue tidak mengkhianatinya, gue mencintainya. Gue sangat mencintai Gladys. Tapi di satu sisi gue tidak melihat adanya masa depan di dalan hubungan gue. 

Dan gue melihat apa yang tidak ada di dalam hubungan gue dengan Gladys dimiliki oleh Arumi. Apakah gue salah?

Lagi-lagi gue harus kembali menghela nafas  dan mengatakan jika hidup tidak sehitam dan putih kenyataannya. Selalu saja ada senandung-senandung biru yang membuat diri ini terbelenggu dalam ragu.



"Kami nih nyebelin banget, Nyuk. Sumpah!" Ucap Gladys.

"Lah, aku, nyebelin? Gak salah? Okeh, sekarang gini. Kamu nyuruh aku belanja dan dafta belanjaan kamu banyak. Aku gak mungkin naik motor, mangkanya aku minjem mobil dia. Dia itu temen aku, CUMA TEMEN, kalo gak percaya tanya ajah Karina dia temen satu sekolahnya Karina."

"Iyah tapi kamu tau gak dia itu cewek panggilan…"

"Hush! Kamu jangan ngomong gitu. Mau apapun dia, mau gimanapun dia bukan urusan kamu, bukan urusan aku, bukan urusan kita. Toh kalo emang dia bener begitu…"

"Ya emang bener!" Sambar Gladys.

"Ya terus itu jadi pembenaran buat kamu marah-marah aku pinjem mobilnya? Jadi pembenaran buat kamu maki-maki dia padahal dia sama sekali gak ada salah sama kamu?"

"Ya iyalah. Aku tuh benci sama cewek-cewek yang begitu. Kaya gak ada cara lain ajah dapet duid. Mereka itu cuma males! Dan mereka ambil gampangnya ajah, jual badannya tanpa harus capek malah bisa jadi mereka nikmatin kali." Ucap Gladys.

"Aku gak nyangka, Geng. Kamu sepicik itu mikirnya." Sahut gue.

"Sshhhhh…" Gladys mendesis sambil menutup matanya, lalu dia langsung memeluk gue. "Nyuk, bukan gitu maksud aku. I don't care siapapun kerja apapun. Aku gak peduli dan gak mau peduli soal itu. Mereka yang jual badannya juga, yah udah terserah, tapi aku benci kalo mereka udah deket-deket sama orang-orang yang aku sayang, Nyuk! Aku gak mau orang-orang yang aku sayang jadi target konsumen mereka. Aku gak peduli mereka mau jual badan mereka sama siapa ajah, asal jangan ke orang-orang yang aku sayang. Aku benci, Nyuk! Kamu ngerti gak!" Ucap Gladys terlihat sedikit emosional.

"Ya tapikan aku engg…" Ucapan gue terhenti karena menyadari sesuatu dari raut emosional Gladys. "Geng, maaf. Apa ini…" 

"Iya, Nyuk." Gladys menganggukan kepala. "Aku gak mau kamu seperti papah. Aku tau papah sering menuhin nafsu birahinya sama perempuan-perempuan itu. Aku ngerti sebenernya, papah pasti butuh menuhin kebutuhan biologisnya. Aku pernah ngomong ini sama papah, aku padahal enggak pernah ngelarang papah buat nikah lagi. Aku malah mending papah nikah lagi dari pada tiap malem harus pakai jasa-jasa mereka. Aku jijik papah begitu, Nyuk." Lanjut Gladys.

"Geng…" Gue kembali memeluk Gladys. "Aku ngerti apa yang kamu rasain. Apa yang kamu takutin. Tapi aku bukan orang yang kaya begitu, aku gak munafik kalau melampiaskan birahi memang menyenangkan. Tapi aku bukan tipikal orang yang mengutamakan kesenangan itu…"

"Ya sekarang kamu bilang begitu. Mana tau kedepannya nanti, atau jangan-jangan diem-diem kamu begitu!"

"Ampun deh! Geng-geng. Yaudahlah terserah kamu. Capek aku…"

"Oh jadi kamu capek sama aku!" Sambar Gladys.

"..." Gue hanya mengusap-usap wajah gue.

"Yaudah kalo kamu capek kamu pergi aja sana." Ucap Gladys, lalu gue pun beranjak berdiri.

"Yaudah aku pulang." Ucap gue, Gladys hanya bergeming. Lalu gue mencium keningnya dan berjalan menuju pintu apartemen ini. 

"Nyukkkk!" Gladys tetiba berlari menerjang gue dan langsung memeluk gue sembari menahan langkah gue. "Kamu nyebelin banget, sih!"

"Aku? Nyebelin? Halloooooooo. Kamu tuh nyebelin. Sekarang buat apa aku disini kalo kamu gak percaya sama aku. Gak yakin sama aku? Ngapain semua ini? Aku cuma buat sex dolls kamu ajah?" Ucap gue.

"Nyukkk kamu kok ngomongnya gitu?" 

"Ya abisnya kamu kaya gak pernah percaya dan yakin sama aku." Sahut gue.

"Ish gak ada usahanya banget!" Sahut Gladys.

"Ampun tuhaannnnnnnn." 

Gladys tiba-tiba saja tersenyum dan tertawa, lalu dia mencium bibir gue sekejap, "Aku suka kalo kamu lagi kesel gini, deh. Sexy." Ucap Gladys.

"Bodo amat!" Sahut gue lalu Gladys kembali mencium bibir gue. Kali ini agak lama dan bahkan dia menggigit bibir gue hingga sedikit terluka. "Sakit dong!" Ujar gue.

"Nyuk aku percaya sama kamu. Jangan kecewain aku. Dan kamu mau janji satu hal gak?" 

"Engga!" Sahut gue karena masih sedikit kesal.

"Issshhh mulai deh! Entar aku gigit bagian yang lain nih." Ucap Gladys sambil memegang organ vital gue.

"Iya apaa?" Sahut gue agak ketus.

"Aku tau kamu gak mungkin mau kalo aku suruh buat engga temenan lagi sama temen kamu itu…"

"Yaa you're right!" Sambar gue.

"Aku cuma mau kamu janji. Jangan pernah kamu liatin muka kamu lagi barengan sama dia di depan aku. Bisa?" 

"Bisa, asal kamu kasih tau aku kenapa kamu bisa sama mantan kamu!" 

"Eh itu… Nyuk maaf." Gladys memeluk gue lagi.



Quote:




"Maaf, Nyuk. Aduh gimana, yah aku ngasih tau kamu." Ucap Gladys.

"..." Gue bergeming.

"Aaaa… kayanya aku bakal sering ketemu dia deh." Ucap Gladys sambil sedikit terlihat khawatir.

"What?"

"Tadikan aku ketemu temen-temen smp aku. Nah mereka itu iseng masukin aku sama mantan aku di seksi yang sama di panitia reunian smp aku." Ucap Gladys seperti merasa bersalah.

"Yakin temen-temen kamu iseng?" 

Gladys menganggukan kepala. "Kan. Kamu pasti mikir macem-macem, kan jadinya. Engga begitu kok, Nyuk. Sumpah!"

"Engga gitu tapi gini!?"

"Yaudah aku mundur ajah dari panitia." Sahut Gladys sambil memeluk gue.

"Ya emang harusnya gitu!" Sahut gue.

"Iyah Nyuk, iyah." Sahut Gladys.

"Kek gak ikhlas gitu, Geng!?"

"Tuhaaannn…" Gladys melepaskan pelukannya. "Ikhlas, Nyuk! Aku ikhlas." Ucap Gladys sambil menunjukan senyumnya yang seperti dibuat-buat.

"Kalo gak ikhlas bilang ajah kali, Geng!?" Sahut gue.

Gladys lalu mengusap-usap wajahnya. "Terserah kamulah, Nyuk. Aku cape!" Ucap Gladys lalu berjalan menuju ke sofa.

"Oh jadi kamu capek sama aku?" 

"Nyuk! Please!" 

###
Diubah oleh nyunwie 29-04-2021 18:37
anonymcoy02
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Tutup