LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#103
BAB 24 EMIL DAN KEN
Hendra terjaga dari lelapnya. Ia mendapati rumahnya sepi. Hendra menatap jam dinding, jarum pendek jam itu berhenti tepat pada angka pukul 01:00. Hendra bangun sambil menahan kepalanya yang pusing.

"Mul.. Muljoko?" Ia memanggil nama kawannya untuk memastikan keberadaan muljoko di sana. Namun tak ada sahutan yang didapat oleh hendra.

"Kemana dia?"

Hendra melangkah menuju ruang tamu setelah memastikan brankasnya tertutup dan terletak dengan rapi. Ruang tamu dan seluruh ruangan gelap gulita. Hendra merasa bingung, mengapa demikian?

Hendra mengintip melalui tirai bambu yang tergantung di jendela dalam rumahnya. Ia tak mendapati mobilnya berada di luar.

"Apa muljoko pergi?"

Bak istri yang di tinggal suami meluyur malam-malam. Hendra mencoba menghubungi muljoko melalui telepon genggamnya. Aktif tapi tidak ada jawaban.

Hendra menekan gagang pintu.

"Cklek.. Cklek.."

Terkunci. "Mengapa pintu ini di kunci?" Pikir hendra.

Hendra berjalan dengan langkah lunglai menuju sofa kecil. Ia merebahkan dirinya di sana. Rasa kantuk masih menjalar. Tubuhnya terasa kaku. Persendiannya terasa sulit di gerakkan karena kurangnya aktifitas olahraga.

Dalam heningnya malam. Hendra mendengar suara gemerisik di luar sana. Bukan hanya gemerisik. Tapi suara manusia Berbisik-bisik. Hendra membuka mata dan menajamkan telinga. Suara itu tepat berada di samping rumahnya.

Hendra paham apa yang harus ia lakukan. Ia cukup berdiam diri dalam gelap tanpa melakukan pergerakan. Karena, suara berbisik itu terpantul bayangannya sedang mengintip tepat di jendela rumah hendra.

Hendra mengamati dalam gelap. Ada kedua pria dengan ikat kepala berbaju serba hitam.

"Mereka?! Hendak apa rupanya?"

Hendra melihat kearah layar ponsel yang menyala. Di sana ada sebuah pesan. Hendra pindah ke bawah dan merebahkan diri di lantai. Ia membuka pesan dari muljoko yang memberi kabar jika ia sedang berada di rumah tirto dan akan segera pulang.

Bagaikan istri yang ceria menerima kabar dari sang suami. Hendra memberi kabar terkait kedua pria berbaju hitam berada di kediamannya. Mereka sedang mengintai!

Balasan dari muljoko cukup singkat. Tugas kali ini adalah tugas paling enak yang di berikan oleh muljoko.

"Tak usah berbuat apa-apa. Kau cukup berdiam diri. Buat seolah rumah mu kosong. Biarkan mereka melakukan apapun. Jangan membuat mereka buru-buru kabur dari sana. Aku akan datang." Hendra meletakkan ponselnya. Ia lanjut merebahkan diri sambil terus mengamati perilaku dua orang itu.

Di luar sana, kedua pria itu sedang asik berdebat pendapat antara harus menerobos masuk atau tidak.

"Jangan. Tidak sopan memasuki kediaman orang tanpa izin!" Kata si serak.

"Aku juga tahu, tapi misi kita harus segera selesai. Aku sudah muak dengan semua ini. Kau masih betah memang?"

"Tidak sih. Tapi tentu ada cara lain?"

"Tidak ada. Aku tetap mau menerobos masuk." Jawab si suara berat.

"Ya silahkan, aku lihat dari sini saja!"

"Kurang asem! Kau ini susah sekali di ajak kerja sama. Hah! Tahu begitu aku pergi sendiri!"

"Bukan begitu. Kita juga harus mengedepankan etika. Kerja cepat boleh. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi aku rasa kau ada benarnya. Kita terobos saja, bagaimana? Aku gelisah mendengar kabar hotel itu segera di resmikan."

Si berat menepak kepala rekannya dengan gemas.

"Aku tahu. Dan kalau itu terjadi, sedangkan kita belum mendapat apa yang kita cari, misi kita gagal. Dan aku lelah bersandiwara." Jawab si berat.

Sementara hendra terus menunggu kedatangan muljoko. Menanti dalam diam membuat waktu bergulir begitu lambat. Sudah 20 menit ia lalui untuk menunggu kedatangan muljoko. Waktu kali ini terasa panjang.

Sementara dua pria di luar sana masih asik memantau dari luar. Mengumpulkan nyali dan juga keyakinan bahwa menerobos rumah milik orang lain demi kepentingan bersama bukan lah perkara dosa. Tapi tetap, sudah ribuan kali mereka memantapkan diri, satu langkah untuk mendekati pintu pun tak terlaksana juga!

***

Muljoko dan tirto berada dalam satu jalur lagi untuk memecahkan misteri yang mereka hadapi.

"Kau kenal orang yang menjadi suruhan istrimu?" Tanya muljoko.

"Aku tidak kenal. Aku hanya beberapa kali memergoki mereka di hotel."

"Menurutmu mereka mencari apa?"

"Entah. Aku tak bisa memberikan pertimbangan. Tapi, rema menyuruh mereka mencari pisau dan tulang itu."

"Untuk apa?" Tanya muljoko lagi.

"Rema calon penerus perjanjian itu. Ia tentu khawatir jika kedua benda itu tidak berada ditangannya. Karena seperti tadi yang aku bilang, syarat pemutus perjanjian salah satunya adalah pisau dan tulang itu."

"Hmm. Apakah cincin itu tak berarti bagi rema?"

"Tidak. Karena dia bukan keturunan hoxward. Cincin itu takkan ada manfaatnya lagi jika perjanjian sudah berpindah tangan. Dan lebih buruk nya, kita akan lebih sulit memutus perkara ini kalau rema sudah berhasil mengabdi secara penuh kepada iblis itu. Tentu langkah nya takkan sama lagi."

"Setelah ini, aku akan bantu kau meniduri istrimu. Jujur, ini perkara rumit. Baru kali ini aku membantu seorang suami untuk meniduri istrinya sendiri. Hal yang sangat konyol!" Muljoko terus menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak habis pikir. "Aku lebih heran lagi mengapa ada orang sudi merelakan hidupnya untuk mengabdi kepada setan demi tujuan yang berujung menyengsarakan diri?"

"Itulah manusia. Kalau hidup tak sebanding dengan apa yang dipunya. Hati hitam yang tak pernah bersyukur. Mengutamakan duniawi. Orang kalau sudah cinta dunia, nyawa pun dipertaruhkan." Tirto merasa dadanya sedikit sesak. Perasaan tak karuan membuatnya seperti di hujam seribu harapan. Ada senang, dan juga haru bahkan rasa tak percaya jika ia dan muljoko berada di satu garis yang sama untuk memecahkan misteri ini.

"Jadi, sebagai bimbingan mu apa yang harus aku lakukan?" Tanya tirto.

"Kau mahir menggunakan senjata. Kau angkat kursi belakang. Di bawahnya tersimpan beberapa senjata milik hendra. Kau bisa pakai yang mana kau suka. Aku sudah memiliki senjata sendiri."

"Apa? Ketapel lagi?" Kata tirto tertawa sambil mengutak-utik wadah di bawah kursi mobil. Tirto memilih sebuah senjata api berjenis G2 combat dengan peluru berkaliber 9mm. "Ini simple dan ringan. 15 peluru cukup lah." Tirto menyelipkan senjata itu di kantungnya. "Heh, senjata mu apa?"

"Selain ada ketapel. Aku menyimpan MAG 4. Percayalah musuh kali ini hanya orang biasa. Tak perlu ku keluarkan senjata pun sudah cukup untuk melumpuhkan mereka."

"Maksudmu?" Kata tirto.

"Aku mau kau langsung lepas tembakan ke arah kaki dua orang itu. Walaupun mereka target biasa. Tapi aku tak ingin mereka lepas."

***

Dua orang itu masih berunding dengan atos nya. Yang satu menghalalkan segala cara, yang satu lagi peduli terhadap tata krama. Memang sulit jika kedua manusia dengan pemahaman kontras dijadikan satu dalam mengemban tugas. Pergerakan mereka tidak ada kemajuan, tak ada bedanya dengan sebuah batu yang di lempar ke dasar air. Diam tanpa upaya.

"Aku sudah tiba. Kau keluar melalui pintu samping. Tidak ku kunci. Kau tahan kedua orang itu dari sana. Aku menyergap melalui depan. Keluar dengan perlahan." Telepon muljoko kepada Hendra terputus.

Mobil di parkir sedikit jauh dari rumah hendra. Keduanya berjalan menyelinap. Tirto berjalan melewati barisan tanaman sehingga ia menyergap kedua target melalui samping. Dengan langkah pelan dan sembunyi-sembunyi. Tirto mengarahkan ujung laras shot gun nya kepada salah satu kaki target.

Sedangkan muljoko, dari arah berlawanan mengarahkan ketapel ke arah target yang satunya. Ia sudah bersiap dengan senjata terbaiknya.

"Kalian harus tahu, mengapa aku begitu cinta dengan ketapel. Benda ini yang menemani dari masa kecil ku. Menjadi anak yang di tuntut mandiri harus bisa melaksakan segala hal termasuk urusan mencari makan. Aku gunakan senjata ini untuk melumpuhkan binatang kemudian aku santap. Paman ku mengajariku banyak hal hingga aku dewasa, bukan lagi hewan yang aku taklukan, tetapi manusia." Muljoko tiba-tiba bernostalgia akan masa kecil nya yang hidup dalam tekanan dan juga didikan keras. Ia sedih teringat paman nya si tua efrad, yang sepenuh hati mengasuhnya sejak kecil. "Paman, setelah ini selesai aku akan pulang mengunjungi paman. Akan ku belikan paman segala fasilitas penunjang masa tua mu sebagai tanda bakti dan Terima kasih dariku. Paman, aku rindu masa kecil itu." Tak terasa air mata muljoko hampir menetes. Tapi segera ia seka karena momen ini bukanlah saat yang pas untuk bernostalgia.

"DAARRR!!!" "DARRR!!!"

Lenguhan panjang terdengar dari kedua bibir pria pengintai itu. Yang satu langsung tergeletak dan yang satu hampir saja lolos.

Lamun muljoko tersadar karena suara peluru yang di lepaskan oleh tirto lebih dari 4 kali.

"AARRGGGGGG!!!" Teriak si serak.

"Emil! Ayo pergi!" Kata si berat mengajak rekannya untuk segera meninggalkan lokasi.

"Aku tak kuat. Kaki ku sakit dan panas. Ahhh!!!" Pria bernama emil itu terus meronta. Sementara rekannya mencari celah untuk melarikan diri.

"Kau tunggu di sini."

"Tidak usah. Kau pergi tinggalkan aku. Lanjutkan misi kita. Lakukan semua demi kebaikan." Pinta emil.

Namun pria yang satu tidak menggubris ia tetap berlari menuju pekarangan belakang berusaha mencari sesuatu yang dapat di gunakan untuk membawa rekannya pergi. Namun saat hendak berbelok menuju sebuah gerobak kecil milik Hendra yang berisi tanaman, pria tadi terpaksa menerima bogem yang membuat pipi bawahnya memar.

"OUGHH!"

"HU HU. rasanya mantap kan? Kau mau kabur ya? Ayo berdiri!" Keduanya sempat bergulat. Tapi, pria tadi sudah lemah karena dibuat kaget oleh suara tembakan yang di lepas ke arah nya dan emil. Hendra menarik pria itu dengan kasar. Berjalan menuju pekarangan depan lalu melempar tubuh pria itu dengan kuat.

Tirto dan muljoko tiba. Mereka menyaksikan kedua targetnya dengan senyum buas di wajah. Seperti harimau menemukan rusa. Keduanya sudah tak tahan ingin melayangkan beribu pertanyaan.

Namun, pria bernama emil terperangah melihat muljoko. Ia seperti ketakutan. Bibirnya gemetar ketika berbicara kepada rekan nya yang baru saja di hadiahkan sebuah bogem oleh hendra.

Bibir pucatnya bergetar. Peluh di dahi menetes dengan cepat.

"I-... Itu... Itu dia! Pria bernama le..."

"BRAKKK!!!" Tirto menendang leher emil dengan kuat.

"AKKHHH!!!"

"Diam! Kalian dilarang berbicara sebelum kami melempar pertanyaan!"

Diubah oleh LiongMelfin 23-04-2021 05:57
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup