LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#98
BAB 23 TERNYATA...
"Tidak. Bukan begitu maksudku." Ucap muljoko merasa tak enak hati pada tirto.

"Tak apa, lagi pula aku menikahi dia bukan atas dasar cinta. Aku sama sekali tak pernah menyentuhnya. Aku melakukan ini karena satu sebab."

"Kalau aku tak salah menangkap maksud pembicaraanmu tadi, istri dari godwyn adalah rumaida, kan?"

"Benar. Si wanita tua bangka itu."

"Kau sudah tahu kan kalau melda itu adalah keturunan asli dari godwyn?" Tanya muljoko "Sebab klien-ku berkata jika ia pernah berbincang dengan melda, dan melda mengatakan jika ia masih keturunan asli pemilik hotel itu."

"Aku sudah tahu, karena godwyn sendiri yang memberi tahu ku soal keturunan nya dengan seorang gundik." Kata tirto sembari menarik nafas panjang. "Klien-mu tuan liam?"

"Ya, kau tahu?"

"Aku kenal dia. Istrinya hilang di dalam sana, kan? Itulah sebab nya aku mencari ke ruang bawah tanah, siapa tahu aku bisa menemukan istri tuan liam di sana."

"Peduli apa kau pada liam?" Tanya muljoko tergelitik dengan jawaban tirto.

"Sebenarnya, hotel itu setiap 40 hari sekali memakan korban. Karena apa? Kau harus tahu! Selama pemilik hotel belum melepaskan bangunan itu ke tangan lain, ia harus rutin mencari tumbal agar hidupnya tetap selamat! Maka dari itu, aku melihat berita lokal liam membeli hotel tersebut, tak lama selang beberapa hari dia menyapaku saat aku berjualan di lampu merah, di situ dia mengatakan jika istrinya hilang!" Tirto bercerita dengan dramatis tapi tetap dengan nada pelan. "Kau tahu apa yang ada di pikiranku? Istri nya hilang sebab menjadi tumbal terakhir rumaida!"

"Jadi ini jawaban dari pertanyaan ku selama ini." Kata muljoko "Berarti, saat ini liam dalam bahaya!"

"Benar. Dan aku lebih khawatir lagi tentang keberadaan cincin itu." Ujar tirto.

"Tirto, aku mau mendengar bagaimana kematian dari godwyn sahabatmu itu? Aku juga ragu kalau kau tak tahu dimana keberadaan pasangan dari cincin berlian hitam itu. Sebab, liam bilang saat ia berkunjung ke tempat rumaida, ia melihat suami-istri itu menggunakan cincin yang sama. Dan, rumaida berdusta jika cincin itu sudah lama hilang saat suaminya mati terbakar. Apa kau percaya, benda seperti itu akan hangus terbakar?"

Tirto terdiam.

"Aku yakin kau tahu, sebab godwyn pasti memakai benda yang sama. Selama kau kenal, mustahil kau sama sekali tak tahu menahu soal berlian itu."

Tirto terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri. Berharap jawabannya kali ini tak ada yang mendengar kecuali ia dan muljoko.

"Kawan, aku sebenarnya tahu dimana cincin itu berada, dia aku amankan menurut perintah win sampai masa itu tiba, dan aku akan mengambilnya sebagai syarat pemutus perjanjian." Ujar tirto sambil berbisik.

"Perintah?"

"Jadi, sebelum rumah itu terbakar. Pertengkaran hebat terjadi. Godwyn sudah lelah dan ingin kembali menuju jalan yang benar dan di restui tuhan. Namun, rumaida yang tamak hatinya tak mau menuruti keinginan win, rumaida takut jika akan kehilangan seluruh harta bahkan nyawanya! Sejak itu, win lepas urusan. Ia tak pernah lagi mengurus segala bentuk tumbal dan sesembahan seperti yang kakek dan ayah nya lakukan dulu. Keadaan memang baik-baik saja, iblis itu tidak mengusik godwyn karena ia memiliki penangkal. Melainkan, iblis itu mengusik rumaida sehingga rumaida terpaksa memberi makan iblis itu dengan caranya sendiri!"

"Teruskan, aku mau dengar."

"Istriku, dulu dia juga seorang paraji yang biasa menangani wanita bersalin. Dia kenal dengan rumaida. Dia pernah bercerita melalui buku harian yang tak sengaja aku baca saat ia pergi meninggalkan rumah begitu saja, isi catatan itu menyatakan jika wanita gila---rumaida---itu meminta rema untuk menarik rahimnya dengan paksa. Sangat gila! Ini gila! Rahim yang telah di tarik dengan paksa itu ia gunakan sebagai syarat agar selalu tampil awet muda dan panjang usia. Karena menurutnya rahim adalah wadah kehidupan. Semenjak itu, rema dan rumaida bekerja sama dalam proses pencarian tumbal janin untuk diserahkan kepada iblis itu!"

"Aku masih mencari jawaban yang pasti mengapa rumaida berbohong masalah cincin yang hilang."

"Jawaban ini akan terjawab, kalau kau beritahu aku dimana cincin itu berada?" Ujar tirto.

Muljoko sebenarnya ragu jika harus membuka berita ini. Sebab ia juga belum tahu, dimana tepatnya melda bisa mendapatkan cincin itu hingga bisa berada di jarinya.

"Baik-baik. Aku paham. Kau tipe orang yang meneliti informasi secara detail. Kau tak mudah berbagi informasi yang bagimu masih transparan. Aku akan berbicara menggunakan feeling ku. Jika rumaida berkata cincin itu hilang, aku akan jawab jika dia benar. Karena cincin sebelahnya itu aku amankan. Dan yang satunya berada dalam-" Ujar tirto menunjuk kepala muljoko. "Pikiranmu!"

"Ya. Kau benar."

"Aku rasa cincin itu jatuh dari jemari rumaida. Karena terakhir yang aku ingat, sebelum godwyn mati. Ia sempat menggoreskan ujung berlian itu ke bagian tubuh rumaida."

"Lalu?"

"Aku sudah bilang, cincin itu jika digunakan oleh keturunan asli bisa membunuh orang lain dalam satu kali gores. Tapi rumaida beruntung, usianya masih di perpanjang oleh iblis itu karena terus menerus memberi tumbal walau tubuhnya kian lama kian habis. Oleh sebab itu cincin tersebut menjadi kendur dan mudah lepas saat digunakan oleh jari rumaida yang kurus. Dan sekarang, posisi rumaida aman berkat klien-mu---liam---yang mengambil alih kepemilikan hotel. Biarpun liam tidak menyadari perjanjian ini, tetapi akan banyak kematian yang terjadi di sana."

Muljoko merasa ngeri dengan nasib liam ke depannya. Bahkan klien nya itu telah merestorasi bangunan hingga siap di gunakan dalam waktu dekat.

"Jadi ini alasan rumaida memburu liam untuk segera meresmikan hotel. Kau tahu, hotel itu akan segera di gunakan dalam waktu dekat!" Kata muljoko dengan perasaan tak karuan.

"Kasus mu bukan lagi berurusan dengan psikopat. Tapi berurusan dengan raja neraka yang bisa merenggut jiwamu kapan saja, kawan. Aku akan bantu kau menemukan sumber malapetaka itu dan kau juga harus bantu aku, coba katakan dimana pasangan cincin itu berada?!"

"Tirto, urusan itu gampang. Yang terpenting aku mau tanya sekarang, apa benar kau tidak tahu perkara dinding hotel yang sering di pukul oleh seseorang untuk mencari sebuah benda?"

Tirto terbelalak. Ia merasa di tekan oleh pertanyaan muljoko. Tentu saja saat pertemuannya di hotel kemarin ia bisa mengelak, tapi kali ini ia harus terpaksa jujur. Demi kebebasan yang sudah lama ia dambakan.

"Maksudmu, melda?"

"Ya!"

"Aku tahu," Jawab tirto gugup. "Karena sebenarnya aku dan ibunya saling bekerja sama untuk mencari 7 benda dan 7 pintu untuk menuju sumber malapetaka. Kami bekerja dalam diam. Sebab, istriku juga demikian. Ia memiliki pesuruh yang memiliki tugas sama dengan tujuan yang berbeda.

"Kau mau tahu kenapa istrimu pincang?" Kata muljoko terkekeh geli. "Aku yang menimpuk nya dengan batu menggunakan ketapel. Dan tato di kaki istrimu-"

"Lam...bang ib...lis itu!" Kata tirto pelan sekali.

Kini berganti muljoko yang terbelalak.

"Kami saling menyimpan rahasia satu sama lain. Aku menikahinya karena ingin membunuhnya!"

Muljoko baru kali ini dibuat bingung. Adakah seorang pembunuh yang secara gamblang menjelaskan rencana nya kepada seorang polisi? Ini aneh!

"Maksudku, aku ingin menyetubuhinya sebelum peresmian itu tiba."

Muljoko semakin menganga. "Apalagi ini, membunuh, menyetubuhi, lalu apalagi, merudapaksa?!!" Ia bergulat dengan batinnya.

"Peresmian saat ia hendak mengambil alih perjanjian yang di lakukan oleh gerald dulu dan menjadikan liam sebagai boneka sebagai alat mencari tumbal!"

Tirto tertawa geli.

"Ini aji mumpung, rema tak ingin hidup susah---termasuk susah mencari tumbal---Saat rumaida hendak berhenti dari perjanjian ia juga mendengar liam otomatis menjadi penerus dan di situ ia kegirangan, karena keuntungan sepenuhnya berpihak padanya. Satu, ia masih perawan. Kedua, keuntungan tumbal dari hotel yang dikelola liam rema lah yang menikmati, sedangkan liam akan terus menderita. Syarat termudah mengambil alih perjanjian itu adalah dengan kondisi wanita yang masih perawan!"

"Apa dua pria itu adalah suruhan rema?" Kata muljoko dalam hati.

Muljoko kembali tertarik dengan kisah melda. Namun, tiba-tiba ia teringat oleh hendra. Mengapa perasaan nya menjadi tak nyaman?

"Jadi, kapan rencana mu mau meniduri istrimu?" Tanya muljoko geli.

"Kau bantu aku ya?"

"Astaga! Kau gila!" Kata muljoko.

"Maksudku, bantu aku buat dia tak sadarkan diri. Aku mau perjanjian ini tak ada yang meneruskan."

"Kau bilang, 7 benda. Apa saja itu?" Tanya muljoko.

"Kedua cincin itu. Salah satu tulang dari tubuh gerry. Sebuah pisau. Jasad gerald dan liene dan satu lagi laki-laki keturunan terakhir keluarga gerald!"

Muljoko bingung. Baginya ini hampir mustahil mengingat keturunan terakhir gerald adalah melda.

"Tidak mungkin. Ini akan sulit. Sebab, keturunan terakhir gerald adalah melda. Tidak ada anak laki-laki." Bantah muljoko.

"Ada! Dia punya anak laki-laki yang di buang beberapa puluh tahun silam! Dari seorang gundik lain sebelum godwyn bermain dengan ibu melda!"







sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 10 lainnya memberi reputasi
11