LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#96
BAB 22 GERALD DAN LIENE
Muljoko nekat kembali menuju hotel dan meninggalkan Hendra yang terlelap di rumahnya. Tak lupa muljoko membawa kedua benda bukti di saku nya. Sebelum meninggalkan Hendra, muljoko memiliki firasat yang tidak baik. Maka dari itu, ia mengunci semua akses masuk di rumah Hendra dari luar. Sejatinya, ia bukan khawatir terhadap rekannya, tetapi lebih khawatir terhadap isi brankas yang berada di rumah milik hendra.

Muljoko mengemudi dengan kecepatan penuh, tanpa menghiraukan rasa kantuk yang mendera, ia terus melaju menentang malam yang kian larut. Pikirannya tak bisa diam pada satu titik. Selain memikirkan kelompok yang disebut nya sebagai kelompok hitam, ia juga memikirkan apa rahasia di balik semua tragedi di balik hotel tua itu.

Terlebih, rahasia di balik siapa rumaida yang sejak awal sudah menggrogoti otaknya, ia terus berusaha mencari celah dimana ada informasi yang harus ia dapatkan.

"Melda, kedua pria, cincin, sosok berpakaian serba hitam, dan rumaida. Apa ini sebenarnya, hubungan mereka ini apa!"

"Aku tak yakin mereka saling berkolaborasi, tapi mengingat ucapan Hendra, kedua pria itu ada yang memerintah dan berharap tugas mereka di dalam hotel adalah sebuah misi rahasia. Belum lagi, di gadang-gadang mereka tahu tentang keberadaan aleda. Kalau benar jika kedua pria itu mencari sesuatu di dalam sana, apa bedanya mereka dengan melda? Apakah mereka satu kelompok? Secara mereka juga berpakaian serba hitam! Apakah mereka juga saling kenal? Tapi sejauh ini, aku tak pernah mendengar jika melda terpergok bersama kedua pria itu. Di lihat dari data penelusuran selama ini, mereka bekerja secara masing-masing! Dan sosok yang ku timpuk pakai batu, aku rasa dia memiliki peran sendiri."

Muljoko terkekeh.

"Seorang pria yang sedang telponan dekat mobil ford merah, dia membicarakan tentang pisau. Apa pisau ini yang dia cari? Jika benar, aku tak usah repot-repot mencari siapa sejatinya mereka. Aku yakin, mereka akan datang dengan sendirinya. Bagai semut yang mendatangi gula! Lagi pula, aku sudah hapal wajah pria itu dalam kondisi yang jelas, walau hanya seorang saja."

"Tugasku, mencari melda. Untuk mengetahui perihal cincin itu. Liam berkata, suami istri dalam foto menggunakan cincin yang sama. Rumaida berdusta jika cincin itu telah lenyap dalam peristiwa kebakaran sedangkan satunya ada pada melda."

Muljoko menggosok dagu dengan punggung tangannya. Ia merasa sedikit senang, karena benang-benang merah akan segera terjalin menjadi suatu pola.

"Bisa jadi, cincin satunya berada di tangan yang sama atau berada di lain tempat! Yang terpenting, aku harus cari keberadaan melda. Lagi pula aku yakin tak jauh dari situ lokasi tinggalnya."

Muljoko melayangkan kembali isi pikirannya. Ia tiba-tiba teringat saat menimpuk kepala seorang pria seusianya hingga benjol. Ya! Tirto. Ia lupa hendak mengunjungi tirto yang muncul dari balik pintu bawah tanah. Ia merogoh nota kecil di saku dalam jaket hitamnya.

"Aku juga baru sadar, ternyata aku pakai baju serba hitam juga. Haha. Ini konyol."

Muljoko menghafal alamat yang diberikan tirto dan juga sebuah garis yang di bentuk menyerupai jalan dan beberapa tikungan.

"Patokannya, gapura yang terbuat dari bambu. 5 kilometer dari jalan besar. Masuk melewati makam sepanjang 2 kilometer lalu lewat hutan jati. Apa lebih baik aku ke sana dulu? Sekalian aku lihat, apakah kepala nya masih benjol atau tidak! Lagi pula, ku rasa ini lebih dari 5 kilometer. Panjang hutan jati saja sudah hampir 20 kilometer sendiri. Dasar tua bangka seenaknya mengukur jalan."

Muljoko mengarahkan kemudi menuju titik lokasi. Butuh waktu sekitar satu jam untuk menemukan jalan kecil yang di maksud. "Rumit sekali jalanan di sini. Mungkin jika siang hari, akan lebih mudah untukku menemukan titik lokasi rumah si tirto."

Mobil melaju pelan dan berhenti di pekarangan rumah yang banyak ditanami tumbuhan herbal. Lampu beranda rumah tampak masih menyala, dari balik kaca rumah lampu kuning temaram menyinari sebuah ruang kecil tanpa perabotan.

"Kenal sudah bertahun-tahun, tapi baru kali ini aku mendatangi kediaman tirto. Rumah ini asri dan sederhana. Kelebihan tinggal di desa memang takkan di dapat saat di kota."

Muljoko turun dan berjalan menghampiri pintu rumah. Ia mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak lama, ketukan muljoko di sahut dengan sapaan dari seorang wanita paruh baya yang sudah memiliki keriput di pinggir matanya. Wanita itu terbelalak menatap muljoko. Hendak menutup pintu kembali, namun ditahan oleh tirto dari belakang.

"Kau kenapa, bu?" Sejenak tirto mengamati muljoko yang berdiri dengan cengir kudanya. "Ah! Kau. Akhirnya datang juga. Kemari kau, masuk saja. Anggap persinggahan sendiri!"

"Bu, ini muljoko kawan lama ku dulu. Kau jangan ketakutan begitu. Dia memang berwajah galak. Tapi tidak berbahaya!" Kata tirto.

"Oh. Kawan lama mu, pak? Maaf, aku tidak tahu. Mari masuk dan duduk. Maaf di rumah kami tidak ada sofa. Kami biasa lesehan." Kata istri tirto sambil melangkah masuk dengan langkah berat.

"Tidak apa-apa. Oh, kau istri dari kawanku rupanya?" Kata muljoko sambil terus tertawa kecil. Tentu hal itu memancing perhatian tirto.

"Ya, aku dan rema baru menikah dua tahun lalu, dia seorang perawan tua. Hmm, heh! Kau kenapa rupanya tertawa terus-terusan?"

"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya lucu melihat ekspresi istrimu yang ketakutan saat melihat ku tadi. Hehehe. Oh ya, bagaimana benjolmu? Sudah sembuh?"

"Sudah lumayan, tapi masih memar. Kau memang sialan! Tidak bisa memperlakukan orang sedikit lebih lembut." Protes tirto.

"Ini sudah paling lembut, di banding 10 peluru yang biasa aku lepaskan saat melihat bandit di jalan!" Muljoko terkekeh. "Sudahlah tirto, aku tak mau basa-basi, tentu aku ada urusan di sini. Aku mau tanya, apa kau kenal dengan seorang gadis bernama melda?"

Tirto dan rema saling tatap. Melihat reaksi keduanya, muljoko merasa mantap dengan kedatangannya di rumah kecil milik tirto. Sangat tepat dan akurat.

"Ayo jawab!" Paksa muljoko.

Tirto mengedipkan sebelah mata kirinya kepada muljoko dan memalingkan bola matanya ke arah rema. Ia mengajak muljoko untuk mengobrol di luar. Tirto ingin hanya mereka berdua saja yang terlibat.

"Oh- astaga, aku sampai lupa. Aku minta maaf, tempo hari yang melempar mobil mu dengan batu adalah melda keponakanku, aku minta maaf sekali lagi, ya?" Ujar tirto berusaha berbasa-basi mengalihkan perhatian rema soal pertanyaan muljoko tentang melda.

Tirto beberapa kali berkedip melihat muljoko, berharap jawaban yang setara yang ia dapat.

Muljoko paham apa yang di maksud oleh kawannya, dengan luwes ia menjawab kalimat basa-basi tirto dengan gamblang.

"Ah. Benar kan namanya melda, baru saja aku hendak melabrak. Tapi melihat paman nya serendah hati ini, aku jadi tak tega. Baik lah, lupakan masalah itu. Mobilku juga sudah tidak lecet lagi."

"Dia keponakan dari istriku."

Muljoko mengangguk. Lalu pergi begitu saja ke teras rumah. Di susul oleh tirto.

"Tanpa aku jelaskan, sepertinya kau sudah paham dengan kasus apa yang sedang aku jalani." Muljoko bicara dengan nada pelan. Ia benar-benar tak ingin rema mendengar nya sedikit pun.

"Aku tidak sepenuhnya tahu. Soal melda juga aku tak begitu mengenal kepribadiannya. Dia dan ibunya dua sejoli yang sangat tertutup. Dan jika kau berbicara soal hotel, aku tak mau lagi berurusan setelah tugas ku selesai."

"Kalau begitu, jelas kau tahu dimana dia tinggal, kan?"

"Aku tahu."

"Urusan mu di bangunan itu apa? Aku ingin kita terbuka saja, sebagai kawan lama yang pernah menuntaskan sebuah kasus besar di ibu kota. Walau kau bukan anggota resmi aku jelas menghargai kemampuanmu yang membantuku saat itu."

"Baik, kalau itu keinginanmu. Kisah ini berawal dari-"

"Leluhur?" Potong muljoko.

"Kau tahu?"

"Jelas. Karena hotel ini berdiri sudah sangat lama, tidak mungkin juga jika kau yang mengalaminya langsung."

"Benar. Tapi yang aku maksud bukan leluhurku, walau sebenarnya mereka sempat terhubung dengan keluarga gerald sebagai pelayan di sana. Yang ingin aku bahas lebih tepatnya adalah sahabat ku, dia bernama godwyn."

"Godwyn?"

"Aku harap kau mendengar kisah ini sesaat tanpa bertanya dan memotong ucapan ku?"

"Baik. Lanjutkan."

"Mendiang godwyn. Aku biasa menyapanya 'win'. Dia adalah sahabatku walau usia kami terpaut jauh. Dia sudah meninggal lama dalam sebuah insiden kecelakaan, aku menyebutnya begitu walau aku memiliki perasaan buruk terhadap istrinya. Sebelum aku bercerita lebih jauh mengenai win, aku ingin menjelaskan sedikit tentang hotel itu."

Tirto membasuh pelipisnya yang penuh dengan peluh. Tangannya gemetar setiap mengingat bagaimana sahabatnya pergi meninggalkan nya dulu.

"Hotel itu di bangun bukan untuk tujuan penginapan. Gerald dan liene, mereka dua sejoli yang terlibat kisah asmara terlarang. Mereka masih satu darah dan hidup dalam lingkup keluarga yang keras. Pada satu ketika, nasib buruk menimpa mereka, hubungan mereka di ketahui keluarga besar nya. Akibatnya, mereka di kurung satu sama lain di sebuah ruang bawah tanah milik keluarga ayah gerald. Liene di pasung, sedang gerald berada dalam kurungan seperti penjara. Tapi, gerald dan liene memang sudah pernah memperkirakan musibah ini sebelumnya, entah dengan cara apa mereka memiliki kunci cadangan untuk melepaskan diri satu sama lain."

Tirto menatap nanar ke arah pintu rumahnya. Ia merasa jika rema juga mendengarkan kisah tentang sebuah keluarga penganut ajaran hitam yang ia curahkan kepada muljoko.

"Gerald dan liene pergi. Mereka tidak jera. Mereka malah semakin di mabuk asmara. Hingga saat itu tiba, liene hamil anak dari gerald. Keduanya tentu bahagia. Mereka hidup terpisah dan resmi melepaskan diri dari keluarga hoxward. Lalu, saat liene memasuki masa persalinan, di bantu seorang paraji yang di panggil entah dari mana. Anak gerald ternyata memiliki kelainan genetik. Ia terlahir cacat dengan kaki pendek sebelah. Nama anak itu gerry. Gerry adalah ayah dari sahabatku, godwyn. Di sini permasalahan dimulai."

Tirto menghembuskan nafas panjang-panjang. Ia sedih mengingat bagaimana kelamnya keluarga win. Tetapi, ada sebuah amanat yang harus ia jalankan agar semua perkara tuntas.

"Gerald dan liene, tidak ingin anaknya cacat. Lalu oleh si paraji, mereka disarankan untuk mendatangi sebuah tempat wingit dan memohon kepada makhluk yang bersemayam di sana. Singkat cerita, mereka menjalin kesepakatan. Wujud gerry akan sempurna selamanya jika mereka mampu menyerahkan 40 tumbal setiap purnama menjelang. Dan keinginan setan itu di sanggupi oleh mereka. Sejak itu, Gerald menjadi pembunuh, dan kau tahu siapa yang dia bunuh? Seluruh anggota keluarga yang menentang kisah cintanya dengan liene! 40 tubuh itu dia angkut menggunakan gerobak, lalu ia letakkan di sarang setan itu. Setelah 40 hari, mayat-mayat itu ia ambil kembali dan di kubur di bawah tanah rumah hoxward."

Muljoko sedikit bergidik mendengar penuturan tirto. Namun, ia tertarik dan terus mengulik sejarah keluarga sahabat tirto---tuan win.

"Sesuai janji, anak nya yang bernama gerry tumbuh layaknya manusia normal. Namun ada sesuatu yang berbeda, anak itu sangat tempramental. Segala keinginannya harus terwujud dengan cepat. Menyikapinya, Gerald dan liene mengancam akan mengembalikan tubuh gerry yang cacat jika terus merengek dan marah tanpa sebab. Sejak itu gerry menjadi pribadi yang lebih diam walau tingkahnya tak seperti anak pada umumnya. Kau tahu maksudku? Dia senang memakan daging manusia!"

Muljoko mulai mual membayangkan bocah kecil melahap daging manusia dengan nikmatnya. Tetapi, rasa mual itu dia tahan. Selain menjadi pendengar yang setia, berulang kali muljoko menangkap sebuah objek pada kaki istri tirto---rema yang tertangkap bolak-balik ruang tengah dan dapur.

"Gerry mengetahui kebiasaan jahanam orang tua nya untuk menyerahkan tumbal kepada setan itu. Hingga pasca 40 hari mayat-mayat itu akan di bawa pulang dan di jadikan lauk oleh mereka. Lambat laun gerald mulai kesulitan mencari tumbal setelah warga desa kecil di tepi hutan habis. Habis karena di buru, di jebak, dan kabur melarikan diri. Keluarga---leluhurku salah satunya yang melarikan diri setelah tahu kebiasaan biadab keluarga itu. Maka dari itu, dibangun lah hotel di tengah hutan itu secara cuma-cuma agar bisa menarik mangsa dari pelancong hingga para abdi yang sedang menjalankan tugas jarak jauh. Sebenarnya, dulu tidak disebut hotel. Mereka menyebutnya rumah singgah yang dikhususkan bagi para penikmat jalan. Licik memang. Saat mereka masuk dan menatap matahari pagi, mungkin itu saat terakhir mereka melihat alam sebelum ajal menjelang direnggut oleh kebiadaban dibalik kata cinta."

Muljoko masih terus memahami dan mendalami penuturan dari tirto. Kisah ini baginya menarik dan juga rumit.

"Makin hari jiwa setan mereka semakin menggelora. Setan yang membantu mereka selama ini ia anggap sebagai Tuhan. Bagaimana tidak, selain anak yang istimewa, harta mereka mengalir begitu deras. Dan terciptalah sebuah ajaran yang di pimpin oleh gerald. Jumlah pengunjung hotel meningkat, dari situ jumlah tumbal juga terus meningkat. Setiap purnama mereka berpesta. Menyajikan satu gentong darah dan kepala sapi sebagai lambang syukur, lalu mereka menenggak minuman darah itu ramai-ramai. Karena pemujaannya, gerald dan liene di hadiahkan sebuah cincin berlian hitam yang berguna sebagai syarat saat hendak memulai ritual oleh setan itu. Bukan tanpa alasan, tapi cincin itu di gunakan untuk membunuh mangsa dalam sekali gores!"

Muljoko seketika terenyah. Ia teringat melda. Gadis bau mayat yang mengenakan cincin itu pada jemarinya.

"Maaf, ku potong sebentar ceritamu. Cincin itu masih ada?" Tanya muljoko sambil berbisik, ia pura-pura tidak tahu. Tirto mengangguk. Muljoko mengedipkan mata sebagai kode agar tirto mau berbisik balik jika hendak memberi jawaban.

"Kabarnya masih, tetapi satunya hilang." Jawab tirto.

Muljoko melirik rema yang terus menerus mencuri pandang kepadanya.

"Tirto, aku mau kau jaga rahasia ini. Aku tahu dimana cincin itu berada."

Tirto membelalak.

"Tirto, jangan beritahu siapa-siapa soal ini, termasuk istrimu. Apa bahaya cincin itu jika dipakai oleh orang lain?"

"Tidak ada. Tidak berefek apapun. Tapi, jika di gunakan oleh keturunan asli hoxward dan yang satu lagi ditemukan dan sama-sama di gunakan oleh keturunan asli juga, maka petaka akan datang. Si pemakai dianggap sudah menyerahkan jiwanya kepada iblis! Sama seperti nasib liene dan gerald. Karena ini perjanjian turun-temurun." Tirto termenung "kau menaruh rasa curiga pada istriku?"
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 6 lainnya memberi reputasi
7