LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#89
BAB 20 BABAK BARU
"Terima kasih sudah antar aku sampai rumah. Oh ya, apa kalian besok akan kembali ke hotel?" Tanya liam.

"Iya. Kau jangan khawatir soal sepeda motormu. Aman-aman saja lah. Ku jamin." Jawab Hendra.

"Bukan begitu, kalau kalian mau kembali lagi ke sana besok, aku berharap bisa ikut? Apa boleh?"

"Nanti kami hubungi lagi, pak." Jawab Hendra dengan senyum tipis.

"Oh ya, jika motor ku di perlukan, ini kontaknya. Kalian bawa saja dulu, sementara aku akan gunakan mobil." Kata liam sembari menyerahkan kontak motor miliknya.

Hendra menyambut pemberian itu dengan hangat, sedangkan muljoko diam seribu bahasa. Sebelum berpisah, muljoko menekankan satu pertanyaan lagi kepada liam demi memantapkan diri melangkah lebih jauh ke dalam kasus yang belum sempurna kepingannya.

"Aku tanya padamu, liam. Langkah apa yang mau kau ambil setelah ini? Aku harap kau mau memberi jawaban yang pasti sesudah ini. Karena langkahku harus menyesuaikan dengan keputusanmu sebagai pelapor masalah. Dan aku ingin kita bekerja dengan cepat. Perasaanku menjadi tidak enak." Tanya muljoko.

Liam tampak tertegun. Pertanyaan muljoko dan rumaida saling beriringan mendesaknya melangkah memasuki babak baru. Sebenarnya hati liam ragu untuk memutuskan. Tapi mengingat banyak sekali pihak yang terlibat ia tak mau ambil risiko lebih jauh dengan membiarkan sisi lain semakin merasuk ke ranah hotel miliknya.

"Aku-" Kata liam terbata. "Aku memutuskan akan segera meresmikan hotel ini. Dan, aku akan segera panggil beberapa ahli bangunan untuk memperbaiki masalah kerusakan dan merestorasi hotel itu menjadi terlihat sedikit modern tanpa merusak sejarah yang sudah ada."

"Baik. Keputusan yang tepat. Aku harap semua berjalan lancar. Kami pergi dulu."

Obrolan mereka terhenti, dan mereka berpisah malam itu juga. Muljoko dan Hendra pergi menuju kediaman Hendra. Mereka berdua terdiam dalam bisingnya angin malam. Muljoko masih sama seperti tadi, berpikir sambil menyetir. Ia sedang menyusun kepingan puzzle dalam otaknya.

"Aku pikir liam akan membiarkan hotel itu kosong sampai istrinya di temukan." Kata Hendra.

"Aku tadinya berpikir begitu, ada dua hal yang patut di jadikan pertanyaan. Pertama, atas dasar apa dia bergerak begitu cepat? Apakah pengaruh ucapan rumaida, atau bahkan takut kalah saing? Dan yang kedua, liam sepertinya mau kita fokus terhadap aleda tanpa mengusik isi hotel itu. Dengan di resmikan nya bangunan itu, jangkauan kita untuk masuk akan jauh lebih sedikit. Tapi, jika pendapat ku yang kedua adalah penyebabnya, liam cukup bodoh melakukan hal itu."

"Kau bisa bilang begitu? Kenapa?" Tanya Hendra

"Ndra, jika saja rumaida yang berhasil merajai liam sehingga mau bergerak cepat, ada satu keuntungan yang menanti rumaida."

"Kau mengapa berpikir begitu dalam terhadap rumaida?"

"Dia memang pantas di kulik kehidupannya. Yang pertama ia berbohong masalah cincin, ini mengusik rasa penasaran ku. Dan yang kedua, dua pria yang mengendarai mobil ford merah itu, mengapa bisa tinggal satu rumah dengannya, ada hubungan apa mereka? Yang ketiga, hubungan nya dengan melda dan juga penyebab hotel itu dijual kepada liam. Dan bahkan aku sampai lupa menanyakan hal ini pada liam, apakah di dalam rumah rumahida terlihat dua pria yang kita pergoki mencari benda yang entah wujudnya apa!"

"Kenapa kau tak menaruh rasa curiga pada melda?"

"Aku tidak curiga ia memiliki niat jahat. Aku rasa melda tahu seluk beluk hotel itu. Dengan mengetahui kerjaannya memukul dinding, dia memang mencari sesuatu juga, sama seperti kedua pria berpakaian serba hitam." Ujar muljoko.

"Kau selalu berkata jika melda bau mayat. Lelucon mu konyol juga."

"Aku tidak melucu. Eh. Aku berulang kali keluar masuk ruang forensik jika sedang menghadapi kasus pembunuhan. Dan bau ini jelas tidak asing di indra penciumanku."

"Lalu, kau curiga jika melda hidup bersama mayat?"

"Kenapa tidak? Kau hidup bersama bangkai, pasti tubuhmu akan tertular aromanya!" Muljoko menginjak gas lebih dalam. "Kita buktikan ucapan ku. Mudahnya begini, orang hidup dengan kambing pasti tubuhnya bau kambing. Begitu saja kau tidak paham!"

"Lalu kalau benar ada yang di cari oleh melda, bagaimana nasib nya setelah hotel itu diresmikan?" Hendra menggaruk kepalanya.

"Pasti ketar-ketir."

"Oh ya, untuk plat ford yang kau catat, apa sudah di temukan siapa nama pemiliknya?"

"Feti belum menjawab pesanku. Paling besok dia akan beri kabar untukku."

***

Melda duduk bersimpuh di depan tumpukan peti. Mata nya nyalang menatap langit-langit ruangan yang kelam. Konsentrasinya tertuju pada sebuah objek yang tergantung di sana. Pada benda berbungkus kain putih kumal.

"Jimat itu, yang suatu saat akan aku gunakan jika ibu sudah tidak lagi sanggup karena ibu sudah semakin tua."

Melda bersandar pada tubuh peti. Ia melirik beberapa jenazah yang tertempel di dinding dengan busana terakhir yang mereka pakai. Mata mereka terpejam. Namun raut wajahnya menampakkan seribu penderitaan yang entah kapan akan terhapus sakitnya.

"Mereka jenazah paling baru di banding jenazah dalam peti. Buyut ku dulu sangat menentang ajaran yang tuan gerald lakukan, sehingga dengan nekat membawa---bahkan lebih tepatnya mencuri jasad para korban ini untuk di rawat. Sehingga kegiatan ini turun ke ibuku. Aku sebenarnya sangsi dengan apa yang dilakukan, jenazah bisa melakukan apa?"

"Jenazah berusia satu abad lebih. Wujudnya sudah tak karuan. Kasihan mereka, jatah bisa hidup enak malah mati jadi tumbal!"

Melda bangun, ia berjalan menuju sebuah jenazah seorang pria yang mengenakan rompi dan topi mangkuk. Ia menatap wajah yang sudah tidak lagi sempurna. Ia meringis, ia tahu betapa sakitnya kematian yang di alami mayat tersebut.

"Tapi aku beruntung. Aku bisa selamat dari kejaran wanita setan itu yang hampir saja membunuhku kemarin. Kalau tidak, aku akan jadi bagian dari tumbal yang mengabdi pada iblis."

Melda berjalan lagi semakin dalam, menuju tumpukan peti yang di dalamnya berisi wanita-wanita berambut pirang dengan busana pesta yang megah, serta perhiasan yang terpasang di tubuh.

"Lebih kasihan lagi kalian, wanita yang gemar berpesta, tanpa sadar tugas malaikat maut direnggut oleh setan yang seenak nya menyeret jiwa kalian untuk pindah ke alam lain dan mengabdi pada iblis sesembahan si laknat itu!"

"Aku kadang bingung. Di satu sisi kalau mayat-mayat nelangsa ini berada di sini semua. Apakah wanita itu tidak mencarinya, ya? Bahkan aku berani jamin, sisa-sisa mayat ini pun tidak ada di dalam hotel. Sebenarnya, wanita itu tahu tidak ya jika korbannya berada di sini semua. Apa jangan-jangan dia tahu tapi tidak peduli?"

Melda terus berjalan memutari barisan mayat. Bau usang sudah tak lagi ia pedulikan. Ia melangkah menuju jasad seorang pria tua. Dahi pria itu lebar, dengan rambut putih yang menghiasi pinggiran kepalanya. Serta hidung mancung dan kumis putih yang menutupi bibir tipisnya. Melda tersenyum dengan mata nanar berlinang air mata.

"Kakek. Kelak kau akan hidup lebih tenang, setelah kutukan ini berakhir. Tuan gerald masih menyimpan kutukan itu, bahkan kini diteruskan oleh cucu-mantunya. Aku masih mencari 7 kunci dan 7 pintu untuk mencabut Kutukan itu. Kutukan kematian bagi siapa pun yang berani mengelola dan singgah di hotel setan itu."
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup