LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#84
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
"Bagaimana, kau sudah mendapat informasi apa?" Tanya muljoko kepada liam.

"Aku belum banyak tahu karena melihat rumaida menjadi sedih aku jadi tak tega."

"Sedih? Alasan dia bersedih?" Tanya hendra.

"Dia mengatakan, jika 15 tahun yang lalu suaminya mati terbakar dirumahnya."

"Mati terbakar?" Tanya muljoko.

"Iya saat itu rumahnya mengalami kebakaran dan menewaskan suaminya."

"Lalu ada hal lain?" Tanya hendra.

"Beberapa bingkai yang berisi foto kakek-nenek nya, orang tua, dan foto rumaida dengan mendiang suami."

"Apa ada hal yang menarik di sana?" Tanya muljoko. "Maksudku foto itu."

"Mereka mengenakan busana yang sama. Dan beberapa perhiasan yang juga sama."

Muljoko mengemudi melintasi malam. Matanya terfokus pada jalan bukit yang curam dan juga gelap. Cahaya dari lampu mobil beberapa kali menangkap aktifitas binatang malam yang sedang mencari makan. Muljoko tentu tidak hanya bungkam, melainkan pikirannya terus berputar mencerna informasi yang liam berikan.

"Mengapa hingga saat ini aku masih belum mengingat kumpulan orang yang berpakaian serba hitam itu. Sebelumnya, aku tidak pernah lupa hingga berlarut seperti ini. Tapi mengingat atas tugasku sekarang, yaitu mencari tahu wanita berpakaian serba hitam yang ku timpuk pakai kerikil, serta siapa itu melda rasa-rasanya semakin membuatku semangat." Kata muljoko dalam hati.

"Aku mau tahu, perhiasan seperti apa sih yang di gunakan?" Tanya hendra.

"Tumben pertanyaan mu bagus." Komentar muljoko.

"Aku tahu, kau hanya kalah cepat dariku." Jawab hendra bangga.

"Aku juga tahu, jika aku harus memberi kesempatan untukmu menjadi sedikit lebih kritis." Jawab muljoko sengit..

Hendra melengos. Ia membuang tatapan keluar kaca mobil. Tapi walau begitu, ia tak melupakan pertanyaan nya tadi. Ia masih berharap liam dapat menjawab dengan pernyataan yang membuat muljoko tertarik sehingga ia bisa terlihat unggul dengan pertanyaan yang ia berikan.

"Perhiasan seperti pada umumnya. Kalung, cincin, gelang." Jawab liam sekenanya.

"Hahhh. Memang pertanyaan yang seharusnya tidak kau ucapkan." Ujar muljoko sambil menekan dahinya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya sibuk bermain kemudi.

"Tapi ada yang unik dan membuatku tertarik." Sambung liam.

Ada pancaran asa dari wajah hendra. Ia berharap jawaban kali ini tak membuat muljoko meremehkan pertanyaan nya.

"Menarik? Apa itu?" Tanya muljoko.

"Terbuat dari batu hitam yang berkilauan, dan juga rantai emas yang menyilaukan mata."

"Kau jangan hiperbola, kawan." Komentar hendra. "Tapi, setidaknya jawaban mu membuat macan di sebelahku tertarik."

"Aku serius, baru kali itu aku melihat perhiasan yang begitu menyilaukan. Walau itu hanya dalam foto."

"Pak, kau-"

"Sssttt! Sudah. Aku tak mau menyimpan perdebatan kalian. Tapi, setidaknya liam mendapat informasi yang tepat pada sasaran," jawab muljoko.

"Tepat sasaran? Bagaimana-bagaimana?" Tanya hendra yang antusias.

"Aku belum tahu hubungannya apa, dan apakah memang benar ada hubungannya." Kata muljoko yang terus fokus menatap jalan.

"Jawaban mu sangat tidak nyambung." Ujar hendra sedikit kecewa lalu kembali bersandar pada kursinya.

"Dengar dulu! Liam, apa cincin yang kau maksud batu berlian hitam dengan ukiran di ring nya?"

Liam mengangguk.

"I-iya! Dari mana kau tahu?"

"Ya maka dari itu. Aku berkata, entah hubungannya apa, dan apakah memang ada hubungannya. Jika cincin itu kau temukan dalam gambar keluarga rumaida, aku juga menemukan cincin itu pada jemari seorang gadis yang tubuhnya bau mayat."

"Cincin di jarinya? Maksudmu, melda? Tanya liam.

"Ya." Kata muljoko "Kenapa?"

"Rumaida bilang cincin itu sudah hilang berbarengan dengan-"

"Berbarengan dengan rumah yang terbakar?" Muljoko tersenyum kecut. "15 tahun yang lalu! Apakah mungkin seorang melda mengambil cincin yang jelas takkan habis terbakar---walau pada kenyataannya cincin itu masih berbentuk sempurna di puing-puing rumah rumaida? Untuk apa? Jelas wanita tua itu berbohong! Cincin itu memang hilang dari pandangannya. Tapi, tidak dengan wujudnya! Lagi pula, aku perkirakan usia melda baru saja menginjak kepala dua. Dia itu masih gadis! Anggap usia nya masih 20 tahun lalu di kurang 15 tahun, total usia nya saat itu 5 tahun, masa mau mengambil cincin di puing-puing rumah yang terbakar? Kau jangan menduga hal yang konyol ya!"

"Aku tidak menduga begitu, aku hanya-"

"Ujung-ujungnya pasti begitu kalau tidak di sadarkan lebih dulu." Kata muljoko kepada liam.

"Bau mayat. Jika berbicara mayat apakah yang kau maksud adalah melda?"

"Ya!" Kata muljoko semakin geram. "Kau ini, dari tadi juga yang di bahas adalah melda. Kau mimpi rupanya, hah!??"

"E-eh, bukan. Bukan begitu. Aku hanya merasa memang masih ada hubungannya dengan cerita barusan. Liam yang mengatakan jika melda saat itu menyatakan jika dirinya masih keturunan asli dari pemilik hotel ini." Jawab hendra.

"Oke, aku paham, tapi yang membuat aku lebih tertarik, mengapa hotel itu di jual kepada mu, liam. Sedangkan keturunan asli nya masih ada? Sejarah hotel ini kan turun-temurun?"

"Dia-" ucapan hendra terputus.

"Apa? Karena rumaida tidak punya keturunan? Lalu, siapa melda? Ini yang harus kita cari tahu!" Kata muljoko.

Liam sedikit gelisah, ia merasa masalah ini merambat sampai kemana-mana, hal yang tentu ia khawatirkan adalah para penyidik ini lupa akan tugas nya mencari keberadaan aleda.

"Kalian akan tetap menemukan aleda, kan?" Tanya liam dengan nada ragu.

"Tentu. Itu memang tujuan utama. Tapi entah di urutan ke berapa akan terungkap! Karena aku bekerja tidak hanya pada satu titik. Aku pasti tarik masalah ini sampai ke akar-akarnya!" Jawab muljoko tegas.

"Apa mungkin hilangnya aleda ada sangkut pautnya dengan masalah internal pemilik hotel sebelumnya?" Tanya liam yang kini mulai khawatir.

"Ya tentu!" Jawab hendra lantang "Saat itu, aku dengar dari dua orang yang-"

"BRUG! AAARGGGG!!!" hendra mengeluh setelah wajahnya di bogem oleh tangan muljoko. "Kau ini kenapa? Hah!??"

"Kau mengagetkanku!" Jawab muljoko mendelik menatap hendra. Ia menghentikan mobil lalu menarik kerah hendra kemudian berbicara di dekat telinganya.

"Sudah ku bilang, kau jangan dulu ungkap masalah dua pria itu kepada liam. Apalagi terkait aleda. Aku mau liam tidak merecoki dengan rasa khawatirnya yang berujung menuntut kita menemukan istrinya dengan cepat! Aku mau semua rahasia ini terbuka, bukan hanya aleda saja yang kita temukan tanpa mengetahui isi dari misteri yang belum terungkap!"

Hendra membeliak, ia tersadar akan kesalahannya yang membuat muljoko marah. Ia menunduk sambil melepas cengkraman tangan muljoko pada kerah bajunya. Sementara liam berusaha melerai keduanya.

"Sudah! Sudah! Setelah ini lebih baik kita pulang dan istirahat. Aku tahu kalian lelah. Tapi aku mohon, kalian jangan berdebat hingga menimbulkan keributan begini." Ujar liam.

"Aku yang salah. Aku mengagetkan muljoko, sedangkan aku tahu dia ada riwayat penyakit jantung!"

"Penyakit jantung? Kapan aku bilang begitu? Kau jangan mengada-ngada!" Ujar muljoko. Ia menginjak gas dengan pelan. Ia berusaha mengatur perasaannya agar sedikit lebih tenang.

"Aku tidak mengada-ngada! Hm, mantan pacarmu yang bilang begitu." Kata hendra santai.

"Mantan pacar? Sejak kapan aku punya mantan pacar?"


Diubah oleh LiongMelfin 19-04-2021 15:55
bikersoldschool
itkgid
namakuve
namakuve dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup