LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#66
BAB 16 MELDA
Mamaaa,
Just killed a man,
Put a gun against his head, pulled my trigger,
Now he's dead...

Dalam perjalanan menuju kediaman rumaida, mereka bertiga terdiam menikmati suasana sejuk dan lantunan lagu dari band slow-rock ternama. Liam berada di kursi belakang, sedangkan hendra berada di samping muljoko yang sibuk mengemudi.

Mamaaa, life had just begun,
But now I've gone and thrown it all away


Liam meninggalkan motornya di beranda hotel dan memilih bergabung bersama kedua penyidik yang akan membantunya menemukan keberadaan aleda. Liam masih terbayang sosok istrinya, tak di sangkal kesedihan itu masih mendalam dan ia masih berharap bisa mengukir kisah lebih lama bersama aleda jika ia di temukan nanti.

Mama, oooh,
Didn't mean to make you cry,
If I'm not back again this time tomorrow,
Carry on, carry on as if nothing really matters


Liam menatap lurus ke depan. Ia sebisa mungkin menahan tangisnya. Jantungnya berdegup tak karuan kala mengingat istri tercinta. Liam di selimuti rasa bersalah dan juga perasaan duka. Tapi hilangnya aleda sangat meninggalkan banyak pertanyaan, ada sebuah misteri yang liam tak tahu kemana realitanya.

Too late, my time has come,
Sends shivers down my spine, body's aching all the time
Goodbye, everybody, I've got to go,
Gotta leave you all behind and face the truth


"Aku sudah berjumpa dengan rudi tadi." Ujar muljoko sambil mematikan musik.

"Dia sudah di temukan?" Tanya hendra.

"Sudah, dia terjebak di lemari bersama betina."

"Memangnya ada yang hilang?" Tanya liam gemetar.

"Ada. Anggota kami yang bernama rudi. Tapi dia sudah berhasil di temukan." Ujar muljoko.

"Tadi, anda bilang terjebak di lemari? Maksud anda bagaimana?"

"Di hotel anda, ada sebuah lemari rahasia yang menghubungkan lantai dasar dengan ruang bawah tanah."

"Rudi terjebak di lemari lantai dasar?" Tanya hendra.

"Ya, kenapa? Apa itu lemari yang sama, yang kau ceritakan kemarin?" Tanya muljoko.

"Bukan, lemari yang kami maksud lemari lantai atas. Bukan lantai bawah." Jawab liam.

Muljoko terdiam. Dia mencoba menyerap informasi yang di dapat. Sedikit informasi yang dikumpulkan lama-lama akan menjadi sebuah buku di otaknya.

"Rudi tadi, kau bilang keluar bersama wanita?"

"Ya. Dan dia bernama melda!" Jawab muljoko.

"Melda?!" Jawab liam terkejut.

"Kau kenal, rupanya?" Tanya muljoko.

"Dia yang ku ceritakan kepada hendra, saat aku memergokinya berlari menuruni tangga, beberapa saat sebelum istriku hilang." Jawab liam.

"Ya, selain itu dia juga sempat kami intai keberadaannya di lantai atas, sedang memukul dinding." Sambung hendra. "Sebenarnya dia mau apa, ya."

"Memukul dinding ya?" Tanya muljoko. "Hmm, bahkan aku sempat lupa untuk menghubungi niko perihal hasil laporan semalam. Aku telpon dia dulu."

Muljoko mengeluarkan ponsel, lalu mulai menghubungi niko. Nada dering tersambung terdengar. Muljoko mulai mengenakan earphone nya agar suara nya tak terlalu bising. Beberapa detik kemudian mereka saling terhubung satu sama lain.

"Aku mau tahu hasil laporan semalam. Bagaimana?" Tanya muljoko.

"Ya? Gagal? Baik. Tapi setidaknya ada sesuatu yang kau dapatkan." Sambung muljoko. Beberapa saat suasana menjadi hening. Lalu terdengar muljoko menyahut dengan nada sumringah.

"Dimana kau temukan itu?"

"Oke, aku ambil benda itu nanti." Jawab muljoko memutus telepon dan mencabut earphone nya.

"Aku tak salah. Melda sengaja menghentikan kalian dengan cara menerror." Ujar muljoko.

"Kau tahu darimana jika itu dia?" Tanya liam.

"Terror batu itu?" Tanya hendra.

"Ya. Kuambil dari kesimpulan kecil saja. Dia menerror liam agar takut dan membatalkan untuk mengirim kita sebagai penyidik, begitupun dengan kau, ia menerrormu dengan batu sialan itu agar kau takut juga dan berhenti melakukan penyidikan." Matanya menatap hendra. "Dan, niko bilang ia menemukan sebuah tinta tepat di depan lemari pada kamar lantai dasar,"

"Apa hubungannya dengan tinta?" Jawab hendra dan liam berbarengan.

"Aku belum bisa jelaskan seluruhnya sebelum aku introgasi si kucing garong rudi." Ujar muljoko.

"Tapi, dari mana kau tahu yang mengirim terror itu adalah melda?"

"Tubuh melda memiliki aroma yang sama dengan kain kafan di belakang!" Jawab muljoko. "Aku mencium aroma itu ketika aku memutari tubuhnya. Dan, jikapun kau membantah itu tindakan melda, kau lihat motif batu itu, itu pecahan batu pada dinding hotel. Dan barusan kau membahas perkara dinding yang di pukul oleh melda, kan?" Tanya muljoko balik.

Liam dan hendra terdiam.

"Dan sebenarnya, tanpa menghubungi rudi, aku berani ambil kesimpulan jika yang jatuh duluan ke ruang bawah tanah itu adalah melda. Kau mau tahu alasannya? Ku jelaskan sedikit, tapi sebelumnya kau juga harus berpikir, apa sebabnya dia bersembunyi di lemari kalau bukan ada sesuatu yang membuatnya khawatir? Tentu kedatangan niko dan para anggota, bukan?"

"Bisa saja penghuni hotel menganggunya hingga dia ketakutan?" Bantah liam.

"Jangan kau pikir sampai ke sana-sana. Untuk apa dia takut dengan lelembut jika dia saja sudah berulang kali terlihat keluar masuk hotel tua yang kosong seorang diri? Pikir lah pakai logika!" Muljoko terus mengeluarkan argumennya.

"Lagi pula, untuk apa dia membawa tinta, aku masih berpikir soal ini." Ujar muljoko.

"Kau kan belum tentu tahu kalau tinta itu milik melda atau bukan?" Kata hendra

"Aku jelas tahu, karena aku melihat noda hitam tercecer di tangan melda ketika rudi menggandeng tangan nya saat menghampiriku, belum lagi tingkahnya seperti cacing di jemur, membuat aku semakin tertarik untuk menyelidikinya." Ujar muljoko.

"Lalu kau ingin apa bertemu dengan rumaida?" Tanya liam penasaran.

"Kan, aku sampai lupa karena bersemangat," muljoko memukul dahinya. "Heh! Kampret, kau kan ku suruh menunggu di pintu taman wisata, apa yang kau dapatkan?"

"Boro-boro mendapat petunjuk, kau tak lihat dahiku memar karena nyungsep di got mati?" Kata hendra mengangkat poni nya dan menunjukkan luka memar di sana.

"Kenapa jenongmu?" Tanya muljoko.

"Aku di tabrak oleh orang aneh. Tanpa minta maaf pula."

"Orang aneh?" Tanya muljoko. Sedangkan liam hanya mendengarkan dengan bingung.

"Ya. Dia berpakaian serba hitam dan berlari begitu saja setelah menabrakku. tapi, langkahnya terseret-seret."

"Itu juga salah satu target kita! Kau tadi lihat kemana arahnya pergi?"

"Tidak. Kepala ku pusing." Jawab hendra lemas.

"Ada ciri-ciri lain yang kau temukan dari nya?"

"Tidak tahu, aku lupa. Kepalaku sakit!" Kata hendra yang kini menutupi dahinya kembali.

"Jujur. Aku sangat ingin menelanmu saat ini juga!" Kata muljoko geram lalu menginjak gas dalam-dalam dengan memutar kemudi tidak beraturan.

***

Sementara melda terus berlari meninggalkan hutan. Ia berjalan menuju gang kecil yang dipenuhi batu kerikil. Nafasnya terengah. Ia bersandar pada tembok gang dan tersungkur karena kehabisan tenaga.

Melda menatap jari jemarinya. Ia melihat lagi cincin itu. Cincin yang ia temukan di dalam lemari tua.

"Ini pasti cincin mahal, bagus sekali ukirannya. Dan ada batu berlian hitam nya juga. Sebenarnya ini cincin siapa? Apakah aku harus beritahu ibu soal cincin ini? Ah, tapi nanti diambilnya. Aku kan juga suka. Lebih baik aku sembunyikan saja!" Melda mengambil cincin di jarinya, lalu menyelipkan benda itu pada kuncir rambutnya.

Melda menguatkan diri. Berusaha berjalan sekuat tenaga agar segera tiba di kediamannya. Dalam pikirannya, melda teringat ucapan rudi perihal hilangnya istri pemilik hotel.

"Apa ibu juga harus tahu soal ini? Tapi aku kasihan, aku tak mau menambah beban ibu. Mengurus mayat-mayat itu saja ibu sudah kelelahan!"










Lirik Music : ©Queen-Bohemian Rhapsody
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup