LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#62
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
Hendra berjalan keluar bangunan dengan langkah lesu, ia merasa jenuh dengan sikap muljoko yang selalu menutupi segala hal yang ia tahu. Hendra dengan kesal menendang kerikil yang menghadang langkahnya. Dengan malas ia menuruti perintah muljoko untuk menunggu di taman wisata.

"Kalau jalan kaki jaraknya jauh juga ya. Huff!" Hendra berjalan dengan lesu. Ia mengeluarkan rokok elektriknya, menghisap, lalu membuang asapnya dengan nikmat. "Saking sibuk dengan perkara yang bercabang, aku sampai lupa beli liquid favoritku."

Hendra masih berjalan lambat, menikmati hisapan demi hisapan dari rokoknya, bibirnya kini terasa manis, ia tanpa sengaja menjilati bagian pinggir mulutnya. "Kenapa aku jadi lapar? Padahal baru tadi aku makan sepiring pisang goreng."

Hendra berhenti berjalan ketika ia mendapati sebuah kotoran menempel pada pantopel nya. "Ini menjijikkan, kotoran tanah merah menempel di sepatu ku."

Hendra mengambil selembar tisu basah dari sakunya, ia berjongkok dan hendak membersihkan bagian yang kotor itu. Namun, baru saja ia akan menyentuh sepatunya, tubuhnya di tabrak oleh sesuatu. Tepatnya seseorang!

"AKHHH!" Hendra tersungkur pada got kecil yang mati alirannya. Sementara dahinya sedikit baret karena membentur permukaan got yang terbuat dari batu alam.

"SIALAN!" Namun orang itu tak peduli. Orang itu terus berlari meninggalkan hendra dengan langkah yang terseret-seret.

Hendra mengamati orang itu dari jauh. Ada sesuatu yang bisa ia lihat. Walau hendra tak dapat memastikan gender dari orang itu, namun ada satu yang menarik untuk di pandang, sebuah tatto pada betis sebelah kiri orang tersebut!

"Bisa-bisanya dia menabrak orang tanpa sungkan!" Ucap hendra sambil menyentuh dahinya yang perih.

***

Di gorong-gorong yang becek itu, dua insan sedang mengadu nasib agar bisa keluar dengan selamat. Mereka merangkak dengan perlahan, saling berbaris dan berkordinasi mencari jalan.

"Rudi, sepertinya kita sudah aman. Cahaya matahari sudah sedikit menembus permukaan di atas." Ucap melda.

"Ya, aku yakin akan ada pintu di dekat sini. Aku juga sudah bisa merasakan hembusan angin segar walau tak banyak."

Mereka terus merayap, melata di dasar gorong yang licin akibat air hujan yang menetes ke bawah melalui lubang-lubang kecil di atas. Beberapa pijakan lagi, mereka melihat sebuah tangga kecil dari besi mengarah pada lubang yang di tutupi besi jangkap.

Rudi memanjat perlahan, mereka tetap waspada, dikhawatirkan bertemu dengan ular berbisa. Rudi mengepalkan tangan, meninju bagian jangkap besi itu dengan kuat.

"Jangan kau pukul. Aku lihat di sana ada pengait, coba kau tarik ke bawah." Saran melda.

Rudi menarik pengait yang di maksud oleh melda, tapi sangat sulit.

"Susah sekali. Pengait ini sudah karatan." Ujar rudi.

"Kau paksa, pasti bisa."

Rudi terus menarik pengait itu dengan sekuat tenaga, kesal karena tiada hasil, ia meraih sarung tangan di saku belakang celana. Sebab, tangannya licin membuatnya berulang kali meleset terhadap tarikan.

Ia kenakan sarung tangan itu, dan menarik pengait itu dengan kuat. Dalam sekali hentakan, ia terbuka juga. Rudi dengan mudah mendorong jangkap besi itu ke atas.

Ia memanjat, naik ke permukaan dengan lega. Tak lupa ia bantu melda untuk naik. Mereka kini berada di belakang hotel, tepatnya di samping parit mati.

Rudi terheran. Ia lalu mengamati jendela kamar yang tak asing lagi di matanya.

"Ini konyol!"

"Kenapa?" Tanya melda.

"Aku yakin, ini kamar yang menyimpan lemari dengan pintu rahasia itu. Dan sekarang kita keluar melalui pintu yang tepat berada di samping kamar ini. Sedangkan selama berjam-jam kita terjebak mencari jalan. Kau tahu, di bawah bangunan ini ternyata sebuah labirin yang mengecoh siapapun yang terjebak."

"Kau benar, rud. Pintu ini juga tak terlihat karena tersembunyi di balik pohon besar ini."

Setelah melihat-lihat sekitar, rudi mengajak melda untuk meninggalkan lokasi. Ia berjalan menuju beranda hotel. Sambil membenahi diri, dari kejauhan rudi melihat muljoko berjalan seorang diri.

"Itu komandan muljoko!" Ujar rudi pada melda. Dengan sigap rudi menggandeng tangan melda dan berlari menghampiri komandannya.

Melda kaget setengah mati, ia sebisa mungkin memberontak demi melepaskan genggaman rudi. Kalau saat di bawah ia senang dengan genggaman itu, tapi berbeda dengan sekarang, ia merasa dirinya seperti terancam.

Tapi tenaga rudi terlalu kuat, ia berjalan menghampiri muljoko yang terlihat sudah menunggu nya di sana dengan bertolak pinggang.

"Bukan hilang karena di telan lemari, tapi hilang di culik betina yang minta di nikahi." Ujar muljoko ketus. Ia menunggu rudi menghampirinya.

Rudi dengan sumringah datang dan menyalami komandannya.

"Komandan muljoko," ujar rudi senang.

"Kau ini yang rupanya hilang, ya?" Tanya muljoko pada rudi, lalu menatap melda dengan tatapan tajam. Ia berjalan mengelilingi keduanya. Muljoko merasa ada hawa aneh yang menerpa nya. Melda merasa risih dengan perlakuan muljoko yang memutari tubuhnya.

"Iya komandan, aku mene-"

"Stop! Jangan bicara dulu." Sentak muljoko.

"Hmm, kau wanita manis. Mengapa terjebak bersama kucing garong ini?" Tanya muljoko pada melda.

"Ka-ka-kami, terjebak di sebuah lemari." Kata melda gugup.

"Ohh-" ucapan muljoko terputus.

"Tapi, kami tidak kenapa-kenapa. Dan sebaiknya saya pergi. Rudi, terima kasih. Aku pulang dulu. Sampai jumpa lain waktu." Melda berbicara kepada rudi tetapi matanya terus menatap muljoko. Dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi, berlari keluar dari kawasan hotel.

"Mel- melda!" Panggil rudi. Tetapi yang dipanggil tidak menyahut, dan ia tetap berlari menjauh hingga tubuhnya tak terlihat lagi bak di telan jalan.

Rudi menggaruk kepalanya. Lalu ia menatap muljoko yang kini juga sedang menatapnya dengan bibir yang di monyongkan.

"Astaga! Komandan. Saya terkejut."

Muljoko tertawa, ia menepuk bahu rudi dan memerintahkan nya untuk melapor perihal kedatangannya kepada niko, komandan yang paling lembut hatinya di banding komandan-komandan yang lain.

"Oh ternyata wanita itu. Rupanya kau minta ku ganggu balik. Dasar betina onar!" Ujar muljoko yang melangkah pergi entah kemana.

***

Hendra berjalan tertatih, menuju gerbang taman wisata yang di gembok rapat. Ia bersandar di sana sambil menahan pusing. Tak lama, sebuah sepeda motor yang di kendarai liam tiba. Ia menyapa hendra yang bersandar sambil menutup mata.

"Hei. Ndra, kalau tidur jangan di sini!" Sapa liam.

"Ah- kau rupanya. Cepat sekali kau tiba di sini."

"Iya, ndra. Itu dahi mu kenapa?" Tanya liam.

"Aku di tabrak orang dari belakang, dan aku tersungkur. Dahi ku terbentur."

"Astaga. Jadi, apa kunjungan ini akan di batalkan?"

"Tak usah! Kita pergi sekarang sebelum macan ku mengamuk. Aku hubungi dia dulu."

Hendra mengeluarkan ponselnya, membuat panggilan kepada muljoko. Tak lama, muljoko mengangkat panggilan itu.

"Ya! Kita berangkat sekarang. Kita benar-benar harus bergerak cepat. Satu persatu manusia yang terlibat sudah mulai menampakkan diri. Jangan sampai kita kehilangan informasi." Ucap muljoko melalui telepon yang di loud-speaker oleh hendra.

"Kau dengar, kan?" Tanya hendra.

"Apa mungkin aleda akan segera di temukan?"

"Sudah di jamin." Kata hendra meyakinkan.

BBRRRMMMMM....

Suara mobil berhenti tepat di depan mereka, di balik kemudi itu terlihat muljoko dengan pancaran aura semangat baru. Ia mengedipkan mata, memerintahkan keduanya untuk naik.

"Ayo! Kita sedang berkejaran dengan waktu!"





sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup