LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#58
BAB 14 SIAPA YA DIA?
"Semua anggota saya perintahkan berkumpul!" Perintah komandan niko. Ia mengumpulkan seluruh anggota penyidik di ruang lobby hotel.

"Kita hentikan pencarian, kita istirahat sejenak sembari menunggu komandan muljoko tiba." Ujar niko yang tubuhnya sudah panas dingin. Ia mulai khawatir dengan keselamatan anggota nya. Terlebih selepas menerima pesan singkat dari rudi.

Sebagian anggota melemaskan otot dengan cara rebah di lantai lobby dan sebagian lagi berselonjor di beranda hotel. Sedangkan yusti yang menyadari perbedaan dari pemimpinnya kini mulai menghampiri.

"Anda terlihat panik, sebenarnya ada kabar apa, komandan?"

"Nanti akan aku ceritakan setelah muljoko tiba. Aku takkan bercerita kedua kali. Aku tak menyangka, kita berada di tempat yang sekiranya memiliki sejarah kelam."

"Maksud komandan?"

"Kau akan dengar sendiri nanti."

Niko mengajak yusti duduk di beranda hotel, sembari menghirup udara pagi. Niko bersandar pada pilar, ia menghembuskan nafas panjang berusaha membuang ketakutan yang bersarang dalam diri.

"Kau takkan percaya dengan apa yang terjadi pada rudi." Niko berbicara dengan nada pasrah.

Yusti yang mendengar pernyataan komandannya disertai mimik wajah yang tidak enak di lihat merasa ikut khawatir akan kondisi rudi. Dalam hatinya, ada ketakutan tentang bahaya yang kapan saja bisa menyertai kawan karibnya.

"Tapi aku yakin rudi akan baik-baik saja." Doa niko.

"Komandan, anda bilang hotel ini memiliki sejarah yang kelam?" Tanya yusti sekali lagi. Tetapi, niko kini lebih memilih bungkam. Semilir angin sejuk menerpa hidung, membuat mata terbuai untuk segera terlelap. Tapi niko tahan rasa lelah itu. Baginya, kehadiran rudi saat ini yang sedang ia tunggu-tunggu. Niko melihat ponsel nya, di sana terdapat sebuah pesan masuk.

"Komandan muljoko sebentar lagi tiba." Hanya kalimat itu yang mampu ia katakan sebagai jawaban untuk pertanyaan yusti. Dalam hatinya ia merasa bersalah karena tak mampu menjaga, bahkan untuk menjawab satu pertanyaan dengan baik.

***

Muljoko dengan cengir kudanya menatap pria itu geli. Di dahi pria itu terdapat benjol merah yang sedikit mengeluarkan darah. Aksi barusan baginya adalah serangan ringan. "Menimpuk orang dengan batu tidak dosa, kan?" Kata muljoko cekikikan. Namun berbeda dengan hendra. Ia menatap muljoko dengan bengis, baginya ini adalah sebuah tindakan kasar.

"Jangan kau menatap ku begitu. Kau mau bilang aku jahat? Ah, apa kabar bagi pembunuh di luar sana." Ucap muljoko tak kalah sengit. Muljoko lalu menatap pria itu lagi, pria itu masih mengaduh kesakitan.

"Sudah berapa tahun kita tak berjumpa?" Tanya muljoko. Hendra membantu pria itu berdiri. Walau hendra tidak mengenali pria itu, rasa-rasanya wajah pria ini tidak asing di pengamatannya.

"Aku baik. Sudah hampir 5 tahun semenjak aku selesai membantu mu dalam kasus yang lampau." Ucap nya datar.

Pria itu menatap hendra, lalu menatap muljoko lagi. "Kalian sedang apa?"

"Harusnya aku yang bertanya. Kau sedang apa di ruang bawah tanah itu." Tanya muljoko tegas.

"Ah, mul. Aku tak bisa bercerita di sini."

"Tentukan tempat sekarang juga agar kita bisa mengobrol." Jawab muljoko.

"Kita masih ada urusan, bodoh!" Kata hendra kesal.

"Oh ya, baik siang ini kita bereskan." Ujar muljoko sambil tangannya sibuk mengetik pesan baru kepada niko. "Tirto, aku minta alamat mu." Muljoko mengeluarkan nota kecil dan sebuah pulpen, ia menyerahkan dua alat tulis itu kepada tirto.

Selama tirto menulis, mulut muljoko tak henti melayangkan pertanyaan.

"Aku yakin, ada pintu lain selain petak ini."

"Kau benar." Jawab tirto terus terang. "Aku sempat bingung, kenapa aku keluar melalui pintu belakang. Padahal jelas-jelas aku masuk melalui-" ucap tirto terputus.

"Melalui, mana?" Tanya hendra.

"Melalui samping." Kata tirto.

"Kalau kau tahu soal pintu bawah tanah, sudah tentu kau tahu banyak soal hotel ini, bukan?"

"Aku sudah bilang, aku tak bisa bercerita di sini."

"Oh ya, masalah dinding yang di ketuk tentu kau juga tahu penyebabnya, kan?"

Tirto menatap muljoko bingung. Tirto tak tahu menahu tentang aktifitas apa saja yang terjadi di sana, walaupun tirto banyak tahu soal sejarah hotel tua itu.

"Kau jangan tanya yang tidak-tidak." Kata tirto sambil menyerahkan buku dan pulpen.

"Aku bertanya sesuai apa yang aku dengar."

Tirto berbalik arah, hendak pergi meninggalkan mereka berdua. Tapi di tahan oleh hendra yang sibuk membaca data alamat tirto.

"Rumahmu di perbatasan bukit utara?"

"Ya, kalian datang saja. Kapan pun. Aku tunggu." Pria itu melangkah pergi yang kini lagi-lagi ditahan oleh muljoko.

"Jangan lewat situ, banyak anggota penyidik sedang berkumpul. Kau lewat jalan lain. Aku tak mau sebelum aku tahu semuanya kau sudah di ketahui pihak lain."

Pria itu pergi masuk ke tengah hutan dengan langkah cepat.

Ponsel muljoko berdering, ada sebuah pesan balasan dari niko. Muljoko berbisik kepada hendra. Entah mengapa hal itu di lakukannya. Yang pasti jika muljoko sudah bersikap lain, ada sesuatu yang sedang di hindarinya.

"Kau benar, lemari hotel memang bermasalah. Dan saat ini, rudi berada di tempat lain karena ia jatuh dalam jebakan di dalam lemari." Bisik muljoko.

"Kau kenapa-"

"Sssttt... karena aku berbisik-bisik. Kau juga harus berbisik-bisik. Dan sebaiknya kita tinggalkan dulu tempat ini, kita bergabung bersama niko dan yang lain." Kata muljoko berbisik dengan nada centil, tapi jari-jemarinya tak lepas dari keyboard hand-phone.

"Hiihhhh. Aku risih mendengar kau begitu!" Hendra segera pergi meninggalkan muljoko. Muljoko menyusul hendra, namun pandangannya tak lepas dari sosok hitam yang mengamatinya sejak awal.

***

Liam bersiap-siap, ia akan pergi mengunjungi rumaida di rumahnya. Dengan setelan santai, dan rambut yang di sisir rapih ke belakang, ia melangkah menuju sepeda motor kesayangannya.

"Kali ini, aku bawa motor saja. Bosan rasanya mengemudi mobil terus. Apalagi rumah bu rumaida sangat sejuk daerahnya, naik motor pun tidak akan kepanasan." Ia menaiki jok motor matic nya. Mengenakan helm dan masker. Sebelum itu, ia harus mengabari hendra perihal janji nya dengan rumaida hari ini, sekaligus menanyakan apakah hendra jadi untuk mengajak kawannya bertemu dengan rumaida.

Liam mengeluarkan motornya dari garasi. Lalu meletakkan nya tepat di luar pintu gerbang. Sambil menutup pintu garasi, ponsel liam berbunyi. Ia melihat panggilan masuk dari hendra.

"Hallo, ndra? Bagaimana, jadi?" Tanya liam.

"Jadi siang ini, dan aku minta kau menunggu saja di dekat hotel. Tepatnya di dekat taman wisata. Aku menyusul jika kau sudah tiba."

(Hei. Kau harus sampaikan pes-) suara muljoko terdengar dari balik speaker.

"Ada apa, ndra?"

"Oh tidak. Kawanku ingin bicara jika sudah berjumpa nanti." Jawab hendra datar. Sambil terus menahan omongan muljoko.

"Oke saya meluncur sekarang, ya," liam mematikan panggilan, dan segera meluncur menuju lokasi.

***

"Kau kenapa tak bilang pada liam soal permintaanku tadi." Protes hendra.

"Daerah ini sepi. Kalau meminta soal hal tadi dan kebetulan liam melihat juga pasti akan di sampaikan." Jawab hendra ketus.

"Bukan masalah sepi atau tidak nya! Kalau kita kehilangan satu target, sama saja kita buta akan petunjuk. Besok-besok kau tak usah pegang ponsel. Tak berguna!"

Muljoko berjalan menuju sisi depan hotel, di sana ia melihat niko. Ia memberi aba-aba perintah melalui kerlip mata. Niko paham apa yang musti di lakukan, ia memanggil anggota untuk menyelinap ke sisi kiri bangunan. Karena, ada target yang harus mereka sergap!

Mereka berlari tanpa suara melintasi luasnya bangunan menuju belakang hotel. Sebagian ada yang masuk ke tengah hutan, dan sebagian lagi menyergap melalui sisi depan. Niko berjalan menuju sisi kiri, sedangkan muljoko berlari meninggalkan hendra yang membuatnya kesal pagi ini menuju tempat semula ia menemukan pintu.

"Heh. Kalian mau kemana!"

"Gantikan tugas liam, kau ku perintahkan menunggu di sana! Lihat siapa yang kabur! Karena kau tak bisa di ajak bekerja sama dan membuatku emosi, aku terpaksa kerahkan anggota dengan cepat. Tadinya aku mau bekerja secara santai." Bentak muljoko.

Lagi-lagi muljoko bersembunyi bersama ketapel nya. Ia memposisikan diri di arah berlawanan dari target. Ia dapat melihat targetnya mengenakan pakaian serba hitam dan celana jeans model cutbray.

Muljoko melambaikan tangan kepada anggota di depan untuk beralih tempat. Karena menurut muljoko, posisi mereka tidak di butuhkan.

"Diam di tempat!" Bentak niko yang terdengar dari kejauhan. Sosok hitam itu terdiam. Ia memaku. Bola matanya terlihat menari ke kiri dan ke kanan. Muljoko tentu tahu, orang ini hendak mencari jalan untuk kabur.

Beberapa anggota yang bersembunyi terlihat menodongkan senjata dari kejauhan. Niko berjalan menuju orang itu dengan langkah perlahan. Namun, orang berpakaian hitam itu dengan cepat membalikkan badan dan menendang dagu nya hingga terjungkal.

"BRAG!! AKKHHH!" Niko mengaduh karena leher bagian belakang terbentur pilar hotel.

"Kejar!" Perintah niko. Matanya melirik ke anggota yang bersembunyi di hutan.

Tembakan peringatan di lepaskan ke udara. Namun orang itu tak menghiraukan, ia berlari melewati muljoko yang saat itu juga melepaskan tembakan kerikil dari ketapel kesayangannya.

"ARRRGGHHHH!!!" Sosok itu meronta, bagian betisnya terkena tembakan kerikil. Orang itu segera menangkap keberadaan muljoko yang bersembunyi di balik pohon, dari sorot matanya ia terlihat meringis kesal. Dalam hati, muljoko merasa menang lagi. Namun, dugaan muljoko salah, ia pikir orang itu akan tersungkur karena ukuran batu yang ditembakkan lumayan besar. Ternyata, orang itu terus berlari menuju hotel bagian depan dengan langkah yang terputus-putus. Beberapa anggota hendak mengejar, namun di tahan oleh muljoko.

"Biar. Lepaskan sementara!"

"Tapi, komandan-"

"Turuti saja omonganku, kalian bantu niko."

Muljoko menyimpan ketapelnya. Lalu melihat kemana sosok itu pergi.

"Ku biarkan kau, karena aku masih punya kampret yang sedang menunggu di depan. Kita lihat hasilnya nanti!"


sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 7 lainnya memberi reputasi
8