LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#24
BAB 10 SATU NASIB
"Sebenarnya pak muljoko memberi mandat kepada kita untuk mencari apa?" Tanya rudi salah seorang pria dari kumpulan penyidik.

"Ini yang jadi masalah, perintah kali ini tidak transparan, aku juga bingung. Tapi, yang aku dengar, selain kita di tugaskan untuk mencari istri pemilik hotel juga ada sesuatu yang aneh. Tadi, komandan niko memerintahkan kita untuk mencari benda-benda aneh yang di rasa tidak lazim berada di bangunan ini." Jawab pria itu.

"Hei, kau pernah dengar kisah tentang bangunan yang selalu memakan tumbal di awal pembangunan?" Tanya rudi lagi.

"Pernah sih, zaman ku masih kanak-kanak. Lalu? Kenapa memang?" Jawab yusti.

Rudi terdiam. Ia tak ingin melanjutkan. Kawannya yang melihat ekspresi rudi malah semakin ketakutan.

"Ah sudah, tempat ini sudah menakutkan, ya! Kau jangan tambahkan kesan negatif di tempat ini. Bikin aku malas saja bertugas malam ini." Jawab yusti sewot.

"Memang tugasmu apa?" Tanya rudi sambil terkekeh.

"Komandan niko memerintahkan untuk mencari sesuatu-. Yang.. aneh!" Jawabnya bingung.

"Kau tahu, kita takkan menemukan apa-apa. Karena firasat ku, kita berhubungan dengan makhluk tak kasat mata!" Bisik rudi dramatis.

"Ah sudah! Kau lebih cocok menjadi penyiar radio horor. Dari pada kita makan gaji buta, lebih baik kita geser haluan."

"Apa?" Tanya rudi cengengesan.

"Kita fokus saja mencari bu aleda, bagaimana? Anggap lah tugas dari komandan niko hanya halusinasi belaka."

"Hahaha. Kau takut, ya? Aku cuma bercanda."

"Tapi bercanda mu ti-" Ucapan yusti tertahan. Matanya mendelik menatap langit-langit lorong. "Sssttt... kau dengar! Ada suara!" Kata yusti.

"BRUK! BRUK! BRUK!"

Rudi ikut mendengarkan, matanya fokus melirik ke kiri dan ke kanan. "Suaranya bukan dari atas, bodoh!" Bantah rudi "Suaranya sangat dalam dan terasa jauh. Tapi terdengar sangat jelas."

Mereka berdua berjalan semakin ke ujung, mata mereka memicing. Kini tanpa sadar tangan mereka saling bergandeng erat. Mendekati tembok lorong, suara pukulan itu semakin jauh.

"Bukan di lorong ini sumber suaranya!" Kata rudi. Mereka keluar dari lorong tengah lantai pertama. Berjalan menuju sebuah tangga putar, memfokuskan diri untuk mendengar asal suara pukulan.

"Kalau aku tidak salah, dari sana bunyi suaranya!" Kata kawan rudi menunjuk ke lorong terujung.

Mereka saling tatap, memutuskan berjalan ke sana. Keadaan lantai pertama sepi, sebagian anggota sudah menyebar ke beberapa titik bangunan. Bahkan komandan niko pun tak nampak batang hidungnya.

Dengan penerangan seadanya, mereka berjalan menuju lorong tersebut. Tubuh mereka semakin berhimpit. Bulu kuduk mereka meremang. Suara pukulan semakin keras.

"Benar kan kataku, suara ini dari lorong ujung yang sekarang kita masuki." Kata kawan rudi.

"Coba kita masuki kamar yang tidak terkunci, satu persatu. Kau pintu sebelah kanan, dan aku sebelah kiri." Kata rudi.

Mereka mengangguk saling setuju, lalu mulai menjalankan aksi, di mulai dari kamar baris pertama. Mereka memeriksa secepat mungkin dengan terus memasang telinga. Tetapi tetap tidak di temukan dimana sumber suara itu.

Berjalan lagi memasuki kamar berikutnya, tetap saja tidak di temukan. Terus begitu hingga akhirnya tiba di salah satu kamar bagian tengah yang di masuki yusti.

Bulu kuduknya berdiri semakin tegak. Kakinya gemetar. Karena sumber suara kini berada di dekatnya. Keringat sudah membasahi tubuh. Tubuh panas dingin membuatnya semakin pucat. Ia keluar, menghampiri rudi di kamar seberang.

"Rud. Rud. Suara itu berasal dari kamar itu!" Tunjuk nya ke arah kamar yang barusan di masuki nya.

"Kau yakin?"

"Ya. Ayo cepat."

Rudi sudah memegang senjatanya. Dia berjalan memasuki kamar itu dengan langkah perlahan. Mencoba memfokuskan telinga demi mendengar suara pukulan itu berasal dari mana.

"Kau balik tempat tidur itu." Perintah rudi.

"Ba-baik." Jawab kawannya.

Dia membalik ranjang besi berukir itu, dan rudi kini telah menodongkan pistol ke posisi ranjang. Tetapi, kosong! Di kolong ranjang itu tidak terdapat apapun.

Suara itu sempat hilang. Lalu, rudi berjalan menuju jendela besar, melihat keadaan di luar. Terlihat ada beberapa anggota yang sedang melakukan penelusuran. "Tidak ada yang mencurigakan di luar."

Rudi kembali melakukan pencarian suara. Bunyi itu kembali muncul. Kini mereka reflek, sama-sama menatap sebuah lemari tua.

"Kau sudah periksa toilet?" Tanya rudi.

"Sudah. Kosong tidak apa apa-apa."

Rudi menatap kawannya, memberi kode supaya membuka lemari berbarengan. Mereka mengangguk. Berjalan perlahan menuju benda peninggalan. Suara itu semakin kencang. Rudi menggenggam pintu lemari dan membuka nya dengan kencang. Kosong! Suara itu berhenti.

Terdengar teriakan salah satu anggota dari luar, keduanya menoleh. Rudi memerintahkan kawannya untuk melihat kondisi melalui jendela.

Rudi masih saja penasaran. Ia meraba permukaan lemari. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Bahkan sesuatu yang menghasilkan bunyi. Rudi kesal, ia merasa di permainkan. Ia menggebrak dasar lemari dengan kuat yang membuatnya ambruk dan tertelan olehnya.

"Hei. Ada apa?" Ucap yusti dari jendela.

"Tidak. Jono terpeleset dan masuk parit. Tapi kondisi nya baik-baik saja. Hanya tubuhnya sedikit kotor." Ucap rekan nya di sana.

"Oh ku pikir ada apa, kau sudah temukan apa?" Tanya yusti.

"Tidak ada, yus. Kami belum dapat apa-apa."

Yusti menutup jendela, kembali menghampiri rudi. Tapi, ia tidak menemukan rudi di sana. "Ah, kupret. Aku malah kau tinggal, rud. Pergi kemana kau, sialan."

Yusti melangkah keluar. Tanpa tahu kawannya telah lenyap saat itu juga.

***

"Komandan, kami sudah melakukan pencarian selama 4 jam dan belum berhasil menemukan apapun yang di rasa mencurigakan. Hanya ada beberapa peralatan hotel. Dan menurut kami itu lazim." Ucap anggota bernama joni.

"Jon, aku juga sebenarnya bingung dengan perintah muljoko yang tertutup. Hal seperti ini hanya dia yang tahu. Aku harus bicara apa nanti tentang laporan yang tidak berhasil."

"Komandan, kami selain fokus dengan perintah anda malam ini, kami juga fokus mencari keberadaan bu aleda. Tetapi, tetap saja keduanya tidak dapat di temukan. Jadi bagaimana, komandan?"

"Suruh mereka hentikan pencarian. Hari sudah hampir pagi."

"Baik, komandan."

Pria bernama joni itu pergi meninggalkan niko dengan perasaan gamang tentang tugas yang di limpahkan oleh muljoko malam ini.

***

Sementara, di bawah sana, rudi tersungkur. Bahu nya sakit. Mata nya berbayang. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak percaya apa yang di alami barusan.

"Lemari tadi, adalah pintu rahasia menuju sebuah tempat. Tempat apa ini, di sini sangat gelap." Ucap nya lirih.

Sementara mata rudi terpaku, ia menatap kaki pucat yang sebagian tertutup oleh jubah hitam. Sosok itu entah kapan datangnya, sekarang telah berada di hadapannya. Kepala rudi terdongak, menatap siapa sosok di hadapannya saat ini. "Mari ku bantu, kita satu nasib berada di tempat yang tak semestinya."



sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup