LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#19
BAB 9 TERJEBAK
Hujan mengguyur semakin deras, malam yang larut terasa panjang. Sepasang kaki yang pucat melangkah di atas tanah basah yang dingin berpadu dengan sepi. Dia melangkah lagi, menutupi kepala dan rambut ikalnya dengan sebuah jubah. Ia menatap bangunan itu, dengan tekat kuat ia mencoba meyakinkan diri jika dirinya akan berhasil menuntaskan misi.

"Aku akan pastikan tidak ada sejengkal bahaya yang akan menyelimuti kehidupanmu kelak." Ia berbicara pada dirinya sendiri. "Kalimat ini, kenapa masih juga terngiang di telingaku. Tapi, bagaimana pun aku tetap berterima kasih."

Ia melangkah masuk, menuju sebuah lorong. Seluruh lonceng berbunyi. Keras dan nyaring. Ia lalu memasuki sebuah kamar. Mengetuk dinding berkali-kali. Meraba segala permukaan lalu mengetuknya lagi. "Di sini tidak ada." Katanya.

Ia berjalan lagi, menuju ruang yang lain. Melakukan hal yang sama hingga memasuki kamar terakhir di lorong itu. "Tetap tidak ada." Katanya dengan nada jengah.

"Dia bilang ada 7 yang harus aku cari untuk menuju sumber malapetaka." Ucapnya ringan. "Sampai saat ini aku belum menemukan satupun di mana letaknya."

Dia melangkah lagi, dengan langkah yang lebih cepat. "Aku tak bisa menghabiskan waktu berlama-lama. Tempat ini sudah mulai di masuki banyak orang."

Ia melangkah menuju lantai tiga, menuju lorong tengah, ia mulai lagi dari sana. Memasuki setiap ruang, melakukan hal yang sama yang di lakukan nya di lantai sebelumnya. Satu waktu, ia memasuki kamar bagian tengah. Tidak di kunci. Ia berjalan memasuki ruang yang luas tanpa perabotan. Berjalan menuju dinding, meraba permukaan nya. Tepat.

Ia merasa senang, ia menyentuh bagian yang lain. "Ternyata salah satunya ada di sini. Tapi ini belum bisa terbuka. Berati ini bukan yang pertama. Setidaknya aku bisa tandai dulu." Ia mengeluarkan sebuah botol berisi cairan tinta berwarna hitam. Mengoles salah satu bagian tembok itu dengan tangan nya. Ia berdiri lalu keluar menuju lorong yang lain.

"Sisa enam lagi. Aku harus cari yang pertama untuk mendapatkan benda itu. Sebelum terlambat."

Ia memiliki insting untuk turun ke lantai bawah, memulai nya dari sana lagi. Lonceng tak berhenti gemerincing setiap kali wanita itu memasuki setiap lantai bangunan.

"Kira-kira kapan hotel ini akan di gunakan, aku harus cari tahu supaya aku bisa mengatur waktu pencarian lebih cepat."

Baru saja ia melangkah menuju lorong terujung, terdengar suara sirine dari beberapa mobil di luar. Pantulan cahaya sirine masuk melalui jendela besar utama hotel menyinari wajah orang itu dari kejauhan.

Mobil-mobil itu terparkir secara tak beraturan, setiap penumpangnya turun dengan atribut dan senjata lengkap. Mereka berbaris mendengarkan amanat dari sang pemimpin pasukan. Baju mereka berwarna gelap dengan senter yang melingkar di kepala. Tubuh mereka tinggi tegap, dengan wajah tidak ramah dan juga tanpa senyum. Hanya beberapa kalimat perintah yang ia dengar, dan semua menjawab dengan kata dan nada yang serentak.

"Datang lagi, datang lagi. Aku harus cari tempat sembunyi." Ia bergegas berlari menuju salah satu kamar, memasuki ruang gelap itu, berlari ke sana dan kemari berusaha mencari tempat sembunyi. Kemudian, karena tidak ada lagi tempat yang memungkinkan, ia memutuskan bersembunyi di dalam sebuah lemari tua.

Orang itu bersandar di dalam, sambil menahan pintu lemari dengan botol tinta supaya ia dapat bernafas. Ia termenung sambil mendengarkan kebisingan di lobby hotel. Banyak sekali orang di sana. Dan mayoritas bersuara pria.

"Mereka belum berhenti melakukan pemeriksaan, memangnya ada apa di sini?" Tanya orang itu pelan.

Orang itu mengipas-ngipas tubuhnya dengan tangan, berusaha mencari angin agar merasa sedikit sejuk. "Di luar hujan deras, tetapi di sini sangat pengap."

Orang itu memposisikan diri senyaman mungkin. Sambil bersandar kakinya berlunjur hingga mentok ke sisi samping lemari. Ia berusaha memejamkan mata, mencoba setenang mungkin walau posisinya sedang tidak aman, bisa saja para penyidik itu menemukannya dan membawanya untuk di mintai keterangan.

Tapi, ia membuang pikiran itu jauh-jauh. "Untuk apa juga mereka membawaku, aku tinggal mengaku sebagai gelandangan yang menumpang tidur, ya menumpang tidur di dalam lemari, hahaha. Aneh."

Suara langkah kaki memasuki lorong itu, ia dapat mendengarnya dengan jelas. Percakapan dari mulut para penyidik bisa terdengar dengan jelas. Ia terdiam.

Pintu kamar terbuka, beberapa penyidik masuk ke dalam sambil memeriksa setiap sudut.

"Kau periksa." Perintah salah seorang.

"Baik." Jawab yang diperintah.

Orang itu mulai sedikit kaku, ia merapatkan diri dengan sisi lemari. Tangannya meremas jubah lebarnya yang tergelar di dasar lemari. Ia mulai mencari cara agar tidak ketahuan. Karena bagaimana pun, lemari ini pasti akan di periksa.

"Coba kau periksa lemari itu,"

"Baik." Pria berseragam itu berjalan menuju lemari tua. Melihat pintu lemari sedikit terbuka ia heran. Lalu menatap ke lantai, tepatnya ke sebuah botol tinta hitam yang tergeletak di bawah. "Apa ini?" Tanya pria tersebut ke pimpinannya.

Pimpinan pria itu membuka botol tersebut, memasukkan tangan ke dalam botol. "Cairan hitam dan cair. Aku rasa ini sebuah tinta." Katanya dengan ragu. Pimpinan itu menatap lemari lekat-lekat. "Oh, apa mungkin milik tamu sebelumnya, saat hotel ini masih beroperasi." Jawab anggota itu yang di sambut tawa oleh sang pemimpin. "Kau melawak, ya? Hotel ini sudah puluhan tahun kosong. Kalaupun benar, tentunya cairan ini sudah mengering karena menguap. Paham?" Jawab pimpinan itu sambil berbisik-bisik. "Dan kau benar, ini milik tamu sebelumnya, sebelum kita tiba!"

"Jadi maksud anda?"

Pimpinan itu nyengir. "Ada orang lagi di sini selain anggota. Sekarang buka lemari itu!"

Bawahan itu mengangguk. Iya berjalan menuju lemari, dan membukanya dengan gerakan cepat. Tapi, tidak ada hal apapun di sana! Kosong!

"Kosong, pak!" Kata si bawahan.

"Bagus. Nasib baik bagi si penyusup. Dia sudah lari lebih dulu sebelum kita masuk ke dalam kamar ini." Jawab si pemimpin. "Kita pergi dari kamar ini, tidak ada apapun di sini."

Mereka pergi meninggalkan kamar itu, pergi menuju kamar yang lain. Sementara di bawah sana, orang itu tersungkur menahan sakit. Di sana gelap. Pengap. Tidak ada kehidupan.

"Sekalinya aku menemukan akses kedua, aku malah terjebak di sini. Bagaimana cara ku untuk kembali ke atas. Dan, ini cincin siapa? Aku menemukannya di bawah jubahku ketika aku hendak bersembunyi di baliknya. Tapi kenyataan nya, ada pintu di dalam lemari yang membuatku jatuh bersama cincin ini ke sini. Hotel ini, menyimpan banyak sekali kisah kelam. Yang mungkin tak dapat lagi di ceritakan. Karena, aku melihat banyak sekali kurungan. Entah, ini untuk apa. Aku takut. Aku mau kembali ke atas!"

Ia berjalan tertati-tati, menyeret jubahnya yang tergerai di ubin yang dingin juga lembab. Suara hampa membebani telinga, dan juga detak jantung yang tak tentu irama nya. Ia bergidik, ngeri dengan pemandangan ini. "Mengapa ada penjara di tempat penginapan?" Tanya nya sambil terus merintih.

sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup