LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#13
BAB 8 MENGEJAR TARGET
"Kejar! Jangan sampai tertinggal." Perintah muljoko.

Hendra memacu mobilnya lebih cepat lagi, di atas jalan berbukit yang berkelok dan naik turun, hendra tidak lagi mengutamakan kenyamanan dalam berkendara. Ia terus menguber targetnya, si mobil ford merah yang di kendarai dua pria asing.

Muljoko terus berpegang pada hand grip di plafon mobil sembari menatap mobil ford di hadapannya lekat-lekat. Dalam pikirannya, muljoko mencoba menebak kemana targetnya ini akan bersembunyi.

"Aku rasa mereka akan memasuki jalan besar menuju kota." Ujar hendra.

"Tapi, aku tidak yakin." Jawab muljoko datar.

"Apa alasanmu?"

"Alasanku, kau lihat saja nanti, itupun kalau kau berhasil mengejar mereka."

"Hmm.. bro, kau mulai meragukan kemampuanku dalam mengendarai mobil, ya?"

"Sejak dulu. Buktinya, ada jalan bagus kenapa kau pilih yang jelek? Jalan lurus pun kau sengaja berbelok-belok?"

Hendra termangu. Mata muljoko memang tak pernah lepas untuk mengamati sesuatu, bahkan untuk hal yang tidak penting sekalipun.

"Aku..."

"Apa?" Potong muljoko. "Aku melihat ford merah itu lancar-lancar saja, tidak binal seperti sedan mu yang membuat penumpangnya terguncang-guncang."

"Huuuffff..." hendra menghembuskan nafas. Ia lebih memilih diam. Baginya, berdebat dengan muljoko akan lebih baik jika tidak di teruskan. Karena merasa sebal mobil sedannya disebut binal, hendra menginjak pedal rem dan gas bergantian. Bahkan berkali-kali yang mengakibatkan muljoko tersentak ke depan dan ke belakang.

"Sialan. Kau berhenti main-main, ndra! Pikirkan target kita!" Protes muljoko.

"Bro, mendadak mobilku menjadi semakin binal. Aku rasa ia akan berubah menjadi semakin liar." Ujar hendra menyindir.

Muljoko menggigit bawahnya dengan gemas. "Ah, kau tersinggung rupanya?"

Hendra tak menjawab, ia melepas pijakan pada pedal rem, menginjak gas dalam-dalam sehingga muljoko terjungkal ke kursi belakang.

Setelah puas sedikit mengerjai muljoko, Kini mereka-khususnya hendra-fokus mengejar ford merah yang sudah beberapa meter berada di depan.

"Gara-gara kau kepala ku jadi pusing karena membentur batu itu!" Ujar muljoko mengusap kepala bagian belakangnya. "Batu sekeras ini di lempar ke atap mobilmu, apa tidak penyok?"

"Sedikit." Jawab hendra singkat.

Muljoko mengambil batu itu, mengamatinya sejenak. Lalu ia mengangguk pelan, seperti mendapat sinyal pandangannya menjadi sedikit cerah.

"Kau kenapa?" Tanya hendra.

"Ndra, jawaban mengenai teror surat serta batu berlapis mori ini sepertinya aku sudah tahu siapa pelakunya!"

"Apa?!" Jawab hendra terkejut. "Kau saja baru masuk hotel itu beberapa saat yang lalu, dari mana kau bisa tahu, kau ambil kesimpulan dari mana?" Tanya hendra.

"Nanti aku beritahu sebentar lagi."

"Ah. Kau ini, kenapa tidak langsung saja?"

"Itu sih terserah aku saja. Hahaha."

Hampir 30 menit mereka melalui jalur bukit utara, mereka berada di jalan yang terbagi menjadi empat, jalur kanan menuju pegunungan dan jalur kiri menuju perkotaan, sedangkan jalur yang berseberangan dengan posisi mereka menuju sebuah pedesaan.

Hendra dan muljoko saling menebak dalam hati, kemana ford merah itu akan pergi. Dalam jarak beberapa meter mereka saling mengamati. Ford itu tancap gas menuju jalur kanan.

"Mereka pergi menuju pegunungan." Kata hendra.

"Sudah ku duga." Kata muljoko.

"Hah?" Lagi-lagi hendra harus melongo mendengar kawannya dengan ringan menebak situasi.

Mereka meluncur di bawah langit yang diterangi cahaya bulan. Gerimis rintik-rintik menghiasi suasana perjalanan mereka malam ini. Tampak beberapa mobil dari arah berlawanan. Mereka kini terdiam, sedan hitam binal terus berjalan mengikuti kemana ford merah itu melaju.

Memakan waktu hampir satu jam, mereka memasuki sebuah kawasan pedesaan yang mati, gelap juga sepi. Hanya nyanyian binatang malam yang bersenandung memecah hening.

"Desa mati." Ucap hendra bergidik.

Knalpot mobil ford menggema dalam sunyi, mereka menuju sebuah gang lebar yang di padati rumah mewah namun kosong. Pagar besi berkarat yang hampir rubuh itu menjadi saksi, betapa tua usia pemukiman di sana.

"Kita kembali, tak perlu ikuti lagi kemana mereka pergi." Kata muljoko.

Terlihat papan nama jalan yang telah usang terpajang di sana. Jalan Cempaka Putih Blok 3.

Muljoko menatap gerbang yang hampir rubuh itu, dengan tatapan miris ia melihat sebuah lonceng tergantung di sana.

Sedangkan hendra terus menatap kemana mobil ford itu berlalu, mobil itu memasuki sebuah bangunan tua yang banyak di tumbuhi ilalang dan rumput liar.

"Setelah ini, aku mau kau hubungi liam untuk menceritakan perihal transaksinya dengan pemilik hotel sebelumnya."

"Oke, setelah dari sini akan ku hubungi dia. Di sini layanan provider ku tidak ada sinyal sama sekali." Ujar hendra sembari menatap layar ponselnya. "Kira-kira apa yang kita lakukan setelah mengikuti mereka?"

"Lebih baik kita kembali ke hotel itu, perintahkan anggota untuk segera tiba di lokasi. Kita menyusul." Jawab muljoko sambil terus menatap gang.

"Eh ya, kau belum jawab. Kau tau dari mana jika mereka tidak akan mengambil jalur perkotaan?" Tanya hendra penasaran.

"Kau benar-benar penasaran, ya? Aku melihat gaya berpakaian mereka. Baju yang mereka pakai seperti sebuah seragam sebuah perikatan. Tapi aku lupa apa nama dan asal mereka."

"Apakah mereka kelompok resmi yang di akui negara atau-"

"Bukan, mereka bukan kelompok resmi atau kelompok yang di kenal kalangan masyarakat. Mereka kelompok tertutup. Tapi kenapa aku lupa asal usul mereka." Jawab muljoko. "Iya, aku tak salah. Akan ku ingat-ingat sepertinya aku pernah melihat kelompok ini di suatu tempat."

Mereka memutuskan meninggalkan lokasi tersebut, keluar melalui jalan yang sama yang telah di lalui sebelumnya, bagi hendra terlalu menghabiskan waktu mencari jalan keluar di desa mati yang banyak berdiri rumah-rumah mewah dan juga gang.

"Aneh juga ya, di sini kan lingkungan desa? Kenapa isi nya rumah mewah semua?" Tanya hendra sambil melihat kanan kiri jalan. Setelah keluar pemukiman, mereka kembali memasuki jalan besar yang mengarah ke jalan alternatif perbukitan utara menuju perbukitan selatan.

"Setelah ada sinyal cepat kirimkan perintah kepada anggota untuk tiba lebih dulu di lokasi. Kita harus cari benda-benda apa yang di maksud oleh kedua pria tadi." Mandat muljoko dengan nada serius.

Hendra fokus menatap jalan, selain itu khayalannya tentang kasus ini terus menari-nari. Bahkan kini muljoko telah meminta untuk bertemu dengan liam demi membicarakan transaksi pembelian hotel yang bahkan ini sama sekali tidak ada urusannya dengan laporan awal tentang lenyapnya aleda.

"Kalau kau bertanya kepada siapa liam membeli hotel, ini sangatlah wajar. Tetapi, mengapa untuk urusan transaksi kau begitu penasaran, bukankah ini sudah di luar konteks permasalahan, harusnya ini privasi liam dan rumaida, kan? Sebenarnya kau melihat celah apa dari proses ini." Kata hendra dalam hati.
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup