LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#7
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
Hendra dan muljoko buru-buru mematikan senter dan keluar secara perlahan melalui jendela kamar. Mereka kini sama-sama merambat di samping balkon. Hendra mempertahankan tubuhnya pada sebuah gumpalan akar tanaman rambat tersebut agar tidak tergelincir dinding yang juga ditumbuhi lumut, sedangkan muljoko ia nekat melompati balkon dan kini berada tepat di bawah hendra.

"Kau dengarkan percakapan mereka! Sementara aku akan menuju pintu utama, aku yakin mereka masuk lewat sana!" Ujar hendra yang kemudian berlari meninggalkan hendra yang mulai goyah keseimbangannya.

"Setidaknya kau pinjamkan aku sarung tanganmu itu, kampret!" Ujar hendra menahan sakit akibat sayatan duri di tangannya.

Hendra mendengar suara pintu yang sedang di buka kuncinya, tak lama terdengar pintu itu terbuka dengan cara di banting keras. Hendra menajamkan pendengaran, ada dua orang di sana!

Suara dua orang pria yang saling berdebat membicarakan suatu hal.

"Kau harus cepat kumpulkan semuanya. Kalau tidak kita bisa di bunuh oleh wanita itu." Ujar pria bersuara berat.

"Kau kan tahu, hotel ini sangat besar, dan kita hanya berdua, mana mungkin kita dapat menemukannya dengan cepat. Apalagi dengan kondisi bangunan segelap ini." Jawab pria bersuara serak.

"Intinya, sebelum hotel ini di resmikan, semua benda itu sudah harus kita dapatkan. Kau tahu akibatnya apa! Sudahlah, aku tak ingin lagi terlibat, aku tak ingin melihat lagi ada ke..."

"Sssstttt..." ujar pria bersuara serak.

"Kenapa?"

"Aku merasa kita tidak sedang berdua."

"Ah! Kau ini, sudahlah. Mana ada orang lain yang sudi bertamu ke hotel setan ini kecuali kita." Ujar si suara berat membentak.

Suasana hening. Hendra tak lagi mendengar percakapan. Ia mendengar suara langkah menuju jendela. Hendra segera memepetkan tubuhnya, kini ia semakin lekat dengan tanaman rambat. Hendra menahan nafasnya, memejamkan mata agar bias matanya tak terlihat dalam gelap.

Jendela terbentang dengan kencang. Hendra terkejut. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Ia benci di buat kaget. Jika tidak sedang menguping, ingin rasanya dua manusia ini dia hajar kepalanya.

"Mana? Kan aku bilang tidak ada orang." Ujar suara berat.

"Tapi, benar aku merasa ada orang di sini."

"Sudah, kau jangan mengada-ngada. Lebih baik kita pergi, tugas kita malam ini sudah selesai!"

"Belum. Kita harus cari lagi benda-benda itu." Pinta si suara serak.

"Kau ini, hotel ini sedang dalam penyelidikan suatu pihak. Kita tidak bisa sembarang waktu mengacak-acak bangunan ini demi mencari benda-benda itu!"

"Kau tahu dari mana? Memangnya mereka bilang pada mu jam berapa dan kapan mereka akan tiba?"

"Aku memang tidak tahu menahu soal itu, tapi aku yakin karena dari pagi hingga sore mereka belum juga muncul dan mendatangi hotel ini."

"Bisa saja kan mereka hentikan penyidikan?" Ujar suara serak yang terus melemparkan kalimat yang membuat si berat jengkel.

"Kau ini! Liam masih mencari wanita itu, aku percaya ia takkan berhenti menemui pihak terkait untuk terus melakukan penyidikan di hotel ini. Kau paham?"

"Tapi wanita itu tidak ada urusannya dengan kita!" Suara si serak meninggi.

"Memang benar! Kau benar! Tapi karena kehadiran pihak itu mengganggu posisi kita, dan jika mereka tahu kehadiran kita, tentunya ini menjadi ancaman dari beliau. Karena beliau menghendaki semua yang kita lakukan di sini adalah sebuah rahasia, sebelum hotel ini di resmikan. Sampai sini paham? Kau masih mau berdebat argumen denganku, baik! Setelah ini kau ku lempar dari menara hotel. Sialan!" Terdengar si berat meninggalkan si serak dengan langkah cepat, di susul oleh si serak dengan langkah yang tak kalah cepat. Suara pintu terbanting. Suasana kembali hening.

Hendra mendapat secercah informasi melalui mereka, hendra cepat-cepat turun dari tempatnya sekarang, setelah tiba di bawah ia berlari menuju mobil yang sengaja di sembunyikan di semak-semak. "Aku yakin, setelah muljoko mendapat informasi, ia juga akan menyusul ku kemari."

Di beranda hotel, muljoko bersembunyi di balik pilar besar yang menjulang tinggi. Ia mendengar derap langkah yang di iringi perdebatan dari kedua manusia yang menjadi target nya malam ini.

Pintu utama hotel terbuka, ia melihat bayangan dua orang pria, yang satu bertubuh tinggi dan kekar, sedangkan yang satu nya sama tinggi dan juga sedikit berisi.

Mereka sama-sama mengenakan pakaian serba hitam, muljoko tidak bisa melihat dengan jelas dalam gelap. Terlebih cahaya senter dari kepala mereka semakin menghalangi pandangan muljoko.

Dalam sekilas, muljoko melihat mereka memasuki sebuah mobil ford merah yang juga di sembunyikan dalam semak belukar. Mereka pergi meninggalkan hotel dengan kecepatan tinggi.

Muljoko segera pergi menuju mobil milik hendra. Namun, saat berlari ia melihat cahaya mobil mengarah padanya dengan kecepatan tinggi, muljoko reflek menjatuhkan diri ke pelataran hotel.

"BRUG!" Bahu muljoko terbentur lantai.

Mobil terhenti. Kaca mobil itu terbuka. Tampaklah hendra dengan cengir khas nya.

"Ah. Sial. Kau rupanya. Ku kira mereka balik lagi untuk menabrak ku." Kata muljoko kesal.

"Sudah, kau naik. Mereka target kita. Mereka tahu banyak tentang bangunan ini. Kita harus ikuti mereka."

Muljoko bangkit dan melangkah menuju pintu mobil sambil memegangi bahu kirinya yang sakit. Selepas itu, mobil hendra melaju meninggalkan hotel menuju perbukitan utara mengikuti kemana targetnya pergi.

---

Selama perjalanan, muljoko dan hendra terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan. Muljoko membuka percakapan menanyakan apa yang kedua orang itu bicarakan di dalam kamar.

"Jadi, apa yang mereka obrolkan?"

"Jadi, bro. Intinya mereka di perintahkan oleh seseorang untuk mencari barang-barang di dalam hotel itu sebelum di resmikan. Si pesuruh meminta agar tugas mereka di rahasiakan dan jangan sampai ada yang tahu. Satu lagi, aku mendengar mereka menyebut nama liam dan 'wanita' yang aku yakini adalah aleda. Tapi, di penghujung percakapan, salah satu dari mereka menyatakan kalau aleda tak ada hubungannya dengan mereka."

"Aku bisa menangkap maksud ucapan mu, dan satu hal yang ingin aku tanyakan secara langsung, apakah berarti mereka tahu persoalan istri klien mu yang hilang di dalam hotel tersebut?"

"Ya tentu tahu, tadi mereka membahas itu! Kan aku sudah bilang, tapi salah satu dari mereka menyatakan ji.."

"Jika aleda tak ada hubungannya dengan mereka, kan?" Potong muljoko.

"Ya, seperti itu."

"Tidak ada hubungannya bukan berarti tidak tahu penyebab hilangnya aleda, bisa saja mereka tahu tapi mereka lepas urusan!"

Hendra terdiam. "Menurutmu aleda hilang karena apa?"

"Aku punya pemikiran sendiri, tetapi aku belum bisa memberi kesimpulan kecil itu padamu, sebelum aku melihat semua garis permasalahan ini dengan nyata. Percayalah, kasus ini bukan hanya melibatkan satu pihak. Tapi banyak. Mereka..."

"Mereka apa?" Tanya hendra.

"Ah, nanti saja. Intinya, mereka punya urusan masing-masing di bangunan itu." Ujar muljoko. "Hey! Kau tak bisa lebih cepat sedikit? Mana target kita? Kenapa mereka tidak juga terlihat?"

"Aku juga tidak tahu, tadi mereka ada. Tapi kenapa cepat sekali hilang!"

"Ada dari mana? Sejak tadi di depan kosong. Kau mengikuti apa? Heiiii... kau sadar, kasus ini baru di awal, kenapa sudah stress duluan?" Muljoko menepuk-nepuk kepala hendra dengan gemas.

"Ada! Aku serius!" Bantah hendra.

"Mana kalau a.."

"TIIIN!!! BBRRRMMM!!!"

Hendra membanting stir ke kiri, mereka terkejut bukan main lantaran mobil yang baru saja diperbincangkan menyalip mereka dengan kecepatan tinggi.
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 12 lainnya memberi reputasi
13