LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#6
BAB 6 ORANG LAIN?
Setibanya di bandara, hendra segera menuju sebuah minimarket tempat muljoko biasa menanti jemputan. Saat berjumpa, mereka saling berjabat tangan dan saling peluk. Muljoko adalah sosok senior yang sudah di anggap sebagai kakak kandung oleh hendra. Maka tak heran, kedekatan keduanya sangat erat.

"Wah, baru tiga hari di kampung kau gendutan, bro. Kau banyak makan ya di sana?" Ejek hendra sembari menepuk pundak muljoko berkali-kali.

"Ah, jangankan makan. Lihat makanan saja tubuhku langsung naik bobotnya. Hahaha." Timpal muljoko dengan senyum lebarnya.

"Oh, ya. Kau menunggu lama ya."

"Tidak juga, aku sebenarnya sudah sejak sore tadi landing. Tetapi, aku baru kabari kau tadi supaya aku bisa bersantai sedikit di sini. Kau kan tahu, aku suka mengamati orang. Walau dia bukan siapa-siapa ku. Haha."

"Ah, langsung kemana kita bro?" Tanya hendra dengan tatapan santai namun bernada serius.

"Aku betul-betul penasaran dengan hotel itu. Ajak aku lah ke sana." Pinta muljoko.

"Baik. Kita langsung ke lokasi. Ayo! Masuk mobilku."

Muljoko dan hendra memasuki mobil, meninggalkan bandara dan pergi menuju hotel milik liam. Selama perjalanan hendra dan muljoko terlibat dalam obrolan hangat seputar penyidikan.

"Jadi, apa yang membuat otakmu olahraga menghadapi kasus ini?" Tanya muljoko sambil memantik api pada ujung rokoknya.

"Entahlah, bro. Aku sendiri bingung. Kasus kali ini berbeda dengan kasus ku yang lain."

"Hal apa yang membuatnya terasa berbeda?"

"Banyak hal di luar nalar yang sulit di terima oleh akal sehat."

"Contohnya?"

"Lemari hitam yang terguncang di barengi dengan bunyian lonceng dari seluruh pintu kamar hotel."

"Apakah bandit zaman sekarang memiliki teknologi canggih?"

"Kalau saja ku temukan bandit, demi tuhan ku bunuh di tempat manusia itu." Ujar hendra geram.

"Rupanya kau takut?"

"Tidak. Kenapa?"

"Aku mau bukti. Atas dasar apa hal ini dapat terjadi."

"Hal di luar nalar terkadang sulit untuk dibuktikan, bro."

"Jangan kau berpikir begitu. Kita cari dulu sumber petaka ini dari mana. Tidak mungkin kan jika yang kau bilang 'di luar nalar' itu terjadi tanpa sebab."

"Bisa saja-"

"Bisa saja karena hotel itu telah lama kosong, dan saat kau masuki kembali para kumpulan demit akan dengan senang hati menjahilimu? Begitu?" Potong muljoko. "Ck, ck, ck. Bukan. Bukan begitu. Memang aku percaya di semua tempat ada bangsa lain selain kita. Tapi ingat, mereka takkan hadir jika tidak ada magnet di sana."

"Bro, bro. Kau pulang dari kampung mendadak sikapmu seperti dukun."

"Aku menggali informasi, dimana pun aku berada. Dalam segala hal dan juga bidang." Jawab muljoko sambil menghembuskan kepulan asap rokoknya yang tebal.

"Bro, saat aku dalam perjalanan menjemputmu ke bandara, ada kejadian aneh yang sekaligus membuatku jengkel." Kata hendra.

"Apa itu, bro?"

"Mobilku, di timpa sebuah batu berbungkus mori. Yang di dalamnya terdapat pesan yang memerintahkan aku agar menghentikan penyidikan ini."

"Kau serius?"

"Bisa kau lihat benda itu di bangku belakang."

Muljoko meraih sebuah buntalan yang di balut kain mori tersebut. Dia hanya mengambil mori nya saja, dan meletakkan kembali batu itu di bangku belakang. Muljoko mengamati kedua benda itu sejenak. Matanya menyipit. Kemudian, dia membenahi posisi tubuhnya, mencoba fokus membaca tulisan pada kain mori yang ia terangi dengan senter milik hendra.

"Menarik. Dia menyuruhku untuk berhenti, maka aku akan semakin bertindak. Lihat saja, kita lihat ada apa di balik ini semua." Ucap muljoko.

"Bukan itu saja, klien ku juga mendapat pesan yang sama. Bedanya ia melalui sebuah surat yang ditaruh di depan pintu rumahnya saat tengah malam tiba."

"Sedangkan kau, di beri peringatan melalui kain mori? Di lihat dari caranya saja, orang ini lebih takut pada kau di banding klien mu itu. Dia ingin kau gentar, dan memutuskan menghapus kasus ini dari daftar laporan. Aku yakin, ada sesuatu yang tak biasa." Muljoko berpendapat. Ia menciumi kain mori yang di genggamnya kini. Ada sebuah aroma yang membuat pikirannya menjadi tenang. Walau kain itu tampak mengerikan dengan bercak tanah basah, muljoko terkekeh. "Pocong zaman sekarang unik ya, merobek bajunya untuk menyampaikan pesan. Kalau bertemu, nanti akan ku belikan smartphone. Haha."

"Apa kau tak jijik, melihatnya saja aku geli. Hih." Komentar hendra yang di sambut tawa oleh muljoko.

Mobil melaju lebih kencang. Meninggalkan kawasan perkotaan menuju sebuah perbukitan selatan yang menyimpan sebuah cerita.

***

Setibanya di bukit selatan, muljoko memerintahkan hendra untuk parkir lebih jauh dan di tempat tersembunyi.

"Apa alasanmu?" Tanya hendra.

"Jangan sampai ada orang tahu. Aku ingin penyidikan kali ini berjalan dengan penuh rahasia." Muljoko merapihkan ranselnya. Memastikan segala perkakas yang diperlukan sudah komplit, begitupun dengan hendra. Keduanya turun, berjalan di atas semak belukar yang lembab, menuju pintu masuk bagian belakang hotel. Keduanya memanjat langsung ke salah satu balkon kamar di lantai dua.

Muljoko tiba lebih dulu di atas, ia congkel sedikit jendela yang terkunci. Lalu masuk di susul oleh hendra yang kakinya tersangkut-sangkut pohon rambat yang menjalar di dinding hotel.

"Astaga, tanaman ini berduri. Tanganku lecet-lecet. Ah!" Hendra menahan perih di tangan.

"Kau lupa pakai sarung tangan rupanya, ndra."

"Iya, aku tidak bawa, bro." Ujar hendra.

Setibanya di balkon kamar, mereka menyusup masuk. Di dalam sangat gelap. Hendra menyalakan senter di kepalanya, sedangkan muljoko menggunakan senter tangan.

Muljoko berjalan menuju pintu kamar, tetapi gagang pintu ketika ditarik lepas dari permukaan. Sehingga kini mereka tidak dapat keluar melalui pintu tersebut.

"Bisa saja ku congkel sedikit pintu ini." Ujar muljoko. "Kau kan sudah tiga hari melakukan pemeriksaan di sini, mana kuncinya? Segera kau buka agar aku dapat keluar menjelajahi hotel."

"Liam belum memberikannya, aku hanya memeriksa bagian hotel yang terbuka pintunya alias tidak terkunci." Kata hendra.

Muljoko mencubit dagu bawahnya. "Maksudmu di lantai dua ini semua pintu di kunci?"

"Hanya sebagian. Sisanya tidak."

"Aku sedikit sangsi. Mengapa harus di kunci." Kata muljoko penasaran.

"Sebelumnya aku juga menemukan pisau berukir dan sebuah bagian tulang manusia yang sengaja di pajang di salah satu kamar hotel ini."

"Kau yakin itu tulang manusia?"

"Aku yakin. Karena bentuknya seperti rusuk."

Muljoko mengamati seisi ruang dengan senternya. Dari atas lalu ke bawah. Meraba permukaan dinding. Membalik ranjang yang di lipat. Dan membobol sebuah lemari tua. Tidak ada apa-apa lagi di sana selain ranjang tua dan lemari.

"Padahal hanya dua buah benda yang tidak seberapa bernilai. Mengapa di kunci?" Kata muljoko sambil terus berjalan keliling kamar, memasuki toilet hotel di sana hanya di suguhkan sebuah wc dan bathub usang serta paralon yang telah berlumut dan ringkih permukaannya.

"Ndra, bagaimana kondisi kamar yang tidak di kunci?" Tanya muljoko.

"Bagaimana?" Tanya hendra balik.

"Lebih tepatnya isi ruangannya."

"Ranjang yang di gelar rapih, dengan lemari, meja rias, serta toilet. Bahkan beberapa properti lain untuk kebutuhan tamu, semua masih sangat bagus dan layak pakai. Tidak tampak seperti berada di hotel kosong." Ujar hendra menjelaskan. "Kenapa memang?"

"Ya. Kalau barang-barang nya begitu komplit dan bagus, bahkan tidak di kunci. Kenapa kamar dengan dua barang rongsok ini di kunci? Apa kau tak curiga? Kalau aku lihat posisi kamar ini berada di tengah dan bukan di ujung yang sewaktu-waktu bisa dianggap sebagai penampung perabot bekas."

Hendra terdiam. Muljoko ada benarnya juga.

"Di tahun berapa hotel ini berdiri?"

"1888." Jawab hendra singkat.

"Apa?! Hotel ini sudah satu abad lebih." Muljoko kembali terdiam. Ia sibuk dengan pikirannya. Ia mencoba merekam semua kejadian hari ini, dari hal aneh yang di alami hendra hingga sebuah kamar yang di anggap nya menyimpan misteri.

"Ndra, posisi kita sedang tidak aman. Sebaiknya kita kembali keluar jendela. Secepatnya! Sebelum orang itu sadar keberadaan kita!"
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 12 lainnya memberi reputasi
13