LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#5
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
Di rumah kecil nan asri, dengan rerimbunan pohon yang mengelilingi tanah tempat bangunan itu berdiri, tampak seorang pria berjaket hitam sedang sibuk memutar tombol kombinasi sebuah brankas yang ukurannya besar.

"Sejenak aku amankan di sini, sudah ku catat tanggal dan jam nya. Aku tak mau ambil risiko kehilangan penemuan hari ini akibat lupa."

Setelah menata isi brankas, hendra menutup kembali kotak besinya itu. Menguncinya dan meletakkannya di kolong meja sudut kamar.

Ia terduduk di pinggir ranjang, mencoba mengaitkan satu persatu kejadian yang ia temukan. Mulai dari keterangan liam yang kehilangan istrinya secara misterius di dalam hotel saat berdua, wanita bernama melda yang memukul-mukul dinding dan sebuah pisau berukir, lonceng dan lemari hitam yang berbunyi dan terguncang, serta tulang manusia yang sengaja di pajang di dalam kamar hotel.

"Aku coba memposisikan diri ku sebagai aleda, bersembunyi di salah satu kamar ketika bermain bersama suami di dalam hotel tua lalu aku menghilang? Karena apa? Apakah aku tersesat? Apa aku terjatuh dari lantai dua? Ah, atau bahkan aku... katakanlah aku hanya ingin memperalat liam, aku pergi dengan selingkuhan ku dengan menciptakan adegan seolah-olah aku hilang? Atau mungkin, sebenarnya aku tidak bersembunyi di kamar baris tiga itu, tetapi di tempat lain yang aku sendiri asing terhadap tempat itu?" Hendra mengerutkan dahi. Ia berpikir keras. "Aku yakin, tak selamanya sebuah problem di dasari hal mistis, profesi ini mengharuskan aku berpikir rasional untuk keperluan data yang sifatnya dapat di buktikan dengan mata terbuka. Walau aku sendiri tidak memungkiri, kalau di dunia ini manusia hidup berdampingan dengan makhluk tak kasat mata. Sejauh ini aku akan terus mencoba mengungkap semuanya dengan sikap yang realistis."

Hendra membuka laptopnya, menuju mesin pencarian dan mengetikkan kata kunci "1888 hotel" di sana di jumpai beberapa artikel yang membahas sejarah pembangunan hotel, sejarah kepemilikan yang turun-temurun, dan juga penyebab hotel yang sempat berhenti beroperasi pada tahun 1918. Hingga di gunakan kembali dari tahun 1950 hingga 1966.

Di internet terdapat beragam info menarik tentang hotel ini yang dapat ditemukan, bahkan tak jarang ada sebuah forum yang membahas keunikan serta keseraman hotel tua ini. Tapi hendra mengabaikannya, sesaat ia terhenti melihat sebuah spoiler sebuah akun yang menulis sebuah review pengalaman nya menginap di hotel tua tersebut. Hendra hanya nyengir. Menganggap hal itu lelucon belaka.

"Kalaupun memang benar, mengapa lansia zaman sekarang pandai bermain smartphone dengan ketikan tipikal anak muda. Haduh, haduh, haha. Ada-ada saja."

Hendra terus menelusuri hingga bagian laman ke sembilan di bagian mesin pencari. Di sana ia temukan sebuah iklan lawas yang di ketik manual di forum berbeda. Hendra membuka forum tersebut. Terlihat sebuah akun bernama duko123 yang menawarkan sebuah hotel khususnya kepada para investor muda di kawasan bukit selatan dengan harga bersahabat. Dalam iklan baris tersebut, di sertakan nomor telepon dan email pemilik hotel. Hendra mencoba mencatat nomor telepon itu dan email nya. "Bukit selatan, apakah hotel 1888? Iklan ini sudah 10 tahun yang lalu. Akan ku cari tahu lagi."

Hendra menyimpan postingan itu ke dalam bookmark, lalu kembali ke halaman depan mesin pencari. Ia mengetikan kata kunci "pembangunan hotel di bukit selatan kota dalam sepuluh tahun terakhir."

Tak terduga, ada sebuah artikel yang membahas tentang perkembangan daerah tersebut. Selain tempat wisata kolam renang yang masih sepi pengunjung, di sana juga telah di bangun tiga buah hotel dalam waktu dekat di tahun yang sama. Serta dua buah hotel yang di bangun 8 tahun sebelumnya. Dan semua hotel itu sama-sama belum diresmikan setelah masa pembangunan selesai.

"Jika memang benar, aku tak begitu yakin jika hotel itu adalah hotel 1888. Sebab, ada tiga hotel yang di bangun 10 tahun lalu, dan dua buah hotel 8 tahun sebelumnya. Dan mereka sama-sama belum.beroperasi. bisa saja pemasang iklan tadi mengiklankan salah satu hotel di atas."

Terakhir, hendra membuka artikel yang membahas siapa orang terakhir yang memiliki hotel 1888 tersebut, dan di sana tertera sebuah nama. RUMAIDA.

"Memang tidak salah lagi, wanita tua ini yang harus aku cari keberadaannya. Target ku selanjutnya adalah menemui rumaida, aku ingin lebih tahu sejarah hotel lebih detail, aku bukan tidak percaya media. Tetapi, aku ingin penyataan dari sumber nya langsung. Media zaman sekarang terlalu banyak di lebihkan di banding kurang. Padahal data yang di sampaikan belum tentu valid."

Hendra hendak merebahkan diri sesaat sebelum telepon genggamnya berdering. Hendra menatap layar ponselnya, terlihat sebuah panggilan di sana. Dari sahabat karibnya.

"Bro, aku sudah tiba di bandara malam ini. Kamu bisa jemput aku?" Tanya suara pria melalui telepon.

"Ah, cepat sekali, kamu bilang baru dua hari lagi tiba."

"Aku lihat stori WA-mu, kayanya kamu bersemangat untuk selesaikan kasus ini?"

"Ya, ini kasus yang misterius. Ada beberapa hal yang bikin otakku olahraga."

"Ya sudah, kita bicarakan nanti di rumahmu, kamu jemput aku dulu di bandara, ya? Di tunggu."

"Oke, siap. Saat ini juga meluncur."

Hendra bergegas menuju garasi di rumahnya, mengeluarkan mobil sedan hitam andalannya. Malam telah tiba, sebelum melakukan penyelidikan hendra harus menjemput muljoko kawan sejawatnya di bandara. Ia baru saja kembali dari kampung halaman setelah menikmati masa cuti beberapa hari karena kerabatnya sedang sakit.

Hendra memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, ia sudah tidak sabar ingin menceritakan kepada muljoko tentang segala aktifitasnya selama beberapa hari di hotel tua milik liam.

Melintasi pemukiman warga, kini hendra tiba di kawasan perkebunan teh yang sepi senyap. Tidak ada lagi aktifitas warga, jika langit berganti gelap segala aktifitas di kebun itu di ambil alih oleh para binatang malam.

Hanya mobil hendra yang tampak melintas dengan cahaya lampu kuning yang terang benderang. Melalui jalan yang tidak mulus dan juga berkelok mobil hendra tetap terpacu dengan mulus karena kemampuan menyetir hendra yang bisa di bilang mumpuni.

"Pukul 07:00 malam. Rasa-rasanya penyelidikan akan aku undur tiga jam lagi."

Hendra meraih telepon genggamnya. Ia membuka menu panggilan, menghubungi yudi salah satu anggota yang ikut dalam penyelidikan malam ini. Nada sambung terdengar. Tidak sampai 25 detik panggilan hendra di jawab oleh yudi.

"Malam komandan."

"Malam, yud. Maaf saya ganggu. Yud, beritahu anggota lain, penyelidikan malam ini di undur, jam sepuluh malam baru kita bergerak. Saya harus temui muljoko, dia baru saja tiba di bandara sore tadi."

"Oh baik, komandan. Saya segera sampaikan amanat." Jawab yudi di seberang sana, terdengar suara langkah kaki yudi menuju sebuah tempat. "Komandan, saya akan segera sampaikan informasi, saya baru selesai istirahat dan akan siap-siap menuju tempat ibadah."

"Baik, yud. Kamu lakukan tanggung jawab mu dulu. Terima kasih, ya. Selamat malam."

Telepon terputus, hendra kini kembali terdiam dalam sepi. Kawasan kebun teh belum selesai ia lalui, ia sengaja mengambil jalan lain yang akan mengarahkannya ke jalur tanpa hambatan.

Di jalan perkebunan yang redup karena tidak ada pencahayaan terkecuali dari lampu mobil milik hendra, ia mengerem mobilnya dengan sangat mendadak. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terkejut.

"PLAK!!! BRUGHHH!"

"ASTAGA! Apa itu?" Hendra terkesiap. Lalu ia memberanikan diri turun dari mobil. Melihat ke atap kendaraannya. Terlihat sebuah benda berbungkus putih dengan noda tanah merah di permukaannya. Ia meraih senter di dalam mobil lalu menyinari setiap letak yang dapat di jangkau oleh cahaya lampunya. Bahkan dari arah atas sekalipun. Tapi, tak dapat ia temukan siapapun yang melempar bungkusan kain putih itu.

Tanpa rasa takut ia mengambil bungkusan itu lalu membukanya dengan cepat. "Ini kain mori, manusia kurang kerjaan mana yang melempari mobilku dengan kain pembungkus mayat?"

Setelah terbuka, terdapat batu besar dan ia melihat sebuah tulisan pada permukaan kain.

"HENTIKAN PENYELIDIKAN INI!"

Hendra tersenyum kecut, "kau pikir aku akan takut dan mundur begitu saja? Dasar busuk." Ia kembali masuk ke balik setir menyimpan buntalan berisi batu besar yang di bungkus mori. "Apapun yang ku temukan selama proses penyidikan ini akan ku simpan. Biarpun seekor semut sekalipun."
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 13 lainnya memberi reputasi
14