LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#4
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
Terang laras pagi ini menemani perjalanan liam dan aleda menuju sebuah pedesaan di luar kota. Mereka hendak menemui seorang wanita tua yang akan menjual sebuah penginapan warisan keluarga. Mereka sengaja pergi sejak pagi buta untuk menghindari kemacetan di ibu kota.

"Li, berkendara pagi-pagi gini lebih sejuk ya, seger deh pas hirup nafas." Kata aleda sambil bersandar di kursi depan dengan kaca yang terbuka lebar.

"Seger sih seger. Tapi jangan lebar-lebar led, kamu bisa masuk angin nanti."

"Kapan lagi li, aku kan jarang keluar subuh-subuh gini."

Setelah keluar dari kawasan pemukiman, mobil mereka melaju kencang menuju barat, memasuki jalan besar yang belum padat kendaraannya.

"Li, aku udah ngga sabar deh pingin kelola hotel ini. Setelah resmi jadi milik kita, apa kamu bakal buka rekruitmen besar-besaran ke masyarakat sekitar?"

"Ya tentu, setelah perbaikan. Ini kan hotel tua, kamu tentunya paham 50% kondisinya ngga sesempurna saat pertama di bangun dulu. Hotel ini sudah satu abad lebih loh,"

"Iya li, aku paham. Semoga proses perbaikan ngga memakan waktu yang lama, ya. Aku ngga nyangka deh, aku temukan iklan hotel ini di internet dengan harga yang sangat murah. Aku pikir ini penipuan, tapi setelah aku telfon, pemiliknya bersedia bertransaksi langsung supaya kita percaya. Surat kepemilikannya juga masih lengkap loh."

"Anggap ini rezeki ya led. Semoga selalu di mudahkan. Kamu semangat banget, sih?" Tanya liam sambil mencubit pipi kanan aleda.

"Li, perempuan mana sih yang ngga semangat buat bantu suaminya supaya sukses?"

"Iya aku paham, kok. Tapi, aku ingetin. Jangan terlalu menggebu-gebu, ya? Karena ini kan masih proses di awal, nanti kalau nasib berkata lain, kamu ujung-ujungnya kecewa, ujung-ujungnya nyalahin tuhan."

"Ngga gitu juga, li. Aku bahagia aja. Bisa nemuin properti dengan harga murah, sesuai lah sama jumlah modal yang kita punya. Apalagi, aku kan pernah sekolah perhotelan, rasanya pas banget, alih-alih jadi karyawan hotel, aku bisa langsung jadi istri pemiliknya. Hehehe."

"Oh, kamu berniat nyandang status juga?"

"Engga li, pas dan sesuai dengan kemahiran aku dalam mendalami ilmu perhotelan. Ya walaupun pas sekolah aku banyak bengong nya hahaha." Aleda tertawa riang.

"Ya ampun. Jangan sampe deh, tamu nya orang tablo gara-gara yg kelola nya tukang bengong. Hehe."

Waktu menunjukkan pukul 7:20 pagi. Mobil mereka melaju di jalan kecil tepat di samping ngarai. Di bawah sana, terlihat pepohonan rindang dan lebat dengan daun hijau, menampakkan kesan gelap dan lembab. Hawa sejuk menerpa mata. Desau angin menggesek dedaunan, terdengar suara kicauan burung dari kejauhan. Jalan berpasir dengan batu kerikil tersebar di jalan beradu dengan ban mobil milik liam. Terlihat antar rumah satu dan lainnya saling berjarak.

Liam terhenti di tengah-tengah tiga jalur. Di hadapannya kini, terdapat jalan dengan tiga arah yang berbeda. Tanpa papan penanda kemana arah jalur itu akan dilintasi pengguna jalan.

"Ini kemana ya, jalan sebelah kiri, tengah atau yang kanan?"

"Kemarin sih, beliau bilang pas lewat telfon, kita di suruh nya ambil jalan tengah. Setelah tanjakan terakhir."

"Ok, kita masuk jalan ini ya."

Liam mengoper gigi, menancapkan gas dalam-dalam. Karena jalur tengah memiliki tanjakan yang amat tinggi. Suara mesin mobil menderu kuat, melewati jalan berbatu yang kering tanahnya.

Setelah melewati jalur tengah, mobil liam terus mengikuti jalan. Hingga kelokan terakhir. Di sana terdapat sebuah jembatan dan di bawahnya terdapat sungai yang mengalir deras. Tampak bebatuan berbaris tak beraturan menghiasi permukaan sungai. Di pinggirnya, terdapat barisan pohon bambu yang rindang daunnya.

"Waw, suara air sungai menggelegar banget ya li. Beda sama sungai deket rumah kita."

"Jangan di samain led, sungai di tengah kota kalah suaranya karena padat lingkungan nya. Kalau di sini kan sunyi, jadi aliran nya kencang terdengar jelas di telinga."

"Jadi pengen kan punya rumah di desa terpencil gini."

"Yakin sanggup? Ngga ada mall, loh. Jauh dari pasar juga. Kalau mau makan musti rajin nanem sayur dulu, kaya nenekku waktu masih hidup. Rajin banget bercocok tanam."

"Ah ngga gitu juga, li. Zaman dah modern loh. Ngga sesulit itu, kok."

"Memang, tapi era modernisasi belum menjangkau seluruh wilayah 100%. Karena masyarakat nya sendiri lebih nyaman hidup berdampingan dengan alam. Ngga semua orang tertarik hidup modern kok, ada beberapa yang lebih suka menjalani kebiasaan lama."

"Wah, sulit juga li." Aleda termenung, ia masih terbuai dengan nyanyian bunyi sungai. Baginya ini hal langka, tidak bisa ia nikmati setiap hari, ketenangan berada di desa terpencil ini, takkan bisa ia dapatkan di kota besar.

"Led, ibu itu ada konfirmasi ke kamu ngga soal ciri-ciri rumah?"

"Ya. Rumah ber-cat merah. Dengan pondasi batu alam yang di cat hitam."

"Aku rasa ini," kata liam menunjuk sebuah rumah yang letaknya sedikit tertutup.

Mobil mereka terhenti di sebuah pagar besi yang penuh karat. Dengan nomor yang tertempel di sana. Liam dan aleda turun dari mobil, berjalan menuju gerbang. Liam membunyikan lonceng yang tergantung di pagar, beberapa kali hingga mereka tak mendapat jawaban dari sang pemilik.

"Apa kita masuk aja? Aku lihat tirai jendela nya terbuka kok. Pasti ada orang." Saran aleda.

"Ok."

Aleda berjalan kaki memasuki latar rumah yang kanan kirinya di tumbuhi tanaman bunga dengan berbagai jenis. Mobil liam terparkir tepat di samping jendela rumah. Liam membunyikan klakson sebagai tanda kehadiran mereka. Aleda menginjakan kaki di beranda rumah yang berlantai dingin yang di susul oleh liam.

Aleda mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kaca, beberapa ketukan hingga akhirnya sang penerima tamu keluar menyambut mereka.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Sapa seorang pria paruh baya dengan ikat kepala bercorak batik.

"Selamat pagi, maaf mengganggu, kami mencari ibu rumaida, pak. Apa benar ini kediaman beliau?" Tanya liam.

Lelaki itu tampak diam sejenak. "Oh benar, anda sekalian ini tamu ibuk dari kota ya? Calon pembeli hotel?"

"Benar, pak." Jawab liam.

"Silahkan masuk, ibuk sedang berada di taman belakang. Nanti saya panggilkan. Silahkan duduk, jangan sungkan."

Pria paruh baya itu pergi, meninggalkan aleda dan liam dalam pesona mereka melihat desain rumah bu rumaida yang artistik. Semua serba merah dengan paduan warna hitam dan emas yang selaras. Bahkan hingga perabotan memiliki warna yang senada.

"Aku yakin, bu rumaida tipe orang yang punya selera tersendiri dalam dunia seni. Ngga sembarang orang bisa menghias rumah dengan sedetail ini, bagi aku ngga gampang loh cari perabotan dengan warna khas dan selaras kalau bukan buatan yang di khususkan." Liam mulai berpendapat. Dia sendiri terpukau dengan sentuhan warna dan penataan barang hingga letak bangunan rumahnya.

"Pas ya led, warna ini memang gelap, tapi elegan banget. Kesannya hidup. Aku pernah baca sebuah artikel, kalau warna-warna kaya gini mencerminkan kepribadian yang tenang,"

Aleda tak menggubris ucapan liam. Ia tenggelam dalam lamunan. Liam yang melihatnya sedikit jengah. Segera ia menendang betis aleda dengan kuat.

"Ada ya, orang mau jadi bos hotel hobbi nya bengong gini? Kasihan calon tamu dan karyawanku kelak."

"Aw!" Aleda mengadu kesakitan. "Bikin kaget aja sih, kamu ngapain coba nendang-nendang."

"Jangan suka bengong, kalo kesurupan aku yang ribet. Bukan kamu atau setannya. Tau!"

"Ya maaf. Ini kan bawaan."

"Ya ngga usah di bawa. Di jadiin alasan aja."

Tak lama, pria paruh baya tadi muncul bersama seorang wanita tua. Berpakaian ala bangsawan, dengan gaun hitam berlengan panjang dengan panjang yang menutupi lutut dan rambut hitam beruban yang di tata rapih. Serta menggunakan kacamata tanpa bingkai berlensa abu-abu menambah kesan elegan penampilannya pagi ini.

Bibir bergincu merah itu menyapa dengan ramah dengan senyum simpulnya.

"Selamat pagi anak muda, maaf ya nenunggu lama." Wanita tua yang diketahui bernama rumaida tersebut duduk di sofa tepat di seberang liam.

"Selamat pagi, bu. Tidak lama, kok." Jawab liam sumringah.

"Jadi apakah benar, kalian liam dan aleda yang menghubungi saya melalui telepon kemarin untuk transaksi bangunan hotel itu?"

"Ya, benar bu."

"Ah, syukurlah. Saya senang sekali hotel saya sebentar lagi pindah kepemilikan." Jawab rumaida lega.

"Bu, kalau boleh saya tanya. Apa sebab anda menjual hotel tersebut, mengingat hotel itu mempunyai sejarah sendiri, dan sudah berusia lebih dari satu abad. Tentunya ini bukan hal yang mudah."

Rumaida menatap liam dalam. Lalu bergantian menatap aleda. Lalu tersenyum.

"Ah, saya sudah tua. Saya seorang janda yang tidak memiliki keturunan. Kalau saya meninggal, lebih parah lagi. Hotel itu akan terbengkalai tanpa pemilik. Kalau saya jual, kan bisa di manfaatkan. Daerah bukit selatan sana, sudah padat oleh aktifitas penduduk, zaman sudah maju, saya yakin hotel itu akan kembali hidup." Rumaida tersenyum. "Duko, kamu buatkan tamu saya hidangan spesial. Mereka orang baik. Tolong perlakukan dengan baik pula."

"Baik, ndoro." Ucap pria paruh baya bernama duko. Dia berlalu pergi ke belakang meninggalkan ruang tamu.

"Dia pelayan setia saya, namanya duko. Sejak masih muda dia ikut dengan saya. 20 tahun lebih."

"Wah lama sekali," jawab aleda.

"Tentu, cukup perlakukan manusia layaknya manusia," Jawab rumaida dengan tatapan misterius ke arah aleda.

"Oh, ya. Ibu sangat benar. Biarpun antara majikan dan bawahan, saling menghargai juga tetap harus di terapkan." Jawab aleda yang salah tingkah menerima tatapan dari rumaida.

Dalam hatinya aleda merasa bingung, mengapa rumaida melayangkan tatapan aneh kepadanya. Ia segera membuang wajah, beralih mengamati benda sekitar.

"Jadi... perihal transaksi, kita lakukan di sini saja?" Tanya liam sedikit kaku.

"Iya, seperti kesepakatan melalui telepon, agar kalian percaya. Silahkan." Senyum rumaida melebar.

"Sesuai harga yang tertera pada iklan kan, bu?"

"Sebagai bonus karena perjalanan yang jauh, saya beri potongan 3%."

"Oh terima kasih, ini uang nya, bisa anda hitung dulu." Kata liam menyerahkan satu buah koper besar berisi uang tunai.

"Tidak usah. Saya percaya. Dan ini, surat-surat hotel tua itu. Masih lengkap dan komplit. Nama pergantian kepemilikan bisa segera kalian urus. Dan saran saya, agar segera di resmikan pembukaan hotel itu, nak."

Liam dan aleda saling tatap. "Kenapa, bu?"

"Haha, haduh. Jangan begitu tatapan kalian, saya yakin 100% lokasi di bukit selatan akan di penuhi banyak penginapan sebagai pesaing kalian nanti, investor jaman sekarang ganas-ganas, loh." Ucap bu rumaida mencairkan ketegangan sesaat yang di alami aleda dan liam.

"Ah, bu rumaida bisa saja. Saya pikir karena apa. Tapi ibu benar, beberapa tanah di kawasan bukit sudah jatuh ke tangan beberapa investor ternama. Bahkan tempat wisata akan diperluas untuk meningkatkan minat pengunjung dari berbagai kota." Jelas liam. "Bukan hanya itu, di dekat lokasi hotel sudah di bangun sebuah pusat perbelanjaan, tak heran kalau sebentar lagi akan di bangun perumahan."

"Anda benar nak liam. Zaman semakin maju, tanah-tanah akan semakin penuh terisi oleh bangunan dan gedung-gedung. Saran saya, tanah di belakang hotel di biarkan saja. Sewaktu-waktu tanah itu bisa digunakan untuk kepentingan pribadi nak liam."

"Apakah tanah itu letak nya jauh dari hotel?" Tanya aleda.

"Sekitar 3 kilo meter."

"Wah, itu kan bukan hak kami, bu."

"Sudah, nak. Tanah seluas 4 hektar itu juga telah menjadi milik kalian, saya jual satu paket bersama hotel tersebut. Itu sertifikatnya, saya gabung di satu tempat. Agar memudahkan kalian nanti nya."

Aleda dan liam saling tatap. Mereka tak percaya. Dengan harga yang sangat murah mereka bisa mendapat hotel beserta tanah dengan mudahnya.

"Apa ibu yakin?"

"Iya, sangat yakin. Saya sudah tua, tidak lagi memikirkan harta. Kalau saja saya punya keturunan, pasti akan saya berikan kepada mereka. Tapi kenyataannya, tidak." Kata rumaida dengan nada sedih.

"Terima kasih bu rumaida."

Mereka saling berjabat tangan tanda persetujuan jual beli hotel telah di sahkan. Dan berganti kepemilikan.

"Sama-sama, ayo kita makan siang bersama. Kalian datang jauh-jauh jangan sampai tidak menyicip masakan saya." Ajak bu rumaida ke ruang makan.

Setiba nya di ruang makan, bu rumaida mempersilahkan mereka menyicip hidangan di meja makan. Liam dan aleda mengambil bagian masing-masing. Begitupun duko, ia turut serta makan di meja yang sama.

"Bu rumaida, kalau saya tidak makan di meja yang sama, dia bisa ngamuk." Canda duko.

"Iya, tidak ada perbedaan di rumah ini. Semua sama. Mendapatkan hak yang sama juga." Jawab bu rumaida.

Mereka menyantap makanan dengan lahap. Terlebih liam dan aleda, mereka tak pernah merasakan makanan senikmat ini sebelumnya.

"Daging dan tumis jagungnya sangat enak." Puji aleda. "Ibu, pintar masak ya."

"Ini daging rusa yang ditangkap oleh duko semalam."

"Daging rusa? Begini ya rasanya, nikmat." Komentar liam.

"Saya sesekali saja menangkap rusa, kalau sedang ingin berburu ke hutan."

"Oh pak duko ini pemburu juga, ya?" Tanya aleda sambil menyantap sisa daging yang tertempel pada tulang rusa.

"Tidak juga, ini hanya kepepet, karena ibu bilang mau ada tamu spesial, makanya malam itu juga saya berangkat ke hutan untuk cari hewan buruan. Kebetulan saya menemukan rusa ini," ujar duko.

Mereka makan dengan lahap, tanpa terasa waktu telah menjelang tengah hari. Setelah urusan mereka selesai, aleda dan liam pamit undur diri.

Bu rumaida dan pak duko menghantar mereka hingga ke gerbang depan. Liam dan aleda melangkah masuk ke dalam mobil.

Ketika mobil akan keluar, bu rumaida dan pak duko melambaikan tangan salam perpisahan.

"Jangan sungkan mencari kami lagi jika ada hal lain yang diperlukan." Ucap bu rumaida.

"Hati-hati di jalan, semoga kita bisa berjumpa lagi." Ucap pak duko sumringah.

Terdengar suara lonceng yang berbunyi ketika pintu gerbang di tutup dengan keras.
Diubah oleh LiongMelfin 20-04-2021 09:36
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 12 lainnya memberi reputasi
13