LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#2
BAB 2 DINDING DI PUKUL?
Liam mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, melalui jalur perbukitan yang kanan kirinya ditanami pepohonan jati. Sejuk nya semilir angin menerpa masuk melalui kaca mobil yang terbuka penuh. Jalanan sepi dan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas menuju arah berlawanan.

Liam menyetel radio mobilnya sebagai pengusir sepi. Suara gemerisik sebagai pembuka suara radio siang ini. Tak lama, terdengar suara pembawa acara menyambut hangat para pendengar.

"Biasanya aku komentarin kebiasaan kamu led, kalau kamu make up di samping aku." Kata liam mengenang aleda. "Sampai dimana ya kasus ini, semoga ada titik terang. Jujur, aku ngga sanggup begini, aku mendadak hilang semangat. Tapi demi cita-cita kamu dan aku, ini harus aku lakukan walau berat. Terlebih aku harus hadapin kenyataan tentang kamu yang entah nanti baik atau buruk."

Liam memutar kemudinya ke kiri jalan. Memasuki jalan besar menuju perkotaan. Banyak kendaraan besar yang melintas dan beberapa pedagang yang menjajakan makanan dan minuman di jalan. Di bawah terik matahari pagi, liam menyapa salah satu pedagang kecil di kanan jalan dekat lampu merah dengan akrab.

"Pagi, lik." Sapa liam hangat, walau tanpa senyum di wajah. Pedagang itu menoleh.

"Eh, mas liam. Baru kelihatan. Mau kemana ini?" Balas pedagang itu ramah.

"Aku ada perlu, mau ke kantor polisi."

"Kantor polisi? Kenapa mas?" Dengan raut cemas.

"Istriku. Hilang." Kata liam lesu.

"Hilang bagaimana mas?"

"Ah ceritanya panjang lik, waktu bercerita dengan lampu hijau, lebih cepat lampu hijau. Lain kali aku mampir ya ke rumahmu, aku minta bantu doa saja lik, apapun yang terbaik untuk aleda, mari lik saya duluan." Liam menginjak gas perlahan sembari menepuk pundak tirto. Ia pergi berlalu, tirto nama pedagang asongan yang di sapa pak lik olehnya. Tirto hanya ternganga, masih bingung dengan penjelasan liam barusan. Yang tirto tahu melalui berita lokal, liam baru saja menjadi pemilik baru sebuah hotel tua di perbukitan selatan kota.

"Semoga saja. Semoga saja tidak lagi terulang hal yang sama."

---

"Ini pak, semalam ada seseorang yang mengetuk pintu rumah saya, dan meninggalkan amplop berisi surat bertinta merah ini." Liam menyerahkan amplop tersebut kepada polisi yang kemarin berbincang dengannya.

"Kita bisa bicara soal ini di luar. Apa anda ada waktu?"

"Ada. Apa bapak sedang tidak tugas?"

"Ya, saya sudah selesai dinas. Kita bisa bicarakan ini di tempat yang santai." Ajak polisi muda itu.

"Ikut mobil saya saja, pak. Sekalian kita sambangi bangunan tua itu sejenak."

"Panggil saja saya hendra, pak liam."

Keduanya pergi meninggalkan kantor menuju sebuah kedai minum di pinggir kota. Setibanya di sana, mereka memilih sebuah tempat yang sekiranya cocok untuk berbincang tanpa lalu lalang orang lewat.

"Di sini saja, sejuk dekat pepohonan." Ujar hendra. "Anda mau pesan apa, pak?" Tawar hendra ketika seorang pelayan tiba memberikan daftar menu kepadanya.

"Ah, sudah. Nanti saya catat sendiri saja. Malah merepotkan." Pinta liam.

"Biar sekalian, santai saja. Kalau di luar jam dinas, saya memang mudah berbaur. Haha." Canda hendra mencairkan sifat liam yang terkesan kaku baginya.

"Ah bisa saja. Kalau begitu, saya pesan kopi telur ya. Telurnya jangan terlalu dibuat matang." Pinta liam yang segera di catat oleh hendra.

"Wah. Bagi saya ini minuman ekstrim. Karena saya tidak suka telur mentah haha. Saya cukup teh hijau tawar, mengingat semalam saya makan cukup banyak camilan."

Hendra segera menyerahkan catatannya kepada pelayan tadi. Setelah pelayan tadi pergi, liam melanjutkan obrolannya.

"Profesi anda menuntut anda memiliki tubuh proposional. Saya paham."

"Tidak begitu, nanti kalau ada aksi kejar-kejaran, saya kalah jauh hahaha."

"Wah, kamu ndra, bisa bercanda juga."

"Ngga selamanya polisi sikapnya garang kok, pak. Saya manusia, butuh refreshing juga."

"Iya kamu benar." Jawab liam sambil menatap sayu ke sebuah pot berisi tanaman kamboja yang cantik bunga nya. "Lihat pohon itu, saya jadi teringat istri saya, dia suka tanaman kamboja."

"Ah serius? Itu kan bunga makam." Jawab hendra sambil mengerutkan dahi.

"Ya memang, tapi keindahannya tidak seseram lokasinya. Ya, kan?"

"Hm, betul. Banyak toko bunga menjual tanaman ini, nilai estetik nya, boleh lah. Apalagi di taruh di pot bernilai seni, semakin indah dipandang." Kata hendra menatap bunga itu. Tanpa sadar air mata hendra menetes. Liam yang menyaksikan pemandangan itu terkesiap. "Ndra? Kamu kenapa? Apa saya ada salah ucap? Saya minta ma.."

"Oh, maaf pak. Kok saya malah menangis. Saya, kalau lihat kamboja. Teringat mendiang ibu saya. Makam beliau dekat dengan pohon kamboja. Maaf pak. Saya jadi tidak enak menangis begini." Ucap hendra sambil mengusap air mata di pipi nya.

"Maaf, ndra. Karena saya, kamu jadi sedih. Saya mohon maaf. Ibu kamu, sudah lama meninggal?"

"Sudah. Sudah lama. Tapi rasanya membekas sekali di hati."

"Saya paham. Mudah-mudahan beliau tenang di sana."

"Terima kasih, pak liam. Oh ya, mengenai surat itu, apakah bapak benar-benar tidak melihat siapapun berada di dekat bapak?"

"Tidak. Saya berani jamin."

"Saya sedikit bergidik juga membaca tulisan tangan itu, apa anda merasa punya musuh di luar sana?"

"Ndra, sebelum saya memulai bisnis perhotelan ini. Saya sebelumnya menggeluti bisnis di bidang lain. Walau saya pribadi tidak merasa memiliki musuh, tetapi hati orang siapa yang tau, bisa saja mereka dengki dan menyimpan dendam kepada saya." Ucap liam menatap kosong ke latar kedai.

"Baik. Saya sependapat dengan bapak. Kalau menurut saya sendiri ini bukan hal kebetulan, pak. Dari surat yang saya lihat bentuk dan tulisannya, ini baru di tulis. Sudah ada orang yang mengincar bapak sejak lama. Nanti bapak saya kenalkan dengan rekan seprofesi saya yang biasa memecahkan kasus di kepolisian. Tapi tidak sekarang, beliau sedang berada di luar kota. Jadi bapak tetap waspada dan menunggu, kabari saja kalau ada hal-hal aneh."

"Makasih, ndra. Masalah penyidikan hari ini batal?"

"Tidak. Kami ganti waktu ke malam hari. Anda tenang saja, kami tidak akan lepas tanggung jawab dan melepas kasus ini begitu saja."

Kini pesanan mereka tiba, liam dan hendra sama-sama menikmati minuman mereka. Tak terasa langit menjadi lebih redup dari semula. Angin dingin bercampur bau debu mulai terhidu. Gerimis mulai turun. Suasana yang hangat perlahan menjadi dingin, sedingin hati liam yang hampa tanpa aleda.

"Oh ya, anda kemarin bilang membeli hotel ini dari seorang janda bernama rumaida? Apa sebabnya dia menjual hotel tua tersebut?"

"Saya tidak tahu, dia hanya berkata jika tidak memiliki ahli waris yang akan memiliki aset keluarga ini. Maka dari itu, dia jual kepada saya dengan harga murah. Mengingat lokasi hotel ini di tengah hutan."

"Aneh juga. Mengapa dulu konglomerat itu membangun hotel di tengah hutan, ya?"

"Ya, dari segi konsep bangunan juga sangat mencolok. Hotel megah di tengah hutan. Kadang saya berpikir, lokasinya sangat tertutup pun begitu jaya pada masa nya."

"Benar. Saya rasa binatang-binatang zaman dulu memiliki selera tinggi. Tidur pun di hotel."

"Saya sengaja membeli hotel itu, karena disekitar bukit selatan sudah mulai padat penduduk dan ramai tempat wisata. Saya bisa ambil target dari sana, dengan sedikit merombak bagian hutan sebagai jalan yang cukup di lalui dua mobil. Dan menebang beberapa pohon agar bentuk bangunan terlihat."

"Pikiran anda sangat rasionalis, pak."

Liam menyeruput kopi telurnya dengan nikmat. Sambil menatap air yang jatuh dari langit, hujan itu kini mulai deras. Membasahi bumi, juga membasahi hati liam.

"Oh ya, pak. Hujan begini, apa kita akan tetap lanjut datangi hotel milik anda?"

"Ya, lebih baik kita lanjut sekarang. Sebelum sore tiba."

Liam menyeruput kopinya hingga habis. Sementara hendra meninggalkan sisa tehnya di meja.

"Tidak dihabiskan?"

"Porsi saya hanya 100 ml teh hijau. Ini terlalu banyak. Bisa-bisa saya diare."

Setelah membayar pesanan, keduanya meluncur ke selatan. Menuju hotel mewah yang di selimuti aura gelap.

---

"Kriieeettt.." suara pintu tua hotel berbunyi. Liam dan hendra melangkah masuk menuju lobbi bangunan. Kesan pertama mereka adalah gelap.

"Saya akan lanjut ke lantai dua, bagaimana dengan anda?" Tanya hendra.

Liam hanya diam tergagu. Sedikit gemetar tubuhnya jika harus melangkah lagi ke lantai yang membuat kekasihnya lenyap.

"Bagaimana?"

"Baik. Saya ikut. Tapi..."

"Tapi apa? Dalam penyidikan jangan anda bekali diri anda dengan rasa takut. Kan anda tadi yang mengajak saya kemari?"

"Benar. Saya hanya sakit jika teringat aleda."

"Ayo. Berpikir positif. Anggap semua akan terselesaikan dengan baik."

Mereka melangkah menuju jenjang bercabang tiga. Melangkah dengan pelan namun cepat, tanpa berusaha mengeluarkan suara sedikitpun. Hendra menggenggam pistol ditangan, bersiap jika saja ada sekelompok bandit yang menyerang.

"Mengapa anda mengeluarkan senjata api?" Tanya liam, ia merasa ngeri melihat senjata api yang di genggam hendra.

"Meminimalisir serangan orang jahat. Proteksi diri tetap diperlukan bahkan ditempat milik sendiri. Tidak ada jaminan hotel ini aman walau sudah di beli, dan dengan kondisi yang bersih."

"Kita langsung ke kamar yang aku curigai?"

"Ya. Sebentar lagi sampai. Oh ya, apakah pemilik hotel sebelumnya memberikan kunci akses seluruh ruangan hotel ini?"

"Iya dia berikan kunci nya. Kenapa?"

"Saya perlu untuk keperluan penyidikan nanti. Itupun kalau pak liam berkenan meminjamkan nya."

"Bukan kah ruangan di hotel ini sengaja tidak di kunci oleh bu rumaida agar memudahkan para pembantunya membersihkan setiap ruang?"

"Ada beberapa yang di kunci. Entah lah, menurut saya walaupun dikunci tetap harus di selidiki. Jangan sampai ada yang terlewat. Jika bisa, maka lakukan."

"Baik, nanti akan saya berikan."

Setibanya di kamar baris tiga. Keduanya memeriksa dari segala sisi secara bergantian. Dari kanan ke kiri, dari depan ke belakang. Bahkan hingga balkon tak luput dari penyidikan. Tetap kosong. Tidak ada tanda-tanda aleda di sana.

"Ndra, aku temukan sesuatu. Ini lihat!"

Hendra terkesiap, ia segera menghampiri liam. Ia melihat liam menggenggam sebuah benda kecil dengan ujung runcing berwarna perak dengan ukiran yang menghiasi gagangnya.

"Pisau? Pak liam menemukan benda ini dimana?"

"Di depan lemari kayu ini." Liam menunjuk lemari dua pintu dengan ukiran bunga di permukaan kayunya.

Hendra terdiam.

"Pisau ini unik, saya rasa benda ini buatan seniman sejati. Apa menurut kamu pisau ini bisa menjadi barang bukti ketika kita melakukan penyidikan saat ini?" Tanya liam

Hendra tampak berpikir. Ia mengamati pisau itu, lalu mengamati liam kembali. Dia mengeluarkan plastik dan menyuruh liam memasukkan pisau perak itu ke dalam.

"Kita bisa simpan ini, saya akan bawa benda ini ke kantor untuk di simpan. Benda apapun yang kita temukan dan tidak layak berada di suatu tempat lebih baik di amankan. Sekiranya benda ini milik seseorang, pelayan atau anggota keluarga pemilik sebelumnya, bisa kita tanyakan dan..."

"Ya ndra, saya paham maksud kamu. Lagi pula benda ini tidak lazim ya berada di kamar hotel. Jadi, kamu simpan saja di kantor."

Hendra mengangguk setuju. Dia membungkus benda itu dan menyimpannya dalam saku jaket hitam miliknya. Mereka melanjutkan pencarian, tetapi ada hal aneh yang membuat mereka terhenti, lemari kayu itu.

Lemari kayu itu bergerak tak beraturan. Seperti terguncang. Liam dan hendra saling tatap. Bulu kuduk mereka meremang. Liam melangkah mundur, tetapi tidak dengan hendra. Ia mengacungkan pistolnya ke arah lemari. Melangkah perlahan, sedangkan lemari tua itu semakin kuat terguncang, lonceng dari seluruh pintu kamar bergemerincing. Persis seperti yang liam dengar tempo hari.

"Ini, ini yang aku alami. Suara lonceng itu." Liam terpojok di sudut kamar. Meringkuk. Menutup kepala dengan kedua tangannya. "Saya ngga sanggup ndra, saya trauma. Tolong hentikan suara ini ndra." Mohon liam.

Tetapi hendra tidak bergeming, ia menajamkan pendengaran. Melempar tatapan ke segala arah. Sambil terus menodongkan revolver nya. Dengan mata nyalang, dia menatap lemari tua berwarna hitam.

"Cara kalian kuno, sekuno bangunan ini. Kalian pikir saya akan gentar?" Ucap hendra dalam hati.

"BRAKK!!" Hendra menendang lemari hitam itu hingga patah pintunya. Dengan sigap ia acungkan lagi senjata di tangan. Dengan mata terbeliak, hendra menendang lagi pintu lemari hingga rusak. Ada hal lain, yang membuat hendra terdiam. Lonceng-lonceng itu, tak lagi berbunyi. Sunyi, hanya suara nafas mereka yang kini terdengar parau.

"Kosong." Ucap hendra.

"Ada makhluk lain, yang memang.."

"Diam!!! Saya tidak peduli itu." Ucap hendra garang.

Keduanya kini terdiam. Bermain bersama pikiran masing-masing. Mereka mencoba menerka, hal apa yang mereka hadapi kini.

"Pak liam, coba anda tajamkan pendengaran. Aku mendengar suara dinding di pukul. Di lantai atas. Aku yakin, ada orang lain selain kita, di sini!"
itkgid
harigino
namakuve
namakuve dan 14 lainnya memberi reputasi
15