LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
Misteri Hotel 1888 (Horor, Misteri)
Design gambar oleh penulis


Judul: MISTERI HOTEL 1888 (Horror, Misteri)
Genre: Horor, Misteri
Penulis: Ayu Fameliya EL (LiongMelfin)


Quote:

"Makasih ya led, aku engga akan bernasib sebaik ini, jika aja aku gak dengarkan saran kamu kemarin-kemarin... bahkan, setelah aku membeli hotel ini. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan kita kelak." Ucap liam sembari tersenyum penuh haru.

"Iya li, sama-sama. Aku bergerak sesuai dengan komitmen kita dulu, sewaktu masih berada di sekolah menengah atas. Oh, ya! Rencana kamu untuk hotel ini bagaimana? Apa kamu mau ganti nama hotel tua ini?" Tanya aleda sambil menatap papan nama hotel ternama itu.

"Kayaknya sih, engga. Hotel ini pernah jaya pada zamannya, dan aku berharap kejayaan itu akan kembali bersinar setelah aku restorasi bangunan ini." Jawab liam santai.

"Kamu ada niat mau ubah semuanya? Terlalu di sayangkan lho," ujar aleda.

"Ya engga, dong! Aku cuma ingin perbaiki bagian yang hampir roboh, dan menambah sedikit fasilitas di hotel ini. Memperbarui serta memperbaiki tanpa mengubah sedikitpun keaslian bangunan ini." Kata liam sambil menunjuk beberapa bagian hotel yang sudah rapuh.

Aleda tampak tertegun. "Yaudah aku serahin semua nya sama kamu, yang penting semua lancar dan mudah-mudahan kali iniiii aja, usaha kita berhasil. Udah beberapa kali kita gagal, aku harap ini yang terakhir."

"Ini berkat doa kamu juga led, amin." Liam mengecup kening aleda dengan lembut. "Aku mau coba cek ke dalam. Kamu mau ikut?"

"Tapi, di dalam kan gelap li."

"Aku bawa senter, kok. Yuk!"

Aleda dan liam mulai memasuki hotel tua peninggalan konglomerat ternama pada masa lalu. Dinding yang terbuat dari batu marmer berwarna merah bergaris hitam di setiap sisinya, memberikan kesan penggah setiap mata yang melihat. Sorotan senter liam menyorot ke berbagai sisi dalam hotel.

"Waw, luas dan megah ya, li." Imbuh aleda sambil menggandeng tangan liam dengan erat. "Aku masih ngga nyangka kita bisa dapatkan hotel ini dengan harga yang ramah." Aleda melempar tatap ke segala arah, mencoba membiasakan pandangannya dalam gelap.

"Kita emang beruntung, led. Doa kita terjawab, tinggal sedikit lagi kita resmikan bangunan ini." Kata liam yang terus menggandeng tangan aleda, berjalan menyusuri bangunan hotel tua dalam gelap.

"Pemilik sebelumnya rutin kirim puluhan orang untuk membersihkan bangunan ini, jadi hotel ini cukup terjaga kebersihannya. Maksud aku, ngga ada barang-barang berserakan di hampir seluruh ruangan kaya gedung-gedung kosong di film." Terang liam dengan polosnya.

"Ya ampun, korban film ternyata. Hehe." Aleda tertawa mendengar penuturan liam. "Bersyukur, pemilik sebelumnya masih peduli sama bangunan leluhurnya. Jadi kita sebagai pemilik baru gak repot deh buat kirim orang lagi. Iya, kan?"

Kini mereka menyusuri lorong hotel lantai pertama. Terdapat puluhan ruangan yang terjajar rapi dengan pintu berukir yang terbuat dari kayu jati. Di masing-masing pintu terdapat lonceng berwarna emas yang tergantung.

"Iya deh. Terserah opini kamu aja. Oh ya, by the waykamu mau coba naik ke lantai dua?" Tawar liam sambil menyorot tiap-tiap nomor kamar yang tertempel di daun pintu.

"Ah, nanti aja deh, aku sedikit merinding." Kata aleda mengelus tengkuk nya.

"Hm, yaudah, kita puterin aja lantai satu ya. Di lantai satu ini ada lima lorong, yang masing-masing di isi sekitar 20 kamar. Kita coba masuk ke lorong kedua, yuk?" Ajak liam.

"Boleh deh, yaudah yuk kita puter balik."

Aleda dan liam berbalik menuju lorong kedua, di tengah-tengah lobbi hotel terdapat tangga putar bercabang tiga yang sangat besar. Aleda terus mendengarkan derap langkah kaki mereka yang menggema. Tetapi, di ujung lorong aleda merasa sedikit aneh.

"Li, ada orang lagi di sini selain kita?"

"Engga ada."

"Loh."

"Kenapa led?"

"Aku bingung aja, kok ada suara langkah kaki yang lain ya?"

"Ah, masa?"

Liam segera menghentikan langkahnya, ia terdiam. Lalu ia melangkah lagi, sembari menghafal suara yang sama ia lalu berhenti lagi.

"Ini langkah kaki kita, tau!" Kata liam mencubit hidung bangir aleda dengan gemas. "Ngga usah parno, deh."

"Bukan. Coba deh kamu perhatiin lagi. Suara nya ada di lantai dua."

Langkah liam lagi-lagi terhenti, sembari menajamkan pendengaran. Lalu menatap ke atas. Ia menurunkan sorot senternya ke lantai, lantas mematikannya.

"Kamu diam. Melangkah pelan-pelan. Aku khawatir kalau tempat ini jadi sarang bandit. Mengingat tempat ini terlalu lama kosong."

Keduanya melangkah dengan pelan, hingga suara alas kaki yang beradu dengan lantai marmer nyaris tidak terdengar. Mereka berjalan dalam gulita, berjalan menuju tangga putar.

Tetapi, sebelum mereka tiba di sana. Liam melihat siluet yang bergerak menuruni tangga dengan langkah cepat. Siluet itu berjalan tergesa-gesa menuruni anak tangga, liam dengan gesit berlari ke bawah tataran, mencoba memberi efek kejut pada siluet yang di taksirnya adalah seorang perempuan.

"Aku ke sana dulu led! Aku yakin dia perempuan, di lihat dari gaya berjalan dan bentuk bayangannya!"

"Kamu hati-hati." Pesan aleda kepada liam.

Liam berlari dengan langkah ringan. Melewati kolong jenjang kemudian berusaha menyentak sesiapapun sosok yang tengah berlari menuju bibir tangga.

"Berhenti!" Liam menangkap salah satu bagian tubuh sosok itu.

"Ah!" Pemilik suara itu berontak, berusaha melepaskan genggaman liam. Ia terus menarik tangannya dari kepalan liam, tapi tidak berhasil. Liam juga tak mau kalah, ia menginjak kain bagian bawah milik sosok itu, dengan tujuan agar dia diam dan tidak lagi memberontak.

"Lepas! Hey! Lepas! Dasar setan!"

Tapi liam salah, tubuh itu terus melawan agar bisa lepas.

"Diam!" Bentak liam dengan hentakan keras hingga terdapat buntalan kain menutupi permukaan kakinya.

"Brug! Ah!!"

Mata liam sudah mulai terbiasa dalam gelap, ia dapat melihat siapa wujud itu. Seorang wanita cantik berambut pirang di kepang, dengan kulit putih yang sedang menutupi sebagian tubuhnya yang loncos tersimpuh di kaki liam. Liam menyadari pemandangan apa yang tersaji di hadapannya, dengan cepat ia membuang muka.

"Angkat kaki anda, dan kembalikan jarik saya!" Ujar wanita itu dengan suara bergetar.

Liam segera menyingkir dari posisinya, membelakangi wanita itu dengan maksud memberinya kesempatan untuk mengenakan kembali busana nya.

"Sudah! Anda ini makhluk dari planet mana, mengapa bisa memperlakukan wanita dengan begitu kasar?" Tanya wanita itu tegas.

"Maafkan saya. Saya pikir anda bandit yang sedang memasuki properti milik saya." Ujar liam kaku.

"Bandit? Properti? Anda ini bicara apa? Mana mungkin ada bandit di tempat yang di awasi oleh penja.."

"Penjaga maksud anda? Maaf, tidak ada penjaga di sini. Bandit? Ya, biasanya tempat kosong dihuni oleh bandit sebagai sarang komplotan mereka. Dan bangunan ini sudah saya beli, tiga hari yang lalu."

Wanita itu terdiam. Ia mencoba mencerna ucapan liam. "Anda beli bangunan ini? Dari siapa?"

"Apa hak kamu untuk tau?"

"Tentu saya berhak. Saya masih keturunan dari pemilik utama hotel ini."

Kini liam yang berusaha mencerna ucapan wanita tadi. "Masih keturunan?"

"Ya."

"Hm. Kalau begitu anda harusnya tahu, siapa pemilik bangunan ini yang menjual nya kepada saya tiga hari yang lalu."

"Respon anda kaku sekali. Hey, bisa saja saya ceritakan sejarah keluarga besar dan berdirinya hotel ini. Tetapi mengingat kamu masih baru dan saya lihat kamu masih senang-senangnya atas pencapaian kamu, lebih baik saya tutup mulut. Dan..." Belum sempat wanita itu bicara, aleda tiba dengan langkah cepat.

"Liam, sayang. Kamu ngga apa-apa, kan?" Liam menoleh, menyalakan senter sebagai sinyal keberadaannya kini.

"Aku ngga papa, sayang. Kamu ke sini."

Aleda melangkah mengikuti cahaya senter milik liam, ketika tiba ia memeluk liam dengan erat. "Aku pikir kamu kenapa-napa karena tadi aku dengar ada kegaduhan."

"Oh ngga, led. Ternyata wanita ini yang aku sergap. Dia mengklaim dirinya masih keturunan asli pemilik hotel ini." Tutur liam.

"Mengklaim anda bilang?"

"Ya, apa saya salah?"

"Terserah saja. Lebih baik saya pergi sekarang juga." Ia mendengus jengkel. Wanita berambut pirang itu berbalik arah, menuju ke pintu utama hotel dengan derap langkah yang cepat,

"Heh! Tunggu. Anda ini siapa, kok bisa-bisanya tanpa izin memasuki properti milik saya?" Tanya liam dengan nada tinggi.

"Saya melda. Memasuki properti tanpa izin? Sepertinya tudingan barusan akan kalian tarik lagi setelah mengetahui isi di dalam bangunan ini."

"Maksud anda?"

"Saya tekankan, jangan injakkan kaki di lantai tiga. Cukup kalian dengarkan. Kalau ingin selamat!"

"Anda ini, sudah menjadi penyusup, tadi berlaga seperti bintang porno, sekarang bertingkah seperti cenayang."

Aleda menatap liam dengan cermat.

"Tutup mulut anda!" Melda pergi, keluar bangunan meninggalkan keduanya dalam gelap.

Aleda mencubit pinggang liam dengan gemas. "Maksud kamu bintang porno itu apa? Kamu habis ngapain sama dia?"

"Aw.. ngga kok. Tadi dia pas aku sergap malah jatuh, pas jatuh mendesis gitu kaya di adegan-adegan nakal."

"Kamu pikir dia ular. Mendesis!"

Liam menatap aleda dengan nakal.

"Ngapain kamu lihatin aku kaya gitu?"

"Kenapa ngga kita cobain salah satu ruang di hotel ini? Main kaya adegan biru." Kerdip liam nakal.

"Ih, ngga mau ah. Gelap. Serem."

"Ayooo." Liam menyeret aleda.

"Ah, engga, engga. Ihh." Aleda mencoba menahan tarikan liam, dengan sigap kemudian ia menarik tangan nya. Dengan riang aleda berlari menaiki anak tangga dan liam mengejarnya.

"Aleda... pinter kamu ya, kok bisa lolos sih.. hahaha." Teriak liam. Layaknya anak kecil yang bermain dengan riang, keduanya lupa dimana mereka berada, di tempat gelap yang kosong puluhan tahun bahkan tidak layak dijadikan tempat untuk bergembira-ria.

Aleda berlari kecil, menaiki cabang tangga bagian kiri. Dengan niat jahil ia memasuki sebuah ruang kamar di barisan nomor tiga pada lorong tengah di lantai dua. Aleda menutup ruangan, tetapi tidak rapat. Sebelum memasuki ruangan, ia setengah berteriak sambil membunyikan lonceng di daun pintu agar liam mencari keberadaannya.

"Cari aku, sayang. Kalau bisa, aku turuti semua keinginan kamu deh. Aku janji."

Liam yang masih menaiki anak tangga, berjalan terengah-engah. Sambil menyeka peluh di dahi, ia terdiam di tengah lobby lantai dua. Cahaya matahari menembus masuk menyinari lantai dua hotel melalui jendela berkaca besar di sepanjang sisi bangunan. Terdapat sofa-sofa tua peninggalan asli pemilik hotel yang tertata rapih dan lukisan-lukisan besar di dinding. Liam mengamati tiga lorong besar yang terbentang di lantai tersebut.

"Ah, aku yakin kamu langsung masuk lorong tengah ini, led. Kamu kan tipe orang yang ngga mau cape."

Liam melangkah perlahan, mengira-ngira dimana aleda berada. "Kira-kira dia dimana ya. Hm." Liam melangkah perlahan, mencoba meraba pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Melangkah menuju pintu nomor tiga, ia menatap pintu yang sedikit terbuka. "Oke, aku tau kamu ada di sana. Aku datang, sayang."

Liam dengan semangat menyambangi ruangan tersebut, membunyikan lonceng. Menyorot sinar senter ke penjuru kamar. Berharap mendapati keberadaan aleda yang hendak mengejutkannya dari balik pintu, atau bahkan dari balik tirai. Liam melangkah perlahan. Menyusuri ruang kamar yang luasnya lumayan. Tetapi, kosong.

Bunyi lonceng berbunyi dari kamar lain, liam menoleh, dan segera berjalan keluar menuju asal bunyi. "Oh, kamu di sana ternyata. Aku salah ruangan. Kamu jebak aku, ya! Pintar juga kamu." Liam melangkah dengan semangat.

Di luar, ia masih mendengar bunyi lonceng. Tetapi, dari ruang yang mana? Liam menghampiri satu persatu kamar hotel. Lonceng terus berbunyi. Tetapi, tidak ada satupun lonceng yang bergerak. Bahkan wujud yang menggerakkan!

Liam mulai bergidik, kini suara lonceng bergema dari seluruh lorong hotel.

"Aleda! Kamu dimana?" Dalam gelap dan langkah yang gemetar, liam mencoba melangkah kembali menyusuri koridor pertama yang dia masuki tadi, jauh, semakin jauh hingga tiba di ujung koridor.

"Liam. Aku di sini. Tolong aku!" Pekik aleda.

"Aleda! Aleda! Kamu di mana?" Firasat liam mengatakan aleda berada di kamar yang ia sambangi tadi. Liam masuk. Menerangi seisi ruangan dengan senter yang ia bawa. Nihil. Tidak ada siapapun di sana. Bahkan suara aleda kini lenyap. Bersamaan dengan bunyi lonceng yang gemerincing sejak tadi.

"Gak mungkin. Ini gak mungkin. Aleda kamu jangan main-main. Kamu jangan buat aku nangis karena takut kehilangan kamu. Aleda, cukup. Aku benci permainan bersembunyi. Aledaaa!!!"

Tetapi, hanya sunyi yang membalas jerit liam. Sepi. Bahkan suara angin berhembus pun bisa liam dengar melintas di telinga kanannya, membanting pintu kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin membawa aleda pergi, bahkan melenyapkan aleda dalam sekejap waktu.


INDEX CERITA


BAB 1 SURAT MISTERIUS
BAB 2 DINDING DI PUKUL
BAB 3 PISAU DAN TULANG MANUSIA
BAB 4 KUNJUNGAN LIAM DAN ALEDA
BAB 5 BATU DAN KAIN MORI
BAB 6 ORANG LAIN?
BAB 7 SI SERAK DAN SI BERAT
BAB 8 MENGEJAR TARGET
BAB 9 TERJEBAK
BAB 10 SATU NASIB
BAB 11 PENCARIAN RUDI
BAB 12 PINTU RAHASIA
MULUSTRASI TOKOH
BAB 13 APA KABAR KAWAN?
BAB 14 SIAPA YA DIA?
BAB 15 MULJOKO SEMANGAT BARU
BAB 16 MELDA
BAB 17 MULJOKO PENASARAN
BAB 18 SOSOK DI SUDUT DINDING
BAB 19 SIAPA SEBENARNYA MELDA?
BAB 20 BABAK BARU
BAB 21 MENCARI MELDA
BAB 22 GERALD DAN LIENE
BAB 23 TERNYATA...
BAB 24 EMIL DAN KEN
EVENT MENULIS GRATIS CEK!!!
BAB 25 CERITA EMIL DAN KEN
BAB 26 MENCARI MELDA
BAB 27 HENDRA
Diubah oleh LiongMelfin 05-07-2021 04:09
itkgid
sukhhoi
namakuve
namakuve dan 39 lainnya memberi reputasi
40
24.9K
402
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
LiongMelfinAvatar border
TS
LiongMelfin
#1
BAB 1 SURAT MISTERIUS
"Kita sudah melakukan pemeriksaan ke seluruh penjuru bangunan tua ini, hingga ke sudut yang tidak terjangkau pandangan, tetap tidak kami temukan keberadaan istri anda." Ucap pria berseragam coklat itu.

"Apakah pak polisi yakin sudah memeriksa sedetail-detailnya, pak?"

"Saya dan anggota sudah melakukan pemeriksaan hingga 5 kali lebih. Hasil nihil, pak. Tapi, anda tenang saja, kami akan memperluas jangkauan pencarian. Kami akan berusaha semaksimal mungkin." Ucap pria itu meyakinkan liam.

"Baik, pak. Saya sangat butuh pertolongan kalian. Kalau ada kabar terbaru, mohon segera hubungi saya."

"Hm, ada yang mau saya tanyakan sedikit. Apakah ada hal mencurigakan, atau sesuatu yang menurut anda patut untuk di selidiki terkait sebelum atau sesudah istri anda lenyap?" Pria berseragam itu mulai mengintrogasi liam.

"Hal yang mencurigakan, ya? Begini, saya sedikit bercerita ya. Saya masuk ke dalam bangunan ini bersama aleda, berniat untuk melihat-lihat kondisi hotel ini, kemudian tak berapa lama aleda mendengar derap langkah kaki di lantai dua. Langkah yang tergesa-gesa dan cepat. Saya berusaha pergoki orang itu ketika ia sedang berlari menuruni tangga. Setelah saya pergoki, ia adalah seorang wanita dengan rambut pirang berkulit putih. Wajahnya khas."

"Anda kenal wanita itu?"

"Sebelumnya tidak. Tapi, dia memperkenalkan diri sebagai melda dan menyatakan jika dia masih keturunan asli dari pemilik hotel ini."

"Anda sempat berkomunikasi ya berarti, apa anda tahu kira-kira apa yang dia lakukan di lantai dua?"

"Tidak. Komunikasi kami hanya singkat. Setelah itu dia pergi begitu saja."

"Hm.. ada hal lain, selain wanita tadi?"

Liam membisu. Di dalam pikirannya, ada hal menakutkan yang membuatnya trauma mengingat kejadian kemarin. Lidahnya kelu, ia merasa tak mampu bercerita. Jika ia bercerita, itu akan membuatnya semakin sedih ketika teringat kembali oleh hilangnya aleda secara misterius.

"Ada." Jawab liam singkat. "Hanya satu lagi. Hal yang akan membuat siapapun tak akan mau percaya pernyataan ini. Termasuk anda, bahkan saya. Hilangnya aleda, bersamaan dengan bunyi lonceng yang tergantung di pintu."

"Pintu kamar baris tiga lantai dua, maksud anda?"

"Bukan. Tetapi, semua pintu!" Jawab liam tersenyum nanar, dengan air mata yang menggenang siap untuk di jatuhkan.

"Apa anda yakin dengan keterangan anda barusan, pak?"

"Saya tidak minta untuk anda percaya. Tapi memang ini kenyataan yang saya alami dan saksikan sendiri."

Pria berseragam itu diam. Ia menghirup nafas dalam-dalam lalu membuangnya dengan perlahan. Matanya menyipit menatap sinar matahari langsung dari tempatnya kini tengah berada bersama anggota polisi lain yang tengah sibuk melakukan penyelidikan. Bangunan bagian belakang hotel tua.

"Kasus ini menarik. Tetapi juga sulit. Saya dan anggota akan berusaha sebaik mungkin. Dukungan dari anda dan keluarga sangat penting untuk mendorong kami tetap bergerak menjalankan tugas. Kami harap, anda bisa bersabar menunggu hingga hasil nya tiba. Mudah-mudahan hati anda selalu kuat, pak. Kalau boleh saya tanya lagi, dari siapa anda beli hotel tua nan megah ini, pak liam?"

"Dari seorang janda. Bernama Rumaida!"

---

Malam hari yang sepi. Di rumah kecilnya, liam tengah termenung memikirkan aleda. Ia tentu khawatir tapi rasa penasaran liam jauh lebih tinggi. Dalam hatinya, ia berharap nasib baik akan mengiringi aleda untuk segera di temukan.

"Aku memang gak periksa semua ruang, led. Tapi entah, perasaan aku emang tertuju di sana. Kamar baris tiga yang kamu jadikan tempat persembunyian kemarin. Besok mereka masih mau melanjutkan pencarian, aku harap ada secercah celah yang bisa nunjukin keberadaan kamu sekarang. Aku berharap sama tuhan, semoga segala hal yang baik selalu menuntun kamu kembali ke jalan pulang. Rumah kita yang kecil ini." Liam menepuk-nepuk dadanya dengan keras. Ia geram dengan dirinya sendiri. Mengapa bisa ia kehilangan aleda dengan waktu singkat tanpa sebab yang jelas. Bahkan, di tempat baru yang baru saja akan mereka rintis menjadi bangunan yang hebat dan luar biasa megah.

"Tapi aku ngga akan nyerah, led. Cita-cita kamu bakal aku wujudin, ada atau tidak adanya kamu di sisi aku saat ini. Hotel ini, akan menjadi terkenal dan di minati oleh pendatang. Aku janji led, demi kamu, aku wujudkan semuanya. Dimana pun kamu, aku harap kamu akan baik-baik aja, sampai kita bertemu lagi nanti." Liam menyeka air matanya yang membanjiri wajah. Ia terisak. Tenggelam dalam kesedihan. Bagaimanapun juga, aleda yang paling setia menemani nya dari titik keterpurukan, hingga mereka berhasil menemui jalan menuju kesuksesan kelak.

"Bukan hal ini yang aku inginkan led, bukan. Aku sedih kamu hilang begitu aja. Tanpa pamit. Tanpa pertanda. Tapi aku yakin, kamu pasti di temukan. Kita akan bertemu lagi. Aku janji sayang, aku janji. Kalau mereka ngga berhasil temuin kamu, biar aku sendiri yang cari kamu. I love you, led." Liam melangkah masuk menuju kamarnya bersama aleda. Di tembok berwarna marun, terpajang foto-foto mesra liam dan aleda. Dan beberapa bingkai berisi catatan janji dan komitmen mereka yang dibuat oleh aleda sendiri. Liam tak ingin menatapnya karena itu akan membuatnya semakin hancur. Liam membaringkan diri di ranjang, tanpa aleda yang mendampingi seperti kemarin. Ia mencoba menutup mata, berharap keindahan akan tiba walau itu mustahil adanya.

"Tok.. tok.. tok.." Pintu rumah liam diketuk. Liam terjaga, mata lelah nya terbelalak, ia terkejut. Lantas menatap jam, pukul 02:00.

"Siapa tengah malam gini bertamu?" Liam hendak menutup mata lagi. Tetapi dia teringat, mana tau jika polisi itu tiba memberi kabar keberadaan aleda. Ia beranjak berjalan cepat menuju pintu. Ia putar kunci dan menekan gagang pintu, berharap salah seorang di antara mereka para manusia berseragam coklat hadir di sana. Memberi kabar gembira tentang aleda. Atau mungkin, aleda sendiri yang kembali pulang. Pintu terbuka, dengan wajah sumringah liam menyapa siapapun di sana, di balik pintu itu.

"Bagaimana kabar tentang ist..." liam tak melanjutkan bicara. Ia terdiam. Kosong. Tidak ada sesiapapun di sana. Bahkan seekor nyamuk pun tak nampak.

"Tidak ada orang. Huft. Hanya orang usil ternyata." Liam mendengus kecewa, ia hendak menutup pintu. Tetapi, pandangannya jatuh ke bawah. Ke lantai putih teras rumahnya.

"Surat? Siapa yang mengirim surat?" Liam mengambil sepucuk amplop putih kecil. Ia mengamati sekitar, berharap si pengirim tampak. Tapi, sepi. Tidak ada wujud apapun. Bahkan, seekor kucing pun tak ada.

Liam duduk di ruang tengah. Membuka amplop itu dengan rasa penasaran. Tidak ada keterangan pengirim, penerima, apalagi prangko. "Ini di buat dadakan?" Batin liam.

Di sana, terdapat kertas coklat dengan tulisan tangan bertinta merah. Dengan tulisan yang berantakan seperti ditulis dengan tergesa-gesa.

Liam membaca nya dengan mata terbelalak. Dan juga emosi di dada bercampur rasa takut. Ia terus mengulang dua baris kalimat yang tertulis. Sambil menerka-nerka siapa si pengirim yang tega berucap demikian.

"Ini seperti teror! Mau apa orang itu kirimi aku tulisan begini. Aku yakin, dia salah satu rekan bisnisku dulu, yang mau menghancurkan segala ambisi ku untuk maju! Ah, apa jangan-jangan. Dia juga dalang di balik hilangnya aleda. Akan aku selidiki siapa manusia laknat ini!"

Liam hendak membuang secarik kertas itu, tetapi ia urungkan. Ia lalu menyimpannya, dan kembali tidur. Ketika esok hari, ia coba menyerahkan surat teror itu kepada pria berseragam coklat yang berbincang dengannya siang lalu.
sukhhoi
itkgid
namakuve
namakuve dan 12 lainnya memberi reputasi
13