- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kitan Sihir Salim Horor+Lucu
TS
salim357
Kitan Sihir Salim Horor+Lucu
GIF
Spoiler for Kerasukan Jin Lucu:
Kerasukan Jin Lucu
Cerita ini kejadiannya sore hari di tahun 2017. Waktu itu aku sedang di kamar, sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Di rumah ada ayah, ibu dan juga adik perempuanku, Desy. Tapi, tidak lama ayah mengetuk pintu kamarku.
"Lim, Salim! Adikmu kerasukan di kamarnya!" teriak ayahku.
"Ah, ada-ada saja mau magrib kesurupan!" kataku menggerutu kesal.
Aku segera pergi ke kamar adikku, dan hanya berdiri di depan pintunya. Di dalam kamar Desi ternyata sudah ada ibuku yang sedang membacakan ayat kursi berulang kali.
Ibuku membaca ayat kursi dengan beruraian air mata. Sedangkan jin yang berada di dalam tubuh adikku itu tidak mau juga pergi juga.
"Brengsek...! Setan kok, dibacakan ayat kursi enggak mau pergi-pergi?"
"Hu... hu... hu!" Desy yang dirasuki jin terus saja menangis teseguk-seguk dan aku lihat ibuku sudah terlihat lelah membacakan doa untuk mengusir jin tersebut.
Tak selang beberapa lama, barulah ibu menyuruhku membantu menyadarkan Desy. Aku sudah amat kesal dengan jin itu, lalu bergegas masuk ke dalam kamar adikku. Tapi, aku masih saja terus menggerutu.
"Orang-orang mau melaksanakan salat magrib, ganggu saja ini mahluk halus!"
Aku pegang kepala adikku, lalu aku mulai membaca doa, "Allaahumma innii a'udzubika minal khubutsi wal khobaaits."Berulang-ulang aku membacanya.
Jin yang berada di dalam tubuh Desy saat itu sedang menangis, kemudian tiba-tiba tertawa terbahak-bahak mendengar doa yang lagi kubacakan. Saat itu aku menjadi gugup dan gerogi ditertawakan jin tersebut. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Aku pun jadi ikutan ketawa geli.
"Ha... ha... ha! Rasanya aku salah membaca doa? Pantas saja jin itu tertawa. Brengsek benar!"
Dengan mengerutkan dahi dan kuingat-ingat. Ternyata yang kubaca itu doa masuk ke kamar mandi, "Sialan...!" kataku.
Lalu dengan penuh percaya diri aku ajak bicara jin itu, "Kamu ini siapa? Kenapa mengganggu adikku?"
"Aku jin penghuni kuburan di seberang jalan di sana...!" Mahluk itu mengangkat jari telunjuknya.
"Kamu mau apa sebenarnya? Menganggu orang mau melaksanakan shalat magrib saja!"
Jin itu tidak mau menjawab pertanyaanku, hanya
terus saja menangis, sambil diikuti gelak tawanya.
Kemudian, aku berusaha bertanya kembali.
"Kamu mau apa sebenarnya? Aku tidak punya duit! Tolong pergi! Apa kamu mau kopi? Kopi mau ya please! Beneran aku enggak punya duit!" kataku sewot.
Tiba-tiba jin itu mendadak mengangguk, tanda ia mau diberi kopi. Setelah mendengar ucapan jin itu, ibuku bergegas membuatkan kopi hitam. Lantas memberikan padaku kopi hitam yang masih panas.
"Ini kopinya! Habis minum kopi kamu pergi, ya!"
Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku saat itu. Kemudian aku menyodorkan kopi hitam yang masih panas tersebut.
"Cepat pergi ya. Aku enggak punya uang cuma ada kopi." Kataku lagi. Jin itu kembali mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian diteguknya kopi hitam yang masih sangat panas itu. Kemudian saat itu juga adikku sadarkan diri. Dengan napas yang masih tersengal-sengal adikku bilang, "Kak tadi itu siapa?"
"Kamu kesurupan jin dari kuburan! Memang kamu main ke mana sih, tadi siang?"
"Enggak main ke mana-mana. Seingatku tadi aku mau bersiap-siap salat magrib, terus tiba-tiba ada bayangan hitam. Rambutnya panjang sampai lutut. Sepasang matanya merah tajam lihatin aku. Habis itu aku enggak ingat apa-apa lagi, Kak!"
"Ya, sudah. Ini di minum airnya biar kamu agak tenang."
"Sedikit saja Kak minum airnya. Rasanya kok perut aku kenyang banget, ya?"
"Bagaimana enggak kenyang, kamu minum kopi panas-panas satu gelas. Ha ... ha ... ha!" [ ]
Cerita ini kejadiannya sore hari di tahun 2017. Waktu itu aku sedang di kamar, sambil menunggu adzan magrib berkumandang. Di rumah ada ayah, ibu dan juga adik perempuanku, Desy. Tapi, tidak lama ayah mengetuk pintu kamarku.
"Lim, Salim! Adikmu kerasukan di kamarnya!" teriak ayahku.
"Ah, ada-ada saja mau magrib kesurupan!" kataku menggerutu kesal.
Aku segera pergi ke kamar adikku, dan hanya berdiri di depan pintunya. Di dalam kamar Desi ternyata sudah ada ibuku yang sedang membacakan ayat kursi berulang kali.
Ibuku membaca ayat kursi dengan beruraian air mata. Sedangkan jin yang berada di dalam tubuh adikku itu tidak mau juga pergi juga.
"Brengsek...! Setan kok, dibacakan ayat kursi enggak mau pergi-pergi?"
"Hu... hu... hu!" Desy yang dirasuki jin terus saja menangis teseguk-seguk dan aku lihat ibuku sudah terlihat lelah membacakan doa untuk mengusir jin tersebut.
Tak selang beberapa lama, barulah ibu menyuruhku membantu menyadarkan Desy. Aku sudah amat kesal dengan jin itu, lalu bergegas masuk ke dalam kamar adikku. Tapi, aku masih saja terus menggerutu.
"Orang-orang mau melaksanakan salat magrib, ganggu saja ini mahluk halus!"
Aku pegang kepala adikku, lalu aku mulai membaca doa, "Allaahumma innii a'udzubika minal khubutsi wal khobaaits."Berulang-ulang aku membacanya.
Jin yang berada di dalam tubuh Desy saat itu sedang menangis, kemudian tiba-tiba tertawa terbahak-bahak mendengar doa yang lagi kubacakan. Saat itu aku menjadi gugup dan gerogi ditertawakan jin tersebut. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Aku pun jadi ikutan ketawa geli.
"Ha... ha... ha! Rasanya aku salah membaca doa? Pantas saja jin itu tertawa. Brengsek benar!"
Dengan mengerutkan dahi dan kuingat-ingat. Ternyata yang kubaca itu doa masuk ke kamar mandi, "Sialan...!" kataku.
Lalu dengan penuh percaya diri aku ajak bicara jin itu, "Kamu ini siapa? Kenapa mengganggu adikku?"
"Aku jin penghuni kuburan di seberang jalan di sana...!" Mahluk itu mengangkat jari telunjuknya.
"Kamu mau apa sebenarnya? Menganggu orang mau melaksanakan shalat magrib saja!"
Jin itu tidak mau menjawab pertanyaanku, hanya
terus saja menangis, sambil diikuti gelak tawanya.
Kemudian, aku berusaha bertanya kembali.
"Kamu mau apa sebenarnya? Aku tidak punya duit! Tolong pergi! Apa kamu mau kopi? Kopi mau ya please! Beneran aku enggak punya duit!" kataku sewot.
Tiba-tiba jin itu mendadak mengangguk, tanda ia mau diberi kopi. Setelah mendengar ucapan jin itu, ibuku bergegas membuatkan kopi hitam. Lantas memberikan padaku kopi hitam yang masih panas.
"Ini kopinya! Habis minum kopi kamu pergi, ya!"
Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku saat itu. Kemudian aku menyodorkan kopi hitam yang masih panas tersebut.
"Cepat pergi ya. Aku enggak punya uang cuma ada kopi." Kataku lagi. Jin itu kembali mengangguk-anggukan kepalanya.
Kemudian diteguknya kopi hitam yang masih sangat panas itu. Kemudian saat itu juga adikku sadarkan diri. Dengan napas yang masih tersengal-sengal adikku bilang, "Kak tadi itu siapa?"
"Kamu kesurupan jin dari kuburan! Memang kamu main ke mana sih, tadi siang?"
"Enggak main ke mana-mana. Seingatku tadi aku mau bersiap-siap salat magrib, terus tiba-tiba ada bayangan hitam. Rambutnya panjang sampai lutut. Sepasang matanya merah tajam lihatin aku. Habis itu aku enggak ingat apa-apa lagi, Kak!"
"Ya, sudah. Ini di minum airnya biar kamu agak tenang."
"Sedikit saja Kak minum airnya. Rasanya kok perut aku kenyang banget, ya?"
"Bagaimana enggak kenyang, kamu minum kopi panas-panas satu gelas. Ha ... ha ... ha!" [ ]
Spoiler for Setelah Membaca Novel Cindaku:
Setelah Membaca Novel Cindaku
Sampai saat ini aku masih merasakan kehadirannya. Pada awalnya hanya dengan membaca sebuah novel yang berkaitan dengan sesosok mahluk yang biasa disebut Cindaku, orang tuanya datang di dalam mimpiku.
Tidak memaksa siapapun untuk percaya kisah ini, karena ini pengalaman pribadiku yang mungkin teman-teman pembaca ceritaku ini pernah mengalaminya juga.
Pada saat menulis kisah ini pun, aku merasa gemetaran. Malam itu di tahun 2010 tepatnya waktu tengah malam, seperti biasa aku sebelum tidur membaca karya novel S.B Chandra dan Motinggo Boesje. Setiap malamnya, ketika hendak beranjak tidur, aku sempatkan untuk menelusuri novel kisah tentang Cindaku. Aku tidak ingat berapa novel yang sudah kubaca.
Pada saat itu rasa kantuk kudatang. Dan pada saat halaman terakhir aku tertidur pulas. Ketika terbangun tiba-tiba saja, aku sudah berada di dalam sebuah gua yang sedikit gelap, berwarna hijau tua dan berudara sejuk.
Saat membuka mata, aku melihat dua sosok pengantin berpakaian begitu indah yang keduanya mengenakan sebuah mahkota. Sosok itu seorang pria dan wanita. Aku tidak mengerti di hadapanku itu seorang raja dan permaisuri atau apa sebutan untuk mereka. Selesai memandang keduanya, tiba-tiba sosok itu menyapaku.
"Nak, kenapa kau ingin sekali mengetahui keberadaan Cindaku?" tanya sosok itu dengan begitu ramah.
Lantas akupun menjawabnya, "Hm, ya aku ingin sekali mengetahui Cindaku!"
Kemudian sosok itu menampakkan penglihatanku pada kehidupan masa lampau, mereka memperlihatkan sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya, seolah mereka sedang bercerita dengan ringkas dan cukup jelas.
"Kau lihat gadis cantik itu, Nak. Dialah putriku, Cindaku. Anakku telah menikah dengan anak manusia. Kau sudah pahamkah, Nak?"
"Ya, aku sudah paham!"
Ketika pertanyaanku yang terakhir kali, tiba-tiba saja aku terbangun dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah. Saat kulirik jam dinding di kamarku sudah pukul tiga pagi.
"Hah, sebenarnya aku bermimpi atau tidak! Siapa kedua sosok tadi itu?"
Belum hilang rasa penasaranku, kulihat buku novel yang aku baca tadi, robek di cover depan dengan goresan cakar yang begitu halus.
Pada saat menulis akhir cerita ini, tiba-tiba telinga kananku berdenging. Seperti sebuah pertanda, atau apalah namanya. Aku tidak mengerti soal ini, dan seolah-olah hadir sesosok laki-laki tua yang sejak tadi memperhatikanku. [ ]
Sampai saat ini aku masih merasakan kehadirannya. Pada awalnya hanya dengan membaca sebuah novel yang berkaitan dengan sesosok mahluk yang biasa disebut Cindaku, orang tuanya datang di dalam mimpiku.
Tidak memaksa siapapun untuk percaya kisah ini, karena ini pengalaman pribadiku yang mungkin teman-teman pembaca ceritaku ini pernah mengalaminya juga.
Pada saat menulis kisah ini pun, aku merasa gemetaran. Malam itu di tahun 2010 tepatnya waktu tengah malam, seperti biasa aku sebelum tidur membaca karya novel S.B Chandra dan Motinggo Boesje. Setiap malamnya, ketika hendak beranjak tidur, aku sempatkan untuk menelusuri novel kisah tentang Cindaku. Aku tidak ingat berapa novel yang sudah kubaca.
Pada saat itu rasa kantuk kudatang. Dan pada saat halaman terakhir aku tertidur pulas. Ketika terbangun tiba-tiba saja, aku sudah berada di dalam sebuah gua yang sedikit gelap, berwarna hijau tua dan berudara sejuk.
Saat membuka mata, aku melihat dua sosok pengantin berpakaian begitu indah yang keduanya mengenakan sebuah mahkota. Sosok itu seorang pria dan wanita. Aku tidak mengerti di hadapanku itu seorang raja dan permaisuri atau apa sebutan untuk mereka. Selesai memandang keduanya, tiba-tiba sosok itu menyapaku.
"Nak, kenapa kau ingin sekali mengetahui keberadaan Cindaku?" tanya sosok itu dengan begitu ramah.
Lantas akupun menjawabnya, "Hm, ya aku ingin sekali mengetahui Cindaku!"
Kemudian sosok itu menampakkan penglihatanku pada kehidupan masa lampau, mereka memperlihatkan sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya, seolah mereka sedang bercerita dengan ringkas dan cukup jelas.
"Kau lihat gadis cantik itu, Nak. Dialah putriku, Cindaku. Anakku telah menikah dengan anak manusia. Kau sudah pahamkah, Nak?"
"Ya, aku sudah paham!"
Ketika pertanyaanku yang terakhir kali, tiba-tiba saja aku terbangun dengan keringat bercucuran dan nafas terengah-engah. Saat kulirik jam dinding di kamarku sudah pukul tiga pagi.
"Hah, sebenarnya aku bermimpi atau tidak! Siapa kedua sosok tadi itu?"
Belum hilang rasa penasaranku, kulihat buku novel yang aku baca tadi, robek di cover depan dengan goresan cakar yang begitu halus.
Pada saat menulis akhir cerita ini, tiba-tiba telinga kananku berdenging. Seperti sebuah pertanda, atau apalah namanya. Aku tidak mengerti soal ini, dan seolah-olah hadir sesosok laki-laki tua yang sejak tadi memperhatikanku. [ ]
Spoiler for Ipang Melihat Penampakan:
Ipang Melihat Penampakan
Kejadiannya waktu itu malam rabu di tahun 2004. Aku kumpul bareng waktu itu di Jalan Angsana II bareng teman-teman. Ada Javan, Ipang dan Bowok. Tidak terasa waktu sudah jam dua belas malam.
Tidak lama, turun hujan rinti-rintik kecil. Kami pun semua bubar kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kebetulan rumah Javan dan Bowok berdekatan, mereka pulang dan sampai lebih cepat dari tempat kami berkumpul. Kini tinggal aku dan Ipang yang berbeda Rt. Saat itu kami pulang dengan berjalan kaki.
"Pang, cepatan jalannya, gerimis nih! Sudah sepi banget lagi, biasanya ada yang dagang pada keliling kok ini malam sepi banget ya?"
"Ah, sudah sepi ngomongnya aneh-aneh lagi!"
"Aku, 'kan cuma tanya, Pang? Kenapa jalannya itu sepi!"
"Iya, ya? Ha ha ha, ya sudah ayo kita jalan."
Suasana malam itu memang begitu sepi sekali tidak ada satu orang pun yang lalu lalang di jalan.
"Lim, aku nginap di rumah kamu saja ya?"
"Ha ha ha pasti kamu takut pulangnya."
"He he he, enggaklah! Aku cuma mau nginap, boleh ’kan?"
"Ah, basih kamu pasti takut!"
"Siapa yang takut. Sorry ya!"
"Ya, sudah jalannya cepat!"
"Iya, iya ...."
Sesampainya di tempat, aku lihat sekeliling rumah tetanggaku nampak sudah sepi. Mungkin karena turun hujan, jadi orang lebih baik tidur.
"Pang, kamu kalau mau nginap, masuk lewat pintu belakang. Kalau lewat pintu depan takut ibu aku bangun!"
"Kamu jangan lama-lama, takut aku sendirian!"
"Iya, enggak lama. Nanti aku buka pintu belakang terus panggil kamu lewat jendela!"
Setelah aku masuk ke dalam rumah, keluargaku sudah tidur semua. Tidak lama barulah aku memanggil Ipang.
"Pang, sudah aku buka pintunya, cepat masuk!" Sambil menunggu, aku sempat berpikir kok Ipang lama banget. Kemudian aku coba melihatnya ke belakang.
"Woy…! Lama banget ngapain berdiri saja di situ. Bukannya masuk!"
Dengan nafas terengah-engah dan raut wajah begitu ketakutan, Ipang menabrakku dan terburu-buru masuk ke dalam.
"Lim, cepat tutup pintunya! Nanti aku cerita," kata Ipang begitu kesal.
"Ah, gila kamu lama banget buka pintunya!” kata Ipang lagi setelah berada di dalam kamar.
“Waktu di jendela tadi aku sudah bilang, pintu belakang sudah aku buka. Kuping kamu saja yang rapat! celetuk Salim.
"Tadi aku sudah di belakang rumah kamu, tapi aku tunggu lama banget. Sudah gelap banget eenggak pakai lampu lagi!"
"Memang ada apa sih, Pang?"
“Barusan aku lihat orang, aku pikir tetangga kamu yang tinggal di belakang. Awalnya cuma lihat bayangan, enggak lama makin jelas ada sosok yang sedang berdiri, karena ada kilatan petir. Di belakang rumah kamu, aku lihat sosok bertubuh kurus tinggi. Rambut panjang, kukunya juga panjang sedang berdiri di tembok!"
"Itu sih bukan orang, Pang! Mana ada orang malam-malam berdiri di tempat gelap waktu turun hujan lagi!"
"Aku hampir enggak bisa nafas lihatnya, serem banget!"
"Ha ha ha, syukurin!"
"Sialan! Ya, sudah kita tidur saja. Nanti dia ngintip di jendela kamar lagi!”
Aku sempat membayangkan dengan sosok yang diceritakan Ipang. Saat aku menulis akhir cerita ini, tiba-tiba ada hembusan angin dari ruang kamar sampai kalender bergerak-gerak sendiri. Kebetulan kipas angin memang belum aku hidupkan. Dan, saat pada saat ini aku merasakan sosok itu tepat berada di belakangku. [ ]
Kejadiannya waktu itu malam rabu di tahun 2004. Aku kumpul bareng waktu itu di Jalan Angsana II bareng teman-teman. Ada Javan, Ipang dan Bowok. Tidak terasa waktu sudah jam dua belas malam.
Tidak lama, turun hujan rinti-rintik kecil. Kami pun semua bubar kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kebetulan rumah Javan dan Bowok berdekatan, mereka pulang dan sampai lebih cepat dari tempat kami berkumpul. Kini tinggal aku dan Ipang yang berbeda Rt. Saat itu kami pulang dengan berjalan kaki.
"Pang, cepatan jalannya, gerimis nih! Sudah sepi banget lagi, biasanya ada yang dagang pada keliling kok ini malam sepi banget ya?"
"Ah, sudah sepi ngomongnya aneh-aneh lagi!"
"Aku, 'kan cuma tanya, Pang? Kenapa jalannya itu sepi!"
"Iya, ya? Ha ha ha, ya sudah ayo kita jalan."
Suasana malam itu memang begitu sepi sekali tidak ada satu orang pun yang lalu lalang di jalan.
"Lim, aku nginap di rumah kamu saja ya?"
"Ha ha ha pasti kamu takut pulangnya."
"He he he, enggaklah! Aku cuma mau nginap, boleh ’kan?"
"Ah, basih kamu pasti takut!"
"Siapa yang takut. Sorry ya!"
"Ya, sudah jalannya cepat!"
"Iya, iya ...."
Sesampainya di tempat, aku lihat sekeliling rumah tetanggaku nampak sudah sepi. Mungkin karena turun hujan, jadi orang lebih baik tidur.
"Pang, kamu kalau mau nginap, masuk lewat pintu belakang. Kalau lewat pintu depan takut ibu aku bangun!"
"Kamu jangan lama-lama, takut aku sendirian!"
"Iya, enggak lama. Nanti aku buka pintu belakang terus panggil kamu lewat jendela!"
Setelah aku masuk ke dalam rumah, keluargaku sudah tidur semua. Tidak lama barulah aku memanggil Ipang.
"Pang, sudah aku buka pintunya, cepat masuk!" Sambil menunggu, aku sempat berpikir kok Ipang lama banget. Kemudian aku coba melihatnya ke belakang.
"Woy…! Lama banget ngapain berdiri saja di situ. Bukannya masuk!"
Dengan nafas terengah-engah dan raut wajah begitu ketakutan, Ipang menabrakku dan terburu-buru masuk ke dalam.
"Lim, cepat tutup pintunya! Nanti aku cerita," kata Ipang begitu kesal.
"Ah, gila kamu lama banget buka pintunya!” kata Ipang lagi setelah berada di dalam kamar.
“Waktu di jendela tadi aku sudah bilang, pintu belakang sudah aku buka. Kuping kamu saja yang rapat! celetuk Salim.
"Tadi aku sudah di belakang rumah kamu, tapi aku tunggu lama banget. Sudah gelap banget eenggak pakai lampu lagi!"
"Memang ada apa sih, Pang?"
“Barusan aku lihat orang, aku pikir tetangga kamu yang tinggal di belakang. Awalnya cuma lihat bayangan, enggak lama makin jelas ada sosok yang sedang berdiri, karena ada kilatan petir. Di belakang rumah kamu, aku lihat sosok bertubuh kurus tinggi. Rambut panjang, kukunya juga panjang sedang berdiri di tembok!"
"Itu sih bukan orang, Pang! Mana ada orang malam-malam berdiri di tempat gelap waktu turun hujan lagi!"
"Aku hampir enggak bisa nafas lihatnya, serem banget!"
"Ha ha ha, syukurin!"
"Sialan! Ya, sudah kita tidur saja. Nanti dia ngintip di jendela kamar lagi!”
Aku sempat membayangkan dengan sosok yang diceritakan Ipang. Saat aku menulis akhir cerita ini, tiba-tiba ada hembusan angin dari ruang kamar sampai kalender bergerak-gerak sendiri. Kebetulan kipas angin memang belum aku hidupkan. Dan, saat pada saat ini aku merasakan sosok itu tepat berada di belakangku. [ ]
Spoiler for Ipang di Peluk Hantu:
Ipang di Peluk Hantu
Cerita ini malam minggu di tahun 2004, kami sedang berkumpul di rumah Icay....
Oh, iya lupa. Malam itu ada aku, Icay, Bowok, Javan dan Ipang, kami berlima sedang asyiknya ngobrol ke sana kemari.
"Semuanya ... aku tidur duluan ya? Ngantuk nih, kalau kalian mau nginap buka saja pintunya aku enggak kunci," kata Icay.
Oh, iya. Di belakang rumah Icay ada masjid dan pohon belimbing yang sudah cukup tua. Karena tuan rumah sudah tidur lebih dahulu, tinggallah kami berempat.
"Baru jam 1 sudah tidur saja. Ini, ‘kan malam minggu, Cay!" celetuk Bowok.
"Ngantuk berat nih, Wok!" sahut Icay lagi.
"Lim, lapar banget nih perut. Kita cari makan saja, yuk!" kata Javan tiba-tiba.
"Ide bagus Van, perut aku juga laper nih!" timpal Bowok.
"Okedeh! Oh iya, kenapa Pang kok kamu diam saja dari tadi?" tanya Salim.
"Hm, enggak apa, Lim. Aku enggak ikut, tunggu di sini saja deh."
"Huh! Mau enaknya saja kamu Pang!" celetuk Bowok kurang senang.
"Biarin saja, Wok! Ayo, kita pergi," kata Javan menimpali.
"Ngantuk banget Wok sumpah! Aku bungkus saja, ya?"
Kami pun lantas pergi dan kemudian pada saat sudah di tempat nasi goreng, kami makan dengan begitu lahapnya. Sehabis makan kami membayar dan membelikan satu bungkus nasi goreng untuk Ipang. Kemudian kami kembali ke rumah Icayl.
"Lho! Ipang kok enggak ada, Van?" tanya Bowok jadi heran.
"Hm, pasti dia pulang!" sahut Bowok cepat.
"Nasi gorengnya bagaimana, ini?" tanya Salim.
"Ya, sudah bawa pulang saja Lim, buat ibu kamu di rumah!" sahut Bowok lagi.
"Kita bubar nih? Enggak jadi bergadang di rumah Icay?" tanya Salim lagi.
"Kita pulang saja, Lim," Javan menyahuti.
"Ya, sudah. Aku pulang ya! Kalian berdua enak rumahnya berdekatan," kata Salim yang meninggalkan kedua kawannya itu.
"Hati-hati, Lim…!"
Sesampainya di rumah aku masuk kamar lantas langsung tidur. Pagi harinya, Ipang datang ke rumahku dengan wajah begitu kesal.
"Lim, kamu semalam sebenarnya ke mana sih? Beli nasi goreng saja hampir dua tahun!" kata Ipang menggerutu.
"Ha ha ha ... kamu sendiri ke mana? Pulang diam-diam saja! Nasi goreng jadi lebih satu bungkus semalam!"
"Ah, kalian tega! Beli nasi goreng lama banget, aku semalam tidur dipeluk kuntilanak!"
"Serius, Pang…?"
"Seriuslah! Masa aku bercanda! Waktu kalian pergi, aku itu ketiduran! Sudah angin malam dingin banget. Tidurnya dekat pohon belimbing lagi!" kata Ipang sewot.
"Ya, terus ceritanya bagaimana?" tanya Salim ingin tahu. Kemudian Ipang pun segera bercerita.
"Waktu aku tidur tiba-tiba saja badanku serasa hangat, terus seperti ada orang yang peluk aku dari belakang. Sontak saja aku langsung bangun dan replek menengok ke belakang. Ternyata ada perempuan pakaiannya putih. Rambut panjang! Perempuan itu terkejut melihat aku! Aku juga terkejut. Sambil tertawa cekikikan perempuan itu terus terbang. Aku langsung berteriak, Kuntilanaaaak! Aku lari sekencang-kencangnya dan menabrak seng di depan. Sialan benar kataku! Terus lucunya. Aku lari malah balik ke arah perginya kuntilanak itu tadi,” kata Ipang menahan tawa dari ceritanya itu.
"Ha ha ha ha, bodoh!" celetuk Salim ikut tertawa geli.
"Aku benar-benar ketakutan malam itu, Lim! Rasanya jantungku sudah copot. Enggak mau lagi deh bertemu setan!" kata Ipang terus saja menggerutu.
"Ha ha ha ... iya maaf. Maaf Pang!"
"Ya, sudah aku maafin, terus nasi goreng aku di mana?"
"Sudah jadi bubur kali Pang. Ha ha ha!"
"Sakit jiwa kamu, Lim…!" kata Ipang sewot.
"Ha ha ha ha...! Salim terus tertawa geli. [ ]
Cerita ini malam minggu di tahun 2004, kami sedang berkumpul di rumah Icay....
Oh, iya lupa. Malam itu ada aku, Icay, Bowok, Javan dan Ipang, kami berlima sedang asyiknya ngobrol ke sana kemari.
"Semuanya ... aku tidur duluan ya? Ngantuk nih, kalau kalian mau nginap buka saja pintunya aku enggak kunci," kata Icay.
Oh, iya. Di belakang rumah Icay ada masjid dan pohon belimbing yang sudah cukup tua. Karena tuan rumah sudah tidur lebih dahulu, tinggallah kami berempat.
"Baru jam 1 sudah tidur saja. Ini, ‘kan malam minggu, Cay!" celetuk Bowok.
"Ngantuk berat nih, Wok!" sahut Icay lagi.
"Lim, lapar banget nih perut. Kita cari makan saja, yuk!" kata Javan tiba-tiba.
"Ide bagus Van, perut aku juga laper nih!" timpal Bowok.
"Okedeh! Oh iya, kenapa Pang kok kamu diam saja dari tadi?" tanya Salim.
"Hm, enggak apa, Lim. Aku enggak ikut, tunggu di sini saja deh."
"Huh! Mau enaknya saja kamu Pang!" celetuk Bowok kurang senang.
"Biarin saja, Wok! Ayo, kita pergi," kata Javan menimpali.
"Ngantuk banget Wok sumpah! Aku bungkus saja, ya?"
Kami pun lantas pergi dan kemudian pada saat sudah di tempat nasi goreng, kami makan dengan begitu lahapnya. Sehabis makan kami membayar dan membelikan satu bungkus nasi goreng untuk Ipang. Kemudian kami kembali ke rumah Icayl.
"Lho! Ipang kok enggak ada, Van?" tanya Bowok jadi heran.
"Hm, pasti dia pulang!" sahut Bowok cepat.
"Nasi gorengnya bagaimana, ini?" tanya Salim.
"Ya, sudah bawa pulang saja Lim, buat ibu kamu di rumah!" sahut Bowok lagi.
"Kita bubar nih? Enggak jadi bergadang di rumah Icay?" tanya Salim lagi.
"Kita pulang saja, Lim," Javan menyahuti.
"Ya, sudah. Aku pulang ya! Kalian berdua enak rumahnya berdekatan," kata Salim yang meninggalkan kedua kawannya itu.
"Hati-hati, Lim…!"
Sesampainya di rumah aku masuk kamar lantas langsung tidur. Pagi harinya, Ipang datang ke rumahku dengan wajah begitu kesal.
"Lim, kamu semalam sebenarnya ke mana sih? Beli nasi goreng saja hampir dua tahun!" kata Ipang menggerutu.
"Ha ha ha ... kamu sendiri ke mana? Pulang diam-diam saja! Nasi goreng jadi lebih satu bungkus semalam!"
"Ah, kalian tega! Beli nasi goreng lama banget, aku semalam tidur dipeluk kuntilanak!"
"Serius, Pang…?"
"Seriuslah! Masa aku bercanda! Waktu kalian pergi, aku itu ketiduran! Sudah angin malam dingin banget. Tidurnya dekat pohon belimbing lagi!" kata Ipang sewot.
"Ya, terus ceritanya bagaimana?" tanya Salim ingin tahu. Kemudian Ipang pun segera bercerita.
"Waktu aku tidur tiba-tiba saja badanku serasa hangat, terus seperti ada orang yang peluk aku dari belakang. Sontak saja aku langsung bangun dan replek menengok ke belakang. Ternyata ada perempuan pakaiannya putih. Rambut panjang! Perempuan itu terkejut melihat aku! Aku juga terkejut. Sambil tertawa cekikikan perempuan itu terus terbang. Aku langsung berteriak, Kuntilanaaaak! Aku lari sekencang-kencangnya dan menabrak seng di depan. Sialan benar kataku! Terus lucunya. Aku lari malah balik ke arah perginya kuntilanak itu tadi,” kata Ipang menahan tawa dari ceritanya itu.
"Ha ha ha ha, bodoh!" celetuk Salim ikut tertawa geli.
"Aku benar-benar ketakutan malam itu, Lim! Rasanya jantungku sudah copot. Enggak mau lagi deh bertemu setan!" kata Ipang terus saja menggerutu.
"Ha ha ha ... iya maaf. Maaf Pang!"
"Ya, sudah aku maafin, terus nasi goreng aku di mana?"
"Sudah jadi bubur kali Pang. Ha ha ha!"
"Sakit jiwa kamu, Lim…!" kata Ipang sewot.
"Ha ha ha ha...! Salim terus tertawa geli. [ ]
Spoiler for Ipang Tenggelam di Air:
Ipang Tenggelam di Air
Ceritaku sore itu, Aku, Ipang, Rendy, jogging sore hari di sebuah komplek perumahan dan ada sebuah lahan kosong yang biasa dijadikan lapangan sepak bola oleh warga setempat.
Sekitar pukul 17.30. sore hari, aku lihat banyak sekali orang yang sedang berenang. Bukan sungai sih, pokoknya kubangan yang disemen rapi. Mereka berenang ke sana kemari asyik bermain dengan air. Teman-teman lain yang habis main sepak bola juga ikut renang. Aku kenali sebagian yang berada di tempat itu, memang pandai-pandai sekali cara mereka berenang.
"Pang, Ren, ikutan berenang, yuk?"
"Ayo...!"sahut Rendy.
"Ayo, seruh juga kayaknya nih," timpal Ipang.
Aku yang sudah tidak sabar untuk berenang, kemudian masuk ke dalam air untuk mengukur kedalaman air. Semakin ke bawah, tetap saja kakiku belum juga menyentuh dasar airnya.
Sampai terus berusaha mengukur kedalaman air, akhirnya kakiku menyentuh juga dasar airnya. Aku segera naik berenang ke atas. Nafas lumayan habis, kaki juga lemes. Habis lari malah berenang! Rendy, berenang hanya di pinggiran batu sambil berpegangan. Sebab airnya memang cukup dalam. Mungkin ia takut tenggelam. Aku perhatikan Ipang jadi tertawa geli sendiri, berenang memakai bola! Jadi mengapung di air, macam anak buaya. Ha ha ha ha.
‘"Apa, Ipang enggak bisa berenang? Ah, coba aku dekati dia," tanya Salim di hatinya.
"Pang, kamu enggak bisa berenang?"
"Sudah tahu malah tanya!" jawab Ipang.
"Ha ha ha, lucu juga baru tahu aku. Hati-hati lepas bolanya game over kamu!"
"Iya, cerewet banget sih! Senang saja Lim, seger airnya.
"Hati-hati jangan ke tengah dalam airnya!"
"Oke, santai saja, ha ha ha ...."
Tidak lama, tiba-tiba saja teman-teman yang habis bermain bola tadi itu. Semua meneriaki Ipang.
"Woy…! Ipang enggak bisa berenang, pakai bola lagi Macam anak kecil saja, ha ha ha.”
"Biarin. Ha ha ha!" Ipang menyahuti ejekkan mereka.
Aku tinggalkan Ipang dan kembali berenang, sambil menyelam ke dasar air. Tetapi saat aku naik kembali kepermukaan air, aku mendengar suara teriakan teman-teman dari atas.
"Woy, woy, woy Ipang tenggelam tolong itu, cepat, cepat!"
Aku pikir mereka sedang bercanda mengolok-ngoloknya. Aku lihat Ipang masih berenang dengan mendekap bola. Tetapi sekarang ia berada di tengah-tengah air, sedang berusaha menggapai bola agar tidak tenggelam. Karena begitu panik, akhirnya bola itu terlepas juga.
Aku lihat teman-teman yang pandai berenang tidak ada satu pun turun ke air untuk menolong Ipang. Kuperhatikan mereka semua memalingkan wajah saat aku pandangi satu per satu.
Aku hanya bermaksud untuk meminta pertolongan secara bersama-sama, tetapi dengan sikapnya mereka seperti menolak Aku sempat berpikir mungkin mereka takut karena hari sudah beranjak sore. Orang tua bilang kalau waktu memasuki magrib banyak setan yang berkeliaran.
Aku tidak perduli lagi apa pun yang akan terjadi sore itu. Untuk kalian yang membaca cerita ini, kalian pasti ingat dan mengenaliku. Aku cuma mau bilang, aku sangat kecewa sekali pada kalian semua. Putar kembali memori kepala kalian beberapa tahun yang lalu, aku penolong tunggal di dalam air.
Aku tidak tega melihat Ipang kehabisan nafas di atas air, dan yang terlihat sekarang hanya rambutnya saja. Secara reflek aku menceburkan diri lalu berenang dengan cepat, berusaha meraih tubuh Ipang.
Aku jambak rambut Ipang, kemudian kuangkat tubuhnya agar dapat bernafas, ia mulai batuk dan muntah-muntah. Karena mulut serta hidungnya sudah banyak kemasukan air. Ipang masih berusaha menggapai bola dengan kedua tangannya yang masih mengapung di sampingnya, akan tetapi selalu gagal dan bola semakin menjauh.
Di dasar air aku masih menopang tubuh kawanku dan mulai kehabisan nafas. Kedua kakiku sudah terasa lemas. Ipang terus menerus menenggelamkan kepalaku, ia lakukan mungkin karena begitu panik akan tenggelam di dalam air.
Pada saat itu, mulai tampak bayangan sosok kepala besar di dalam air. Aku berkata dalam hati, aku sudah rela bila akan mati menolong Ipang. Dan terlintas bayangan jika kakiku ditarik siluman air. Aku pasti mati tenggelam dan menjadi tumbal di tempat ini.
Ketika itu, aku tidak dapat melihat keadaan di atas air. Dengan sisa tenagaku di dalam air, aku menggerakkan kaki dan tanganku untuk berusaha berenang ke atas permukaan. Dan ternyata Ipang sudah mendapat bola dan mengapung di atas air. Mungkin sudah ada teman yang menolongnya pikirku saat itu.
Kedua kakiku terasa keram, tubuh serasa lemas semua tidak mampu berenang lagi. Aku mencoba terlentang di atas air dengan mengapungkan tubuh sambil mengumpulkan tenaga, tak lama barulah kakiku mulai ada sedikit tenaga.
Dengan cara berenang terlentang untuk menggerakkan kaki pelan-pelan di atas air. Akhirnya aku sampai juga di pinggiran. Serasa nafasku sudah hampir mau putus.
"Angkat aku, kakiku sudah lemas!" Aku memberi tahu teman-teman yang berada di atas.
Aku lihat Ipang sedang tersedak-sedak memuntahkan air di dalam perutnya, matanya pun terlihat merah.
"Wah, gawat! Hampir saja aku mati. Aku sudah ikhlas tadi kalau mati tenggelam"
"Siapa yang bantu kamu naik ke atas? Waktu kepala aku kamu tenggelamkan di bawah air?" tanya Salim.
"Mana ada yang bantu kita, Lim? Cuma kamu saja yang menolong aku!"
"Aku pikir ada teman-teman yang menolong!" kata Salim.
"Ha ha ha, enggak ada teman yang menolong kita, Lim, mereka semua takut turun ke air. Baru kali ini aku alami tenggelam. Rasanya hampir mau mati, sumpah aku enggak bisa berenang sama sekali!"
Aku benci sekali mendengar Ipang tertawa begitu senang, bukan langsung bersyukur bisa selamat.
Kalau aku ceritakan bayangan kepala besar di dasae air, mungkin ia akan berhenti tertawa.
Sampai hendak jalan pulang, aku tidak menceritakan tentang sosok kepala besar di bawah air itu dan membuat cerita ini aku diimpikan sosok tersebut sampai dua kali. Aku berharap semoga ini menjadi mimpi burukku yang terakhir. [ ]
Ceritaku sore itu, Aku, Ipang, Rendy, jogging sore hari di sebuah komplek perumahan dan ada sebuah lahan kosong yang biasa dijadikan lapangan sepak bola oleh warga setempat.
Sekitar pukul 17.30. sore hari, aku lihat banyak sekali orang yang sedang berenang. Bukan sungai sih, pokoknya kubangan yang disemen rapi. Mereka berenang ke sana kemari asyik bermain dengan air. Teman-teman lain yang habis main sepak bola juga ikut renang. Aku kenali sebagian yang berada di tempat itu, memang pandai-pandai sekali cara mereka berenang.
"Pang, Ren, ikutan berenang, yuk?"
"Ayo...!"sahut Rendy.
"Ayo, seruh juga kayaknya nih," timpal Ipang.
Aku yang sudah tidak sabar untuk berenang, kemudian masuk ke dalam air untuk mengukur kedalaman air. Semakin ke bawah, tetap saja kakiku belum juga menyentuh dasar airnya.
Sampai terus berusaha mengukur kedalaman air, akhirnya kakiku menyentuh juga dasar airnya. Aku segera naik berenang ke atas. Nafas lumayan habis, kaki juga lemes. Habis lari malah berenang! Rendy, berenang hanya di pinggiran batu sambil berpegangan. Sebab airnya memang cukup dalam. Mungkin ia takut tenggelam. Aku perhatikan Ipang jadi tertawa geli sendiri, berenang memakai bola! Jadi mengapung di air, macam anak buaya. Ha ha ha ha.
‘"Apa, Ipang enggak bisa berenang? Ah, coba aku dekati dia," tanya Salim di hatinya.
"Pang, kamu enggak bisa berenang?"
"Sudah tahu malah tanya!" jawab Ipang.
"Ha ha ha, lucu juga baru tahu aku. Hati-hati lepas bolanya game over kamu!"
"Iya, cerewet banget sih! Senang saja Lim, seger airnya.
"Hati-hati jangan ke tengah dalam airnya!"
"Oke, santai saja, ha ha ha ...."
Tidak lama, tiba-tiba saja teman-teman yang habis bermain bola tadi itu. Semua meneriaki Ipang.
"Woy…! Ipang enggak bisa berenang, pakai bola lagi Macam anak kecil saja, ha ha ha.”
"Biarin. Ha ha ha!" Ipang menyahuti ejekkan mereka.
Aku tinggalkan Ipang dan kembali berenang, sambil menyelam ke dasar air. Tetapi saat aku naik kembali kepermukaan air, aku mendengar suara teriakan teman-teman dari atas.
"Woy, woy, woy Ipang tenggelam tolong itu, cepat, cepat!"
Aku pikir mereka sedang bercanda mengolok-ngoloknya. Aku lihat Ipang masih berenang dengan mendekap bola. Tetapi sekarang ia berada di tengah-tengah air, sedang berusaha menggapai bola agar tidak tenggelam. Karena begitu panik, akhirnya bola itu terlepas juga.
Aku lihat teman-teman yang pandai berenang tidak ada satu pun turun ke air untuk menolong Ipang. Kuperhatikan mereka semua memalingkan wajah saat aku pandangi satu per satu.
Aku hanya bermaksud untuk meminta pertolongan secara bersama-sama, tetapi dengan sikapnya mereka seperti menolak Aku sempat berpikir mungkin mereka takut karena hari sudah beranjak sore. Orang tua bilang kalau waktu memasuki magrib banyak setan yang berkeliaran.
Aku tidak perduli lagi apa pun yang akan terjadi sore itu. Untuk kalian yang membaca cerita ini, kalian pasti ingat dan mengenaliku. Aku cuma mau bilang, aku sangat kecewa sekali pada kalian semua. Putar kembali memori kepala kalian beberapa tahun yang lalu, aku penolong tunggal di dalam air.
Aku tidak tega melihat Ipang kehabisan nafas di atas air, dan yang terlihat sekarang hanya rambutnya saja. Secara reflek aku menceburkan diri lalu berenang dengan cepat, berusaha meraih tubuh Ipang.
Aku jambak rambut Ipang, kemudian kuangkat tubuhnya agar dapat bernafas, ia mulai batuk dan muntah-muntah. Karena mulut serta hidungnya sudah banyak kemasukan air. Ipang masih berusaha menggapai bola dengan kedua tangannya yang masih mengapung di sampingnya, akan tetapi selalu gagal dan bola semakin menjauh.
Di dasar air aku masih menopang tubuh kawanku dan mulai kehabisan nafas. Kedua kakiku sudah terasa lemas. Ipang terus menerus menenggelamkan kepalaku, ia lakukan mungkin karena begitu panik akan tenggelam di dalam air.
Pada saat itu, mulai tampak bayangan sosok kepala besar di dalam air. Aku berkata dalam hati, aku sudah rela bila akan mati menolong Ipang. Dan terlintas bayangan jika kakiku ditarik siluman air. Aku pasti mati tenggelam dan menjadi tumbal di tempat ini.
Ketika itu, aku tidak dapat melihat keadaan di atas air. Dengan sisa tenagaku di dalam air, aku menggerakkan kaki dan tanganku untuk berusaha berenang ke atas permukaan. Dan ternyata Ipang sudah mendapat bola dan mengapung di atas air. Mungkin sudah ada teman yang menolongnya pikirku saat itu.
Kedua kakiku terasa keram, tubuh serasa lemas semua tidak mampu berenang lagi. Aku mencoba terlentang di atas air dengan mengapungkan tubuh sambil mengumpulkan tenaga, tak lama barulah kakiku mulai ada sedikit tenaga.
Dengan cara berenang terlentang untuk menggerakkan kaki pelan-pelan di atas air. Akhirnya aku sampai juga di pinggiran. Serasa nafasku sudah hampir mau putus.
"Angkat aku, kakiku sudah lemas!" Aku memberi tahu teman-teman yang berada di atas.
Aku lihat Ipang sedang tersedak-sedak memuntahkan air di dalam perutnya, matanya pun terlihat merah.
"Wah, gawat! Hampir saja aku mati. Aku sudah ikhlas tadi kalau mati tenggelam"
"Siapa yang bantu kamu naik ke atas? Waktu kepala aku kamu tenggelamkan di bawah air?" tanya Salim.
"Mana ada yang bantu kita, Lim? Cuma kamu saja yang menolong aku!"
"Aku pikir ada teman-teman yang menolong!" kata Salim.
"Ha ha ha, enggak ada teman yang menolong kita, Lim, mereka semua takut turun ke air. Baru kali ini aku alami tenggelam. Rasanya hampir mau mati, sumpah aku enggak bisa berenang sama sekali!"
Aku benci sekali mendengar Ipang tertawa begitu senang, bukan langsung bersyukur bisa selamat.
Kalau aku ceritakan bayangan kepala besar di dasae air, mungkin ia akan berhenti tertawa.
Sampai hendak jalan pulang, aku tidak menceritakan tentang sosok kepala besar di bawah air itu dan membuat cerita ini aku diimpikan sosok tersebut sampai dua kali. Aku berharap semoga ini menjadi mimpi burukku yang terakhir. [ ]
DILARANG KERAS MENG-COPY CERITA INI DALAM BENTUK APA PUN. PENULIS AKAN TINDAK TEGAS SIAPAPUN YANG MEMPERBANYAK KARYA INI...!!!
GIF
Diubah oleh salim357 17-03-2021 18:15
namakuve dan 11 lainnya memberi reputasi
12
3.2K
Kutip
16
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
salim357
#7
Kitab Sihir Salim Horor + Lucu (8)
Spoiler for Nederlandse Huis:
Aku heran, di belakang rumahku yang jaraknya setengah kilo dari rumah Pakdeku, hanya ada sebuah makam kuno saja.
Berapa saat lamanya, aku baru tersadar. Kalau yang dimaksud rumah oleh France, adalah sebuah makam, tetapi aku tidak tertarik untuk mengambil baju itu. Aku takut menyekutukan Tuhan, dengan mempercayai benda gaib.
Pada saat itu, ada seseorang lelaki setengah baya yang menguasai kemampuan supranatural, dia duduk bersila di pemakaman itu. Lelaki itu mengatakan memang ada baju di makam itu, tapi dia tidak dapat mengambilnya. Lalu, lelaki itu meminta aku agar membantunya mengambilkan baju tersebut, tapi aku tidak menuruti kemauan lelaki itu.
Kemudian France datang dan bertanya di dalam mimpiku, "Kenapa kamu tidak mengambil baju itu Nurul?" tanya wanita Noni Belanda itu.
"Aku tidak bisa menerima hadiah secara cuma-cuma France," kataku.
"Mungkin, lain kali kamu mau menerimanya, Nurul," ucapnya kembali.
Setelah kejadian itu, kami pun masih tetap bersahabat. Sampai pada akhirnya aku menikah. Di dalam mimpi France bicara, "Walaupun kamu sudah menikah Nurul, kita tetap akan bersahabat, dan selalu bersama. Percayalah aku akan menjaga keluargamu," ucap France ketika itu.
Pada saat masa kehamilanku, France masih terus memperhatikanku layaknya sahabat. Persahabatanku dengan France, persahabatan yang sangat aneh. Dua sahabat yang berbeda alam. Lantas France kembali berbicara padaku di dalam mimpi, "Kamu sangat cantik Nurul, bolehkah aku menjaga anakmu?"
Meskipun di dalam mimpi, aku tetap dalam keadaan sadar.
"Tidak perlu perlu, France, Anakku biar aku yang akan menjaganya."
Mungkin karena jawabanku terasa menyakiti hatinya, France pun pamit untuk pergi dan menghilang dari kehidupanku.
France memberiku setangkai bunga berwarna kuning, selama tujuh tahun kami bersahabat. Lalu, ada empat tangkai lagu bunga berwarna kuning yang diberikan France kepadaku.
Aku sangat sedih menerima bunga terakhir dari France, aku merasa sangat kehilangannya. Sampai saat ini France masih bersamaku, terkadang terasa dekat kadang terasa jauh. Aku dapat merasakan kalau ia akan datang saat pikiranku sedang susah.
Pernah saat itu France bicara padaku, ia mengatakan, "Siapa yang menyakitimu Nurul? Katakan saja!"
Aku hanya menggelengkan kepala, aku tidak mau dibantu France, karena France sesosok jin pikirku. Sampai saat ini aku merasakan kalau France masih berada di sekitarku.
Di perumahan AD (Angkatan Darat) Brawijaya Surabaya. Malam itu bulan purnama, saat aku di dalam kamar sedang membaca buku, tiba-tiba rasanya kebelet kepingin buang air kecil.
"Haduh! ada-ada saja ini, malam-malam mau pipis lagi. Jalan untuk ke kamar mandi pun harus melewati halaman rumah. Ya, Tuhan sudah enggak tahan banget mau ke kamar mandi."
Aku beri gambaran sedikit, di rumah itu ada sebuah halaman luas untuk menjemur pakaian, sekaligus ada ayunan di tamannya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 00.30. lewat tengah malam, ingin rasanya menahan buang air kecil. Tapi, rasa kebelet mengalahkan rasa takutku. Pada saat aku beranikan untuk keluar dari dalam kamar, bulu kudukku terasa mulai berdiri semua.
Aku mencoba menengok kanan dan kiri, tidak ada satupun penghuni rumah yang terlihat. Tapi, tiba-tiba saja pandanganku terarah pada halaman rumah, dan melihat ayunan di taman bergerak dengan sendirinya.
Mungkin hanya angin dan halusinasiku saja, pikirku saat itu. Kuamati kembali penglihatanku, ternyata aku melihat di halaman rumah, ada sosok laki-laki memakai jas berwarna hitam, yang sedang asyik bermain ayunan. Lantas saja aku berlari menuju kamar mandi. Detak jantungku rasanya sudah tidak beraturan, kemudian segera kupercepat aktifitasku di kamar mandi,
Aku berharap penampakan itu sudah pergi dari halaman rumah, kemudian akupun memberanikan diri untuk memeriksa kembali sosok yang mengenakan jas hitam itu. Benar saja ternyata sosok itu sudah hilang entah ke mana. Kemudian segera aku berlari sekencang-kencangnya kembali ke kamarku.
Di malam hari yang lain, entah mengapa aku merasa takut sekali untuk tidur di kamarku sendiri, lantas aku meminta Bibi Ratih pembantu rumah untuk menumpang tidur di kamarnya. Kebetulan tempat tidur Bibi Ratih bertingkat, ia tidur di bawah kemudian aku di atasnya. Dan, kuperhatkan di dalam kamar Bibi Ratih itu ada sebuah lemari yang cukup besar. Mungkin itu salah satu lemari peninggalan di rumah Belanda ini.
Aku pikir dengan tidur di kamar Bibi Ratih aman dari gangguan mahluk halus, ternyata semakin menyeramkan lagi.
Tak lama, aku melihat sesosok penampakan yang turun dari atas lemari, sosok mahluk tersebut besar dan berbulu, sosok itu kuperhatikan turun dari atas lemari secara perlahan-lahan. Jantungku pun mulai berdegup dengan cepat dan mulai tidak beraturan.
Ingin rasanya aku menjerit malam itu, sekuat-kuatnya, tetapi mulutku seperti rapat terkunci. Kulihat ke bawah ranjang Bibi Ratih sudah tertidur pulas, dan kuperhatikan mahluk itu berjalan keluar dari kamar Bibi Ratih, lalu menembus pintu kamar.
Belum hilang rasa ketakutanku, aku merasakan seperti ada seseorang yang sedang memelukku dari arah belakang tubuhku.
"Ya Tuhan! Apa lagi ini?" pikirku. Saat aku membalikkan badan, astaga yang memelukku ternyata hantu yang wajahnya seperti jeruk purut.
Aku ketakutan setengah mati malam itu, tubuhku amat sulit untuk kugerakkan dan rasanya jantungku mau copot. Malam itu terasa begitu panjang sekali bagiku, dan tak lama aku mendengar suara azan subuh berkumandang. Akupun merasa lebih tenang, kemudian membaca doa-doa yang aku bisa.
Menurut penuturan dari warga sekitar, rumah itu dahulunya tempat markas serdadu Belanda juga tempat penyiksaan pribumi di jaman penjajahan Belanda.
Saat itu aku sering sekali ke kamar Bibi Ratih untuk sekedar mengobrol ataupun bercanda saja. Tapi pada malam itu, aku mendengar seperti ada seseorang yang membuka pintu garasi.
Bibi Ratih menyuruh aku untuk melihat siapa yang membuka pintu garasi, saat aku lihat dari atas tempat tidur, tidak ada orang yang membuka pintu, tetapi sekilas aku melihat ada dua sosok mahluk halus sekitaran anak berusia 6 tahun.
Salah satu dari mahluk mahluk kecil itumemandang ke arahku dan tertawa, kuperhatikan mulutnya bukan seperti anak kecil pada umumnya, tetapi bentuk mulutnya memanjang. Sangat mengerikan sekali.
Dilain waktu saat musim liburan, salah satu sepupuku baru pulang dari bandung, namanya Mas Ryan, ia termasuk orang yang tidak percaya akan adanya mahluk halus.
Aku pun mulai menceritakan tentang angkernya rumah Belanda ini, tapi setelah mendengar ceritaku Mas Ryan meremehkan cerita-ceritaku dan ucapannya sesumbar seperti ingin menantang mereka.
"Mana ada setan, mahluk halus! Halusinasi saja kamu Nurul! Kalau pun ada hantu di sini, aku jadikan akan jadikan pacara. Ha ha ha!" ucap Mas Ryan.
Pada malam itu, Mas Ryan menempati kamarku, tapu saat memasuki tengah malam Mas Ryan berlari ke sana kemari, seperti orang yang melihat sesuatu. Dan, sampai tidak sadar kalau ia menabrak kaca di depannya. Seisi rumah pun heboh, aku Pakde dan Budeku karena terbangun terkejut melihat Mas Ryan teriak-teriak tengah malam.
Mas Ryan cerita, kalau ia baru saja melihat hantu wanita bentuk wajahnya tidak memiliki mata hidung dan juga mulut. Rata semua! Sosok wanita itu bicara pada Mas Ryan.
"Siapa yang ingin jadi pacarku?"
Setelah kejadian itu mas Ryan sering kerasukan dan bertingkah seperti orang yang tidak waras. Kemudian Pakdeku segera memanggil orang pintar dari Kediri untuk menyembuhkan Mas Ryan.
Di perumahan AD (Angkatan Darat) Brawijaya Surabaya. Walaupun aku sering ditemui mahluk halus di rumah itu, tetapi tidak mempengaruhi keluarga di rumah itu, semua baik-baik saja.
Sampai pada suatu hari, Pakde mengeluh sakit di dadanya, ternyata Pakde terkena jantung koroner. Setelah didiagnosa jantung Pakde semakin melemah.
Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, akhirnya pada waktu yang telah menjadi takdir, Pakde meninggal dunia.
Kesedihan kami sekeluarga pun memuncak, kami sangat kehilangan teladan pengayom yang baik pada sosok diri Pakde sebagai suami dan juga seorang paman untukku.
Setelah di makamkan pada saat malam hari, kami sekeluarga menunggu anak-anak Pakde yang tinggal di luar kota untuk pulang ke rumah. Kami juga menunggu penghormatan terakhir dari kesatuan AD (Angkatan Darat) Brawijaya Surabaya saat itu. Setelah Pakde tiada, kembali lagi kejadian-kejadian aneh yang bermunculan di rumah Belanda itu.
Pada malam harinya setelah Pakde di makamkan, aku melihat seolah-olah Pakde masih hidup, dan sedang beraktivitas seperti biasa di kamarnya. Akal sehatku seakan sudah tidak berfungsi secara normal saat itu.
Setelah wafatnya Pakde, Bude pun pindah dari kamar yang di tempatinya bersama Pakde ketika itu. Bude mengatakan, ia sulit untuk tidur di kamar itu. Kalau Bude butuh sesuatu di kamar itu, pasti ia menyuruh aku untuk mengambilnya.
Pada malam berikutnya, Ketika aku membuka pintu hendak menyapu di kamar Pakde. Kembali aku melihat Pakde sedang duduk di meja rias sedang mencukur kumis serta jenggotnya.
Aku semakin stres dengan keadaan ini, dengan munculnya penampakan sosok Pakde, tidak ada satupun di dalam rumah yang berani masuk ke kamar Pakdeku itu, apalagi berani menggantikan aku untuk membersihkan kamar Pakde.
Selama beberapa tahun tinggal di rumah Belanda itu, banyak sekali kejadian aneh yang kualami. Rumah tersebut memang cukup besar, dari tampak luar rumah sudah terlihat menyeramkan dan terkesan angker. Lebih-lebih jika telah memasuki malam hari.
Ketika itu belum genap tujuh hari, Pakde di makamkan. Pakde meninggalkan kami semua, karena usianya yang sudah senja dan akhirnya kami harus kehilangan sosok yang begitu menjadi panutan.
Aku ingat malam itu hujan rintik-rintik, kami memilih untuk diam di kamar masing-masing. Waktu itu tepat pukul 01.00. malam, aku merasa sukmaku seperti melayang keluar dari ragaku. Sukmaku melihat sosok mahluk berwajah kuda, berkaki tiga, dengan mata berwarna merah tajam hendak masuk ke dalam rumah.
Aku amati mahluk itu tidak dapat masuk ke dalam rumah, karena dalam diamku aku terus menerus membaca ayat kursi.
Waktu itu aku ingat, Pakde di mandikan di halaman belakang rumah di taman itu. Selama empat puluh hari aroma bunga pemandian jenazah masih segar tercium. Di dalam penglihatanku, di taman itu banyak sekali anak-anak kecil dari bangsa halus, yang sedang bermain saat hari mulai gelap.
Di malam berikutnya, waktu semua keluarga di dalam rumah semua terlelap tidur, tubuhku lelah sekali, tapi mataku sulit untuk kupejamkan. Dalam suasana hening dan sepi, aku mendengar langkah kaki yang diseret dengan berat. Suara langkah kaki itu seperti berputar-putar di depan kamarku. Entah aku tidak tahu itu penampakan sosok apa lagi.
Teror mahluk halus di rumah itu seperti belum selesai, pada malam berikutnya aku mendengar di atas genting terdengar jelas banyak sekali, suara serdadu Belanda yang sedang baris berbaris.
Prak... Prak... Prak...!
Setiap malam aku mendengarnya. Aku pun bertanya pada Bude dan juga anak Bude, mereka mengatakan tidak mendengar suara apa-apa. Padahal aku mendengar sangat jelas sekali orang sedang berbaris, dibarengi suara orang yang sedang berbicara dengan bahasa Belanda. Dan, aku juga mendengar suara desingan peluru yang bising sekali di rumah itu.
Suara-suara serdadu berbaris diatas genting menggangguku selama empat puluh hari, dan selama empat puluh hari aku selalu di cekam rasa ketakutan.
Setiap harinya tubuhku berkeringat dingin, dari telapak tangan hingga telapak kakiku. setelah aku cek ke dokter, aku diagnosa lemah jantung karena mengalami rasa ketakutan yang berlebihan.
Di malam terakhir empat puluh harinya Pakde, selain mendengar suara serdadu Belanda berbaris, burung peliharaan Pakde cucak rowo berisik sekali tak mau diam, terus terbang ke sana kemari di dalam sangkarnya. Kami pun sekeluarga memeriksa burung itu, ternyata si Petruk burung cucak rowo kesayangan Pakde kami lihat sudah tidak bernyawa.
Semasa hidup Pakde, ia selalu menggunakan mobil Katana. Tetapi, setelah Pakde tiada, aku melihat mobil Katana itu menyala sendiri dengan suara sound musik di dalamnya, sampai tiga kali aku melihat kejadian itu.
Akhirnya penglihatanku juga syaraf otakku tidak bisa menerima sosok penampakan-penampakan mahluk halus yang beruntun di rumah itu. Kemudian kondisi kesehatanku dalam pengawasan dokter karena mengalami lemah jantung yang semakin parah.
Di dalam proses penyembuhan, aku terpaksa pulang ke rumah orang tuaku di desa. Selama dua minggu di desa membuat aku sangat tenang dan tentram. Tubuhku pun terasa lebih begitu segar sekali. Dan, tidak ada lagi bayang-bayang mahluk halus di rumah Belanda itu lagi. [ ]
Berapa saat lamanya, aku baru tersadar. Kalau yang dimaksud rumah oleh France, adalah sebuah makam, tetapi aku tidak tertarik untuk mengambil baju itu. Aku takut menyekutukan Tuhan, dengan mempercayai benda gaib.
Pada saat itu, ada seseorang lelaki setengah baya yang menguasai kemampuan supranatural, dia duduk bersila di pemakaman itu. Lelaki itu mengatakan memang ada baju di makam itu, tapi dia tidak dapat mengambilnya. Lalu, lelaki itu meminta aku agar membantunya mengambilkan baju tersebut, tapi aku tidak menuruti kemauan lelaki itu.
Kemudian France datang dan bertanya di dalam mimpiku, "Kenapa kamu tidak mengambil baju itu Nurul?" tanya wanita Noni Belanda itu.
"Aku tidak bisa menerima hadiah secara cuma-cuma France," kataku.
"Mungkin, lain kali kamu mau menerimanya, Nurul," ucapnya kembali.
Setelah kejadian itu, kami pun masih tetap bersahabat. Sampai pada akhirnya aku menikah. Di dalam mimpi France bicara, "Walaupun kamu sudah menikah Nurul, kita tetap akan bersahabat, dan selalu bersama. Percayalah aku akan menjaga keluargamu," ucap France ketika itu.
Pada saat masa kehamilanku, France masih terus memperhatikanku layaknya sahabat. Persahabatanku dengan France, persahabatan yang sangat aneh. Dua sahabat yang berbeda alam. Lantas France kembali berbicara padaku di dalam mimpi, "Kamu sangat cantik Nurul, bolehkah aku menjaga anakmu?"
Meskipun di dalam mimpi, aku tetap dalam keadaan sadar.
"Tidak perlu perlu, France, Anakku biar aku yang akan menjaganya."
Mungkin karena jawabanku terasa menyakiti hatinya, France pun pamit untuk pergi dan menghilang dari kehidupanku.
France memberiku setangkai bunga berwarna kuning, selama tujuh tahun kami bersahabat. Lalu, ada empat tangkai lagu bunga berwarna kuning yang diberikan France kepadaku.
Aku sangat sedih menerima bunga terakhir dari France, aku merasa sangat kehilangannya. Sampai saat ini France masih bersamaku, terkadang terasa dekat kadang terasa jauh. Aku dapat merasakan kalau ia akan datang saat pikiranku sedang susah.
Pernah saat itu France bicara padaku, ia mengatakan, "Siapa yang menyakitimu Nurul? Katakan saja!"
Aku hanya menggelengkan kepala, aku tidak mau dibantu France, karena France sesosok jin pikirku. Sampai saat ini aku merasakan kalau France masih berada di sekitarku.
***
Di perumahan AD (Angkatan Darat) Brawijaya Surabaya. Malam itu bulan purnama, saat aku di dalam kamar sedang membaca buku, tiba-tiba rasanya kebelet kepingin buang air kecil.
"Haduh! ada-ada saja ini, malam-malam mau pipis lagi. Jalan untuk ke kamar mandi pun harus melewati halaman rumah. Ya, Tuhan sudah enggak tahan banget mau ke kamar mandi."
Aku beri gambaran sedikit, di rumah itu ada sebuah halaman luas untuk menjemur pakaian, sekaligus ada ayunan di tamannya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 00.30. lewat tengah malam, ingin rasanya menahan buang air kecil. Tapi, rasa kebelet mengalahkan rasa takutku. Pada saat aku beranikan untuk keluar dari dalam kamar, bulu kudukku terasa mulai berdiri semua.
Aku mencoba menengok kanan dan kiri, tidak ada satupun penghuni rumah yang terlihat. Tapi, tiba-tiba saja pandanganku terarah pada halaman rumah, dan melihat ayunan di taman bergerak dengan sendirinya.
Mungkin hanya angin dan halusinasiku saja, pikirku saat itu. Kuamati kembali penglihatanku, ternyata aku melihat di halaman rumah, ada sosok laki-laki memakai jas berwarna hitam, yang sedang asyik bermain ayunan. Lantas saja aku berlari menuju kamar mandi. Detak jantungku rasanya sudah tidak beraturan, kemudian segera kupercepat aktifitasku di kamar mandi,
Aku berharap penampakan itu sudah pergi dari halaman rumah, kemudian akupun memberanikan diri untuk memeriksa kembali sosok yang mengenakan jas hitam itu. Benar saja ternyata sosok itu sudah hilang entah ke mana. Kemudian segera aku berlari sekencang-kencangnya kembali ke kamarku.
Di malam hari yang lain, entah mengapa aku merasa takut sekali untuk tidur di kamarku sendiri, lantas aku meminta Bibi Ratih pembantu rumah untuk menumpang tidur di kamarnya. Kebetulan tempat tidur Bibi Ratih bertingkat, ia tidur di bawah kemudian aku di atasnya. Dan, kuperhatkan di dalam kamar Bibi Ratih itu ada sebuah lemari yang cukup besar. Mungkin itu salah satu lemari peninggalan di rumah Belanda ini.
Aku pikir dengan tidur di kamar Bibi Ratih aman dari gangguan mahluk halus, ternyata semakin menyeramkan lagi.
Tak lama, aku melihat sesosok penampakan yang turun dari atas lemari, sosok mahluk tersebut besar dan berbulu, sosok itu kuperhatikan turun dari atas lemari secara perlahan-lahan. Jantungku pun mulai berdegup dengan cepat dan mulai tidak beraturan.
Ingin rasanya aku menjerit malam itu, sekuat-kuatnya, tetapi mulutku seperti rapat terkunci. Kulihat ke bawah ranjang Bibi Ratih sudah tertidur pulas, dan kuperhatikan mahluk itu berjalan keluar dari kamar Bibi Ratih, lalu menembus pintu kamar.
Belum hilang rasa ketakutanku, aku merasakan seperti ada seseorang yang sedang memelukku dari arah belakang tubuhku.
"Ya Tuhan! Apa lagi ini?" pikirku. Saat aku membalikkan badan, astaga yang memelukku ternyata hantu yang wajahnya seperti jeruk purut.
Aku ketakutan setengah mati malam itu, tubuhku amat sulit untuk kugerakkan dan rasanya jantungku mau copot. Malam itu terasa begitu panjang sekali bagiku, dan tak lama aku mendengar suara azan subuh berkumandang. Akupun merasa lebih tenang, kemudian membaca doa-doa yang aku bisa.
Menurut penuturan dari warga sekitar, rumah itu dahulunya tempat markas serdadu Belanda juga tempat penyiksaan pribumi di jaman penjajahan Belanda.
Saat itu aku sering sekali ke kamar Bibi Ratih untuk sekedar mengobrol ataupun bercanda saja. Tapi pada malam itu, aku mendengar seperti ada seseorang yang membuka pintu garasi.
Bibi Ratih menyuruh aku untuk melihat siapa yang membuka pintu garasi, saat aku lihat dari atas tempat tidur, tidak ada orang yang membuka pintu, tetapi sekilas aku melihat ada dua sosok mahluk halus sekitaran anak berusia 6 tahun.
Salah satu dari mahluk mahluk kecil itumemandang ke arahku dan tertawa, kuperhatikan mulutnya bukan seperti anak kecil pada umumnya, tetapi bentuk mulutnya memanjang. Sangat mengerikan sekali.
***
Dilain waktu saat musim liburan, salah satu sepupuku baru pulang dari bandung, namanya Mas Ryan, ia termasuk orang yang tidak percaya akan adanya mahluk halus.
Aku pun mulai menceritakan tentang angkernya rumah Belanda ini, tapi setelah mendengar ceritaku Mas Ryan meremehkan cerita-ceritaku dan ucapannya sesumbar seperti ingin menantang mereka.
"Mana ada setan, mahluk halus! Halusinasi saja kamu Nurul! Kalau pun ada hantu di sini, aku jadikan akan jadikan pacara. Ha ha ha!" ucap Mas Ryan.
Pada malam itu, Mas Ryan menempati kamarku, tapu saat memasuki tengah malam Mas Ryan berlari ke sana kemari, seperti orang yang melihat sesuatu. Dan, sampai tidak sadar kalau ia menabrak kaca di depannya. Seisi rumah pun heboh, aku Pakde dan Budeku karena terbangun terkejut melihat Mas Ryan teriak-teriak tengah malam.
Mas Ryan cerita, kalau ia baru saja melihat hantu wanita bentuk wajahnya tidak memiliki mata hidung dan juga mulut. Rata semua! Sosok wanita itu bicara pada Mas Ryan.
"Siapa yang ingin jadi pacarku?"
Setelah kejadian itu mas Ryan sering kerasukan dan bertingkah seperti orang yang tidak waras. Kemudian Pakdeku segera memanggil orang pintar dari Kediri untuk menyembuhkan Mas Ryan.
***
Di perumahan AD (Angkatan Darat) Brawijaya Surabaya. Walaupun aku sering ditemui mahluk halus di rumah itu, tetapi tidak mempengaruhi keluarga di rumah itu, semua baik-baik saja.
Sampai pada suatu hari, Pakde mengeluh sakit di dadanya, ternyata Pakde terkena jantung koroner. Setelah didiagnosa jantung Pakde semakin melemah.
Setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit, akhirnya pada waktu yang telah menjadi takdir, Pakde meninggal dunia.
Kesedihan kami sekeluarga pun memuncak, kami sangat kehilangan teladan pengayom yang baik pada sosok diri Pakde sebagai suami dan juga seorang paman untukku.
Setelah di makamkan pada saat malam hari, kami sekeluarga menunggu anak-anak Pakde yang tinggal di luar kota untuk pulang ke rumah. Kami juga menunggu penghormatan terakhir dari kesatuan AD (Angkatan Darat) Brawijaya Surabaya saat itu. Setelah Pakde tiada, kembali lagi kejadian-kejadian aneh yang bermunculan di rumah Belanda itu.
Pada malam harinya setelah Pakde di makamkan, aku melihat seolah-olah Pakde masih hidup, dan sedang beraktivitas seperti biasa di kamarnya. Akal sehatku seakan sudah tidak berfungsi secara normal saat itu.
Setelah wafatnya Pakde, Bude pun pindah dari kamar yang di tempatinya bersama Pakde ketika itu. Bude mengatakan, ia sulit untuk tidur di kamar itu. Kalau Bude butuh sesuatu di kamar itu, pasti ia menyuruh aku untuk mengambilnya.
Pada malam berikutnya, Ketika aku membuka pintu hendak menyapu di kamar Pakde. Kembali aku melihat Pakde sedang duduk di meja rias sedang mencukur kumis serta jenggotnya.
Aku semakin stres dengan keadaan ini, dengan munculnya penampakan sosok Pakde, tidak ada satupun di dalam rumah yang berani masuk ke kamar Pakdeku itu, apalagi berani menggantikan aku untuk membersihkan kamar Pakde.
Selama beberapa tahun tinggal di rumah Belanda itu, banyak sekali kejadian aneh yang kualami. Rumah tersebut memang cukup besar, dari tampak luar rumah sudah terlihat menyeramkan dan terkesan angker. Lebih-lebih jika telah memasuki malam hari.
Ketika itu belum genap tujuh hari, Pakde di makamkan. Pakde meninggalkan kami semua, karena usianya yang sudah senja dan akhirnya kami harus kehilangan sosok yang begitu menjadi panutan.
Aku ingat malam itu hujan rintik-rintik, kami memilih untuk diam di kamar masing-masing. Waktu itu tepat pukul 01.00. malam, aku merasa sukmaku seperti melayang keluar dari ragaku. Sukmaku melihat sosok mahluk berwajah kuda, berkaki tiga, dengan mata berwarna merah tajam hendak masuk ke dalam rumah.
Aku amati mahluk itu tidak dapat masuk ke dalam rumah, karena dalam diamku aku terus menerus membaca ayat kursi.
Waktu itu aku ingat, Pakde di mandikan di halaman belakang rumah di taman itu. Selama empat puluh hari aroma bunga pemandian jenazah masih segar tercium. Di dalam penglihatanku, di taman itu banyak sekali anak-anak kecil dari bangsa halus, yang sedang bermain saat hari mulai gelap.
Di malam berikutnya, waktu semua keluarga di dalam rumah semua terlelap tidur, tubuhku lelah sekali, tapi mataku sulit untuk kupejamkan. Dalam suasana hening dan sepi, aku mendengar langkah kaki yang diseret dengan berat. Suara langkah kaki itu seperti berputar-putar di depan kamarku. Entah aku tidak tahu itu penampakan sosok apa lagi.
Teror mahluk halus di rumah itu seperti belum selesai, pada malam berikutnya aku mendengar di atas genting terdengar jelas banyak sekali, suara serdadu Belanda yang sedang baris berbaris.
Prak... Prak... Prak...!
Setiap malam aku mendengarnya. Aku pun bertanya pada Bude dan juga anak Bude, mereka mengatakan tidak mendengar suara apa-apa. Padahal aku mendengar sangat jelas sekali orang sedang berbaris, dibarengi suara orang yang sedang berbicara dengan bahasa Belanda. Dan, aku juga mendengar suara desingan peluru yang bising sekali di rumah itu.
Suara-suara serdadu berbaris diatas genting menggangguku selama empat puluh hari, dan selama empat puluh hari aku selalu di cekam rasa ketakutan.
Setiap harinya tubuhku berkeringat dingin, dari telapak tangan hingga telapak kakiku. setelah aku cek ke dokter, aku diagnosa lemah jantung karena mengalami rasa ketakutan yang berlebihan.
Di malam terakhir empat puluh harinya Pakde, selain mendengar suara serdadu Belanda berbaris, burung peliharaan Pakde cucak rowo berisik sekali tak mau diam, terus terbang ke sana kemari di dalam sangkarnya. Kami pun sekeluarga memeriksa burung itu, ternyata si Petruk burung cucak rowo kesayangan Pakde kami lihat sudah tidak bernyawa.
Semasa hidup Pakde, ia selalu menggunakan mobil Katana. Tetapi, setelah Pakde tiada, aku melihat mobil Katana itu menyala sendiri dengan suara sound musik di dalamnya, sampai tiga kali aku melihat kejadian itu.
Akhirnya penglihatanku juga syaraf otakku tidak bisa menerima sosok penampakan-penampakan mahluk halus yang beruntun di rumah itu. Kemudian kondisi kesehatanku dalam pengawasan dokter karena mengalami lemah jantung yang semakin parah.
Di dalam proses penyembuhan, aku terpaksa pulang ke rumah orang tuaku di desa. Selama dua minggu di desa membuat aku sangat tenang dan tentram. Tubuhku pun terasa lebih begitu segar sekali. Dan, tidak ada lagi bayang-bayang mahluk halus di rumah Belanda itu lagi. [ ]
GIF
Diubah oleh salim357 11-03-2021 18:00
mincli69 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas