Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.2K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#288
Kehilangan_Part 1
Gue sudah sampai di rumah Emi. Iya, gue sengaja nggak pulang ke rumah. Gue sudah berniat mengajak Papa dan Mama Emi untuk ikut menjemput Emi esok harinya. Dan iya, Emi memang pulang besok yang artinya beberapa jam lagi gue akan segera bertemu kembali dengan dia. Tapi entah kenapa, kali ini menunggu kepulangan dia rasanya seperti sudah lewat satu minggu lamanya. Hidup gue sepi banget rasanya tanpa dia.

Kemudian gue teringat sesuatu… “Oh iya, kenapa sih si Arasti itu?” gumam gue perlahan. Gue duduk di meja komputer Emi yang ada di samping tempat tidurnya. Di sana tergeletak laptop kerja yang menemani perjuangan dia selama bekerja semenjak dia lulus kuliah dulu. “Apa gue bisa kayak dia ya nemuin jawaban tanpa clue apapun cuma modal barang milik orang lain? Tapi gue mesti mulai dari mana?” tanya gue dalam hati. “Lagian kenapa jadi begini sih? Kenapa Emi begini, Arasti juga begini? Nambah-nambah pikiran gue aje.”

Karena clue-lessdan gue juga nggak se-kreatif Emi yang bisa paham kemana harus mencari jawaban ketika bingung begini, gue give up (tanpa mencoba). Gue merebahkan badan gue di tempat tidur Emi. “Udah hampir tengah malem begini. Dia masih belum ada kabar?” Entah sudah keberapa kalinya gue mencoba menghubungi Emi malam ini, terutama setelah gue mendapatkan chat dari Arasti. Gue mencoba segala cara, baik via telepon, e-mail, maupun chat apapun. Dia tetep tidak menjawab.

Kenapa lo nggak coba hubungi Bimo aja sih, Ja?

Bimo? Sebenernya bisa aja sih gue menghubungi Bimo, Rina, ataupun Ninda. Toh gue punya nomor HP mereka karena Google Contact gue sync oleh Emi— “Sebentar… Google Contact gue sync dengan Emi! Dari situ pasti Emi bisa menghubungi Arasti yang kemudian dia mengaku ke Arasti kalau dia itu pacar gue, makanya Arasti chat demikian sama gue! Pasti begitu! Iya kan? Bener nggak sih pemikiran gue? Tapi kok Emi bisa tau kalau Arasti memang lagi dekat dengan gue? Kenapa dia nggak sekalian aja nemuin Hana, Edna, dan Ana yang notabene-nya chat dengan gue juga setiap hari? Kenapa hanya Arasti yang demikian? Toh barusan Hana dan Edna masih mau chat seperti biasa dengan gue.” Gue abaikan dulu pemikiran ini. Gue kembali fokus ke pencarian gue pada Emi.

Gue membuka Instagram dan melihat sosial media Bimo. Tapi ternyata Bimo sama sekali tidak meng-upload Stories ataupun foto apapun di akun milik dia tersebut. Padahal gue bisa saja tau bagaimana keadaan Emi hanya dari Stories dia. Rasanya gue ingin menghubungi Bimo untuk tanya kabar Emi. “Tapi… Apa nggak malah bikin Bimo curiga? Apa nggak bikin Bimo jadi penuh asumsi kalau emang ada sesuatu antara gue sama Emi? Apa nggak bikin Bimo mikir drama kayak di kampus dulu? Entar dia malah sebarin ke gank dia lagi, nyari kesempatan biar pernikahan gue sama Emi batal. Males banget gue. Ngurusin Eminya satu aja udah ribet, apalagi mesti balik ngerasain drama konyol kayak dulu lagi. T*i amat.”

Gue simpan HP gue di meja. Gue tutup mata gue dengan guling. Gue coba menenangkan diri gue. Gue mencoba sekuat tenaga agar gue cepat terlelap. Agar hari ini cepat berganti dan gue bisa segera ketemu dengan Emi. Tapi ternyata, melewati 1 menit di malam itu tidak semudah yang gue kira. Pikiran dan hati gue nggak tenang.

Entah mengapa gue sangat amat yakin kalau perubahan sikap Emi ini pasti tidak jauh dari chat ngelantur Tifani tadi pagi yang berbuntut jawaban mengada-ngada dari gue. Emi itu orangnya gampang banget kepikiran dan curiga atas sesuatu yang tidak berjalan seperti biasanya. Tipikal orang cerdas dan perfeksionis. Dan jawaban gue yang mengada-ada itu jelas tidak seperti gue yang biasanya. Jadi Emi (gue yakin) curiga dengan sikap gue tersebut. Makanya dia begini.

“Sekarang pertanyaannya, gimana caranya dia bisa tau Arasti? Kenapa bukannya Tifani yang sikapnya aneh dan ngebahas gimana dia dilabrak atau dihubungi sama Emi? Kenapa malah Arasti yang pergi? Gimana Arasti bisa bikin statement ‘Aku udah tau semuanya, Ja' dan segala kata-kata malaikat kecil itu? Siapa lagi orang yang kelakuannya nggak kayak malaikat (for some people) kalau bukan Emi yang sabarnya super unlimited? Gue yakin, Arasti ini ada hubungannya sama Emi. Terus kalau dia ada hubungannya sama Arasti, kenapa dia ngambek diemin gue gara-gara chat Tifani yang (kayaknya) nggak sengaja dia baca? Masa Emi baca chat Arasti juga? Kapan bacanya? Dan bagian mana aja yang udah dia baca? Hadeuh.”

Gue buka-buka lagi chat gue dengan Arasti. Gue baca ulang chat kami, mencoba mencari clue dimana dia mulai berubah sikap. Siapa tau kalau ada plot twist di sini : dia yang sebenarnya mencari perkara sendiri dimana dia yang menghubungi Emi duluan.

Kok mencari perkara sih, Ja? Lo jadinya nyalahin Arasti sekarang? Kan lo duluan yang ngasih jalan Arasti buat masuk ke kehidupan lo sama Emi.

Ya gue memang tidak memperkarakan ini. Gue sama sekali tidak dirugikan. Apalagi diuntungkan. Gue yang dulu memang akan merasa (sedikit) kesal dengan kelakuan Emi yang seperti. Menutup jalan gue untuk mendapatkan kesenangan dari iseng dengan cewek-cewek ini. Tetapi gue yang sekarang sudah tidak mencari hal ini. Gue murni hanya ingin mencari teman mengobrol dan tidak mau terlihat sombong dengan tidak membalas chat-chat mereka. Nothing to lose.

Secara logika, harusnya ini menjadi sesuatu yang melegakan bagi gue. Bagaimana tidak? Orang yang tidak pernah gue duga untuk hadir di hidup gue, tanpa butuh tenaga apapun, sekarang bisa pergi tanpa perlu membuat gue pusing menyusun kalimat perpisahan yang rumit. Dia pergi begitu saja. Walaupun dengan rangkaian kalimat perpisahan yang (bagi gue) bikin nyesek hati gue.

Quote:


Gue sampai ke kalimat perpisahan dari Arasti dan gue tidak merasa ada clueapapun.

Sayangnya bukan gue namanya kalau nggak menyelesaikan segala sesuatunya dengan tanda titik, bukan malah menghasilkan ribuan tanda tanya begini. Toh gue memang sudah berencana untuk jujur pada Arasti tentang status gue yang sebenarnya di pertemuan kami malam ini. Gue akan memenuhi keinginan Arasti untuk bertemu dengan gue sekaligus jujur padanya bahwa saat ini gue akan menikah dengan orang lain.

Gue hanya ragu tadi sore, haruskah gue langsung jujur malam ini atau gue perlu menunda lagi? Lalu kalo gue menunda lagi, mau berapa lama lagi gue pelihara hubungan gue dengan Arasti ini? Hanya itu. Tetapi bukan berarti gue nggak mau jujur pada dia. Gue hanya tidak mau dia tersakiti.

Coba lihat sekarang? Dia mengirimkan chat itu. Apa itu pertanda dia baik-baik saja? Tentu saja tidak. DIA PERGI. Tidak akan ada chat lagi dari Arasti mulai malam ini. Oke, gue ulangi lagi oke nggak apa-apa. Gue hanya ingin… tau. Mengapa dia bersikap demikian dan dia tau darimana?

“Halah… Gue telepon juga nih dia. Nggak Emi, nggak Arasti bikin pusing orang aja malem-malem begini.” gumam gue.

Gue terus mencoba menghubungi Arasti. Gue coba chat dia kembali di semua aplikasi chatting yang kami biasa pakai, tetapi sama dengan apa yang terjadi di percobaan gue ketika menghubungi Emi. Hasilnya nihil. “Padahal gue punya niat baik loh, nyelesein semuanya baik-baik. Eh malah berakhir begini. Gimana ceritanya coba. Tapi… Apa ini jalan terbaik yang Tuhan tunjukin buat gue? Jadi keragu-raguan gue tadi dijawab dengan ini gitu? Apa gue nggak tambah dosa dibenci sama Arasti karena gue sama sekali nggak kasih penjelasan apapun ke dia?”

Akhirnya sebagai usaha terakhir gue, gue pun mengirimkan chat perpisahan juga pada dia.

(ARASTI CHAT)
Quote:


Sent.

“Masa gitu doang sih? Kayaknya mending gue tambahain lagi deh.”

(ARASTI CHAT)
Quote:


Sent, again.

“Gue nggak ngeles loh! Gue bener dong. Gue emang belum nikah dan gue nggak bisa 100% sure kalau ‘malaikat kecil’ yang dimaksud itu Emi. Siapa tau ternyata dia dapet informasi kalau gue udah punya anak dari gosip sampah nggak jelas?” gue merujuk dengan kejadian tidak mengenakkan beberapa waktu lalu yang dibuat oleh teman-teman Emi.

(ARASTI CHAT)
Quote:


Done. InsyaAllah satu masalah sudah case closed. Walaupun bener-bener ngeganjel di hati. Tapi seenggaknya gue coba menutup kasus ini secara baik-baik.”

Hati gue sedikit tenang abis gue mengirimkan chat itu pada Arasti. Walaupun belum benar-benar lega, karena masih punya beribu anak pertanyaan yang mengganjal di hati dan pikiran gue. Tapi gue harus move on. What to expect saat dia udah begini? Lebih baik gue coba selesein masalah gue yang lain… menyudahi hubungan dengan cewek-cewek ini satu per satu.

“Oh iya! Sebelum jadi masalah yang lain, mending gue antisipasi dulu deh…” kata gue sembari membuka kontak di HP gue.

(CALLING TIFANI)

---

“Eh halo!” Gue sadar kalau nada bicara gue nggak bersahabat. Gimana nggak? Emi tidak menggubris semua usaha gue untuk tau kabar dari dia SEPANJANG HARI. Gimana gue nggak khawatir? Calon istri gue ada di pulau sebrang nggak ada kabar sama sekali dan dalam kondisi jiwa yang labil? Apapun bisa terjadi sama dia!

“Kok lo nyolot? Tutup aja deh teleponnya.”

“JANGAN BERANI-BERANINYA LO NUTUP TELEPON GUE, LAGI! GUE BAKALAN NELEPONIN LO SAMPE MATI! ANJ*NG!”

“Kok lo jadi ngata-ngatain gue sih? Sampe ngatain gue anj*ng lagi! Nggak bisa ya lo nggak ngata-ngatain gue? Harus ya gue yang selalu lo kata-katain kasar begitu? Iya? Gue nggak punya hak buat dapet perlakuan baik dari lo?”

Emi memang lagi sensi. Habis ini dia pasti mau membandingkan antara sikap gue ke dia dengan sikap gue ke cewek lain (yang notabene-nya dia sudah tau). Dan biasanya, dia akan mengeluarkan nama orang. “Gue nggak ngata-ngatain lo! Gue kesel, lo nggak ada kabar begitu! Lagian gue sama aja memperlakukan lo sama orang-orang. Gue begini sama Arko dan Drian. Apa bedanya sama lo?”

“Gue nggak pernah lebih spesial ya di hati lo, Zy? Seumur idup gue, gue nggak akan lebih dari sahabat lo kayak Bang Arko dan Bang Drian ya?” Nada bicara dia berubah. Nggak tinggi lagi.

“Ya beda lah! Lo calon bini gue. Kenapa jadi ngebandingin sama Arko dan Drian sih? Heran gue. Udah nggak usah ngelantur kemana-mana. Lo kemana aja hah kemaren? Kenapa telepon sama chat gue nggak ada yang lo bales?”

“Gue kerja! Gue emang mau ngapain di sini hah?” Oke nada bicara dia kembali meninggi dan gue di sini salah tebak. Nggak ada nama yang dia keluarkan. “Ngapain gue buang-buang duit banyak cuma buat SELINGKUH di sini? Kalau gue mau selingkuh ya tinggal selingkuh aja, nggak usah jauh-jauh! Iya nggak?” Oke, dia udah menganggap kalau gue selingkuh. Sekarang dia tau dari Tifani atau dia yang ngehubungi Arasti.

“Nggak. Gue nggak mengiyakan atau membenarkan kalau selingkuh nggak usah jauh-jauh?”

“Oh jadi kalau mau selingkuh itu yang deket aja? Yang di depan mata ya? Biar nggak keliatan sama pasangan?”

“KENAPA JADI NGEBAHAS SELINGKUH SIH? EMANG SIAPA YANG SELINGKUH HAH?”

“………” Dia diem aja. Tapi gue bisa mendengar suara mobil dan orang yang lalu lalang di belakang dia. Dia nggak menutup telepon gue.

“Halo! Woy! Halo!” Gue nggak mau dia menghindar lagi dari gue.

“Apaan sih?”

“Siapa yang selingkuh? Gue ada di rumah lo ini. Dari kemaren gue balik ke rumah terus lanjut ke rumah lo.” Bener kan gue begitu? Bedanya ya gue nggak cerita kalau gue ada main ke mall sebentar buat ketemu Tifani. Tapi dia nggak nanya, jadi gue nggak bohong.

“………”

“Kenapa? Nggak percaya?”

“Betah lo gue diemin begitu terus diem aja di rumah?”

“Ya nggak betah lah—” Dia motong omongan gue.

“Terus lo jalan kemana aja kalo lo nggak betah di rumah?”

“Jalan? Jalan kemana lagi kalo nggak ada lo?”

“………” Anj*ng nih kalo dia udah mulai diem begini. Dia pasti lagi mikirin asumsi sampah lain atau dia udah curhat plus diracunin sama temen-temen sampahnya dia.

“Kenapa lagi ini? Kenapa diem mulu?”

“Hebat lo betah di rumah doang ya selama gue nggak ada.”

Kayaknya gue harus jujur. “Ya gue ada pergi bentar keluar sebelum ke rumah lo.”

“Hmm.”

“Kenapa ‘hmm’ begitu? Mikir apaa lo?”

“Udahan dulu aja, Zy. Gue masih ada urusan di sini.” Nadanya pelan banget. Dia seakan kecewa dengan jawaban gue.

“Kenapa lagi ini sih? Elah! Anj*ng banget!”

“Ya gue masih ada urusan di sini. Gue pikir lo mau ngabarin hal penting ngehubungin gue terus-terusan begitu. Gue pikir ada yang mau lo omongin. Gue pikir ada yang mau lo sampein tentang pencapain baru di hidup lo sebagai bukti kalo lo udah berubah.”

“Berubah gimana sih maksud lo? Gue harus berubah kayak gimana lagi?”

“BERUBAH KAYAK GIMANA LAGI, ZY? Ya Tuhan…” Dia menjeda omongan dia. “Emang APA PENCAPAIAN LO dalam percobaan perubahan lo selama beberapa waktu ini, Zy? Coba apaan? Emang lo ngerasa udah SANGAT AMAT BERUBAH ya? Iya?”

“Emang berubah kayak gimana lagi sih? Gue nggak ngerti maksud lo.” Tolong, Mi. Kasih gue clue. Jangan bikin semuanya makin ribet.

“Udah ya, Zy. Udah.”

“Kenapa ini? Lo jangan bilang mau putus atau batalin nikah kita.”

“Gue nggak mau ngebahas ini dulu, Zy.”

“Jadi lo beneran kepikian buat batalin nikah kita???”

“………”

“Mi, keluarga gue dateng ke rumah lo itu nggak main-main loh kemaren! Nggak cuma sowan ke rumah tetangga! Ini Mbah gue bener-bener lagi ngitung tanggal buat kita loh!”

“………”

“Mi, apaan sih lo?”

“Lo yang apaan, Zy? Menurut lo, gue nerima lo dan ngasih lo syarat kemaren itu main-main hah?”

“Gue nggak pernah bilang itu main-main ya. Gue nggak pernah mikir lo main-main. Gue serius dan gue bener-bener mau berubah, Mi! Apaan lagi sih ini?”

“………”

“Zy… Denger. Apapun yang terjadi sama lo di sana dan apa yang gue rasain di sini, gue MASIH TETEP sayang sama lo.”

“Gue juga, Mi…”

“Bahkan ini gue lagi beliin lo topi dan sendal sepasang buat kita. Gue juga beliin baju couple buat kita, oleh-oleh buat nyokap lo sama adek lo.”

“………” Gue nggak tau harus ngejawab apa buat penjelasan ini.

“Terus kenapa lo susah banget sih buat jujur sama gue? Kenapa SUSAH BANGET SIH ngakuin ke orang kalo lo emang udah punya gue? Kalo lo masih TAKUT BANGET ga laku di masa depan, mending lo nggak usah nikah sekarang, Zy. Gue nggak maksa lo kok buat nikah sekarang. Kenapa lo nggak ambil syarat kedua aja? Kayak yang udah gue pernah jelasin. Kita ga jadi nikah. Tapi kita boleh kok deket satu sama lain. Lo jadi boleh deketin semua cewek manapun, dan gue juga boleh dideketin atau ngedeketin cowok manapun. Kalau suatu saat nanti. Ada yang ternyata cocok sama gue dan mutusin buat nikah, lo nggak boleh ngelarang gue.”

“Gue kan udah bilang kalo gue nerima syarat yang pertama. Kenapa jadi ngejelasin syarat yang kedua sih?”

“Soalnya…”

“Kenapa sih? Elah. Nggak usah ribet deh—” Dia kembali motong omongan gue.

“Siapa shiroihana?” tanya dia langsung to the point.

Another trouble.
Diubah oleh yanagi92055 07-04-2021 04:27
laynard22
Shi15
caporangtua259
caporangtua259 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup