Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Sisa Bakwan Kemarin
Sisa Bakwan Kemarin


Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


POV DEWI

---------------------------

"Sayang, ini bakwannya. Kamu sarapan dulu baru ngerjain rumah. Aku berangkat kerja, ya," pamit Mas Jono padaku yang tengah mengurusi bayi berumur tiga bulan.

Hidup jauh di kota orang membuatku harus mengerjakan segalanya sendiri. Alhamdulillah, gaji Mas Jono cukup untuk membayar kontrakan, makan, dan jajan kami bertiga. Masalah menabung, tidak perlu kuceritakan karena selalu habis kucongkel menggunakan gunting atau berang lainnya tiap kali token listrik menjerit.

"Kamu udah sarapan, Mas?" tanyaku sambil menggendong Yumna ke dapur yang berukuran 1 meter x 4 meter.

"Udah, tadi aku makan lontong aja. Aku berangkat. Jangan lupa istirahat. Nanti pulangnya mau nitip apa?" tanya Mas Jono tanpa menoleh padaku. Dia sibuk menggoda Yumna yang sudah bertepungkan bedak bayi yang harum.

"Aku nitip langkahmu selalu lancar untuk ke warung bakso Pakde Kumis," kataku sambil tersenyum malu.

"Insyaallah. Assalamu'alaikum!" pamitnya setelah mengecup dahiku dan juga Yumna.

"Wa'alaikumsalam." Aku mendadah padanya. Kututup pintu kontrakan yang baru kutinggali sebulan ini.

Ya, kami baru saja pindah. Mas Jono mendapat pekerjaan baru sebagai kurir. Beruntung di masa pandemi seperti ini, Mas Jono masih mendapat pekerjaan.

Kuletakkan Yumna di atas kasur. Aku segera mengambil kresek berisi makanan kesukaanku. Entah apa penyebab pertama aku bisa mencintai bakwan dari semua jenis gorengan yang ada.

Aku duduk dan meneguk teh manis sisa Mas Jono tadi. Lalu kuangkat satu bakwan yang kuambil secara acak. Warnanya sudah cokelat gelap, terlalu berminyak, dan keras.

Aku menghela napas panjang. Bukan pertama kalinya ini terjadi. Terhitung ini ke tujuh kalinya aku mendapatkan gorengan bakwan kemarin. Jelas aku tahu ini bukan bakwan baru.

Sebagai pecinta bakwan, tentulah bisa kubedakan dari tampilan, rasa, dan juga teksturnya. Kubelah bakwan yang berada di tanganku, benang lendir tipis itu terputus saat kupotong menjadi dua. Rasanya asam.

Kukeluarkan semua isinya, hanya kutemukan satu saja yang berwarna kuning keemasan. Hilang kembali selera makanku. Aku sudah mengingatkan Mas Jono untuk mengambil bakwannya sendiri setelah kuberitahu perbedaan yang baru dan lama.

Sambil menggendong Yumna, aku mendatangi warung Bu Sayem yang lumayan ramai. Kutarik Bu Sayem agak ke dalam warungnya. Kugeletakkan kresek berisi bakwan di meja kecil miliknya.

"Bu, kenapa setiap suami saya beli gorengan selalu dikasih gorengan yang kemarin?" tanyaku lembut dan pelan.

"Ah, gorengan kemarin gimana? Kamu jangan ngada-ngada, Mbak. Mungkin aja suamimu enggak beli di sini," kilahnya dengan suara yang bisa di dengar oleh pembeli yang lain.

Sejenak warung menjadi senyap, tak ada lagi suara bising para ibu-ibu yang sibuk bercerita sembari belanja sayuran.

"Ya, pasti di sini, Bu. 'Kan, ini satu-satunya warung di desa ini yang jual gorengan. Ini udah ke tujuh kalinya suami saya dikasih gorengan kemarin, loh." Aku masih menahan nada suaraku agar tetap tidak tinggi.

"Eh, Mbak. Kamu jangan ngada-ngada. Jatuhnya fitnah." Bu Sayem malah membentakku.

Mulai terdengar bisik-bisik.

Kukeluarkan isi kresek, dan kuminta Bu Sayem untuk menyicipnya. Dia menolak keras.

"Suami saya beli sepuluh ribu, lontong dua, dan sisanya bakwan. Saya cuma nemuin 1 yang bisa saya makan karena ini bakwan baru hari ini."

"Alah, wong perkara sepuluh ribu doang, kok, dibesar-besarin. Lain kali enggak usah belanja di sini. Nah, uangmu," omel Bu Sayem sambil menyodorkan uang sepuluh ribu padaku.

Kudorong uang itu. "Bukan masalah uang sepuluh ribu atau enggak, Bu. Ini masalah kejujuran. Jujur itu perlu walaupun hanya tentang sebuah bakwan, Bu," tandasku tetap menjaga nada suara agar tidak terkesan marah.

"Wah, pantes kemarin pas nyuruh anak saya beli ... dapet kayak gini juga. Kalo khilaf, sih, cuma satu dan sekali, Bu Sayem. Kalo sebanyak ini, mah, kalap," timpal seorang Ibu berambut panjang sambil mengangkat bakwan milikku tadi.
Diubah oleh blackgaming 11-03-2021 09:36
miniproject
manik.01
stealth.mode
stealth.mode dan 20 lainnya memberi reputasi
19
7.2K
61
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#11
Chapter 7


POV DEWI

--------------------------------

Tiba-tiba terdengar suara gedoran di daun pintu kontrakan ini. Aku berjingkat kaget, serempak kami menatap ke arah pintu. Aku segera masuk ke kamar untuk bersembunyi. Sungguh aku tak ingin berhadapan dengan Bu Sayem. Pasti akan gawat sekali kalau sudah sampai menyusul ke sini.

"Mas, coba tolong intip!" pintuku berbisik-bisik.

Mas Jono tampak kebingungan, dia malah mengernyitkan dahi seraya menggerakkan kepalanya ke atas. Sebagai bentuk pertanyaan untuk apa.

"Mas, coba intip! Kalo itu Bu Sayem jangan dibuka," kataku mewanti-wanti Mas Jono.

Dengan polosnya, Mas Jono malah membuka pintu depan lebar-lebar. Sontak aku menutup pintu kamar dan kukunci. Argh, Mas Jono kenapa, sih, polos sekali. Aku sudah bilang cukup mengintip, malah dia membuka pintunya.

"Assalamu'alaikum!" ucap seorang lelaki. Ya, suara lelaki yang berada di luar sana.

Apa jangan-jangan itu suaminya Bu Sayem? Jangan-jangan Bu Sayem mengutus suaminya untuk membalaskan perbuatanku tadi. Wah, Bu Sayem benar-benar mengerikan ternyata. Jangan-jangan suami Bu Sayem mau melabrak suamiku? Wah, bisa gawat ini kalau sampai bertengkar. Mas Jono, 'kan, sangat lembut. Bagaimana bisa dia nanti melawan suami Bu Sayem?

"Eh, Pak RT," ucap Mas Jono.

Aku sampai menempelkan daun telingaku ke pintu. Semakin kuat saja degub jantungku. Bu Sayem bahkan sampai mengutus Pak RT ke rumahku. Kalau sudah sampai ke telinga Pak RT, bisa-bisa aku dan Mas Jono kena kartu merah dan bisa saja dikeluarkan dari kampung ini karena dicap sebagai warga baru yang berani membuat onar.

"Silakan masuk, Pak!" suruh Mas Jono. Memang suamiku itu ramah sekali.

"Begini, Pak. Sebagai petinggi di desa ini, saya berharap agar semua warga bisa akur dan damai. Tentu semua orang menginginkan hal itu. Barusan saya menerima kabar bahwa istri Bapak dan Bu Say terlibat cekcok yang membuat Bu Say mengalami kerugian. Bu Say menangis di depan saya dan semua orang," ungkap Pak RT terdengar bijaksana.

Aku mau mual mendengar panggilan Bu Say. Belum lagi yang tadi di rumahnya ada yang memanggilnya "Say". Pasti itu bukan panggilan sayang. Aku jadi tidak suka dengan Bu Sayem.

"Saya mohon maaf atas kesalahpahaman ini, Pak. Kira-kira berapa kerugian yang harus saya ganti?" tanya Mas Jono lugu. Aku masih menguping di balik pintu kamar.

"Menurut perkiraan Bu Say, RP100.000,00, Pak. Berikut rinciannya," jawab Pak RT.

Aku membelalak mendengar penyebutan nominal keruguan. Aku tak bisa terima. Bagaimana bisa kerugiannya sebesar itu? Kubuka paksa pintu kamar dan mereka menatapku saat bobot ini muncul. Oh, Pak RT datang bersama perempuan yang tadi ikut menimpali soal bakwan basi itu. Kurampas secarik kertas dari tangan Mas Jono.

Aku menggeleng seraya membacanya. "Apa-apaan ini, Pak? Ini enggak bener," protesku tegas.

"Loh, inilah yang dikatakan Bu Say, Bu. Ini ada saksinya," tunjuk Pak RT pada perempuan bahenol yang duduk di sampingnya. Dia mesam-mesem pada Pak RT dan suamiku.

"Jelas-jelas saya yang dirugikan, Pak," sahutku sambil duduk di samping Mbak Roro. Kakak iparku mengusap punggung ini, mungkin dia memintaku untuk bersabar.

"Dirugikan bagaimana, Bu?" tanya Pak RT serius.

"Saya beli bakwan, tapi dikasih bakwan kemarin yang udah berlendir. Ini udah ke tujuh kalinya, loh, Pak. Saya rasa Bu Sayem itu terus menjual gorengan basi karena enggak ada yang berani menegurnya. Harusnya Pak RT menegurnya, dong! ... atau minimal tanya dulu apa sebab saya dan Bu Sayem bertengkar," ocehku kesal.

"Lah, kamu tadi, 'kan, langsung kabur, Dew," bisik Mbak Roro padaku.

Iya, sih. Ya, habis mau bagaimana lagi. Aku takut kalau yang datang itu Bu Sayem. Lagian Pak RT mengetuk pintu dengan cara menggedor, sih.

"Tanya aja sama Ibu yang di samping Bapak! Ibu ini juga korban bakwan kemarin, kok," tunjukku pada perempuan yang sepert cacing kepanasan, matanya terus melirik dua lelaki di sini secara bergantian.

"Apa bener begitu, Bu Rika?" tanya Pak RT, dan perempuan baru kuketahui namanya itu berjingkat kaget, lalu tersenyum salah tingkah.

Ada yang aneh dengan Bu Rika ini!

"Eh, iya, Pak. Saya udah dua kali dapet yang basi," jawabnya sedikit ragu.

Pak RT manggut-manggut.

"Masalah ganti rugi ini, ya, Pak. Saya jelasin. Saya dilempar uang, jelas saya marah karena merasa dihina. Lalu, yang memulai melempar dengan dagangan juga Bu Sayem. Saya bales menyabetnya dengan kacang panjang yang dia lemparkan ke saya. Ya, saya enggak tau kalo mukanya tajem sampe kacang panjang itu rusak," jelasku. Aku menghela napas sejenak.

"Lalu, saya ditimpuk nampan juga, syukurnya enggak kena dan saya bales, ternyata kepala Bu Sayem sekeras batu sampe namlan itu bisa penyok. Saya juga ditimpuk ayam. Sudah jelasn, 'kan, kalo ini bukan kesalahan saya sepenuhnya, Pak?" Aku meletakkan kertas itu ke meja.

Pak RT tampak kebingungan. Dia memelintir-pelintir ujung kumisnya yang tebal. "Bagaimana kalo kerugiannya dibagi dua saja, Bu?" Pak RT melah bernegosiasi.

Aku mengibaskan tangan. "Enggak, Pak! Saya merasa enggak melakukan itu. Saya hanya membela diri." Aku berucap tegas. "Bu Sayemlah yang mengacak-acak barang sagangannya sendiri." Aku menambahkan.

"Mbak, lebih baik bayar setengahnya aja daripada nanti tambah panjang masalah ini. Mbak enggak kenal Bu Sayem, sih. Dia itu mengerikan, Mbak." Bu Rika menimpali dengan suara yang mendayu-dayu.

Siapa yang takut? Siapa yang peduli dia mengerikan atau tidak? Yang terpenting aku tidak mau keluar uang seperak pun untuk itu. Aku tak sudi. Sudah kukorbankan uang beli bakwan dan gula serta lainnya hari ini. Kurasa itu cukup.

"Dewi, udah berikan aja! Hitung-hitung sedekah," ujar Mbak Roro mengusulkan. Aku melotot sambil menggeleng, menolak usulan itu.

"Tapi, Bu Dewi, ini demi kebaikan dan keselamatan Ibu sekeluarga, loh," timpal Bu Rika.

"Enggak, Pak RT dan Bu Rika. Kebaikan dan keselamatan keluarga saya ada di tangan Allah," tukasku tegas. Aku melipat tangan ke dada dan memalingkan pandamgan. Aku tidak akan berdamai dengan orang seperti Bu Sayem.

Mbak Roro dan Mas Jono tidak bisa lagi membujukku. Mereka sudah sangat mengenal karakterku seperti apa. Pak RT dan Bu Rika saling pandang, lalu melemparkan tatapan ke Mas Jono. Dari tatapan itu aku bisa membaca bahwa mereka merayu Mas Jono dalam hening.

"Mas Jono, jangan!" sergahku pada Mas Jono yang mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan akan memberikannya pada Pak RT.

Semuanya menatap ke arahku saat aku mengambil uang itu dari tangan Mas Jono. "Tidak ada ganti rugi!" tegasku sekali lagi. Aku menyebut kalimat itu dengan mengejanya per huruf.

"Hmm, ya, sudah. Saya pamit pulang kalo gitu Pak Jono," kata Pak RT. Sorot matanya mengatakan bahwa dia menyerah padaku.

Kulihat Bu Rika berjalan menyerempet-serempet Pak RT dan lelaki itu seperti senang diperlakukan begitu oleh Bu Rika. Aku bergidik geli melihatnya. Segera aku masuk dan menutup pintu. Aku meninggalkan Mas Jono dan Mbak Roro ke kamar.

"Cari uang susah, Mas. Apalagi sekarang Mas lagi enggak punya kerjaan. Jangan hamburkan uang untuk tipe orang seperti Bu Sayem. Dia tipe orang yang melunjak," pesanku pada Mas Jono sebelum menutup pintu.

"Jon, kamu?" Kudengar Mbak Roro menananyakan hal itu.

Sepuluh menit berlalu. Terdengar kembali ketukan pintu. Kali ini diiringi oleh suara seram yang membahana. Kami kaget serumah, bahkan Yumna sampai menangis.
namakuve
doelviev
bonita71
bonita71 dan 10 lainnya memberi reputasi
11