Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua






Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 07:59
ichigame16
ciptoroso
sormin180
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
18.6K
51
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#12
Chapter 7


Dokter mengambil tindakan dengan menginfusnya. Pak Asep segera menyelesaikan administrasi, sehingga malam itu juga Mas Fian dipindahkan dari IGD ke ruang perawatan.

"Pak Asep kalau mau pulang gak apa-apa pulang saja, besok saja kembali lagi ke sini. Tolong bilang sama Bik Nani kalau Ibu menelepon, jangan bilang Mas Fian dirawat, takut ibu khawatir," ucapku sok perhatian sama si Nenek Gambreng, padahal aku gak mau dia dan anaknya datang. Karena pastinya mereka berdua akan menyalahkan aku atas kejadian ini, ruwet.

Untung saja si Nenek Gambreng itu sedang pergi ke luar kota, seperti biasa ia selalu jalan-jalan bersama anak bungsunya, Desi.

"Iya Neng, kalau ada apa-apa telepon saja ya."

"Iya Pak Asep, hati-hati di jalan."

Sepeninggal Pak Asep, aku duduk kembali di kursi besi di samping ranjang di mana mas Fian yang sedang terbaring lemas.

Kutatap wajahnya, sungguh sangat kasihan. Gara-gara aku dia jadi begini, aku tidak tahan akhirnya aku menangis sesenggukan.

Malam ini aku terjaga, kutenggelamkan wajah penuh rasa bersalah ini di sisi kasur beralaskan seprei putih. Dada ini terasa sesak, sembari terisak aku terus menggumam meminta maaf kepada Mas Fian yang terpejam.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Aku mengerjap saat puncak kepala ini dielus, kepala ini mendongak mataku bersirobok dengan Mas Fian. Begitu sayu dan lesu, aku mau bangkit tapi dengan cepat dicegahnya.

"Mau ke mana?" tanyanya pelan.

"Mau lihat keadaan Mas," jawabku konyol.

Mas Fian tersenyum, kemudian menarik tanganku hingga refleks kucondongkan tubuh ini mendekat. Dengan lekat ia memandangku. "Mas baik-baik saja, Dek. Makasih, ya."

"Alhamdulillah, tapi emh ... m-makasih buat apa?"

"Udah merhatiin Mas, jagain Mas, Mas jadi ngerepotin Adek."

"Eng-gak ngerepotin kok, Mas. Kalau Mas sakit, siapa lagi yang akan merawat kalau bukan aku, iya kan?"

"Iya, Dek. Kasihan Dek Amel istirahatnya jadi keganggu, padahal pasti capek banget habis ospek."

"Gak kok, Mas. Santai aja." Duh kenapa jadi gugup kaya gini, sih?

"Jam berapa ini, Dek?"

Aku mendongak melihat benda bulat hitam, yang tergantung di dinding belakang Mas Fian berbaring.

"Jam tujuh kurang sepuluh, Mas."

"Tumben ya belum ada tukang jualan makanan lewat, biasanya ramai pedagang nawarin menu sarapan pagi."

"Mas Fian lapar? Biar aku pesan daring saja, Mas mau sarapan apa?"

"Terserah Dek Amel aja."

"Bubur ayam aja, gimana?"

"Boleh, Dek."

Secepatnya aku pesan menu yang disebutkan tadi lewat aplikasi, beruntungnya tidak perlu waktu lama orderanku diproses. Tidak sampai setengah jam, kurir mengetuk pintu kamar mengantarkan pesanan.

Kubuka kotak makan plastik bening berisi bubur ayam hangat, yang pastinya bisa membuat perut Mas Fian membaik.

Aku menyiduk ujung bubur, lalu mengarahkan sendok ke dekat mulutnya yang masih terkatup rapat.

Mas Fian menggeleng.

Aku protes dong, kenapa minta bubur kalau memang gak mau dimakan. Mubazir kan.

"Mas minta itu buat Dek Amel."

"Loh kok buat aku?"

"Ini sudah sudah jam setengah delapan, Dek Amel belum sarapan."

"Aku gak lapar, Mas."

"Dek Amel jangan sampai telat makan, dua hari energi terkuras karena ospek, belum ditambah semalam kurang istirahat. Mas gak mau Dek Amel sakit," katanya terdengar tulus.

Mendengar ucapannya aku terenyuh dan menangis.

"Loh kok nangis, kenapa? Mas salah bicara ya?"

Aku menggeleng, entah ada dorongan dari mana tiba-tiba saja aku memeluk tubuhnya. Bahkan kedua tangan ini sangat erat mendekap, sehingga wajah yang basah ini tenggelam di atas bahunya.

"Maafin aku, Mas ...."

"Maaf kenapa, Dek? Mas bingung."

Aku menggeleng, tak kuasa bicara karena tenggorokan ini terasa tercekat.

Mas Fian membelai rambut, kelembutannya membuat aku semakin bersalah sehingga tangis pun jadi tidak terkendali.

Sikapnya sungguh menenangkan hati ini. Selama satu tahun lebih pernikahan kami, baru kali ini aku merasakan ada yang aneh saat memeluknya. Jantungku berdesir, hingga tercipta rasa nyaman yang teramat sangat.

"Maafin Mas kalau salah bicara."

"Aku yang salah," isakku.

Ia mendorong pelan tubuh ini, tangan kanannya yang bebas bergerak mengusap puncak kepala dan mengusap pipi ini dengan penuh kelembutan.

"Salah kenapa? Coba bilang sama Mas!"

Aku menunduk dalam-dalam, aku tidak berani membalas sorot matanya yang teduh tapi bermakna dalam.

Diangkatnya dagu ini, ia tersenyum menunggu jawaban dariku.

"Gara-gara aku ... Mas sakit."

"Kok bisa kaya gitu? Analisis dari mana itu?"

"Ya, coba aku mau menemani Mas makan malam dan sarapan, pasti Mas akan baik-baik saja."

"Sudah, jangan dibahas lagi! Memang sudah waktunya Mas sakit, sudah ya jangan nangis!" Jawaban yang sangat bijak.

Tanpa ragu Mas Fian menangkup wajahku dengan kedua tangannya, kemudian ia mengusap air mata yang meleleh di pipi.

Aku kembali memeluknya, pelukan yang terasa lain. Pelukan kali ini kurasa lebih nyaman dan mampu membuat diri betah berlama-lama didalam dekapan hangatnya.

"Maafin aku ya, Mas!"

"Iya, Sayang. Sudah jangan nangis lagi." Ia melepaskan pelukan, kemudian mengecup kening ini cukup lama.

"Makasih ya, Mas." Aku berkata salah tingkah karena merasa malu.

"Iya, Sayang. Sekarang Adek sarapan dulu, ya!"

Aku menggeleng, tapi dia terus membujuk hingga meluncur kata 'iya' dari bibir ini.

Kotak makanan berisi bubur aku ambil dari atas nakas, kubawa dan kemudian aku duduk di tepi ranjangnya.

Bubur hangat itu mulai kuaduk, lalu aku tambahkan kerupuk supaya lebih nikmat. Kuarahkan suapan pertama ke mulut Mas Fian, ia menahannya sembari menggeleng.

"Kalau Mas gak mau makan, aku juga."

Ia mengulum senyum, lalu mengangguk pasrah. Suapan pertama berhasil masuk ke dalam mulut Mas Fian, perlahan ia mengunyahnya. Ekspresinya datar seperti tidak menikmati bubur tersebut, mungkin karena belum fit sehingga makanan lezat ini terasa hambar.

"Mas udah, Dek. Mas mual" serunya mengusap perutnya.

Aku yang panik mencondongkan tubuh dan turut mengusap perutnya, hingga tak kusadari wajah ini berjarak dekat dengannya bahkan hidung kami hampir beradu. Bersitatap cukup lama tanpa ada kata-kata, entah kenapa dada ini berdesir hebat lagi jadinya.

Seperti ada yang mendorong dari belakang, seketika bibir ini mendekat ke bibirnya.

Suasana pun seketika berubah syahdu, aku yang terbawa dan larut dengan bodohnya memejamkan mata saat Mas Fian memagut lembut bibir ini. Sebuah ciuman sekilas yang membuat jantung berguncang hebat, dada meletup bagai kawah gunung berapi yang aktif dan siap memuntahkan lahar panasnya.

Kedua tungkai kakiku bahkan menjadi lemas dan hampir terkulai saking hebatnya rasa aneh yang menjalar di sekujur tubuh ini, untung itu tidak terjadi karena tangan kiriku kuat mencengkeram besi di tepi ranjang.

'Amel, akankah gara-gara rasa bersalah kamu jadi murahan begini?' rutukku

Secepat kilat aku tersadar akan kekhilafan yang baru saja terjadi, kubuka mata dan kudorong dada bidang itu hingga tercipta jarak saat aku mundur beberapa langkah.

"M-ma-maaf, Mas, aku p-permisi," pamitku melangkah cepat keluar dari ruangan.

Mas Fian yang heran akan sikapku memanggil, tapi tidak kuhiraukan. Aku tidak boleh terbuai rasa bersalah ini, apa yang menimpanya bukan sepenuhnya kesalahanku, suruh siapa dia tidak mau makan?

Hati bergejolak hebat, kusandarkan punggung di dinding depan ruan rawat inap VIP di mana Mas Fian berada.

"Amel, apa yang kamu lakukan? Lelaki itu sudah membuatmu kehilangan masa remaja yang indah dan penuh warna, fokus dengan tujuan semula! Kuliah dan bekerja," gumamku penuh penekanan pada diri ini.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Keesokan harinya ....

Dokter sudah mengizinkan Mas Fian untuk pulang, dengan catatan ia harus rutin minum obat dan jangan sampai telat makan.

"Tolong pola makan Pak Alfian diperhatikan ya, Bu," ucap dokter kepadaku.

Aku mengangguk tanpa menjawab.

Usai itu aku pun mulai mengemasi barang-barang yang akan dibawa, setengah jam kemudian Pak Asep muncul untuk membantu membawakan semuanya.

Aku berjalan di samping Mas Fian, ia merangkul pundak ini karena katanya tubuhnya masih terasa lemas jika berdiri apalagi berjalan lumayan jauh dari dalam ke depan gedung.

Sudah kusarankan untuk memakai kursi roda, tapi ia menolak dengan alasan dia bukan orang lumpuh.

Kami berjalan bagai siput, pelan-pelan. Hingga pundakku terasa pegal harus menahan tangannya, saat sampai di pintu keluar napasku mulai tersengal dengan peluh bercucuran.

Tidak lama kemudian, mobil yang dikemudikan Pak Asep pun tiba tepat di hadapan kami.

"Pak Asep tolong bukain dulu pintu mobilnya!" ucapku pada sang sopir yang turun hendak membantu Mas Fian masuk.

"Baik, Neng."

Tergopoh Pak Asep mendekati kami, Mas Fian menyuruhku masuk kedalam mobil lebih dulu, setelah itu baru ia menyusul masuk dengan perlahan.

Tanpa dikomando mobil melaju menuju rumah rumah, yang jaraknya tidak terlalu dengan rumah sakit.

Kepulangan kami disambut oleh omelan si Nenek Gambreng, omelan yang dipersembahkan khusus untukku si Menantu yang cantik dan luar biasa ini.

Si Nenek Gambreng yang alisnya palsu alias disulam itu, merasa tidak dihargai karena tidak diberitahu kalau mas Fian dirawat.

"Sudahlah Bu, kan sekarang Fian sudah pulang. Ibu juga baru sampai, jadi sebaiknya ibu istirahat saja."

"Pasti semua gara-gara kamu Mel, semenjak nikah sama kamu anak saya banyak berubah, jadi pelit dan gak pernah lagi memperhatikan saya. Sampai dia sakit saja gak mau ngasih tau."

"Bukan salah Amel, Bu. Tolong pelankan suara Ibu, malu sama Bik Nani dan Pak Asep."

"Ah, ngapain malu sama mereka. Biar mereka tau, kalau Ibu sudah cukup sabar memghadapi menantu kaya benalu itu."

Tidak terima dikatai kasar seperti itu, aku balik memaki singa betina tersebut.

"Mau Ibu apa? Ngatain saya dengan sebutan kasar, kalau memang Ibu gak suka saya jadi menantu Ibu, bicara aja sana sama anaknya, TOLONG SURUH CERAIKAN SAYA!"

"Jaga bicaramu, Dek!" Mas Fian membentakku, sehingga membuat air mata ini mengucur deras.

"Harusnya Mas bilang itu sama Ibu, bukan aku! Tanya Bik Nani sana, apa selama ini aku selalu mulai duluan? Gak per-"

"Masuk kamar, Dek!"

"Mas, aku belum selesai bica-"

"Masuk, Dek!" perintah Mas Fian penuh dengan penekanan.

"Mas Fian jahat! Gak punya hati, aku benci kalian semua."

Sambil menangis, aku menghentakkan kaki dan kemudian berlalu ke dalam kamar dan membanting pintu dengan sekencang-kencangnya.

"Lihat itu!" Si Nenek Gambreng bersuara lagi.

Kudengar sayup-sayup suara Mas Fian berbicara kepada ibunya, suara Ibu semakin meninggi dan terdengar juga suara Desi membela sang ibu.

"Sudah, Bu. Tolong maafkan Amel ya, semua salah Fian. Fian yang minta Bik Nani dan Pak Asep gak kasih tahu Ibu. Bukan karena gak menghargai, tapi gak mau buat Ibu terganggu."

"Ah, bisa saja kamu membela dia."

"Jelas Fian bela, Bu. Amel gak salah, dan Amel adalah istri Fian."

"Dasar wanita pembawa sial!"

Mendengar kalimat terakhir, tangisku semakin menjadi. Aku bangkit berjalan menuju lemari, mengemasi seluruh pakaianku.

Perdebatan di luar semakin sengit, meski tidak jelas tapi aku bisa mendengar meski sayup suara Mas Fian menjadi lantang, sepertinya ia emosi dan marah terhadap ibu dan adiknya.

Saat aku selesai berkemas, tiba-tiba Mas Fian masuk dengan wajah yang kesal. Melihatku berdiri dengan koper di samping, membuat wajahnya semakin memerah.

"Taruh kembali pakaian di dalam koper ke lemari!"

"Gak mau! Aku udah gak tahan tinggal di rumah ini, kalian semua, Mas Fian, Ibu, dan Desi adalah manusia munafik. Gak punya hati, semena-mena padaku."

"Astaghfirullah, Dek. Pikirannya kok gitu? Sudah ya, jangan bahas masalah ini lagi. Mas pusing, capek."

"Ya udah, yang nyuruh nahan siapa? Kalau aku pergi dari neraka ini, pusing Mas akan hilang, Mas juga gak akan capek ngurusin pertikaian antara aku dan Ibu. Rumah ini akan tenang dan damai tanpa aku. Nikah sana Mas Fian sama wanita yang disukai Ibu, itu pun kalau ada yang mau punya mertua bermulut pedas kaya Ibu."

Wajah Mas Fian merah padam, kemudian ia meraup kasar wajah kusutnya. Bibirnya menggumam mengucap istigfar, kepalanya mungkin saat ini terasa panas dengan luapan emosi yang aku lontarkan beberapa saat yang lalu. Biar saja, biar dia tahu kalau aku tidak suka diperlakukan tidak baik oleh ibunya yang judes dan galak itu.

Ia berjalan mendekat dan tanpa aku duga, ia mengambil koper dan menaruhnya kembali ke sudut ruangan.

"Jangan memperkeruh masalah, Dek!" katanya dengan sorot mata tajam yang menghujam.

"Biarin aku pergi!"

"Mas bilang jangan memperkeruh masalah! Mendingan sekarang Dek Amel membersihkan diri dan istirahat, jangan bertingkah macam-macam. Tolong, Dek. Mas lagi sakit, jangan bebani pikiran Mas dengan masalah ini."

"Masalah ini, Ibu yang buat. Kenapa Mas marah sama aku?"

"Yang marah sama Dek Amel siapa?"

"Tadi itu bentak-bentak! Bukannya belain aku, malah ngusir aku masuk ke kamar."

"Ya Allah, Dek. Belajar dewasa, sikapi semua yang terjadi dengan bijak. Mas gak pernah marah sama Dek Amel, apalagi ngusir. Mas hanya gak mau buat suasana semakin panas kalau Dek Amel ada di luar dengan Ibu, ditambah Desi. Semua yang Mas lakukan adalah-"

"Bullshit!" pungkasku berlalu meninggalkannya ke kamar mandi.

Lagi-lagi aku membanting pintu, semua barang-barang di dalam sini aku lempar, menciptakan suasana gaduh yang riuh.

"Bandot Tua, Nenek Gambreng, awas kalian!" rutukku geram.

Satu jam berlalu, aku keluar dari kamar mandi. Di dalam kamar aku tak acuh melihat Mas Fian yang sedang duduk, dengan kepala disandarkan ke bahu sofa matanya terpejam dalam dengan bibir terbuka sedikit.

Kutangkap lenguhan pelan yang berasal dari mulut Mas Fian. 'Ah akting, biar aku mau baikin dia duluan.'

Aku cuek saja mengambil pakaian dan kemudian beranjak ke ruang ganti, yang terletak di samping meja hias.

Sengaja berlama-lama aku di sini, mengulur waktu berharap si Bandot Tua terlelap di atas sofa sehingga aku tidak perlu repot menyapa apalagi mengurusi makan siangnya nanti. Aku mau rebahan sambil berkabar dengan Ricca, sahabatku.

Kubuka handuk penutup kepala, lalu rambut panjang yang basah ini kugosok perlahan sembari bercermin memperhatikan jerawat yang tumbuh satu dua di area dahi dan dagu.

"Walah, ganggu pesona kalau kaya gini. Tar sore mau ke klinik kecantikan ah, beli obat totol acne."

Kuelus jerawat yang menggemaskan ini, lalu menggumam, "Sorry ya wat, tar malem gue berantas elu. Soalnya kecantikan yang sempurna ini akan rusak dengan kehadiran elu."

Praaaaaaaaaaang! Sayup kudengar suara benda yang terjatuh, aku yakin sumbernya dari kamar mandi.

"Bandot Tua, eh Mas Fian!" Kulemparkan handuk sembarang, lalu bergegas membuka pintu ruang ganti dan menghambur menuju kamar mandi yang pintunya tertutup.

Sebelum sampai di TKP, aku menoleh sebentar ke sofa, Mas Fian tidak ada di sana. Walah, pasti suara tadi ... kecemasan mendera, biar tambeng gini aku masih punya rasa kemanusiaan dan peduli.

Tok ... tok ... tok.

"Mas ... Mas, aku izin buka pintunya, ya!" Aku melotot saat melihat keadaan di dalam, Mas Fian sedang berlutut menghadap ke closet duduk sembari memegang botol sampo yang tadi aku hempaskan ke lantai.

"Mas terpeleset," gumamnya.

Bergegas menghampiri dan membantunya untuk berdiri, lagi-lagi aku merasa bersalah. Karena saat mengamuk, aku membuat ruangan ini seperti kapal pecah.

"M-maaf, Mas." Hanya dua kata itu yang dapat aku ucapkan.

Mas Fian terdiam, aku membantunya berdiri dan memapahnya keluar. Celana dan kausnya basah, duh sungguh hati ini merasa sangat berdosa.

Aku mendudukannya di kursi putar, karena ia menolak saat aku hendak membawanya ke ranjang dan sofa, katanya pakaiannya basah takut mengotori keduanya.

Atas permintaannya aku mengambilkan celananya dan kaus ganti, di hadapanku lelaki itu membuka kaus oblongnya.

"Mas, aku lap ya, badannya." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut manisku.

'Amelia bodoh, kenapa kamu ngomong gitu? Merasa bersalah boleh, tapi agresif jangan dong!' Hati ini merutuk kebodohanku.

Mas Fian mengangguk ragu, aku berjalan menuju lemari mengambil handuk kecil dan kemudian membasahinya.

Tanpa bicara, aku mengelap seluruh tubuh Mas Fian. Andaikan kalian bisa lihat, tanganku gemetar saat menempel pada kulitnya meski terhalang handuk, karena ini adalah kali pertama aku menyentuh seluruh bagian tubuh lelaki yang sudah setahun lebih menjadi suamiku itu. Selama ini kan hanya dia yang menyentuh tubuhku.

Wajah, leher, dada, kedua tangan, lalu turun ke bagian tubuh bawah. Jangan ngeres! Area hutan terlarang aku skip, percayalah!

Mas Fian terus menatapku, sehingga aku jadi salah tingkah.

"Maafin, aku."

"Maafin, Mas."

Kalimat singkat itu terucap bersamaan tanpa dikomando, membuat aku malu dan Mas Fian terkekeh.

"Maafin Mas ya, Dek. Mas gak ada maksud kasar sama Dek Amel, Mas cuma gak mau Dek Amel tersakit, juga Ibu. Kalian berdua adalah wanita yang sangat Mas sayangi, Mas harap Dek Amel mengerti."

"Iya, Mas. Gak apa-apa, aku ngerti. Aku juga minta maaf gara-gara aku Mas kepeleset, Mas jangan ngomel-ngomel ya soal kamar mandi yang berantakam, nanti aku beresin."

Mas Fian meraih tanganku yang memegang handuk, lalu ia mencondongkan tubuhnya memelukku.

"Iya, makasih ya, udah mau melap tubuh Mas. Mas sayang Dek Amel," ungkapnya sembari membelai rambut kusut yang basah ini.

Aku mengangguk dan memejamkan mata, lagi-lagi aku merasakan rasa aneh dengan sensasi menenangkan dan nyaman. Apalagi bau aroma parfum yang masih menempel di dadanya meski telah kuseka, ya ampun membuat dada ini berdesir lagi.

Ketenangan itu terjeda saat ponselku berdering, aku mendongak meminta izin untuk mengambil benda pipih hitam yang tersimpan di dal tas. Mas Fian melepaskan rangkulan dan mengiyakan.

Aku berjalan menuju meja serbaguna tempat waist bag kusimpan, lalu mengambil ponsel. Kulihat nomor tidak kenal tertera di sana, ragu aku berpikir sejenak aku terdiam dan menimbang akan menjawabnya atau tidak.

Panggilan pertama berakhir tanpa aku jawab, saat ponsel hendak aku simpan, nomor tadi kembali menghubungi.

"Kenapa gak dijawab, Dek?" tanya Mas Fian sembari bangkit dan berjalan membawa pakaian ganti menuju ke ruang ganti.

"Nomor gak dikenal, Mas."

"Siapa tahu Anggita, mengabari nomor barunya."

Anggita adalah adikku, hobinya memang gonta ganti nomor handphone.

Setelah Mas Fian masuk, aku pun menjawab panggilan ketiga dari nomor asing tersebut.

"Halo."

"Waalaikumsalam."

"Dimas? Maaf, Dimas siapa?"

"Pak Dosen?"

'Innalillahi, anugerah yang bisa mengakibatkan kiamat di dalam hidupku.'

Sang dosen keren dan ganteng, muncul di waktu dan tempat yang tidak tepat. Alamak, keringat dingin kompak menyerbu. Ponsel yang sedang kupegang hampir terjatuh jika aku tidak sigap, aku menoleh ke ruang ganti, BAHAYA! Pintunya terbuka, itu berarti Mas Fian sudah selesai berganti pakaian.

Kiamat! Kiamat!

"Pak Dimas, nanti saya telepon kembali. Ini sedang di kamar mandi, maaf."

Secepatnya kusentuh bulatan merah, panggilan pun berakhir. Aku bernapas lega dan tersenyum kikuk kepada Mas Fian, muncul membawa pakaian kotor yang basah.

"Siapa, Dek? Anggita?"

"I-iya, dia. Kebiasaan gonta ganti nomor terus," jawabku terbata-bata.

"Biasa anak remaja, Mas bagi nomor baru Anggita ya, Dek. Takutnya Mas ada perlu sama Ayah atau Ibu."

Waduh cilaka, bagaimana ini?
disya1628
bonita71
rinandya
rinandya dan 4 lainnya memberi reputasi
5