yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.2K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#266
Belum Rezeki_Part 1
(TIFANI CHAT)
Quote:


“Ketemu?” gumam gue perlahan.

Dokdokdok.

“Kamu mau masukin mobil nggak ini? Udah Mama bukain juga dari tadi pintu gerbangnya. Malah main HP mulu.” kata nyokap gue sembari mengetuk jendela depan mobil gue.

“Iya mau, Ma. Ini tadi nungguin kabar Emi.” Dosa lain lagi. Kumpulin aja terus dosa lo, Ja! Gue paham maksudnya Emi ketika memaksa gue buat jujur. Emang kadang gue ngerasa berbohong itu lebih mudah dilakukan, daripada jujur.

Gue kesampingkan dulu urusan gue dengan Tifani biar gue bisa fokus memarkirkan mobil gue di carport rumah gue. “Emi udah sampe, Kak?” tanya Mama yang sedang menjemur pakaian di teras depan rumah gue, tepat di samping carport.

Nggak mungkin dong gue bilang ke Mama kalo gue nggak tau kabar apapun dari calon istri gue? Jadi lebih baik gue cari aman lagi (atau lebih tepatnya, cari dosa lagi). “Udah, Ma. Cuma ini dia bilang mau langsung survey. Jadi nggak bisa diajak ngobrol dulu. Ya namanya juga dia kesana buat kerja. Sama kayak aku kalo lagi ke luar kota. Apalagi kalo mepet banget waktunya. Fokus survey dah.”

“Alhamdulillah kalo gitu mah. Mumpung Emi lagi keluar kota, mbok ya kamu di rumah aja. Istirahat. Main sama keponakan kamu, biar bisa gantian sama Dania dan Adit. Riweuh ngeliat mereka ribut mulu kalo lagi ngurusin Dian.” kata Mama tanpa menengok ke arah gue sama sekali.

Dret. Dret. Dret.

(ARASTI CHAT)
Quote:


“Kak, bantuin gue dong!” teriak Dania dari dalam rumah. Cukup membuyarkan gue dari chat Arasti yang barusan gue baca.

“Kenapa nggak minta tolong Adit dulu sih, Bun? Ini Kakak baru pulang. Biar sarapan sama bersih-bersih dulu. Abis darimana-mana si Kakak. Masa langsung megang-megang Dian? Aditnya kemana emang? Molor lagi?” balas Mama nggak kalah kencangnya dengan Dania.

“Sumpah, kalau tau begini mending gue balik ke rumahnya Emi aja sampe besok.” gumam gue dalam hati. “Apa mending gue ketemu sama Tifani aja ya hari ini biar gue nggak mati kutu di rumah begini? Gue hanya butuh survive malem ini doang sampai Emi balik lagi besok. Hmm. Atau gue ketemu Arasti dulu sorenya terus bablas ketemu sama Tifani malemnya? Toh gue emang nggak niat menghabiskan banyak waktu ini sama Arasti. Yang penting gue sudah memenuhi keinginan Arasti buat ketemuan. Ketemuan sama Arasti nggak akan mengubah keputusan gue buat menikahi Emi. Apalagi batal ketemuan sama Tifani.”

“Ayo, Le… Sarapan dulu.” Mama merangkul gue masuk ke dalam rumah.

“Ija mau pergi ntar sorean, Ma.”

“Ketemu sama band kamu? Emang ada latihan kalo nggak ada Emi?”

“Nggak sama band. Ija mau ketemu sama temen-temen sekolah dulu.” Untuk ini gue nggak bohong loh. Gue nggak menambah dosa. Kenapa? Karena baik Arasti maupun Tifani, sama-sama alumni SMA yang sama dengan gue dulu.

“Cewek apa cowok?”

Pertanyaan begini nih bikin nambah dosa orang aja. “Ramean, Ma. Ada cewek maupun cowok.”

“Loh berarti Drian sama Arko ikut dong? Kan satu SMA sama kamu.”

“Ini ex-OSIS dulu, Ma. Drian sama Arko mana ikutan OSIS kayak Ija dulu.” OSIS adalah clue pertama yang gue ingat untuk ngeles ke Mama.

“Oalah. Yowes, Le. Sorean ini kan?”

“Iya, Ija mau tidur dulu soalnya. Capek banget abis nyetirin Emi dari sebelum Subuh tadi. Ini aja baru pulang. Ija mau mandi dulu, terus makan. Baru tidur…”

“Ya udah, nanti main sama Diannya pas sebelum kamu berangkat aja. Dian lebih nurut dan dekat sama kamu dan Mama daripada sama ibu bapaknya sendiri soalnya.”

“………” Gue diem aja. Gue sengaja nggak merespon omongan tersebut. Gue lagi males berdebat dengan Mama. Apalagi lagi-lagi ngurusin Dian. Biar mereka mikir sendiri kenapa Dian bisa jadi begitu ke orang tuanya sendiri.

Gue masuk ke kamar gue untuk berganti pakaian. Gue buka HP gue untuk chat Arasti dan Tifani. Gue atur jadwal dengan mereka sebagaimana mungkin supaya tidak bertabrakan. Gue pun buat supaya mereka yang mau nurut dengan gue. No complaint.

“Hanya kali ini aja. Gue nggak akan ketemu cewek lain lagi di belakang Emi, kecuali Ana. Paling itu juga di kantor. Gue jamin itu.”

---

Kadangkala, gue suka bingung dengan perjalanan hidup gue. Kalau di posisi gue saat ini, gue nggak tau ini adalah rezeki atau musibah. Padahal bagi sebagian cowok, dikelilingi cewek adalah rezeki. Tapi kalo sekarang, apa masih bisa dianggep rezeki?

Iya, seperti sekarang dimana cewek yang mesti gue urus di belakang Emi tidak hanya empat orang saja tapi malah semakin bertambah satu orang. Itu pun bertambah ketika EMI SEDANG PERGI KE LUAR KOTA! Frankly, mereka seakan punya indera keenam mengetahui fakta tersebut sehingga dua di antara mereka mendadak meminta bertemu di waktu yang bersamaan! Oh god! What should I do???

Lagipula gue bingung banget kenapa tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba orang-dari-masa-lalu-gue-yang-tidak-pernah-gue-tau-kabarnya, mendadak muncul kembali. Bukan mantan-mantan gue. Ya amit-amit juga sih kalo sampe kejadian Keket dan Dee terjadi lagi apalagi kalo sampai menimpa Emi. Ini adalah seorang kawan lama yang sempat dekat waktu gue masih sekolah dulu.

Tifani.

Walaupun kami memang berteman di media sosial dan bahkan saling menyimpan kontak, tapi kami sama sekali tidak pernah berinteraksi lagi. Lagipula nih ya, siapa yang pernah menyangka kalo kawan lama kita masih menggunakan nomor yang sama setelah belasan tahun lamanya? Iya kan? Kemunculan Tifani ini benar-benar tiba-tiba, seperti jelangkung. Bedanya dia tak jemput tapi sepertinya bakalan minta diantarkan. Hahaha.

Sudah merasa cukup aneh? Oh tunggu dulu. Masih ada kebetulan lain yang juga membuat gue bingung mengkategorikan ini adalah rezeki atau musibah, yaitu kejadian kemarin dimana dia mendadak mengajak video call s*x dengan gue malam-malam di tengah mabuknya dia.

Kenapa dari sekian banyak temannya, baik itu teman SMA, kuliah, ataupun kolega di kantor, harus gue yang dipilihnya untuk video call sambil mabuk? Apa dia random aja memilih kontak yang ada di HPnya? Kalau begitu ceritanya rasa-rasanya dia voice call saja harusnya sudah cukup, tidak perlu sampai video call segala.

Ternyata dia sudah mempersiapkan pernikahannya sedemikian rupa sampai sudah fitting baju pengantin segala. Tifani jelas bisa melaksanakan pernikahan mewah yang di impikan banyak orang, mengingat orang tuanya yang sangat berada serta karirnya sebagai bankir juga moncer. “Tapi… Mana tau pada akhirnya dia ternyata batal nikah.”

Untuk cewek yang seumuran dengan gue, dimana teman-teman seangkatan gue lainnya yang cewek sudah pada menikah dan memiliki buah hati, dia malah harus menelan pil pahit kegagalan pernikahannya. Apalagi penyebab kegagalan pernikahan dia adalah murni kesalahan calon suaminya sendiri. Gue paham gimana perasaan dia. Itu yang gue harapkan dan jaga agar tidak pernah terjadi di hidup Emi.

Tapi pertanyaan gue lagi, kenapa Tifani harus datang sekarang?

Gue sama sekali nggak menduga ini semua. Sementara gue sudah berusaha mengungsikan cewek-cewek yang gue ajak ngobrol ke beberapa platform media sosial supaya tidak ada salah kirim. Ini anak tiba-tiba datang lagi ke kehidupan gue setelah sekian lama nggak kontak ataupun ketemu langsung, dalam keadaan mabuk pula!

“Apa yang hendak Engkau tunjukkan pada hamba-Mu ini, Tuhan?”

Hidup gue berkesan seperti ada di dalam angan-angan beberapa cowok yang mungkin ingin ada cewek yang perhatian dengan atau meminta perhatian darinya. Gue tidak pernah meminta Tuhan untuk memberikan cewek-cewek ini untuk terus menerus mendampingi gue. Walaupun gue bersyukur karena jadinya gue tidak pernah merasa sendiri. Hanya saja, seasyik apapun kehidupan yang gue jalani saat ini, it doesn’t feel right.

Gue hanya meminta satu orang cewek untuk menemani gue hingga nanti maut memisahkan kami. Dan Tuhan sudah memberikan Emi untuk menjadi cewek itu. Hanya Emi. Sudahlah, toh gue akan menyudahi semuanya. Termasuk Tifani.

Sementara gue tidak mau ambil pusing soal cewek-cewek ini, gue malah pusing mikirin Emi yang nggak kunjung ada kabar. “Udah hampir jam 3, masa iya belom sampe juga? Kenapa lagi ini orang? Nggak ngehubungin gue. Nggak nelepon gue. Even sekedar pasang status aja nggak. Kenapa sih? Elah.”

(TIFANI CHAT)
Quote:


“Kelonin? Eh sebentar. Jangan-jangan Emi begini gara-gara sempat melihat chat-nya Tifani lagi yang minta kelonin itu? Tapi pas kapan? Darimana? Kan gue udah hapus-hapusin chat di HP gue. Lagipula Emi sama sekali nggak nyentuh HP gue dari semalam. Atau karena telepon Tifani tadi subuh? Gue rasa Emi sempet liat HP gue sekilas. Udah mana gue juga kasih alesan nggak sangat nggak masuk akal pulak. Mana ada klien ngehubungin subuh-subuh? Itu udah sangat mengada-ada banget. Ah elah!”

Gue membuka chat gue dengan Emi.

(CHAT EMI)
Quote:
Gue menunggu dia mencurahkan perasaannya ke gue. Seperti biasa. Biar gue tau apa yang sebenarnya dia rasakan saat ini.

Gue hanya berharap dia tidak banyak dipengaruhi oleh teman-temannya. Seperti kejadian dulu dimana geng kampus dia (yang dia sebut-sebut sebagai SAHABAT) yang dia namakan Crocodile itu berhasil menghasut dan pada akhirnya sempat membuat hubungan gue dengan Emi renggang. Semoga saja, dia bisa memilah kepada siapa dia bercerita.

Tetapi kalau dilihat sih, kemungkinan besar dia hanya bercerita ke Bimo atau Tika. Lagipula, apa yang mau dia ceritakan kalo dia belum mendapatkan penjelasan apapun dari gue. Well, semoga dia juga MAU mendengarkan penjelasan dari gue. Tidak menghindar seperti ini.

Melihat kondisi dia yang sedang sibuk dengan pekerjaannya dan gue hapal betul sifat Emi yang akan uring-uringan jika sedang down mentalnya, dia MUNGKIN akan bercerita pada teman-teman kantornya yang berada di dalam satu divisi yang sama. Semoga saja, teman-teman kantornya ini lebih kondusif kondisi mentalnya, jadi agak kecil kemungkinan ada drama lagi seperti dulu. Ditambah dengan ketidakhadiran Debby dalam hidup Emi untuk saat sekarang ini, itu sangat melegakan. Gue lebih percaya dengan Bimo. Gue yakin, Bimo tidak akan menggosok Emi sebagaimana apa yang sering Debby lakukan.

(TIFANI CALL)
Quote:


Aneh jelas. Dia ini sudah lama tidak kontak dengan gue, tiba-tiba datang dan hampir saja mengacaukan segalanya. Kayaknya juga ketika dia menghubungi gue, Emi memang benar-benar melihat kontak dia atau chat dia di HP gue, makanya langsung berubah mood-nya. Semoga aja nggak lihat yang aneh-aneh lagi. Ini anak soalnya rada vulgar bahasanya. Namanya juga anak gaul ibukota yang bebas-bebas aja. Untungnya gue kemarin nggak kepikiran juga untuk screenshot layar HP gue ketika Tifani memamerkan dadanya tersebut.

Quote:


Gue langsung terdiam bimbang. Gue memang sudah mengatur jadwal untuk bertemu dengan Tifani dan Arasti hari ini. Tetapi semakin mendekati waktu untuk bertemu dengan mereka, gue semakin bimbang antara mau ketemu sama mereka, atau di rumah saja.

Sebenarnya, ketemu teman lama harusnya kan nggak kenapa-kenapa? Walaupun dia cewek sekalipun. Bagi gue, pacaran itu nggak bisa membatasi pertemanan. Apalagi konteksnya saat ini, gue dan Emi sudah mempersiapkan pernikahan. Emi harus lebih banyak mengenai teman-teman gue. Gue nggak mau Emi hanya mengenal teman cowok gue, tetapi selalu cemburu dengan teman cewek gue. Dan gue pribadi harus menjelaskan bagaimana sifat dan kondisi teman cewek gue satu per satu pastinya.

Pada akhirnya, gue memutuskan untuk tetap berangkat bertemu dengan Tifani dan Arasti.

Sudah sangat lama sejak terakhir kali kami bertemu, yaitu di awal-awal gue memulai karir pekerjaan. Saat itu Tifani sedang mengikuti program pembinaan staf dari Bank yang sampai sekarang menjadi tempatnya bekerja. Dari program tersebut memang nantinya ditujukan untuk menghasilkan staf-staf bank yang mumpuni dan memiliki jenjang karir yang terang benderang.

Sedangkan gue ingin memenuhi keinginan Arasti yang sedari kami ngobrol pertama kali, sangat ingin bertemu dengan gue. Gue janji akan jujur pada Arasti bahwa saat ini gue akan menikah dengan orang lain, yaitu Emi. Yang masih gue pertimbangkan adalah perlu kah gue bilang kalo calon gue tersebut adalah Emi. Ataukah gue biarkan Arasti tahu dengan sendirinya nanti?
kaduruk
namikazeminati
caporangtua259
caporangtua259 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup