Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.6K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#262
Nyatakan_Part 3
Kurang lebih 2 jam, gue terbangun.

“Wangi apaan nih?” Mendadak gue merasa ada harum yang berbeda di ruangan gue. Seingat gue, pengharum ruangan gue itu tidak pernah diganti, selalu wangi Ocean Escape-nya Glade. Bahkan ketika gue datang tadi, masih wangi yang sama. Terus wangi apaan ini?

Lalu ketika nyawa di diri gue mulai terkumpul melebihi 50%, gue teringat seseorang dengan wangi ini. “KEKET?” Gue langsung bangun dari tidur gue dan duduk. Gue paling benci bangun dengan cara seperti ini. Pusing banget rasanya bangun dengan cara seperti ini.

“Mas? Udah bangun, Mas?”

“Ah sial. Gue kan di kantor. Wangi yang sama kayak Keket? Ya siapa lagi kalo bukan Ana…” ucap gue dalam hati. No! Gue bukan mengharapkan ada Keket di sini. Itu sangat tidak baik. Gue tidak ingin mengutak-atik hidup Keket ataupun sebaliknya. Kisah gue dengan Keket sudah cukup, tidak perlu ada kisah baru lagi.

“Oy, Mas?” panggil Ana lagi.

Gue mengucek mata gue, untuk memperjelas penglihatan gue. Terakhir gue memakai kacamata gue dan duduk di hadapan Ana, yang duduk di bangku tamu ruangan gue. Seperti biasa. "Iya gue udah bangun, Na. Lo kok masuk hari ini?"

Dia memutar laptop dia dan mengarahkan layarnya ke hadapan gue. "Ada lemburan, Mas. Lagipula nggak ada kerjaan di kosan. Yaudah aku ke kantor aja. Mumpung ada listrik dan internet gratis. Nah pas aku tadi masuk, eh ada Mas lagi tidur di ruangan. Yaudah aku samperin aja. Jadi aku nggak perlu nyalain AC di ruangan aku."

"Dari pagi?" tanya gue sembari menuangkan air dingin dari dispenser yang ada di luar ruangan gue. Kantor yang sepi membuat suara gue yang di luar ruangan, bisa terdengar hingga dalam ruangan gue.

"Iya. Soalnya sore nanti aku mau jalan sama Hapsari. Dia mau ngajakin aku malam mingguan bareng."

"Wah bagus dong kalo gitu. Lo udah mulai jadi AGJ... Hahaha."

"AGJ apa tuh, Mas?"

Gue menyeruput minum gue terlebih dahulu. "Lo nggak tau AGJ? Hahaha. Anak Gaol Jekardah, Na... Hehehe. Tapi ati-ati ya kalo lo malming entar. Jangan sampe kebablasan. Entar keasyikan, malah macem-macem lagi lo. Kesian entar Om lo khawatir."

"Kebablasan gimana maksudnya, Mas? Aku kan cuma mau ngerasain menikmati Jakarta di malam hari. Kulineran malemnya Jakarta. Terus paling belanja di mall mana gitu. Kan kata orang, Jakarta paling gaul itu daerah Jakarta Selatan kan ya, Mas?"

"Lo tau yang kayak begitu dari mana sih? Racun si Hapsari yak? Hehehe."

"Ya enggak. Aku pingin memantaskan diri aja sih. Pingin di-notice…"

"Memantaskan diri? Pingin di-notice? Wah, lo lagi mau dicomblangin sama Hapsari apa gimana? Atau lo emang mau deketin orang? Di kantor ini bukan? Bagus dong. Seneng gue dengernya. Hahaha.”

“……….” Dia hanya diam sembari menatap layar laptopnya. “Mas khawatir aku kebablasan gimana emangnya tadi maksudnya?” tanya dia. Masih tidak melihat ke arah gue. Gue sih nggak masalah. Gue pun memeriksa HP gue, siapa tau Emi menghubungi gue.

“Ya nggak gimana-gimana. Takutnya si Hapsari ngajakin lo mabok lagi. Atau malah Hapsari mau ngenalin lo sama tongkrongannya kali. Ya ati-ati aja kalo lo mau dikenalin sama cowok di tongkrongannya Hap—”

“Kalo gitu kenapa Mas nggak ikut aja sama aku? Biar mastiin aku aman?” Ana mendadak memotong pembicaraan gue.

“Apa, Na?”

“Ya, kita malming. Jadi Mas juga bisa bantu aku milih baju dan stylegimana yang bagus sama aku. Yang sekiranya Mas suka…”

“Lo kenapa sih, Na? Gue nggak masalah lo. Nggak peduli juga kalo misalnya lo mau nongkrong gimana. Gue cuma bilang ati-ati kalo nongkrong malming, jangan kebablasan. Lo kan masih baru banget, terus minta nongkrong malem minggu di Jakarta sama anak yang sedari kecil idup di Jakarta. Bahkan lo berharap bisa memantaskan diri? Emang apa bedanya hidup di daerah lo sana sama di sini? Sama aja kan? Sama-sama hidup. Ya bedanya di sini lebih maju, pemikirannya. Lo nggak perlu mendadak jadi jilboobs hanya karena lo tinggal di Jakarta dan di sini banyak yang menggunakan model kerudung yang tidak menutup dada. Terus karena lo yang biasanya menutup dada, takut dikata-katain, lo jadinya jilboobs atau worst lo buka kerudung lo. Jangan sampe deh.”

“Ya nggak lah, Mas!”

“Jangan bilang nggak dulu. Kalo misalnya nanti kejadian gimana? Belom lagi lo yang mungkin biasanya tidur jam 9 malem, tapi karena malu dikatain sama temen-temen baru di sini. Lo berubah jadi jam 9 malem baru keluar kosan. Nongkrong sampe pagi. Buat apa? Lo ngejar apa? Derajat yang lebih tinggi? Di mata siapa? Emang lo merantau dari daerah kesini buat apaan? Ngejar karir, mimpi, atau hanya label AGJ doang?”

“Mas kenapa sih? Kok jadi melebar kemana-mana? Aku bukan mau memantaskan diri buat keliatan jadi lebih gaul kok!”

“Terus apa? Memantaskan diri buat cowok kan? Bener kan tebakan gue? Hahaha.”

“Aku…”


Mendadak dia naik ke atas meja gue, menggeser laptop dia, dan mencium pipi gue. Tepat hanya beberapa milimeter dari bibir gue. “Aku mau memantaskan diri buat kamu, Mas.”

Anehnya. Gue yang sudah jelas-jelas bisa mendengar deru napasnya dia dan bahkan lidah gue kalo dikeluarin juga bisa kali nyentuh bibir dia, sama sekali tidak berkutik. Badan gue seakan penasaran, Ana ini mau membawa kemana semua perlakuan ini. Sekeras apapun otak gue menolak, tubuh gue nggak bisa bergerak sama sekali.

“Na, lo itu masih belom lama banget loh kenal sama gue. Lo kenapa begini banget sih, Na? Cowok lain banyak loh di Jakarta. Bahkan di kantor ini, yang belom nikah juga banyak. 90% karyawan di kantor kita itu cowok semua, Na. Kenapa harus---"

“Mas percaya sama yang namanya ‘love at the first sight’?”

“Sama gue?”

“Ya masa sama Pak Dewanto sih, Mas?”

Sial. Bukannya mendorong badan dia untuk turun dari meja gue. Gue malah tersenyum Bersama dengan dia tanpa memberi jarak pada kedua wajah kami. “Itu kan selera, siapa tau…”

Dia kembali mencium pipi gue sekali lagi. Kemudian dia turun dari meja dia. “Pertama kali aku ngeliat Mas dan dikenalin sama Mas, entah kenapa hati aku bilang kalo aku jatuh cinta sama Mas Ija…”

“Ah itu mungkin karena lo ngebandingin gue sama Om lo sama bapak-bapak yang lain, jadinya gue keliatan paling muda. Hehehe.” Ketawa gue bener-bener awkwardbanget. Gue nggak tau harus ngajak dia becanda atau langsung menegur dia karena tidak sopan langsung maen nyosor aja ke muka orang. Hehehe.

“Nggak, Mas. Dulu pas sama mantan aku, aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi karena satu dan lain hal, ya aku harus putus sama dia. Dan pas pertama kali ngeliat Mas, aku ngerasain hal begitu lagi. Apa lagi kalo bukan…. Cinta?”

“Gampang banget lo bilang cinta ke cowok yang belum lama lo kenal, Na?”

“Kenapa harus susah? Cinta itu kan nggak bisa dijelasin make kata-kata bahkan logika. Kenapa harus make alasan dan susah-susah?”

“Lo mau ngajak gue debat urusan cinta sekarang? Hehehe.”

“Dari semua orang yang lo kenal di kantor ini, kenapa harus gue? Dan kenapa harus baru nyari cowok di Jakarta?”

“Semenjak putus sama mantan aku, aku bertekad untuk nyari cowok di Jakarta. Makanya aku bersyukur banget bisa dapet kerjaan di Jakarta. Syukur-syukur cowok aku satu kantor sama aku. Eh ternyata aku ketemu sama, Mas.”

“Kenapa harus Jakarta? Kenapa nggak Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi?”

“Mas, rumah aku itu di daerah yang jauh dari kota, di dusun banget.”

Masih belum masuk ke logika gue alasan dia antara mau cari cowok di Jakarta dengan rumah dia di dusun. “Lah terus kenapa kalo rumah lo di dusun? Apa urusannya sama nyari cowok di Jakarta? Emang beda kualitas apanya cowok di dusun lo sama cowok di Jakarta, Na? Lebih beriman, lebih bagus jadi imam, atau lebih adil? Bukannya cowok di daerah lo itu pasti lebih beradab dan sesuai sama kriteria keluarga lo ya?”

“Mas nggak ngerti.”

“Ya karena gue nggak ngerti, makanya tolong jelasin. Soalnya gue nggak dapet logikanya.” Mendingan gue berdebat begini daripada dia berujung kayak Hana atau Tifani kemarin. Di sisi lain, gue juga bisa tau apa alasan Ana jadi sangat agresif sama gue, di luar alasan gue adalah cowok yang dia temui di Jakarta dan kebetulan satu kantor sama dia. Which is itu sudah memenuhi seluruh check-list boyfriend material bagi dia.

“Di daerah itu, ada suatu kebanggaan dan kepuasan ketika kita bisa punya pasangan atau bahkan calon menantu orang dari Jakarta. Sebenernya mau Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi, semuanya akan dianggap ‘dari Jakarta’ di dusun aku sana sih…”

“Ya berarti lo nggak ada alasan kuat buat fokus sama gue doang dong?”

“Tapi aku pribadi bukan pingin ngejar itu doang. Aku emang pingin banget bisa punya cowok di Jakarta dan satu kantor sama aku. Itu impian aku dari dulu, Mas. Salah ya? Aneh ya?” Mata dia berkaca-kaca saat dia menanyakan hal tersebut pada gue. Mendadak gue jadi merasa bersalah.

Soalnya bagi gue pribadi sih aneh aja punya impian kayak begitu. Berarti dia hanya mengejar prestige di dusunnya. Dia nggak benar-benar merasakan yang namanya cinta itu sendiri. Well, gue memang tidak dirugikan sama sekali. Lagipula gue pun tidak ingin memberikan atau membuktikan cinta gue ke dia atau mengarahkan cinta dia ke gue. Gue hanya merasa alasan dia itu seakan dibuat-buat.

“Mas malu ya kenal sama aku? Mas malu berdampingan sama aku? Aku emang harus bener-bener memantaskan diri aku. Harusnya aku sadar dari dulu! Harusnya aku langsung ubah mindset kampungan aku biar aku lebih gaul dan bisa lebih pantas buat mendampingi cowok kayak Mas Ija! Harusnya aku juga lebih berani lagi buat ungkapin perasaan aku! Maafin aku ya, Mas! Maaf aku kampungan!” Dia mendadak mengoceh tidak jelas.

“Wait, Na! Stop! Kenapa lo jadi ngerendahin diri lo sendiri sih? Dengerin gue, Na. Gue nggak pernah menilai orang dari asalnya. Mau dia orang kampung atau orang yang dari lahir udah tinggal di daerah Menteng – Jakarta Selatan, kalau dia cocok bergaul sama gue ya gue gaulin.” Wait. Kayaknya kurang enak di dengar.

“Bukan gue ‘gaulin’ ya. Tapi gue ajak berteman.”

“Jadi Mas cuma anggap aku temen biasa?”

“Dengerin gue dulu, Na. Lo belom nangkep omongan gue. Gue nggak pernah memandang karena lo dari dusun terus gue nggak mau kenal dan berteman sama lo. Nggak begitu caranya. Gue memang orangnya picky, tapi bukan dari asal daerah mereka. Namun dari cara pandang mereka. Gue suka dengan lo cerita begini, gue jadi paham bagaimana sudut pandang lo dalam berpikir.”

“Jadi, Mas suka sama aku?”

“Suka? Emang gue lagi ngebahas urusan suka dan tidak suka ya? Suka di sini tuh lagi ngebahas tentang cara berpikir, Na.”

“Jadi, Mas nggak suka sama aku?”

“Na…” Mungkin saatnya gue menjelaskan semuanya sama dia. Tapi kira-kira dia mendadak jadi malu dan menghindari dari gue nggak ya?

“Aku tuh tetep ngerasa minder kalo lagi sama Mas. Aku ngerasa nggak pantes. Aku ngerasa nggak cocok bergaul sama Mas. Kalo aku mau ngedapetin Mas, ya aku mesti bisa memantaskan diri. Nggak apa-apa kalo misalnya Mas nggak bisa jawab pertanyaan aku sekarang…”

“Kenapa gue nggak bisa jawab pertanyaan lo sekarang? Bisa kok---”

Lagi-lagi dia memotong omongan gue. Dari sini gue bisa bilang, dia adalah orang yang suka denial. “Please nggak usah dulu, Mas.” Kemudian dia kembali fokus pada laptopnya. “Selain ingin memantaskan diri sama, Mas, aku pribadi kadang aku suka ngerasa minder aja. Di sini orang-orang pada pake pakaiannya keren-keren. Termasuk salah satunya gaya berpakaian, Mas. Aku suka banget. Bukan apa-apa ya. Di antara semua yang ada di kantor ini, yang penampilannya selalu fresh itu ya, Mas. Atau ya mungkin karena disini kebanyakan bapak-bapak ya. Hehehe. Gaya pakaian Mas itu kondangable banget kalo bisa dibilang. Apalagi dibandingin sama mantan pacar aku.”

“Terus itu jadi faktor kuat lo buat jadiin gue calon pacar lo?”

“Bukan cuma karena urusan gaya berpakaian doang… Jadi Mas mau denger kenapa aku ‘love at the first sight’ sama Mas?”

“Mas itu cerdas banget. Aku suka cowok cerdas. Mau bentukannya kayak apapun fisiknya, kalau dia cerdas aku suka banget. Aku sadar kok aku nggak pinter. Dulu di kampung aja aku jarang masuk 10 besar. Itu di kampung. Mungkin kalau aku sekolahnya di kota, bisa-bisa nggak bisa ngejar teman-temanku. Sementara Mas, tanpa harus tau dulu kampusnya dimana aja, aku udah ngerasa kalau Mas itu cerdas. Makanya Om ku berani mempercayakan posisi ini ke Mas. Walaupun Mas masih freelance. Aneh sih menurutku, tapi karena Mas punya keistimewaan ini makanya beliau berani kasih kesempatan ke Mas. Dan ini yang jadi nilai plus Mas di mata aku.”

“………” kali ini gue yang diam nggak tau mesti ngomong apa.

Kemudian kami sama-sama diam tidak bersuara. Ana terlihat kembali melanjutkan pekerjaan dia di laptop dan gue kembali memainkan HP gue. Mencari-cari alasan untuk segera keluar dari ruangan gue. Situasinya sudah di luar kontrol gue. Gue juga jadi ragu untuk jujur pada Ana. Gue nggak mau menghancurkan hati anak ini tapi gue nggak mau hati Emi yang tersakiti kalo gue memberi harapan pada Ana.

“Mas, aku bingung…” kata dia memecah keheningan di antara kami.

“Bingung kenapa? Kenapa tiba-tiba malah jadi bingung dah. Hahaha.” Yep. Another awkward laughter.

“Aku bingung sama perasaan aku.”

“Perasaan lo kenapa emang? Galau mau jadi pergi sama Hapsari apa nggak?” Gue berusaha mengalihkan obrolan. Gue nggak mau Ana kembali membahas gue.

“Bukan.”

“Terus apaan?”

“Kamu…”

“Gue? Kenapa lagi emang sama gue? Lo masih mau nanya ke gue, gue suka apa nggak sama lo? Tadi katanya nggak usah dijawab dulu?”

“Emang bukan itu. Untuk itu aku sengaja kasih Mas waktu. Aku cuma lagi bingung…” Dia menghela napas sesaat sembari menutup laptop dia. “Aku bingung sebenernya Mas ini udah punya pasangan apa belum.” Kenapa mendadak dia kepikiran nanya begini dan KENAPA BARU SEKARANG?

“Terus emang lo mau ngapain kalo gue jawab gue udah punya pasangan dan gimana kalo misalnya gue jawab gue belom punya pasangan?”

“Ya nggak gimana-mana. Kan setidaknya aku mau tau aja.” Mau tau? Jadi kalopun gue jawab, gue udah punya Emi, dia nggak merubah keputusan dia gitu?

“Menurut lo gimana?”

“………” Dia kembali diam, tanpa suara. Hanya menatap gue kosong. Gue fokus, berusaha antisipasi gerakan separatis dia terhadap gue. Akankah dia kembali naik ke atas meja gue untuk melakukan Gerakan lain? “Dulu teman-teman di kampung kalo suka sama cowok itu berani nyatain duluan. Aku dari dulu nggak pernah. Selalu kalau ada cowok yang suka, aku nunggu di tembak. Tapi sekarang, kok aku kepikiran ide kayak teman-temanku dulu di kampung.”

“Hmm. Lo mau nembak?”

“………” Dia hanya mengangguk.

“Gue? Lo mau nembak gue sekarang???” Ana hanya mengangguk dan tersenyum manis diiringi dengan binar mata yang gue yakin dapat membuat cowok manapun jatuh hati.

“Tadi lo bilang lo nggak mau tau jawaban gue tentang gue suka apa nggak sama lo. Kenapa lo sekarang malah nembak gue?”

“Aku takut keduluan orang. Aku takut nggak punya kesempatan nyampein perasaan aku ke Mas.”

Toktoktok.

THANKS GOD!” Teriak gue dalam hati. Gue langsung berdiri. Tidak lupa gue mengambil HP dan kunci mobil gue. “Siapa?”

“Lo masuk, Ja? Tumben. Lagi ngejar kerjaan ap---? Eh, Ana? Lo sama Ana?” Gue yakin, Mas Yogi pasti kaget banget ngeliat gue masuk di hari Sabtu. Apalagi gue sedang berduaan dengan Ana di ruangan gue, DI HARI SABTU! Semoga dia nggak mikir macam-macam.

Ini yang gue takutkan saat Ana dengan beraninya mencoba blazernya di ruangan gue. Mas Yogi itu orang yang hanya mengetok pintu dan tidak menunggu si empunya ruangan untuk mempersilakan masuk terlebih dahulu. Untung saja tadi Ana tidak sedang melakukan hal-hal aneh.

“Gue cuma numpang tidur, Mas.”

“Ditemenin Ana?” Mas Yogi terlihat memasang ekspresi bingung.

“Ana ngerjain kerjaan dia. Nggak kekejar di weekdays.”

“Ditemenin lo?” Dia terlihat semakin bingung.

“Hmm…” Gue lebih bingung lagi mau ngejelasin apa lagi ke Mas Yogi.

“Nggak kok, Mas. Aku tadi pas aku mau ngerjain kerjaan di ruangan aku, aku ngeliat Mas Ija lagi tiduran di ruangan. Daripada sayang masang AC sampe 2 ruangan. Mending aku numpang kerja aja di sini, Mas.”

“Oh gitu… Kirain. Untung gue yang liat lo berduaan di kantor, bukan Om lo. Kalo Om lo, udeh di-interogasi paling. Hahaha. Yaudah gue mau tandatangan dulu di atas, abis itu mau cabut. Anak bini gue nungguin gue di mobil.” Mas Yogi merangkul gue yang jalan keluar ruangan. Lumayan, gue jadi nggak perlu pamit sama Ana lagi.

“Tumben lo nggak kerja di weekend. Hahaha.”

“Anak bini gue protes gue kerja terus tiap weekend. Jadi, weekend ini khusus buat anak bini.”

“Nah gitu dong, inget sama anak bini. Hahaha.”

“Harus… Hahaha. Buruan nyusul. Jangan pacaran terus lo! Hahaha.” Gue menengok ke arah ruangan gue dan pas banget, ketika Mas Yogi bilang begitu eh Ana keluar dari ruangan. Semoga Ana mendengar omongan Mas Yogi kalo gue memang sudah punya pasangan. Jadi gue tidak perlu menjelaskan apapun lagi pada Ana tanpa harus mematahkan hati dia.

“Ah Mas Yogi bisa aja…” celetuk dia dari kejauhan.

Dan dia salah paham mengira Mas Yogi berpikir meledek gue dan dia berpacaran. Mas Yogi hanya memasang tampang bingung ke arah gue sembari berbisik “Ngomong apaan sih itu anak? Orang gue lagi ngomong sama lo. Hahaha. Udah yak duluan, Ja. Awas ponakan bos jangan di kelonin..hahaha.”

“Iya, Mas. Haha.”

Dan mumpung Ana masuk ke dalam ruangan dia. Gue langsung lari keluar kantor dan tancap gas meninggalkan kantor gue. Gue nggak mau berlama-lama lagi di kantor. Anak ini diam-diam penuh asumsi dan keras kepala juga ya. Mirip Emi, tapi the dark side version. Hahaha.
panda2703
kaduruk
caporangtua259
caporangtua259 dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup