yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.5K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#258
Nyatakan_Part 1
Dini hari tadi, gue sengaja nyelinap ke kamar Emi. Emi masih terlelap. Gue tidak berniat untuk ganggu istirahatnya Emi kok. Gue hanya ingin tidur sambil memeluk tubuh Emi. Gue biasanya pergi ke luar kota meninggalkan Emi untuk urusan kerjaan. Tapi tidak pernah sebaliknya. Ketika Emi yang harus pergi ke luar kota meninggalkan gue, gue yang khawatir.

Gue memang punya banyak dosa pada Emi akhir-akhir ini, tetapi perasaan gue pada dia tidak pernah berubah. Gue akan selalu dan selamanya mencintai dia. Tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Terlepas dari siapapun yang sedang mencoba menyelinap di antara gue dengan Emi.

Gue masuk ke dalam selimutnya dan memeluknya. Gue mengecup bibirnya. Tidak lupa gue mengelus kepalanya. Emi sangat suka dielus kepalanya hingga ia terlelap. Orang biasanya suka dipijat, dia lebih suka dielus kepalanya.

Bukan kok, ini bukan firasat apapun. Bukan firasat kalau perjalanan Emi ini akan jadi perjalanan terakhir di hidupnya. AMIT-AMIT JANGAN SAMPE KEJADIAN SEPERTI ITU! Gue hanya khawatir. Khawatir kalau di sana Emi bisa menemukan orang lain dan enggan untuk kembali, walaupun itu sangat tidak mungkin juga sih. Bukan karena Emi tidak laku. Tetapi Emi adalah cewek yang paling setia yang gue kenal, setelah ibu gue. Emi tidak akan berpikir demikian. Emi tidak sebrengs*k gue.

Gue khawatir juga kalau ada setan alas yang mengganggu pikiran gue sehingga gue nggak kuat menjaga iman dan imron. Ingat kejadian Tifani malam kemarin? Itu gila banget sih.

I love you, Mi… Apapun yang terjadi di hidup aku. Perasaan aku akan selalu sama kamu kemanapun aku pergi. Hati ini tau jalan pulang. Hati ini selalu tau, kalau dia harus pulang ke kamu. Sejak aku kenal kamu pertama kali, aku selalu tau kalau aku akan selalu cinta sama kamu, Mi…” bisik gue di kuping Emi.

Semoga aja Emi nggak akan pernah denger ini. Karena dia yang nggak pernah mendengar kalimat romatis akan merusak momen ini. Dia akan bilang ‘Kamu lagi jatuh cinta lagi kan sama cewek lain makanya bisa ngomong romantis?’ atau ‘Kamu lagi punya salah ya sama aku?’

Dret. Dret. Dret.

“Sial!” Gue turun dari kasur Emi perlahan dan kembali ke singgasana gue di sofa ruang keluarga Emi. “Siapa sih chat gue malam-malam begini? Bukannya tadi katanya udah pada tidur?” Gue sudah memastikan agar Hana, Arasti, dan Edna tidak menghubungi gue malam ini. Nggak mungkin Tifani soalnya. Cewek manis itu kelakuannya aneh banget. Habis beres video call dengan gue kemarin, dia nggak menghubungi gue lagi setelahnya. Bahkan sampai sekarang.

((ARASTI CHAT))
“Aku jadi kepikiran terus loh sama tawaran kamu buat ketemu, Ja… Kalau kita ketemuan hari Sabtu malem nanti gimana, Ja?”[/quote]

Gue melirik jam dinding di ruang keluarga Emi. “Serius ini anak jam segini kebangun cuma buat ngajak gue ketemuan?" gumam gue perlahan.

((ARASTI CHAT))
Quote:


"Buat apa ini anak mau ngenalin diri sama keluarga gue? Emangnya dia mikir hubungan gue ini udah sejauh apa?"

((ARASTI CHAT))
Quote:


"Masih jam 2 pagi, udah chat sama siapa kamu? Asik banget kayaknya. Kamu nggak ngantuk?" Suara Emi! Ini suara Emi! Sepertinya sudah tidak mungkin kalau gue pura-pura tidur. "Heh."

"Ini si Arko ngajak ngobrol."

"Arko? Tumben jam segini dia masih bangun?" Emi menatap gue curiga. Gue nggak ngerti kenapa nama Arko yang mendadak terlintas di dalam pikiran gue.

"Dia lagi nonton bola. Mumpung anak sama bininya lagi pada tidur. Aku kan nggak bisa nonton. TV-nya di kamar. Takut kamu kebangun."

"Hmm. Gitu. Yaudah aku mau mandi. Mau siap-siap dulu. Jam 4 kan berangkatnya?"

"Iya... Nanti aku cuci muka aja. Nggak usah mandi. Dingin banget." kata gue sembari membututi Emi yang kembali masuk ke dalam kamar dia.

"Kamu nanti pulang ke sini lagi apa pulang ke rumah kamu?"

"Kayaknya aku pulang ke rumah aku deh. Kenapa emangnya?"

"Nggak apa-apa. Kali aja kamu mau make motor kamu. Jadi kamu nanti ganti motor jadi mobil. Kan kalo motornya di rumah sini, nggak ada motor di rumah kamu. Cuman ada mobil semua."

"Iya sih. Hmm. Liat ntar aja. Tapi kayaknya mendingan aku langsung ke rumah. Biar bisa langsung istirahat." kata gue sembari merebahkan badan gue di kasur dia. Emi memeriksa kembali barang bawaan dan mempersiapkan baju untuk kami.

"Oh kirain mumpung aku lagi nggak ada, kamu mau pergi kemana gitu sama orang lain."

"Pergi sama siapa? Nggak ada kamu. Mau siapa lagi yang aku ajak pergi?"

"........." Emi sama sekali tidak menjawab pertanyaan gue tersebut. Dia hanya terdiam sambil menatap mata gue. Nggak ada ekspresi sama sekali. Gue nggak yakin, apa yang ada di dalam pikiran dia saat ini. "Yaudah aku mau mandi dulu." Kemudian dia pergi meninggalkan gue di kamar.

"Hampir aja." gumam gue perlahan.

Gue membuka kembali HP gue. Arasti pamitan untuk tidur lebih dulu. Dia berjanji pada gue untuk bangun pada saat gue mengantarkan Dania. Padahal gue tidak memaksa. Tapi kalo dia insisting, ya gue tidak memaksa dan menolak.

Ketika gue membuka aplikasi Whatsapp gue, akhirnya chat gue dibaca oleh Tifani! Setelah dia video call nggak jelas itu dan memberikan umpan lambung pada rocky, akhirnya dia nongol lagi. Hahaha.

((TIFANI CHAT))
[quote]"I'm so sorry, Ja. Gue baru balas chat lo lagi. Sumpah gue kemarin nggak jelas banget mendadak buka baju di depan lo, Ja. I'm really sorry..."

"Baru balik mabok lagi, Tif? Hahaha. Stadium gimana, masih rame?"

"Hidup gue lagi kacau banget akhir-akhir ini. Gue batal nikah, Ja. Padahal persiapan gue udah 80% kali. Gue baru tau kalo lakik gue selingkuh. Gue nemuin dia phone sex sama cewek lain. Sakit banget pas tau dia begitu. Ngapain dia minta begitu sama cewek lain saat dia bakalan bisa minta apaun ke gue, Ja? Asli! Sumpah! Sakit banget banget! Gue langsung ngebatalin nikahan gue. Bodo amat apa penjelasan dia. Sejak itu ya gue nongkrong lagi sama anak kantor gue yang demen nongkrong. Kayak sekarang ini... Hehehe."

Gue tertegun baca chat Tifani. Cewek kayak Tifani yang hidupnya nggak selurus Emi dan gue yakin nggak sejujur ataupun sesetia Emi aja ngerasa sakit hati pas tahu calon suaminya selingkuh. Apalagi Emi kalau tau gue masih berhubungan sama cewek-cewek itu? Nggak cuma 1, tapi ada 4 orang!

"Eh tapi kan gue nggak selingkuh! Lakinya Tifani itu selingkuh. Kalo gue kan nggak. Gue nggak ada perasaan apapun sama mereka. Gue hanya melayani chat mereka. Kalau ternyata Emi tahu dan minta gue untuk tinggalin mereka. Gue sih nothing to loseya. Gue juga bakalan jujur sama Emi kalo dia minta gue jujur. Berarti gue nggak selingkuh dong? Gue dalam tahap perubahan ke diri gue yang lebih baik. Dimana semuanya butuh proses. Tapi gue nggak akan pernah memalingkan hati dan diri gue dari Emi. Jadi gue beda." kata gue dalam hati.

"Kamar mandinya kosong. Kamu bersih-bersih dulu gih."

Tanpa basa-basi, gue langsung menghantam bibir Emi yang dingin karena dia baru saja selesai mandi. Gue cium dia penuh kehangatan. Gue mendadak merasa bersalah sama dia. Dia mau pergi meninggalkan gue untuk 2 hari tetapi gue penuh salah dan dosa begini. Perasaan khawatir itu kembali datang.

Emi melepas ciumannya dari bibir gue. "Kamu kenapa deh?"

"Aku takut rindu sama kamu..."

"Halah! Tytyd! Mana ada lo rindu sama gue." Emi mendorong gue dan memakai baju yang akan dia pakai hari ini.

"Yaudah kalo lo nggak percaya."

"... mending gue rindu sama cewek lain aja daripada sama lo, Mi." kata Emi sambil menirukan mimik gue ketika ngomong.

"Nggak ya! Nggak akan rindu sama cewek lain lagi!"

"Bodo amaaat! Buru lo ke kamar mandi!" Emi melemparkan handuknya ke wajah gue dan mendorong gue ke luar kamarnya.

---

Akhirnya sampai juga kami di bandara. Gue hampir banget ngantuk karena semalaman gue tidak tidur selama di rumah Emi. Bahaya banget melalui jalan tol di jam 4 subuh begitu. Apalagi kalau sendirian. Untung saja Emi, jadinya dia nonstop mengajak ngobrol gue tentang apapun. Memastikan gue terjaga dan tetap fokus.

Sesampainya di parkiran, Emi langsung memberi kabar ke grup dia. Grup yang isinya mereka-mereka yang akan berangkat ke Bali. Mungkin di dalamnya ada Pak Edward, Bimo, dan tim lainnya. Entah siapa lagi. Yang pasti, tidak akan ada Debby di dalamnya. Kenapa gue berpikir demikian? Karena Emi pasti sudah rusak mood-nya kalau ada Debby di perjalanan pertama dia ke Bali ini.

Gue membuka HP gue. Tifani ternyata masih cerita tentang gimana perjalanan cinta dia dengan mantan calon suaminya itu. Perjuangan cinta dia tidak seberdarah perjuangan cinta gue dengan Emi yang penuh up and down. Kalau kata orang Indonesia mah "LO MASIH MENDING!" Hahaha. Tapi melihat kondisi Tifani yang masih cukup mabuk baik fisik maupun mental, bukan hal yang bijak kalo gue bilang begitu pada dia dan menceritakan kisah gue. Jadi gue hanya merespon seadanya chat dia tersebut.

Gue bisa melihat kalau Emi melirik gue beberapa kali. Dia pasti curiga kok gue masih juga main HP semenjak dari rumah, bahkan ketika kami sudah sampai di bandara. Apalagi ini gue kini sedang chat dengan Arasti (yang kini sudah bangun tidur) dan Tifani (yang masih mabuk ngomong cerita masa lalu dia).

Gue mengubah posisi duduk gue. Gue mau menghapus chat mereka terlebih dahulu. Apapun bisa terjadi. Emi bisa mendadak meminta gue untuk membuka chat gue. Jadi, lebih baik gue menghapus barang bukti terlebih dahulu. Tidak apa-apa jika Emi meminta gue meninggalkan mereka tetapi gue tidak mau Emi membaca isi chat kami. Gue nggak mau Emi berpikir yang tidak-tidak. Apalagi sampai dia sakit hati.

"Hah? Apaan?" tanya gue. Saking fokusnya gue memeriksa ulang HP gue, gue tidak fokus dengan apa yang dikatakan Emi.

"Nggak apa-apa. Bukain aja pintunya. Aku sendiri aja nggak apa-apa. Kamu hati-hati di jalan. Makasih udah nganterin.” Kemudian pergi keluar dari mobil, meninggalkan gue sendiri di dalam mobil.

“Ah anj*ng emang ini cewek-cewek!” Gue keluar dari mobil dan mengunci pintu. “Heh! Lo kenapa? Kenapa mendadak ngambek begitu?” Gue berusaha mengejar dia. Langkah kaki gue yang besar ini masih bisa mengejar dia.

“Gue nggak ngambek kali. Biasa aja. Gue sadar kalau gue nyusahin lo. Ngabisin waktu lo. Lo balik aja buruan. Ga usah nungguin gue.” kata dia tanpa menoleh sedikit pun pada gue.

“Apaan sih? Ganggu apaan?” tanya gue sambil berusaha menyamakan langkah kaki kami.

Kring. Kring. Kring.

HP Emi bunyi. Mungkin Pak Edward sudah meminta dia untuk kumpul di depan pintu masuk. “Halo?” Emi mengangkat teleponnya. “Eh Bim. Gue masih di parkiran. Ini gue mau nyamperin Pak Edward. Lo dimana?” Oh ternyata telepon dari Bimo. Mungkin semua temannya sudah sampai di depan pintu masuk.

“Lo beli KFC di bandara? Kenapa nggak beli roti aja sih kemarinnya? Kenapa malah beli KFC di sini?” kata Emi yang membuat gue cukup kaget. Anak-anak ini belom check-in tapi malah sibuk menyempatkan diri untuk mengantri KFC di bandara? Apa yang ada di dalam pikiran mereka?

Tanpa minta persetujuan Emi, gue ikut nimbrung obrolan mereka. “Lah kenapa beli KFC di bandara sih? Harganya kan lebih mahal. Keburu nggak tuh buat check-in? Kalau rame gimana?” Sengaja gue kerasin omongan gue, biar Bimo dan teman-temannya dengar omongan gue.

Emi menutup telepon dia. Bukannya dia lanjut jalan ke arah pintu masuk. Dia malah berbalik arah menuju KFC berada. “Kamu mau kemana? Kamu nggak usah ikut ke KFC! Kamu langsung ke Pak Edward aja.” Gue menahan dia.

“Tapi kan anak-anak di sana. Nggak jauh ini kan Gate masuknya sama KFC?”

“Iya tapi buat apa nurutin mereka sih? Biarin aja mereka bloon sendiri. Kenapa lo mesti ikutan bloon kayak mereka? Tinggal berapa menit lagi ini. Lo mau telat?”

“Seberapa lama sih di KFC?”

“Heh! Dengerin gue! Lo pada itu semuanya BARU PERTAMA KALI naik pesawat kan? Cuma Bimo yang udah punya pengalaman naik pesawat. Itu juga baru 2 kali dia naik pesawat. Gue udah belasan tahun naik segala macam pesawat dan segala macam bandara! Mereka itu nggak ngerti ruginya dan bahayanya telat check-in! Jadi lo nurut sama gue! Ngerti hah?”

Gue butuh didengerin sama Emi. Ini pengalaman pertama Emi naik pesawat. Emi harus diberi tahu yang mana yang sebaiknya dilakukan dan tidak. Lagipula begini, apa tidak lebih baik mereka menyelesaikan dulu urusan mereka dengan check-in segala rupa baru setelahnya mereka keluar lagi lalu membeli makanan? Kenapa mereka harus menunda check-in untuk urusan tidak penting seperti ini?

“………” Dia diam saja, tanpa jawaban. Emi itu selalu begini. Paling susah menolak ajakan temannya, walaupun dia pasti sadar kalo itu merugikan dia. Jeleknya Emi.

Kring. Kring. Kring.

HP gue mendadak bunyi, memecahkan keheningan kami yang masih berada di parkiran bandara. Suara bising yang terdengar hanya suara kendaraan berlalu lalang di sekitar kami. Maklum, jam penerbangan pagi adalah jam sibuk. Belum lagi, saat itu adalah hari Sabtu. Banyak orang yang ingin menghabiskan waktu akhir pekan mereka di luar kota. Pesawat menjadi pilihan mereka karena bisa mempersingkat waktu perjalanan mereka.

Gue melepas genggaman gue dari Emi dan memeriksa siapa yang menghubungi gue. Masih terlalu pagi untuk gue dihubungi oleh orang kantor ataupun Mama. Lagipula ini hari Sabtu. Please lah, gimme a break.

Tapi… ini di luar dugaan! Yang menghubungi gue bukan Mama ataupun orang kantor. Tifani! Tifani yang menghubungi gue ketika gue sedang berduaan dengan Emi. Entah Emi melihat dengan jelas atau tidak siapa yang menghubungi gue. Gue langsung me-reject telepon Tifani tersebut. Gue baru ingat, Tifani itu baru kembali menghubungi gue kemarin. Dia tidak tahu apa yang sedang gue lalui. Jadinya tidak terpikir oleh gue kalau Tifani akan menghubungi gue sekarang! Di depan Emi!

“Kenapa direject? Angkat aja kali.” Gue bisa melihat dengan jelas. Mood Emi langsung down. Sepertinya Emi melihat nama orang yang menghubungi gue. Tapi, emang Emi kenal siapa itu Tifani?

“Ngapain angkat kerjaan jam segini?” jawab gue sembari memasukkan kembali HP gue ke dalam saku celana gue.

“Oh itu klien? Kok nggak sopan banget ya neleponnya?”

“Tau nih. Nanti gue bilangin ke Owner-nya aja.”

“Gue mau bareng Bimo. Lo pulang aja. Makasih ya udah nganterin gue hari ini. Besok gue balik sendiri aja.” kata dia sembari pergi meninggalkan gue lagi.

“Bangs*t! T*i anj*ng!” Sampah banget sih anak mabuk satu ini! Ngerusak mood Emi saat Emi akan pergi jauh. Rusak semua usaha gue untuk membuat memori bagus untuk perjalanan dia hari ini! Bangs*t! “Gue tungguin lo sampe lo check-in! Dimana tanggung jawab gue ke bini gue kalau gue ninggalin gitu doang? Lagipula kenapa urusan klien jadi diperkarain banget sih?” tanya gue sembari kembali mengejar dia.
lumut66
panda2703
caporangtua259
caporangtua259 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup