Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.6K
3K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#251
Quality Time Tak Berkualitas_Part 4
Kasur hotel yang mereka sediakan tidak seperti kasur hotel pada umumnya sih. Kebanyakan kasur hotel menggunakan rangka kayu. Tetapi kasur di hotel ini menggunakan rangka besi model jaman dulu dan udah berkarat di sana sini.
Kasur yang mereka gunakan adalah spring bedyang sepertinya sudah lama tidak pernah mereka ganti, atau mungkin sejak awal hotel ini berdiri memang tidak pernah mereka ganti. Kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak pegas yang sudah agak menyeruak keluar sedikit yang bisa gue rasakan. Jangan di tanya ketika mencoba menduduki dan menidurinya. Bunyi dimana-mana. Entah bunyi di kasurnya ataupun bunyi 'dukdukduk' ketika rangka kasur menghantam tembok. Jangan tanya ya kenapa gue cukup concern mengenai suara 'dukdukduk' dari kasur tersebut. Hahaha.

Tepat di seberang kasur, ada meja berlaci yang disandingkan dengan meja rias. Kondisi keduanya pun cukup memprihatinkan, berdebu dan cat kayunya sudah mulai terkelupas di sebagian besar bodi meja tersebut. Lalu, di saat semua hotel sudah menawarkan TV layar datar. TV yang disediakan di kamar hotel ini adalah TV tabung dengan antena dalam. Jadi kalo memang niat banget pingin nonton TV di kamar hotel ini, mesti berjuang dulu tuh gerakin antena-nya agar bisa mendapatkan gambar terbaik.

“Zy, AC nya nggak berasa. Turunin suhunya dong kata Emi sembari memeriksa kasur lagi, memastikan tidak ada jarum yang menusuk atau ‘kotoran’ lain di kasur tersebut.

“Buset, AC jaman kapan nih? Hahaha.” Pendingin ruangan mereka benar-benar sudah usang. Warnanya sudah kekuningan dari yang seharusnya berwarna putih. AC split ini yang seharusnya tenang malah cukup berisik karena tidak ada budget perawatan sepertinya.

Apa yang gue rasakan di dalam kamar hotel ini? Ketidaknyamanan. Ada sedikit rasa menyesal gue mengeluarkan uang sebesar itu untuk kondisi kamar hotel yang seperti ini. Gue jamin, hotel ini pun tidak menawarkan breakfast di pagi harinya. Ya, budget segitu masih syukur dikasih kasur. Hahaha. “Kalo tau bakalan begini kondisinya, mending gue keluarin Rp100.000 sampe Rp150.000 lagi udah bisa dapet hotel kekinian yang lebih bagus dah… Gimana gue mau quality time sama Emi kalo nggak nyaman begini?” ucap gue dalam hati.

Toktoktok.

“Mas, ini handuk dan sabunnya.” ucap seseorang dari luar ruangan. Sepertinya porter cewek yang tadi.

“Oke sebentar…” jawab gue sembari membuka pintu kamar.

Ternyata kali ini adalah pegawai hotel mereka yang lain. Dan masih juga pegawai cewek. Kemana pegawai cowok mereka? Berangkat Jum’atan? Ini masih kamis woy. “Ini handuknya 2, sabun, dan sikat giginya sepasang. Selamat istirahat ya, Mas.”

“Makasih, Mbak…” kata gue. Gue menutup pintu dan menunjukkan handuk yang ia berikan tadi pada Emi. “Mi, liat nih…”


“Anjay, itu mah kayak anduk di rumah gue. Hahaha. Tumben hotelnya nggak pake anduk warna putih? Kenapa warna warni begitu? Hahaha.”

“Ada sih hotel yang make anduk berwarna, Mi. Tapi ya tetep aja, nggak yang kayak anduk rumahan begini juga… Hahaha.”

“Lo mau make, Zy?”

Gue mencium aroma anduk yang gue bawa itu. “Nggak ada bau apa-apa sih? Aman kali ya?”

“Gue ragu, Zy.”

“Yaudahlah. Seenggaknya mereka masih kasih kita anduk sama sabun begini.”

“Sini sabun sama sikatnya. Gue simpen di kamar mandi.” kata Emi sembari jalan ke dalam kamar mandi. Gue menggantikan Emi merebahkan badan gue di kasur.

Gue mikir, kalo emang hotel ini nggak menawarkan kenyamanan untuk pengunjung yang datang, mengapa hotel ini bisa cukup laku ya? Buktinya di Kamis siang seperti ini, mereka hampir full bookedloh! Apa yang mereka tawarkan? Keamanan? Apa mereka membayar ‘jasa keamanan’ cukup besar (untuk membiarkan bisnis hotel mereka tetap beroperasi tanpa membongkar data-data pengunjung yang menginap di sana), sehingga mereka tidak memiliki cukup biaya untuk memperbaiki fasilitas yang ada?

Kalo mereka kesulitan untuk biaya maintenance fasilitas, mengapa mereka tidak menaikkan tarif hotel per kamarnya saja? Mengapa mereka bertahan dengan harga semurah itu? Atau mereka khawatir nanti mereka akan ditinggalkan jika mereka menawarkan harga yang lebih mahal Rp100.000 hingga Rp200.000 lagi?

Gue yakin, occupancy rate (jumlah kamar terjual berbanding jumlah kamar keseluruhan) hotel ini dalam sehari bisa melebihi 100%. Mengapa demikian? Karena mereka bisa menawarkan satu kamar mereka, tidak hanya untuk satu orang saja. Mungkin di pagi hari, ada yang memesan kamar yang sama dengan yang gue gunakan hari itu. Lalu dia check-out beberapa jam sebelum kedatangan gue. Lalu datanglah gue yang membayar nominal yang sama untuk menggunakan kamar tersebut. Mungkin, kalo misalnya gue tidak menginap, kamar yang gue pake ini bisa saja dibersihkan dan dijual kembali. Itulah sebabnya hotel semacam ini memiliki occupancy rate lebih dari 100%.

gue menduga pengelola hotel ini hanya berpikir buat apa diperbaiki atau diganti ketika tamu-tamu yang datang kesini hanya untuk melakukan ‘silaturahmi kelamin’ tanpa memedulikan kondisi fasilitas. “Yang penting bebas bertarung di kasur dan bertukar keringat dengan aman, tanpa khawatir ada kamera ataupun razia.“ Mereka nggak peduli ada breakfast apa nggak. TV-nya ada lokal atau TV kabel. AC-nya dingin atau nggak. Kasurnya spring bed atau kapuk. Pokoknya yang penting gue bisa ‘benerin genteng’ di kamar hotel, bukan di mobil / kuburan / kebon belakang punya Pak Lurah. Hahaha.

“Zy… Sini…” Panggil Emi dari dalam kamar mandi, suaranya terdengar menggema.

“Kenapa, Mi?” tanya gue, sambil beranjak dari kasur menuju ke kamar mandi.

“Tarik napas coba.”

“Lo abis kencing yak? Anj*ng! Bau banget ini! Berasa bau WC umum nih!”

“Ya kalo gue abis kencing mah nggak mungkin lah gue suruh lo masuk, Zy. Baunya udah begini dari gue masuk tadi, Zy.”

“Buset, buru flush WC-nya. Keburu baunya kemana-mana.”

“Nggak bisa…” Emi mencoba menekan flush-nya tetapi tidak terjadi apa-apa.

“Buka kerannya coba. Itu kan ada ember sama gayung.” Untungnya ketika Emi membuka keran yang ada di ember kecil yang ada di samping WC, airnya keluar. “Nah kan keluar. Siram yang banyak, Mi.”

“Iya siram yang banyak, tapi mesti sabar. Soalnya embernya kecil begini. Udah kayak ember buat ngecor lantai begini. Gimana buat dipake mandi coba?”

“Kan ada shower…” Gue menunjuk shower yang ada di tengah kamar mandi.

“Baca tulisannya.”

Shower rusak? Tolong gunakan ember? Tapi embernya begini? Berapa taun gue mandi make ember segitu? Hahaha.”

“Yaudahlah. Pasrah. Bayar segitu minta fasillitas mumpuni? Mana bisa? Hahaha.”

“Maafin aku ya, Mi. Niatnya mau quality time, malah begini.” gue hanya bisa menghela nafas sambil membayangkan hotel-hotel dari kubu merah atau biru yang harganya kisaran sama, tetapi fasilitasnya jelas lebih baik.

“Santai aja, Zy. Yang penting kan ada kitanya. Kasurnya juga masih bisa dipake walopun berisik. Hahaha.”

“Iya sih…” Gue mengecup kening dia.

“Sonoh keluar dulu, gue siram-siram dulu kamar mandinya biar nggak bau.”

Gue mengganti baju gue dengan celana pendek dan kaos oblong favorit gue. Gue bisa mendengar Emi masih mengurus kamar mandi. Dia memang paling nggak bisa melihat ada yang berantakan sedikit, bawaannya pingin diberesin terus. Sama kayak gue sih. Tapi Emi nggak pandang bulu, hal yang begini pun dia tidak sungkan untuk dikerjakan. Kalo gue? NO! Gue nggak akan mau beresin atau bersihin kamar mandi yang sudah dipakai banyak orang begitu, dan tidak di bersihkan kembali. Jijik banget gue! Sama aja kayak gue disuruh bersihin WC umum soalnya. Hehehe.

Mendadak hujan turun dengan deras. Pendingin ruangan yang ada di kamar ini tidak otomatis menyesuaikan suhunya ketika suhu di luar dingin. Jadi gue mengatur sebagaimana mungkin agar kami nggak menggigil kedinginan di kamar ini. Maklum, selimut yang mereka sediakan sangat tipis. Gue menyalakan TV tabung dan mencari channel yang memang sudah bagus dengan antena yang ada, jadi gue tidak perlu menggeser antenanya kemana-mana. Toh gue nggak sepenuhnya mau nonton TV, gue mau cuddling sama Emi.

Gue sangat rindu berduaan dengan Emi. “Kapan ya terakhir kali gue tidur sekamar sama Emi?” tanya gue dalam hati.

“Eh ujan yak? Duh deres amat ujannya.” kata Emi sembari membuka kerudung dan menyimpannya dengan rapi di bangku yang ada di depan meja rias.

“Santai ini bukan? Untung kamu lagi nggak kerja.” kata gue, masih berkutat dengan remote TV mencari channel yang bagus gambarnya.

Dari sudut mata gue, gue bisa melihat Emi membuka kaos dan celana jeans yang ia pakai. Karena tidak ada lemari ataupun hanger di dalam kamar, Emi pun menggantungnya di bangku yang ada di depan meja rias rapuh itu. Ya tentunya menimpa baju gue yang sudah lebih dulu digantung di bangku tersebut.

“Dingiiin~” ucapnya. Dia yang kini hanya dibalut bra dan celana dalam melompat ke kasur. Dia masuk ke dalam selimut tipis yang gue pake dan langsung memeluk gue.

“Lagian, siapa suruh langsung buka baju begitu? Emangnya kita mau ngapain? Aku aja make kaos sama celana pendek…”

“Orang ke hotel mau ngapain lagi kalo bukan ngew*?”

“Bangs*t! Hahaha.” Dia adalah cewek yang pikirannya kayak cowok dan nggak malu buat ngomong urusan kayak begitu. Lagipula, apa yang salah dari logika dia bukan?

Dia memeluk erat gue yang masih tertidur terlentang. Dia menidurkan kepalanya di dada gue. Tangannya masih anteng memainkan jemarinya di perut gue. Selalu berusaha nyari titik kelemahan gue, titik geli gue. Lalu gue teringat sesuatu. “Eh bentar, Mi!” Gue berdiri dan jalan ke arah tas gue. Gue ambil sesuatu yang gue beli kemarin di Circle K. Sesuatu yang agak memalukan untuk dibeli, tapi ini yang Emi pingin beli dari lama. Kond*m.

Seriusan Emi yang pingin beli, Ja? A f*cking condom? Iya, lo bisa tanya aja sendiri sama Emi kalo lo nggak percaya. Udah dari lama banget Emi minta gue buat beli kondom. Buat safety? Pasti. Gue juga nggak mau bablas bareng Emi, walopun gue mau nikahin dia. Gue mau bablas ya nanti pas gue dan Emi udah sah setelah gue mengucapkan ijab qabul di hadapan kedua orang tua kami.

Tapi utamanya, Emi mau beli kondom karena penasaran. Penasaran sama bentuk dan rasa-rasanya. Gue juga malu mau beli kondom dimana pas dia minta. Sampai kemarin pas gue kebetulan lagi lewat salah satu Circle K yang lumayan sepi, gue coba aja beli. Untungnya Mas yang jualnya keliatan cuek, nggak masang tampang judging atau nanya ini itu. Jadi gue asal ambil rasa apapun yang ada dan segera membayar barang belanjaan gue tersebut.

“Zy? Kondom???” Emi terlihat kaget. Entah kaget karena gue mendadak bawa kondom atau kaget karena merk atau rasa yang gue pilih. “Kok kamu bisa beli kondom? Katanya malu mau belinya?”

“Entah kenapa kemaren kepikiran aja beli ini pas lagi lewat Circle K. Nggak usah protes ya kenapa aku beli yang rasa pisang. Aku nggak milih-milih, aku langsung ambil aja apa yang—” Emi nggak membiarkan gue menyelesaikan omongan gue. Dia sudah langsung naik ke pangkuan gue dan melalap habis bibir gue dengan french kiss khas dia. Sudah lama nggak menerima french kiss dia, cukup membuat gue kehabisan sedikit napas gue.

“Hmm. Zy…” kata dia sembari melepas bibir dia yang sudah mulai memerah and kinda puffy. “Aku nggak mau foreplay dulu. Aku mau…” Dia meraba paha kiri gue, naik perlahan, menuju area sensitif gue tepat di bawah perut untuk mengambil… Kondom. “… tau gimana bentuknya terus gimana cara makenya. Hahaha.”

“Anj*ng! Hahaha.”

Dia mendorong gue hingga tertidur di kasur. Dia menyingkap selimut dan menyingkirkannya ke pojok kasur. Dia menurunkan seluruh celana gue dan membuangnya ke lantai. Gue sengaja membuka kedua kaki gue lebar-lebar di hadapan dia untuk membiarkan dia mengeksplorasi ‘mainan’ baru dia.

Gue melihat dia membuka bungkusnya dan menghirup aroma dari kondom yang gue beli tersebut. “Bau karet… Nggak ada pisang-pisangnya sama sekali dah. Darimana pisangnya.”

“Ya mana gue tau. Awas lo nyuruh gue cobain itu kondom! Gue udah beliin loh, lo yang rasain sendiri!” kata gue sembari menutup mulut gue karena dia mau meminta gue untuk menjilat ‘karet’ tersebut.

“Terus makenya gimana, Zy?”

“Ya biar berdiri dulu si rocky, Mi.”

“Emang kalo masih dedek kicik begini, nggak bisa masuk?”

“Ya mana gue tau. Gue kalo liat di bokep sih biar berdiri dulu tytyd-nya.”

“Seriusan? Yaudah buru kocok sendiri.”

“Gimana gue bisa kocok sendiri sih? Udah gue yang nyetir motor, gue yang bayar hotel, masa masih gue juga yang ngocok?”

“Bangs*t! Apa hubungannya coba? Hahaha. Yaudah sini.”

Dia menungging tepat di atas badan gue. Dia kembali mencium bibir gue perlahan sembari mengarahkan tangan kanan gue untuk masuk ke dalam bra yang ia pakai. Gue mengeluarkan isi dari bra tanpa melepas bra yang ia pakai. Agar dadanya semakin terlihat penuh di hadapan gue. Gue jilat perlahan dengan memutarkan lidah gue di sekeliling ujungnya. Bergantian, kanan dan kiri.

Ketika tangan kanan gue sibuk di atas, dia mengarahkan tangan kiri gue untuk memegang rocky yang perlahan mengeras dengan sendirinya karena mendengar desahan demi desahan yang dikeluarkan oleh Emi. Ya, Emi memang ‘pemain yang berisik’. Hehehe. Tanpa gue sadari, dia sudah mencopot celana dalam yang ia pakai hingga kini dia sama dengan gue, tidak menggunakan apapun dari perut ke bawah. Dia membuka lebar kedua kakinya dan mengarahkan tangan kiri gue tersebut tepat ke arah lubang surganya yang sempit dan keset.

Dia mengarahkan rocky yang sudah kekar tersebut. Dia pun membantu pergerakan tangan kiri gue dengan tangan kanan dia. Sesekali dia menggunakan jemarinya untuk sedikit memberikan stimulasi pada lubang surganya sendiri hingga akhirnya siap untuk dipakai rocky berlabuh.

“Ayooo! Cobain kondomnya!” Mendadak dia turun dari atas badan gue dan sibuk memasangkan kondom pada rocky.

“Woy! Kenapa mendadak berenti! Ayo lanjutin!”

“Pake dulu ini.” Dia memasukkan kondomnya dan takjub ketika melihat kondom yang berbentuk lingkaran sebelumnya berubah mengikuti bentuk rocky. “Oh begitu caranya. Ini ujungnya emang begini?”

“Iya kali itu buat… Ah…” Omongan gue kembali terpotong karena dia segera melahap habis rocky. Oh gue sangat rindu kehangatan mulutnya ini. Keluar masuk, keluar masuk, rocky di dalam mulutnya. Sesekali dia menghisap rocky cukup kencang membuat sensasi sedotan dahsyat di bagian bawah tubuh gue tersebut.

“Tetep rasanya karet. Cuman aroma pisang. Pas ditelen, nggak ada rasa pisang-pisang sama sekali ah. Nggak suka.”

“Yeee, emang lo pikir mau ada rasa pisang beneran? Lo pikir rocky itu banana float hah?”

“Ya kali gitu. Hahaha. Eh loh loh loh. Kenapa rocky?” Yap. Sesuai dugaan gue, kenapa gue nggak suka menggunakan kondom. Toh gue bukan penggiat seks dengan sembarang orang, jadi gue pikir gue nggak bakalan sering menggunakan kondom. Karena ini… rocky nggak betah dipakein kondom. Jadi dia mengecil lagi. Seperti semula.

“Gue nggak betah, Mi. Kan gue udah bilang… Makanya gue nggak mau make kondom.”

“Yah udah cape-cape digesekin, malah turun lagi… Gimana dong ini?”

“Anjir, dikata cape gesekin. Hahaha. Yaudah buru naek lagi.”

“Rese lo, Zy!” kata dia sambil berdiri dari kasur.

“Mau kemana? Udahan nih?”

“Ya nggak lah. Gue mau ambil HP dulu, mau gue foto rocky yang turun gara-gara dipakein kondom! Hahaha. Buat kenang-kenangan!” kata dia yang langsung mengambil beberapa gambar rocky dari segala sisi. Bangs*t emang ini anak satu. Hahaha.

“Udah buruan naek…”

“Ayo 69!” Dia langsung membuka kedua kakinya lebar-lebar di atas kepala gue yang kini menghadap tepat di bawah lubang surga dia.

“Masuk yang dalem yaa, Zy…” Ucap dia sebelum membenamkan kepalanya tepat di antara kedua kaki gue yang juga gue buka lebar-lebar.
kaduruk
panda2703
caporangtua259
caporangtua259 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup