Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Fatimah.ridwanAvatar border
TS
Fatimah.ridwan
Panggilan Rindu Ibu
Panggilan Rindu Ibu



Entah apa yang menyebabkan ibu begitu gusar karena aku belum juga pandai memasak dengan benar padahal usiaku saat itu masih 14 tahun. Di matanya, memasak tidak bisa terpisahkan dari makhluk bernama perempuan, ada pertalian abadi antara keduanya.

"Kalau masakanmu ada yang hangus, maka yang hangus itu bagianmu, kalau ada yang mentah, yang mentah itu harus kau yang memakannya. Jadi, tidak boleh salah-salah lagi dalam memasak!" Ucapnya kala itu, saat memandori aku memasak di dapur.

Kenapa harus begitu? Aku memrotesnya dalam hati, enggan membantah. Hari itu terciptalah sebuah masakan yang hingga kini menjadi satu-satunya bekal agar aku layak disebut “perempuan” masakan itu adalah sayur lodeh.

***

Suara dering ponselku memenuhi ruang kerja yang di balik pintunya telah ditunggui berderet-deret pasien, sepagi ini aku sudah ditenggelamkan kesibukan.


"Halo, Din." Sahut seseorang di seberang setelah aku mengangkat teleponnya.


"Ya, ada apa, Bu?"


"Ibu kepingin makan sayur lodeh, Din."


"Hmm..." Aku berusaha membagi fokus antara menuliskan resep obat dan obrolan dengan ibu.


"Hmm hmm saja kau ini." Dia terdengar kesal, aku terkekeh.


"Dinda sedang menuliskan resep obat untuk pasien, Bu." Aku melepaskan gagang pulpen dari jemariku, memberikan seluruh fokusku pada ibu.


"Nanti malam kau ke sini, ya, ibu sudah kepingin banget, lho."


"Jangan dekat-dekat ini, ya, Bu. Dinda sangat sibuk sekali. Hari ini ada 3 prediksi pasien Dinda yang lahiran." Aku menawar, tak ada jawaban dari seberang telepon.


"Tapi Dinda usahakan." Cepat-cepat aku meralat karena tahu ibu kecewa dengan jawabanku sebelumnya.


"Ya, baiklah." Dia menjawab dengan nada rendah.


Hari sudah menjelang sore namun tak ada tanda-tanda bahwa kesibukan ini akan melepasku dari jeratnya, justru aku dicengkeram dan tak kuasa ke luar. Lalu wajah ibu menjelma di langit-langit ruangan, kurasa aku akan mengecewakannya lagi. Kurogoh saku jasku untuk mencari ponsel dan mencoba menghubungi salah satu perawat di rumah sakit ini.


"Halo, dok." Jawabnya sigap, tak lama setelah panggilannya berdering.


"Ya, Mir. Apakah dokter Marwan bisa menggantikanku untuk pasien yang akan melahirkan malam nanti?"


"Dokter Marwan, kan, sedang ke luar kota, Dok."


"Oh, ya. Astaga, aku sampai lupa."


"Memangnya ada apa, Dok?"


"Tidak, tidak ada apa-apa. Ya, sudah. Segera tetapkan jadwalnya dan hubungi saya setelah itu, ya?"


"Baik, dok."


Jemariku segera beralih ke aplikasi pesan-antar makanan, memilihkan ibu menu sayur lodeh dan mengirimkan ke alamat rumahnya. Semoga ini bisa sedikit mengobati kekecewaannya karena ulahku (atau kesibukanku) untuk yang kesekian kali.

Malam telah jatuh, langit menghamparkan hitam sempurna, tanpa bintang dan bulan, sesekali suara gagak terdengar mengoak di halaman rumah sakit. Deretan kursi di ruang tunggu sudah kosong sejak jam operasional berakhir. Malam ini keramaian seperti diserap senyap.

Mira mengabarkan bahwa pasienku sudah menunggu di ruang bersalin. Aku melirik jam dinding, pukul 22.05. Lalu bergegas dan berusaha melupakan masalah ibu untuk sementara.

Erangan perempuan itu langsung menyambut sesaat setelah aku tiba, jeritannya memecah malam yang semula beku oleh kesunyian. Tekanan ketakutan yang tersugesti ke alam bawah sadar perempuan itu membawanya ke dalam situasi yang lebih sulit.


"Mengejan pelan-pelan saja, Bu. Nggak apa-apa kok, pasti bisa. Pelan-pelan." Ucapku dengan ekspresi yang berusaha kubuat tenang agar aku tak terpengaruh ketakutannya juga.


Napasnya benar-benar berantakan, tiap tarikan itu disertai erangan yang terdengar ngilu di telingaku. Perempuan itu kini basah kuyup oleh keringat dan kucuran air mata, seluruh pori-porinya bagai menyemprotkan air. Namun, tak kunjung ada tanda-tanda bayinya segera lahir. Aku menyeka keringat di dahi, lalu melirik jam di dinding, pukul 02.45. Hampir 4 jam dia berjuang.

Tenaga perempuan itu kian habis, pandangannya mulai meredup, aku dirundung kebingungan, menjaga agar dia mempertahankan kesadaran artinya memaksakan tenaganya yang sudah tak mampu lagi untuk berkuat, namun jika membiarkannya menyerah resikonya adalah bayinya tidak akan selamat. Mira menatap ke arahku, aku menggeleng setelah melongok untuk memeriksa di antara dua paha yang tengah mengangkang itu. Tiba-tiba sebuah tangan dingin kurasa mencengkram lenganku.

“Saya akan berikan yang terbaik untuk bayi saya, Dok. Tolong maksimalkan bantuan Dokter untuk bayi saya, tidak usah memikirkan saya. Saya sudah berikan hidup saya untuknya sejak pertama kali saya tahu dia sedang tumbuh di rahim saya.” Ucapan perempuan itu diputus-putus sengal napas yang setengah mati berembus.

Aku tertegun sejenak, lalu mengangguk mantap. Kuberi dia aba-aba yang mungkin untuk terakhir kalinya. Satu napas ditariknya dengan begitu panjang, seluruh urat-urat wajahnya menyeruak ingin mendobrak kulit, erangan panjangnya itu di sambut tangisan bayi. Akhirnya.

Aku masih menatapnya lekat, matanya yang menyala itu perlahan redup lalu tertutup. Aku segera memeriksa detak pada nadi di tangannya, tak ada. Segera kupastikan apakah napasnya benar-benar berhenti. Dan ternyata, tarikan napas panjang persembahan pertama dan terakhir untuk bayinya itu adalah tarikan napas terakhirnya.

"Ibu!" Kata itu keluar dari bibirku tanpa kusadari, kugenggam erat tangannya, mataku dikaburkan oleh cairan bening, tak terbendung dan akhirnya tumpah. Seluruh pandangan mata di ruang bersalin itu memberiku tatapan bingung. Setelah memberi penjelasan pada pria yang merupakan suami perempuan itu, aku meninggalkan ruangan itu di tengah isak tangis kehilangan.

Kulepas seluruh alat pelindung diri yang kugunakan setibanya aku di ruanganku, kusambar kunci mobil dan berlari menuju parkiran. Pukul 02.57 mobilku melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah ibu. Lima belas menit kemudian, aku tiba di ambang pintu dan mengetuknya dengan gemetar. Dari baliknya muncul sesosok perempuan yang tak lagi muda, kuraih lalu kupeluk ia sambil terisak.


"Dinda rindu, Bu."


"Din, jangan marah ya, sayur lodeh yang kau kirimkan tidak ibu makan." Dia melepaskan pelukanku.


"Ibu hanya alasan, sebenarnya ibu kangennya sama kau bukan sayur lodeh." Dia menyapu-nyapu pipiku.


"Kalau Dinda masakin sekarang, apakah ibu mau memakannya?"


"Tentu saja, Din." Katanya, lalu terkekeh.


Pukul 03.30

Kami menyantap semangkuk sayur lodeh berdua di meja makan rumah yang sama seperti bertahun-tahun lalu, saat kami masih leluasa untuk bersua, saat kesibukan-kesibukanku itu belum ada.
bukhorigan
tien212700
tien212700 dan bukhorigan memberi reputasi
2
360
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
bukhoriganAvatar border
bukhorigan
#1
nice gan.
Fatimah.ridwan
Fatimah.ridwan memberi reputasi
1
Tutup