lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)


Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II



Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.3K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#295
Bab LX
Oportunis


Ki Suroto dan Ki Badrawi saling pandang, tiba-tiba kedua orang itu merasa bersyukur tidak memilih menjadi pengikut Rangga. Meskipun mereka akan mengalami kerugian bila usaha Rangga mendiirkan kota di pesisir Selatan gagal, tapi kerugian mereka tidaklah sebesar kerugian yang dialami KiWaluyo dan Ki Tanumerta.

Diam-diam keduanya melirik ke arah Ki Bharata, ketika mereka melihat raut muka prihatin Ki Bharata, dalam hati mereka sedikit banyak terselip perasaan senang yang cepat-cepat mereka kubur dalam-dalam.

Sebelumnya kedua orang itu sempat menyesal tidak mengambil keputusan yang sama dengan tiga orang rekannya yang lain.

Ketika mereka melihat kecekatan Rangga dan para pengikutnya, serta kesetiaan penduduk yang mengikuti mereka, diam-diam mereka memuji ketajaman mata Ki Bharata. Semakin hari, mereka berdua semakin yakin bahwa mereka sudah salah mengambil pilihan.

Tanpa sadar terselip rasa iri dan kehilangan, tapi harus mereka pendam dalam-dalam, karena siapa yang bisa mereka salahkan kecuali diri mereka sendiri.

Ketika keadaan sekarang berbalik, berubah pula perasaan mereka.

“Bagaimana ini raden? Penjelasan Ni Sundari rasanya benar-benar mengena dengan situasi saat ini. Jika itu benar, artinya kita sekarang berada dalam bahaya.”, Ki Waluyo bertanya dengan nada khawatir.

“Jangan cemas.”, ujar Rangga dengan tenang.

Sesaat kemudian dia melanjutkan, “Kalaupun ketiga orang adipati itu benar akan menyatakan perang, hal itu tidak akan terjadi dalam hitungan hari. Sementara itu, kita pun tidak akan berdiam diri.

Kita perlu mencoba menjalin persahabatan dengan Adipati Surobledug dan Adipati Bajing Kuning. Meskipun kita tidak bisa mengharapkan perdamaian dengan ketiga orang adipati yang lain, kita masih bisa mencoba meyakinkan kedua orang adipati itu untuk mengikat persekutuan dengan kita.”

“Apakah kedua adipati itu akan menerima uluran tangan kita? Bukankah akan lebih menguntungkan bagi mereka jika terjadi pertempuran di pesisir selatan ini?”, tanya Ki Tanumerta ragu-ragu.

“Apakah persekutuan dengan kita akan mendatangkan keuntungan atau kerugian, itu bukanlah sesuatu yang pasti. Jika kita bisa meyakinkan mereka bahwa persekutuan dengan kita bisa mendatangkan keuntungan yang lebih pasti, bukan tidak mungkin keduanya akan setuju.”, jawab Rangga.

Ki Bharata yang sejak tadi diam bertanya, “Jika demikian siapa yang akan Raden Rangga utus untuk menemui kedua adipati itu? Siapa kira-kira yang bisa meyakinkan mereka untuk menjalin persekutuan dengan kita?”

Untuk beberapa lama, Rangga terlihat berpikir sesekali dia memandang ke arah salah seorang senapatinya, sesekali melihat ke arah Tumenggung Widyaguna.

Akhirnya dia terlihat menggelengkan kepala dan berkata, “Aku memerlukan Pamanda Tumenggung dan sekalian senapati untuk hal-hal yang berhubungan dengan militer. Apalagi dalam situasi sekarang ini, masalah pertahanan dan telik sandi menjadi penting.”

Ki Bharata dan rekan-rekannya diam-diam saling memandang. Jumlah perwira perang Rangga saat ini memang jauh berkurang. Jangankan para senapati, Tumenggung Widyaguna dan kedua Rakryan pun ikut harus turun langsung memimpin pasukan mereka, apalagi sekarang ketika mereka harus menyiapkan pertahanan mereka menghadapi kemungkinan adanya serangan.

Ki Bharata pun berkata, “Jika Raden Rangga percaya, ijinkan hamba dan rekan-rekan hamba, mencoba sekali lagi.”

Rangga menatap Ki Bharata beberapa saat, seakan sedang menimbang-nimbang bobot orang setengah umur itu, dan berkata, “Ki Suroto dan Ki Badrawi sudah sempat mengunjungi kedua adipati itu, kali ini aku berharap Ki Bharata yang menjadi utusanku.

Bagaimana?”

Ki Bharata mengangguk dalam-dalam, “Sendhika dhawuh raden, jika memang demikian keputusan raden.”

Rangga mengangguk, “Baik, dengan demikian aku putuskan Ki Bharata yang mengemban tugas yang penting ini. Besok pagi-pagi aku harap Ki Bharata sudah mulai berangkat. Sementara Ki Bharata tidak ada di tempat, aku minta Ki Waluyo dan Ki Tanumerta bekerja sama menggantikan tugas-tugas Ki Bharata di tempat ini.”

“Siap raden, sendhika dhawuh.”, ujar ketiga orang yang disebut namanya itu secara serempak.

“Baiklah, pertemuan hari ini aku tutup sampai di sini, silahkan semuanya kembali pada tugasnya masing-masing. Hanya Ki Bharata dan Pamanda Tumenggung aku minta untuk tinggal sejenak, ada beberapa hal yang perlu aku sampaikan.”, ujar Rangga menutup pertemuan mereka.

Orang-orang itu bubar, meninggalkan Rangga, Ki Bharata dan Tumenggung Widyaguna bercakap-cakap. Para prajurit berjaga di sekitar tempat itu, memastikan tidak ada orang yang bisa ikut mendengarkan pertemuan tertutup itu.

------

“Bagaimana menurut pendapatmu?”, tanya Ki Badrawi pada Ki Suroto.

Saat ini kedua orang pedagang itu berada di sebuah rumah kayu yang baru dibangun sebagian. Sedikit terpisah dari bangunan-bangunan lain. Di luar bangunan itu tengah berjaga orang-orang mereka sendiri. Rencananya bangunan itu nantinya akan menjadi pusat usaha mereka berdua, setelah kota Rangga selesai berdiri nanti.

“Suram...”, jawab Ki Suroto lesu, “tapi setidaknya kerugian kita tidak sebesar Ki Bharata, Ki Waluyo dan Ki Tanumerta.”

“Jadi menurutmu, Ki Bharata akan gagal dalam misinya?”, tanya Ki Badrawi.

Ki Suroto terdiam beberapa saat, lalu menggelengkan kepala, “Berat..., berat... aku akui Ki Bharata lebih pandai menarik hati orang dibanding kita berdua, tapi setelah mendengar uraian Ni Sundari, aku kita sudah benar apa yang gadis itu katakan.

Tidak ada alasan kuat bagi Adipati Surobledug dan Adipati Bajing Kuning untuk menjalin persekutuan dengan kita.”

“Menurut pendapatmu sendiri bagaimana?”, Ki Suroto balik bertanya.

“Aku setuju dengan pendapatmu.”, jawab Ki Badrawi cepat.

Sambungnya, “Jika keduanya mengikat persekutuan dengan kita, bisa jadi ketiga adipati yang lain akan menahan diri dan tidak jadi menyerang. Lalu apa untungnya bagi kedua adipati itu? Porsi kue yang sudah terbagi, jadi terbagi makin kecil dengan keberadaan kita.

Jika tetap terjadi peperangan, yang sudah pasti mereka harus mengorbankan angkatan perangnya, padahal menang atau kalah belum tentu.”

Ki Suroto menganguk-angguk setuju, “Ini semua salah Ki Bharata, harusnya kita jangan mendengarkan perkataan-nya. Kalau bukan karena terbawa oleh pujian dia tentang prestasi dan kemampuan Raden Rangga, kita tidak akan meminjamkan sebagian harta kita untuk Raden Rangga dan pasukannya.”

“Jangan terburu-buru berputus asa Ki, bukankah sepanjang pengamatan kita Raden Rangga dan para pengikutnya memang memiliki kemampuan yang mumpuni?”, hibur Ki Badrawi.

“Heh... Jadi menurut Ki Badrawi, mereka masih punya kesempatan untuk berhasil?”, tanya Ki Suroto tersenyum kecut.

“Tentu saja, mereka sudah menunjukkan kemampuan mereka saat membawa seluruh penduduk Kademangan Jati Asih keluar dari Kerajaan Watu Galuh. Selain itu, bukankah Ki Bharata akan berangkat untuk menemui dua orang adipati itu?”, jawab Ki Badrawi dengan senyum terkulum.

Ki Suroto memandangi ekspresi wajah Ki Badrawi, mereka berdua sudah sering bekerja sama selama bertahun-tahun, “Ki Badrawi tentu tidak mengundang aku untuk bercakap-cakap hanya untuk membesarkan hatiku saja kan? Aku yakin Ki Badrawi punya satu rencana tertentu.

Tak perlu menghibur diri dengan kata-kata kosong, Raden Rangga mungkin punya kesempatan untuk menancapkan pengaruhnya di pesisir selatan ini, jika dia berhasil mendapatkan seorang sekutu di antara lima orang adipati yang sudah menguasai wilayah ini.

Tapi sulit membayangkan kita akan berhasil membangun sebuah kota, sementara ada kadipaten-kadipaten yang akan menyerang kita sewaktu-waktu.”

Ki Badrawi tertawa kecil, “Hehe... Ki Suroto memang bermata tajam, sekarang ini kuncinya ada pada Ki Bharata, apakah dia berhasil dalam misinya, atau gagal.”

Ki Suroto mengangguk dengan mata tak lepas mengamati rekannya itu, “Benar.”

“Jadi, untuk sementara, kita tunggu hasil dari perjalanan Ki Bharata.”, ujar Ki Badrawi.

“Lalu?”, tanya Ki Suroto mulai tak sabar.

“Jika Ki Bharata berhasil dalam misinya, maka kita akan tetap pada rencana semula. Bagaimanapun juga, kita sudah meminjamkan harta cukup banyak pada Raden Rangga,”, jawab Ki Badrawi.

“Tapi jika Ki Bharata gagal...?”, tanya Ki Suroto dengan suara rendah, setengah berbisik.

“Kita gunakan posisi kita dalam pasukan Rangga, untuk menjalin hubungan dengan Adipati Surobledug dan Adipati Bajing Kuning.”, jawab Ki Badrawi dengan mata berkilat-kilat.

Wajah Ki Suroto terlihat menegang, “Kau yakin?”

“Hemm... kau takut? Kali ini kita mempertaruhkan sebagian harta kita untuk membiayai Raden Rangga, apa tujuannya? Bukankah untuk memperluas usaha kita masuk ke pesisir Selatan? Ki Bharata dan yang lain lupa pada tujuan utama kita, aku tidak.”, jawab Ki Badrawi dengan penuh keyakinan.

“Apa tidak berbahaya?”, desis Ki Suroto.

“Bagaimana bisa meraih kesuksesan tanpa mengambil resiko? Sudah terlalu besar yang aku pertaruhkan untuk memperluas usahaku di pesisir Selatan ini..., aku tak rela kalau sampai gagal.”, geram Ki Badrawi.

“Bagaimana? Kau tertarik untuk bekerja sama?”, tanya Ki Badrawi.

Ki Suroto terdiam beberapa lama, tak langsung menjawab.

“Baiklah, katakan apa rencanamu.”, ujar Ki Suroto setelah berpikir cukup lama.

Wajah Ki Badrawi terlihat cerah, mendengar jawaban Ki Suroto, “Hahaha.... aku tahu aku bisa mengandalkanmu.”

Diam-diam, tanpa setahu kedua orang itu, di atap rumah itu, tersembunyi dalam gelapnya malam, sesosok laki-laki, diam mendekam dan menguping pembicaraan mereka.

Bersambung ke Bab LXI
Diubah oleh lonelylontong 11-01-2021 01:59
itkgid
widi0407
piripiripuru
piripiripuru dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup