lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)


Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II



Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.3K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#293
Bab LIX
Ni Sundari


“Ki Suroto, Ki Badrawi, bagaimana hasil perjalanan kalian?”, kata Rangga sambil mempersilahkan mereka berdua untuk bergabung dengan gerakan tangannya.

Kedua orang setengah baya itu menjatuhkan diri di atas tanah yang dialasi kain seadanya sambil menghela nafas panjang.

“Silahkan Ki Suroto saja yang menyampaikan.”, ujar Ki Badrawi dengan ekspresi wajah lelah.

Ki Suroto melirik ke arah Ki Badrawi, tersenyum kecut dan menggelengkan kepala. Diawali dengan desahan nafas panjang dia memulai laporannya.

“Maafkan kami berdua raden, kami berdua gagal mengemban tugas dari raden untuk mengikat tali persahabatan dengan adipati-adipati di pesisir selatan ini.”, ucapnya lelah.

Rangga mendengarkan laporan kegagalan kedua orang itu dengan tenang, tanyanya, “Tidak ada satupun dari kelima adipati yang bersedia menerima uluran tangan kita?”

Ki Suroto dan Ki Badrawi menggelengkan kepala.

“Coba ceritakan dengan lebih detail.”, ujar Rangga tak terusik dengan kegagalan mereka itu.

“Baik raden.”, jawab Ki Suroto, sebelum kemudian menceritakan perjalanan mereka selama kurang lebih satu bulan itu, dari satu kadipaten ke kadipaten berikutnya.

Saat ini di daerah pesisir selatan, di sekitaran Alas Ankara Naga Loka, dikuasai oleh lima kadipaten. Tiga kadipaten berada langsung di sepanjang pantai laut selatan dan memiliki pelabuhan, sementara dua kadipaten lain, seperti sebuah gerbang terdapat di sisi timur dan barat, menjadi penghubung antara daerah pelabuhan dengan jalur darat menuju ke wilayah lain di Bhumi Adyatma.

Saat mereka baru sampai di tempat tujuan mereka, dengan alasan akan keadaan mereka yang masih sangat lemah di tempat yang baru itu, Raden Rangga menyatakan di depan para pengikutnya, keinginannya untuk mengirim utusan ke lima kadipaten tersebut.

Merasa kalah satu langkah dari ketiga rekannya yang lain, Ki Suroto dan Ki Badrawi yang ingin memperkuat kedudukan mereka dalam pemerintahan Rangga. Ketika mendengar Rangga ingin mengirimkan utusanm bergegas mereka mengajukan diri untuk menjadi utusannya menemui para adipati di pesisir Selatan tersebut.

Rangga dengan senang hati memberi kedua orang itu kesempatan.

Kedua orang pedagang itu pun berangkat dengan penuh semangat, sebagai pedagang besar, salah satu kemampuan yang dibutuhkan adalah diplomasi, utamanya dengan penguasa setempat untuk memuluskan usaha dagang mereka.

Namun keduanya mengalami kekecewaan, meskipun kelima orang adipati itu menerima mereka, tapi tidak sebagai utusan Rangga.

Meski tidak semua adipati bereaksi keras terhadap kehadiran Rangga di pesisir Selatan, tapi dari kelima adipati tak seorang pun yang bersedia menerima uluran persahabatan Rangga.

“Demikian raden, meskipun Adipati Surobledug dan Adipati Bajing Kuning bersikap ramah sepanjang pertemuan, tapi sampai akhir pertemuan pun kami tak berhasil mendapatkan janji, ataupun kesediaan mereka untuk menyambut uluran tangan kita.”, ujar Ki Suroto dengan wajah sedih.

Ki Badrawi menambahkan dengan suara kesal, “Ketiga adipati yang lain, bahkan sikapnya lebih tidak mengenakkan. Dengan jelas-jelas mereka menyatakan bahwa mereka tidak menerima keberadaan raden di wilayah pesisir Selatan ini.”

“Hmm... tepatnya apa yang mereka katakan?”, tanya Rangga dengan tenang.

Ki Suroto dan Ki Badrawi saling pandang, terlihat ragu untuk menjawab.

Rangga menghela nafas, “Baiklah, tidak usah kalian sampaikan, kata-kata mereka secara persisnya bagaimana. Jadi intinya mereka menolak keberadaan kita di sini?”

“Benar raden.”, jawab Ki Suroto dan Ki Badrawi hampir bersamaan, terlihat lega karena Rangga tidak mendesak lebih lanjut.

“Apakah mereka mengancam akan menyerang kita?”, tanya Rangga lebih lanjut.

Ki Suroto menjawab dengan alis berkerut, “Adipati Sembiring tidak mengeluarkan ancaman, hanya menekankan dengan keras, bahwa tidak ada tempat bagi raden di pesisir selatan ini.”

“Adipati Bulak Lawu dan Adipati Aji Segara dengan terang-terangan mengatakan, bila raden tetap meneruskan pekerjaan raden membangun benteng di tempat ini, mereka tidak segan-segan untuk mengirimkan pasukannya untuk memorak-morandakan semua yang ada di sini.”, sambung Ki Badrawi.

Senapati Aryasuta mendengus marah, “Hmph! Tak sabar aku ingin berhadapan dengan mereka.”

Senapati Hanggamurti yang pembawaannya kalem, tidak ikut berucap, tapi matanya berkilat tajam. Untuk sejenak lamanya suasana menjadi tenang, mereka semua menunggu tanggapan dari Rangga yang masih diam berpikir.

“Jika hanya satu atau dua kadipaten, aku percaya Kakang Aryasuta dan para senapati sekalian tidak akan kesulitan untuk menahan serangan mereka. Yang kukhawatirkan apabila kelima orang adipati ini bekerja sama.”, setelah cukup lama terdiam, Rangga mulai mengungkapkan isi pikirannya.

“Akan tetapi, kalaupun hanya satu kadipaten yang menyerang, artinya pekerjaan kita membangun benteng dan kota ini akan terganggu.”, lanjutnya sebelum kembali terdiam dan merenung.

Tumenggung Widyaguna dan para senapati dengan tenang diam menunggu. Jika mereka yang sudah mengikuti Rangga sejak lama saja tidak berani mengganggu, apalagi Ki Bharata dan rekan-rekannya yang baru saja bergabung.

Sesekali Rangga menggelengkan kepala, lalu kembali diam berpikir. Setelah cukup lama terdiam berpikir sendiri, Rangga mengangkat wajahnya dan melihat berkeliling.

“Hehe, menurut kalian mengapa dua adipati bersikap lebih baik dari tiga adipati yang lain? Ada yang ingin menjelaskan?” Tanya Rangga dengan senyum simpul di wajah.

Senapati Aryasuta sempat membuka mulut hendak menjawab, tetapi dari sudut matanya dia melihat Tumenggung Widyaguna menggeleng perlahan ke arah dirinya. Senapati Aryasuta pun menahan diri dan melihat berkeliling.

Meskipun wataknya tak sabaran, tapi otak Aryasuta cukup encer, 'Ah... Raden Rangga ingin menguji Ki Bharata dan rekan-rekannya.”

Meski mereka tahu bahwa ini kesempatan untuk meningkatkan penilaian Raden Rangga, Ki Bharata dan ke-empat orang pedagang itu tidak ada yang berani buru-buru menjawab. Ketika Ki Waluyo dan yang lain masih berpikir, Ki Bharata justru melirik dan mengedip ke arah puterinya yang duduk sedikit di belakang dirinya.

Mata Rangga yang tajam sudah tentu melihat gerakan Ki Bharata dan perhatiannya pun beralih pada anak gadis Ki Bharata tersebut.

Meski awalnya terlihat sedikit ragu, tapi dengan cepat keraguan Sundari itu berlalu, gadis itu dengan suara yang lembut namun jelas berkata, “Menurut pendapat hamba raden, kedua adipati tersebut berharap keberadaan kita di pesisir selatan ini, bisa menggoncang keadaan di pesisir Selatan yang saat ini sudah stabil.”

“Adipati Sembiring menguasai kota pelabuhan terbesar di Selatan, sementara kedua adipati yang lain menguasai sisi Barat dan Timur, ketiganya, bersama-sama saling menopang menjadi penguasa di pesisir Selatan ini.

Adipati Surobledug dan Adipati Bajing Kuning, masing-masing menguasai dua kota pelabuhan lain, tapi keduanya jauh kalah besar dibandingkan kota pelabuhan di bawah Adipati Sembiring. Sekedar cukup untuk mempertahankan wilayah mereka sendiri, tapi tidak cukup besar untuk mengembangkan kekuasaan mereka lebih besar.

Bagi kedua orang adipati itu, kedatangan kita adalah kesempatan yang mereka butuhkan. Sementara bagi ketiga orang adipati yang lain, keberadaan kita adalah bibit-bibit ancaman di masa depan.”, Ni Sundari tidak terlihat canggung berbicara di depan tokoh-tokoh itu, dengan lancar tanpa ragu dia menjelaskan.

Rangga mendengarkan penjelasan Sundari dengan penuh perhatian, pandangan matanya melekat pada tiap gerak-gerik dan ekspresi gadis itu.

“Tapi kenapa mereka menolak uluran tangan kita? Mengapa tidak bersama-sama, menyatukan kekuatan dengan kita untuk menguasai pesisir selatan?”, Ki Badrawi bertanya dengan nada kesal.

Apa yang diutarakan Ni Sundari, bukannya tak terpikirkan oleh dia dan Ki Suroto. Mereka tidak menaruh banyak harapan pada tiga orang adipati yang sudah mapan kekuasaannya di pesisir Selatan, tapi terhadap dua adipati yang lain mereka menaruh harapan besar akan berhasil menunaikan misi dan mengikat persekutuan.

Perlakuan kedua orang adipati yang hangat, tapi hanya berupa basa-basi tidak bersedia memberikan satu kepastian, jauh lebih mengecewakan mereka daripada perlakuan tiga orang adipati yang kasar, merendahkan dan bermusuhan.

Mendengar pertanyaan Ki Badrawi, Ni Sundari tersenyum lembut, sepasang dekik muncul di pipinya. Sekilas matanya menangkap tatapan mata Rangga yang memandangi dirinya penuh perhatian. Seulas rona merah menjalar di wajahnya, membuat Rangga mengulum senyum.

Ni Sundari berdehem kecil, menenangkan jantungnya yag berdetak lebih kencang dari biasanya dan mengalihkan perhatiannya untuk menjawab pertanyaan Ki Badrawi, “Karena mereka berharap bisa mengail ikan di air yang keruh.

Mengapa harus ikut terlibat dalam peperangan yang akan memperlemah angkatan perang mereka? Bukankah lebih baik menyimpan kekuatan, sambil menonton ketiga adipati yang lain bertempur dengan kita, lalu baru bergerak ketika yang lain sudah menguras kekuatannya masing-masing?”

Ki Badrawi dan Ki Suroto terdiam.

Ni Sundari menjelaskan lebih lanjut, “Lagipula, jika mereka mengikat perjanjian dengan kita, maka kekuatan di pesisir Selatan akan menjadi kurang lebih cukup berimbang. Jika demikian, akankah tiga orang adipati yang lain berani bergerak untuk menyerang kita? Sebelum keberadaan kita di sini pun, ketiga adipati yang lain tidak berani menyerang dua kadipaten itu, apalagi jika kekuatan mereka bertambah dengan kekuatan kita.

Kedua adipati itu justru berharap keadaan menjadi tidak stabil dan di situ mereka berusaha mengambil keuntungan. Mengikat persekutuan akan menguntungkan kita, tapi tidak menguntungkan bagi mereka berdua.”

Penjelasan Ni Sundari membuat wajah beberapa orang yang hadir di situ jadi sedikit muram. Sebagai pihak yang paling lemah di wilayah ini, akankah mereka menjadi tumbal bagi kedua adipati yang sedang menunggu kesempatan itu?

Bersambung ke Bab LX
Diubah oleh lonelylontong 27-12-2020 19:51
itkgid
widi0407
piripiripuru
piripiripuru dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup