lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)


Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrekitu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II



Diubah oleh lonelylontong 16-07-2020 04:37
widi0407
danjau
ciptoroso
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
53.3K
902
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
#282
Bab LVII
Yang Dinanti-Nanti (part-2)


Ki Bharata berkata lambat-lambat dengan alis berkerut, “Menurut apa yang Raden Rangga sampaikan, tujuan akhir Raden Rangga adalah menyatukan seluruh Bhumi Adyatma. Dimulai dengan menyatukan wilayah pesisir selatan, kemudian menguasai Alas Ankara Naga Loka.”

“Baiklah saya berterus terang pada Raden Rangga, sebelum raden menjelaskan rencana raden, kami seudah menduga, bahwa raden akan menancapkan kekuasaan raden di pesisir selatan, dengan demikian membuka jalur perdagangan yang baru. Bagi kami yang usahanya semakin berkembang, tapi sudah tak bisa bersaing di barat dan utara, raden membawa angin segar dan kesempatan.”, ujar Ki Bharata tanpa tedeng aling-aling.

“Karena itu kami siap mendukung Raden Rangga semaksimal mungkin, tentu dengan harapan bahwa seperti di utara ada kantor dagang milik pedagang-pedagang dari kekaisaran Khan dan di barat ada kantor dagang milik pedagang-pedagang dari benua jauh di barat dunia. Di selatan kami bisa menguasai sebagian besar dari hak berdagang yang dikeluarkan oleh Kerajaan Raden Rangga.”, Ki Bharata sekilas mengamati raut wajah Rangga.

Rangga Wijaya mengangguk dan berkata, “Lanjutkan, apa yang Ki Bharata uraikan sampai saat ini bisa aku pahami, dan keinginan Ki Bharata dan rekan-rekan Ki Bharata sejauh ini tidak berlebihan.”

Ki Bharata balas menganggukkan kepala, “Kami berharap Raden memberikan keringanan pajak bagi kami di wilayah kekuasaan raden, karena dalam bayangan kami kekuasaan raden hanya terbatas pada pintu masuk perdagangan di pesisir selatan.”

“Lalu sekarang?”, tanya Rangga Wijaya.

“Jika boleh saya bertanya, selama masa pemerintahannya, ayahanda Raden Rangga belum pernah berhasil menaklukkan Alas Ankara Naga Loka, pamanda Raden Rangga juga tidak pernah berhasil menginjakkan kakinya di tengah Alas Ankara Naga Loka, lalu apa yang membuat Raden Rangga memiliki keyakinan bahwa raden akan berhasil menaklukkan Alas Ankara Naga Loka?”, tanya Ki Bharata dengan jantung berdebar-debar.

“Baik ayahanda prabu, maupun pamanda prabu, mereka berdua belum sekalipun memiliki kesempatan untuk mencoba menaklukkan Alas Ankara Naga Loka, mereka disibukkan dengan mengamankan memperkuat kedudukan Kerajaan. Ayahanda prabu dengan jalan membangun persekutuan dengan penguasa-penguasa di sekeliling Kerajaan Watu Galuh, sementara pamanda prabu melanjutkan upaya ayahanda, dengan kekuatan militernya.”, Rangga tidak terlihat gusar oleh pertanyaan Ki Bharata dan dengan sabar menjawab.

“Lalu... kalau raden?”, Ki Bharata bertanya.

Raden Rangga tersenyum, “Aku bahkan punya keyakinan bisa membawa ketertiban dan hukum ke seluruh penjuru Bhumi Adyatma.”

“Caranya..”, tanya Ki Bharata sedikit terbata.

Raden Rangga hanya tertawa, “Maafkan aku kalau tidak bisa menjelaskan. Apakah aku hanya menyombong dan mengeluarkan kata-kata kosong atau tidak, Ki Bharata yang harus memutuskan.”

Ki Bharata dan ke-empat rekannya yang lain pun terdiam, mendapat jawaban dari Rangga tersebut.

Rangga kemudian menyambung, “Aku bisa memahami keraguan kalian, belum pernah ada yang berhasil menyatukan seluruh Bhumi Adyatma ke bawah satu kekuasaan, apalagi jika kalian melihat keadaan kami saat ini, karena itu aku akan memberikan dua pilihan kerja sama.”

Ki Bharata dan ke-empat rekannya saling berpandangan. Sebagai pedagang yang telah bertahun-tahun bekerja sama, tanpa banyak kata mereka bisa memahami pikiran mereka masing-masing. Satu per satu ke empat rekan Ki Bharata itu menganggukkan kepala.

Mendapatkan persetujuan dari ke-empat rekannya, Ki Bharata pun menjawab Rangga, “Jika raden tidak keberatan, silahkan raden jelaskan kedua pilihan itu Den. Kami yakin dengan kemampuan Raden Rangga dan sungguh-sungguh berharap bisa bekerja sama.”

“Baik kalau begitu.”, ujar Rangga singkat.

“Pilihan pertama, kalian memberi kami pinjaman sampai kami bisa berdiri mandiri dan menguasai pesisir selatan. Setiap jumlah pinjaman akan dicatat dan akan dikembalikan dalam bentuk ijin dagang dan potongan pajak, sampai mencapai tiga kali lipat dari total pinjaman yang kalian berikan pada kami. Setelah itu, tidak ada kewajiban apa pun antara kami dan kalian.”, Rangga menjelaskan pilihan pertama.

Ki Tanumerta, Ki Waluyo, Ki Suroto dan Ki Badrawi saling berpandangan, pilihan pertama ini tak jauh berbeda dengan yang mereka harapkan saat mereka usai bercakap-cakap meminta pertimbangan Ki Bharata dan kemudian memutuskan untuk bersama-sama menyusul rombongan dari Kademangan Jati Asih ini.

“Kalian tidak tertarik dengan pilihan pertama ini?”, tanya Rangga dengan senyum tersungging di wajahnya.

Ki Bharata membalas dengan senyum pula di wajahnya, “Saya pikir, kami semua tertarik untuk mendengar pilihan kedua sebelum memutuskan.”

Rangga mengangguk, “Baiklah kalau begitu, pilihan kedua...”

Sejenak lamanya dia biarkan suasana menjadi tenang, lalu berkata dengan lambat-lambat, “Pilihan kedua, sepenuhnya mengikatkan diri dan menjadi bagian dari kami. Tidak ada kami atau kalian, tapi kita. Bersama-sama kita akan memperjuangkan berdirinya sebuah kerajaan yang kekuasaannya akan mencapai seluruh sudut Bhumi Adyatma.”

Ketika Rangga berhenti, tak ada yang berani menyela.

“Sebagai imbalannya, siapa pun dari kalian yang memilih pilihan kedua ini, akan bersama-sama menyandang kekuasaan terbesar kedua setelah aku dalam hal perdagangan dan keuangan. Jabatan dan keistimewaan ini akan berlangsung turun temurun. Jika satu orang yang memilih pilihan kedua ini, maka dia menjadi satu-satunya pemegang kekuasaan dan keistimewan tersebut. Jika lebih dari satu orang, maka mereka akan bersama-sama, menjadi satu dewan yang memegang kekuasaan dan keistimewan tersebut.”, Rangga melanjutkan, Ki Bharata dan ke-empat rekannya sekilas saling berpandangan.

Tawaran Rangga ini sangat menggiurkan, pedagang tetaplah pedagang, sekaya apa pun dia, sebanyak apa pun tukang pukul dan pengawal yang bekerja untuk mereka. Pedagang adalah kasta di bawah kasta pandhita, bangsawan dan ksatria. Rangga menawarkan posisi yang menjanjikan kehormatan, kekuasaan dan kekayaan. Bukan hanya bagi mereka, tapi juga pada anak cucu mereka. Sepanjang kerajaan yang didirikan Rangga tidak runtuh, sepanjang itu posisi anak keturunan mereka terjamin.

Otak mereka berputar dengan cepat, tidak ada salahnya jika seorang dari mereka memilih pilihan kedua, sementara yang lain memilih pilihan pertama. Mereka sudah bekerja sama bertahun-tahun lamanya, tanpa banyak kata mereka bisa menduga-duga apa yang dipikirkan oleh rekan yang lain.

Menurut pemikiran Ki Bharata, Rangga memiliki kesempatan yang cukup besar untuk berhasil menguasai pesisir selatan. Sebaliknya berhasil atau tidaknya Rangga dalam langkah berikutnya untuk menguasai seluruh Bhumi Adyatma, adalah sebuah pertaruhan.

Jika dia berhasil, mereka akan menang besar. Jika dia kalah, maka mereka perlu mengambil langkah-langkah untuk mengurangi kerugian mereka seminim mungkin.

Rencanapun terbentuk dalam benak mereka.

Pilihan pertama adalah keuntungan yang pasti, masalahnya ada pada batas waktu yang terbatas. Sebagai pedagang mengapa mereka harus melepaskan kedudukan yang menguntungkan jika mereka bisa mempertahankannya?

Harus ada, setidaknya satu orang yang mengambil pilihan kedua. Sementara yang lain memilih pilihan pertama, untuk meminimalkan kerugian yang akan mereka alami saat Rangga gagal menyatukan Bhumi Adyatma, atau lebih buruk lagi menjadi pihak yang kalah dalam perebutan kekuasaan antar kerajaan.

Orang yang memilih pilihan kedua, akan membantu rekan-rekannya yang memilih pilihan pertama, untuk terus mendapatkan keistimewaan dalam berdagang di wilayah pesisir selatan, setelah perjanjian mereka dengan Rangga habis masa berlakunya.

Sementara mereka yang memilih pilihan pertama, bisa membantu rekan yang mengambil pilihan kedua, saat Rangga mengalami kejatuhan.

Rangga diam saja, membiarkan kelima orang tamunya saling pandang dengan otak bekerja, menimbang-nimbang pilihan yang harus mereka ambil.

Namun sesaat kemudian, ketika lima orang pedagang itu masih sibuk dengan rencana mereka, dia menambahkan, “Satu hal yang perlu kalian ingat, siapapun yang memilih pilihan kedua, artinya menjadi bagian dari kami, menjadi salah satu dari mereka yang bersumpah setia kepadaku. Setiap tindakannya yang menunjukkan adanya niat untuk melarikan diri atau merugikan perjuangan kita, demi keuntungan orang lain atau keselamatannya sendiri, adalah sebuah pengkhianatan.”

Seketika itu juga fantasi mereka berlima terhenti untuk sejenak.

“Dan bagi pengkhianat, hukumannya adalah mati.”, ujar Rangga dengan lambat-lambat, sepatah kata demi sepatah kata.

Lima orang pedagang itu pun diam-diam terguncang isi dadanya, pikiran mereka yang tadinya panas dan penuh dengan hitungan uang dan keuntungan, seperti diguyur air dingin.

Sesaat kemudian pandangan mata kelima orang pedagang itu pun menangkap sorot mata tajam yang terpancar dari sosok-sosok di belakang Rangga, para senapati yang mengiringi dia.

Sambil tersenyum dingin, Senapati Kalapati berkata, “Tumpas semua, sampai seluruh anak cucunya.”

Membuat dada kelima orang pedagang itu seperti dipukul batu besar.

Rangga kemudian menambahkan dengan serius, “Ksatria, memiliki keistimewaan perlakuan sebagai ksatria. Namun hal itu tentunya bersama dengan kewajiban dan nilai-nilai seorang ksatria.”

“Aku tidak mencari seorang pengikut yang hanya pandai menghitung keuntungan. Dalam sebuah jalan terjal perjuangan, akan ada masa-masa di mana di depan sana hanya ada kegelapan dan ketidak pastian. Ancaman yang lebih mengerikan dari sekedar kematian.”, ujar Rangga dengan sorot mata tajam, menatap satu per satu lima orang pedagang itu.

“Aku mencari orang yang memiliki pandangan mata jauh ke depan, memiliki cita-cita yang jauh ke depan, melampaui usianya sendiri. Memiliki impian yang luas, lebih luas dari sekedar dirinya dan keluarganya. Jika di antara kalian ada yang bisa memahami dan menjalani ini, aku berharap orang tersebut menaruh kepercayaan kepadaku dan memilih pilihan kedua.”, demikian Rangga berkata panjang lebar, sebelum akhirnya diam.

Lama lima orang pedagang itu menundukkan kepala, tak berani memberikan jawaban.

Rangga menghela nafas dalam-dalam, kemudian dengan nada sedikit kecewa dia berkata, “Jika kalian kesulitan memilih, baiklah kalian ambil pilihan pertama.”

Bangkit berdiri, Rangga menengok ke arah barisan panjang yang semakin lama semakin jauh, kemudian menengok kembali ke arah lima orang pedagang yang masih tertunduk itu dan berkata “Silahkan kalian pikirkan baik-baik, kami harus segera melanjutkan perjalanan.”

Tanpa menunggu jawaban, Rangga pun melangkah pergi, diikuti oleh senapati-senapati yang mengiringi dia. Sekilas terlihat raut kekecewaan di wajah Rangga, sementara para senapati tak bisa menyembunyikan pandangan mereka yang tampak merendahkan keragu-raguan lima orang pedagang itu.

Ki Bharata tercenung mengamati rumput dan bebatuan di dekat kakinya.

Tiba-tiba dia teringat sebuah nyanyian, atau semacam doa atau keluhan? Atau ratapan?

Umur manusia tak ubahnya embun pagi di antara detak-detak jaman.

Kemuliaannya tak melebihi keindahan rumput liar di bawah tatapan langit.


Seakan-akan ada sesuatu yang memberontak dalam hatinya, mengejang, menggeliat liar dan menuntut pembebasan.

Tanpa bertanya ataupun memberi aba-aba pada ke-empat rekannya yang lain, Ki Bharata melompat berdiri dan berlari mengejar Rangga dan para senapati.

“Raden Rangga! Tunggu sebentar!”, seru Ki Bharata.
Diubah oleh lonelylontong 14-12-2020 05:35
itkgid
widi0407
piripiripuru
piripiripuru dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup