- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Son of the Rich (Reborn)
TS
kawan.betina
Son of the Rich (Reborn)
Quote:
Lembaran pertama - Kota Malang
Bokap gua kerja di salah satu perusahaan asing penambang emas di pulau sumbawa sedangkan nyokap mempunyai beberapa butik dan bisnis makanan yang cukup besar di kota kelahiran gua. dan Perkenalkan nama Gua adrian, anak semata wayang dua sejoli yang bertemu saat bermitra bisnis 25 tahun yang lalu. Gua lahir ke dunia dengan sebuah pengharapan yang besar. Karena untuk mendapatkan Gua, orang tua gua harus menunggu lebih dari 5 tahun.
Hidup serba ada bahkan terlalu berlebihan, pakaian serba bermerk gadget yang selalu menemani gua setiap saat dan mobil yang selalu menemani gw kemana aja, semua itu cukup membutakan gua seperti apa arti dari sebuah perjuangan hidup. Jujur, guaga pernah merasakan rasanya mengumpulkan uang sendiri bahkan hanya untuk membeli sepeda yang gua pengen. ketika mata ini melihat sebuah benda menarik, maka nyokap gua akan bilang, "Adrian Mau?" dan sorenya barang itu sudah ada di rumah. Gua paham nyokap ingin sekali membuat gua bahagia tapi kadang gua merasa ga bisa menikmati hidup ini dengan baik. Dengan Uang mungkin kita bisa bahagia, tapi kita tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang.
Super Duper Over Protektif
itulah hal yang bisa gua simpulkan tentang keluarga gua. Walau Gua hanya bertemu mereka saat weekend saja tapi kalau sudah menyangkut tentang masa depan gua, mereka akan melupakan semuanya dan menitik beratkan fokusnya ke gua.
Gua bukan orang yang bodoh, gua selalu mendapat peringkat 1 dari Sekolah dasar hingga sekarang, tentu kecerdasan gua turun dari bokap dan nyokap. Mereka adalah dua sejoli yang sangat ideal, mereka sama sama pintar dan mereka adalah 2 manusia yang diberikan paras yang cantik dan tampan oleh tuhan , alhasil semua kelebihan itu menurun ke gua.
Untuk urusan masuk sekolah, Orang tua gua selalu sangat hati hati. Saking hati hatinya, Gua bahkan sudah diterima di sekolah menengah atas sebelum gua menjalankan tes masuk. Apalagi lagi kalo bukan karena bokap gua menghubungi kepala sekolah yang merupakan teman lamanya, padahal gua sangat yakin, gua tetep bisa masuk tanpa bantuan mereka. Waktu itu gua marah besar tapi orang tua tetaplah orang tua, mereka selalu ingin anaknya bahagia apapun caranya.
Ketika para siswa sibuk mencari PTN dengan mengikuti berbagai macam Bimbingan Belajar, gua dengan begitu Mudah mendapat tiket masuk disalah satu PTN terbaik di indonesia, tentu sudah bisa ditebak , semua ini karena bokap gua. Untuk kali ini gua memutuskan untuk berontak, tak ingin lagi rasanya gua mengunakan kekuatan orang tua gua buat ngelakuain semuanya.
Hanya berbekal baju yang gua masukin ke Tas Ransel, serta Dompet yang berisi hanya beberapa uang lima puluh ribuan dan ATM yang entah berapa isinya dan ijazah SMA. Gua menuju terminal Bus, mencari loket tiket yang berangkat hari itu juga, Gua memutuskan naik Bus karena Beberapa orang di bandara mengenal Gua. Satu persatu Loket tiket gua datangi, mancari bus-bus yang bisa segera berangkat, menuju Jogja, solo surabaya, bandung, atau entahlah, yang penting gua harus segera pergi dari pulau yang gua diami 17 tahun terakhir, Lombok.
Hanya Tiket Mataram~malang yang ada untuk keberangkatan 1 jam lagi, yang akhirnya diputuskan mungkin gua harus pergi ke malang, 1 jam lagi bus tiba, dan ini pertama kalinya gua harus jauh dari kedua orang tua gua.
NEXT
Sekitar Pukul 4 pagi, bus sudah tiba di sebuah terminal kota malang, ada nuansa berbeda yang gua rasakan di sini. Hawa yang lebih dingin dan tentu perasaan gua yang ga menentu akibat ulah gua ini. Mungkin bokap nyokap gua lagi panik di rumah, ada sedikit rasa bersalah dalem diri gua tapi semoga surat yang gua tulis bisa membuat nyokap gua agak lega.
Ponsel gw sempat berbunyi saat gua menyebrang dari bali ke banyuwangi. Mungkin 10 kali atau 20 kali atau mungkin lebih, dan semua adalah misscall dari nyokap gua. Tanpa pikir panjang ponesl itu gua buang ke laut, beberapa saat kemudian gua sedikit menyesal, kenapa harus gua buang, kenapa ga gua kasih ke orang agar lebih bermanfaat, mungkin ini hasil dari didikan manja orang tua gua, semua jadi serba mudah.
Uang di dompet gua udah kosong melompong untuk membeli tiket dan beli makanan di jalan. Gua mencoba mengelilingi Terminal arjosari untuk mencari ATM di deket sana. Hampir 10 menit gua lalu lalang lalu akhirnya gua bisa bernafas lega, ternyata ATM tidak terlalu jauh dari tempat gua turun tadi. Setelah mengambil beberapa juta dari mesin ATM setelah menarik uang sebanyak 2 kali, Gua mengambil kertas struk yang sudah gua buang ke tempat sampah tadi. Saat gua mengecek nominalnya sebuah angka 1 dan ada 8 digit angka mengikutinya dibelakang, waw... sebanyak inikah uang yang dikirimkan bokap Gua selama ini, setahuku ATM ini diberikan saat ujian nasional kemarin, gua meminta uang hanya buat perpisahan dengan teman teman kelas gw. "Pa ini terlalu banyak".....
Gua masih berdiri di depan ATM. Gua sedang berfikir untuk segera mencari kendaraan untuk menuju kampus-kampus yang ada di kota ini, yang pertama terfikirkan adalah taxi tapi beberapa saat kemudian gua menghapus jauh jauh fikiran itu, gua harus hidup sederhana dan pilihan gua jatuh ke angkot. Mungkin karena gua terlalu fokus menyusun rencana , gua ga sadar bahwa ada seseorang di dekat gua, dari perawakannya dia masih seusia gua, dan dia seorang cewek.
"Mahasiswa baru juga?"
Gua celingak celingkuk mencari siapa yang diajak ngobrol cewek ini.
"Gua bukan indigo yang ngomong sendiri, gua ngomong sama elo" tanya cewek itu sedikit tersenyum melihat kebingungan gua.
"Oh Maaf, maaf. gak kok, eh ya."
Gadis itu lalu tertawa kecil melihat kebingungan gua. Ia sepertinya sudah berdiri di depan ATM sejak gua datang tadi. mungkin dia sedang bosan menunggu.
"Ya atau ga?" pancingnya.
"Gak, gua baru mau tes" jawab gua jujur, walau gak tahu harus tes dimana.
"Oalah, mau ikut tes mandiri toh"
"Mungkin begitu"
"Mungkin?" cewek itu mengerutkan dahu lalu dia tersenyum lebar melihat gua.
"Elu lucu ya, kok kayak linglung gitu" sambungnya.
"Makasih" jawab gua ragu.
"Itu bukan pujian loh"
"Oh maaf" jawabku ragu.
"Hahaha, Bercanda kok,emang elo mau kemana?"
"Kampus" jawabku ragu.
"Kampus apa? kan di sini ada puluhan kampus"
"Yang ada di malang"
"kan memang kita kan lagi dimalang"
"Yang deket deket aja mungkin" jawabku ragu. bodohnya aku gak cari referensi sebelum datang ke sini"
"hahaha... deket dari mana, kamu lucu ya"
"Gua harus bilang makasih atau maaf nih?" takut itu malah hinaan.
"Apa aja deh, kenalin nama gua Friska. Gua mahasiswa baru di Universitas Wijaya" dia mengulurkan tangannya untuk menjabat.
"Gua Adrian.. mmm mantan anak SMA " Jawab gua seraya menjabat tangannya.
"hahaha... ada ada sih aja elo"
"elo ngambil apa di Wijaya?"
"Gua?, Biologi"
"Biologi? mmm belajar biologi seru?" tanyaku penasaran.
"Kalo Gua sih suka, emang elo minatnya apa?"
"Yang bisa ngebuat hidup ini lebih seru dan asik" jawabku jujur. Selama ini hal yang gua idam idamkan.
"hahaha diplomatis bin ngawur jawaban elo" jawab friska.
"Bukan diplomatis, lebih tepatnya Gua bingung aja"
"Bingung? Bingung kenapa?"
TIIIINNN TIIINNNN
Suara klakson motor membuyarkan obrolan kami, seorang cewek berhenti di depan kami berdua.
"Frish udah lama?" tanya cewek yang baru datang itu.
"Udah kering neh gigi gua nunggu elo" jawab friska.
"Maaf maaf, tadi agak macet maklum weekend"
"Gua maafin asal lo traktir gua es cream" goda Friska.
"Ih maruk sekali, udah minta di jemput, sekarang minta di traktir. Nunggunya sama cowok ganteng lagi"
"Eh dasar mulut elo nyablak bener seh, oh iya adrian gw duluan ya, sukses buat Tesnya, ayok bela, tarik"
"Tarik tarik, emang gw angkot"..
"Becanda bela"
"Bener neh gua ga dikenalain nih?"
"Eh elo apa apan sih, malu maluin aja, ayo berangkat"
"Duluan ya ganteng" kata cewek yang dipanggil bela oleh Friska tadi.
Mareka akhirnya melaju memecah kota malang.
Friska, orang pertama yang gua kenal di kota ini.
Oke, Gua udah mutusin buat ikut tes mandiri Universitas Wijaya, jurusan Biologi.
Bokap gua kerja di salah satu perusahaan asing penambang emas di pulau sumbawa sedangkan nyokap mempunyai beberapa butik dan bisnis makanan yang cukup besar di kota kelahiran gua. dan Perkenalkan nama Gua adrian, anak semata wayang dua sejoli yang bertemu saat bermitra bisnis 25 tahun yang lalu. Gua lahir ke dunia dengan sebuah pengharapan yang besar. Karena untuk mendapatkan Gua, orang tua gua harus menunggu lebih dari 5 tahun.
Hidup serba ada bahkan terlalu berlebihan, pakaian serba bermerk gadget yang selalu menemani gua setiap saat dan mobil yang selalu menemani gw kemana aja, semua itu cukup membutakan gua seperti apa arti dari sebuah perjuangan hidup. Jujur, guaga pernah merasakan rasanya mengumpulkan uang sendiri bahkan hanya untuk membeli sepeda yang gua pengen. ketika mata ini melihat sebuah benda menarik, maka nyokap gua akan bilang, "Adrian Mau?" dan sorenya barang itu sudah ada di rumah. Gua paham nyokap ingin sekali membuat gua bahagia tapi kadang gua merasa ga bisa menikmati hidup ini dengan baik. Dengan Uang mungkin kita bisa bahagia, tapi kita tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang.
Super Duper Over Protektif
itulah hal yang bisa gua simpulkan tentang keluarga gua. Walau Gua hanya bertemu mereka saat weekend saja tapi kalau sudah menyangkut tentang masa depan gua, mereka akan melupakan semuanya dan menitik beratkan fokusnya ke gua.
Gua bukan orang yang bodoh, gua selalu mendapat peringkat 1 dari Sekolah dasar hingga sekarang, tentu kecerdasan gua turun dari bokap dan nyokap. Mereka adalah dua sejoli yang sangat ideal, mereka sama sama pintar dan mereka adalah 2 manusia yang diberikan paras yang cantik dan tampan oleh tuhan , alhasil semua kelebihan itu menurun ke gua.
Untuk urusan masuk sekolah, Orang tua gua selalu sangat hati hati. Saking hati hatinya, Gua bahkan sudah diterima di sekolah menengah atas sebelum gua menjalankan tes masuk. Apalagi lagi kalo bukan karena bokap gua menghubungi kepala sekolah yang merupakan teman lamanya, padahal gua sangat yakin, gua tetep bisa masuk tanpa bantuan mereka. Waktu itu gua marah besar tapi orang tua tetaplah orang tua, mereka selalu ingin anaknya bahagia apapun caranya.
Ketika para siswa sibuk mencari PTN dengan mengikuti berbagai macam Bimbingan Belajar, gua dengan begitu Mudah mendapat tiket masuk disalah satu PTN terbaik di indonesia, tentu sudah bisa ditebak , semua ini karena bokap gua. Untuk kali ini gua memutuskan untuk berontak, tak ingin lagi rasanya gua mengunakan kekuatan orang tua gua buat ngelakuain semuanya.
Hanya berbekal baju yang gua masukin ke Tas Ransel, serta Dompet yang berisi hanya beberapa uang lima puluh ribuan dan ATM yang entah berapa isinya dan ijazah SMA. Gua menuju terminal Bus, mencari loket tiket yang berangkat hari itu juga, Gua memutuskan naik Bus karena Beberapa orang di bandara mengenal Gua. Satu persatu Loket tiket gua datangi, mancari bus-bus yang bisa segera berangkat, menuju Jogja, solo surabaya, bandung, atau entahlah, yang penting gua harus segera pergi dari pulau yang gua diami 17 tahun terakhir, Lombok.
Hanya Tiket Mataram~malang yang ada untuk keberangkatan 1 jam lagi, yang akhirnya diputuskan mungkin gua harus pergi ke malang, 1 jam lagi bus tiba, dan ini pertama kalinya gua harus jauh dari kedua orang tua gua.
NEXT
Sekitar Pukul 4 pagi, bus sudah tiba di sebuah terminal kota malang, ada nuansa berbeda yang gua rasakan di sini. Hawa yang lebih dingin dan tentu perasaan gua yang ga menentu akibat ulah gua ini. Mungkin bokap nyokap gua lagi panik di rumah, ada sedikit rasa bersalah dalem diri gua tapi semoga surat yang gua tulis bisa membuat nyokap gua agak lega.
Ponsel gw sempat berbunyi saat gua menyebrang dari bali ke banyuwangi. Mungkin 10 kali atau 20 kali atau mungkin lebih, dan semua adalah misscall dari nyokap gua. Tanpa pikir panjang ponesl itu gua buang ke laut, beberapa saat kemudian gua sedikit menyesal, kenapa harus gua buang, kenapa ga gua kasih ke orang agar lebih bermanfaat, mungkin ini hasil dari didikan manja orang tua gua, semua jadi serba mudah.
Uang di dompet gua udah kosong melompong untuk membeli tiket dan beli makanan di jalan. Gua mencoba mengelilingi Terminal arjosari untuk mencari ATM di deket sana. Hampir 10 menit gua lalu lalang lalu akhirnya gua bisa bernafas lega, ternyata ATM tidak terlalu jauh dari tempat gua turun tadi. Setelah mengambil beberapa juta dari mesin ATM setelah menarik uang sebanyak 2 kali, Gua mengambil kertas struk yang sudah gua buang ke tempat sampah tadi. Saat gua mengecek nominalnya sebuah angka 1 dan ada 8 digit angka mengikutinya dibelakang, waw... sebanyak inikah uang yang dikirimkan bokap Gua selama ini, setahuku ATM ini diberikan saat ujian nasional kemarin, gua meminta uang hanya buat perpisahan dengan teman teman kelas gw. "Pa ini terlalu banyak".....
Gua masih berdiri di depan ATM. Gua sedang berfikir untuk segera mencari kendaraan untuk menuju kampus-kampus yang ada di kota ini, yang pertama terfikirkan adalah taxi tapi beberapa saat kemudian gua menghapus jauh jauh fikiran itu, gua harus hidup sederhana dan pilihan gua jatuh ke angkot. Mungkin karena gua terlalu fokus menyusun rencana , gua ga sadar bahwa ada seseorang di dekat gua, dari perawakannya dia masih seusia gua, dan dia seorang cewek.
"Mahasiswa baru juga?"
Gua celingak celingkuk mencari siapa yang diajak ngobrol cewek ini.
"Gua bukan indigo yang ngomong sendiri, gua ngomong sama elo" tanya cewek itu sedikit tersenyum melihat kebingungan gua.
"Oh Maaf, maaf. gak kok, eh ya."
Gadis itu lalu tertawa kecil melihat kebingungan gua. Ia sepertinya sudah berdiri di depan ATM sejak gua datang tadi. mungkin dia sedang bosan menunggu.
"Ya atau ga?" pancingnya.
"Gak, gua baru mau tes" jawab gua jujur, walau gak tahu harus tes dimana.
"Oalah, mau ikut tes mandiri toh"
"Mungkin begitu"
"Mungkin?" cewek itu mengerutkan dahu lalu dia tersenyum lebar melihat gua.
"Elu lucu ya, kok kayak linglung gitu" sambungnya.
"Makasih" jawab gua ragu.
"Itu bukan pujian loh"
"Oh maaf" jawabku ragu.
"Hahaha, Bercanda kok,emang elo mau kemana?"
"Kampus" jawabku ragu.
"Kampus apa? kan di sini ada puluhan kampus"
"Yang ada di malang"
"kan memang kita kan lagi dimalang"
"Yang deket deket aja mungkin" jawabku ragu. bodohnya aku gak cari referensi sebelum datang ke sini"
"hahaha... deket dari mana, kamu lucu ya"
"Gua harus bilang makasih atau maaf nih?" takut itu malah hinaan.
"Apa aja deh, kenalin nama gua Friska. Gua mahasiswa baru di Universitas Wijaya" dia mengulurkan tangannya untuk menjabat.
"Gua Adrian.. mmm mantan anak SMA " Jawab gua seraya menjabat tangannya.
"hahaha... ada ada sih aja elo"
"elo ngambil apa di Wijaya?"
"Gua?, Biologi"
"Biologi? mmm belajar biologi seru?" tanyaku penasaran.
"Kalo Gua sih suka, emang elo minatnya apa?"
"Yang bisa ngebuat hidup ini lebih seru dan asik" jawabku jujur. Selama ini hal yang gua idam idamkan.
"hahaha diplomatis bin ngawur jawaban elo" jawab friska.
"Bukan diplomatis, lebih tepatnya Gua bingung aja"
"Bingung? Bingung kenapa?"
TIIIINNN TIIINNNN
Suara klakson motor membuyarkan obrolan kami, seorang cewek berhenti di depan kami berdua.
"Frish udah lama?" tanya cewek yang baru datang itu.
"Udah kering neh gigi gua nunggu elo" jawab friska.
"Maaf maaf, tadi agak macet maklum weekend"
"Gua maafin asal lo traktir gua es cream" goda Friska.
"Ih maruk sekali, udah minta di jemput, sekarang minta di traktir. Nunggunya sama cowok ganteng lagi"
"Eh dasar mulut elo nyablak bener seh, oh iya adrian gw duluan ya, sukses buat Tesnya, ayok bela, tarik"
"Tarik tarik, emang gw angkot"..
"Becanda bela"
"Bener neh gua ga dikenalain nih?"
"Eh elo apa apan sih, malu maluin aja, ayo berangkat"
"Duluan ya ganteng" kata cewek yang dipanggil bela oleh Friska tadi.
Mareka akhirnya melaju memecah kota malang.
Friska, orang pertama yang gua kenal di kota ini.
Oke, Gua udah mutusin buat ikut tes mandiri Universitas Wijaya, jurusan Biologi.
Polling
0 suara
Terlepas dari plot kisah ini, ada di team manakah kalian?
Diubah oleh kawan.betina 16-10-2020 11:01
bebyzha dan 152 lainnya memberi reputasi
137
371.5K
Kutip
1.9K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
kawan.betina
#780
[BOOK SPESIAL ][NEW EPISODE 5] ~ Aturan Kordes
Quote:
Secara garis besar KKN kami berjalan dengan lancar, masalah masalah kecil memang ada namun tak banyak yang mengganggu kekompakan kami. Fattah masih menjadi ketua yang mulai digosipkan karena ketegasannya. Teman teman banyak yang jengkel karena selain disibukkan oleh program kerja KKN mereka sesekali ingin menikmati waktu waktu di Desa ini, tidak sekedar menjalankan Proker saja.
“Nanti sore kita ke Sungai yuk, kata penduduk desa di utara sana ada sungai besar yang bisa dipakai buat mandi.” kata Aulia.
“Gua ikut dong, pasti seru tuh bisa mandi di sungai,” kata Thomas.
“Gua juga ikut,” kata Heri. “Lo juga ikut gak Van?” tanya Heri.
“Gua mah ayo aja,” jawab Vania.
“Sungai itu terletak diluar desa kita, bahkan masuk ke kecamatan sebelah. Jadi tidak boleh ada yang kesana,” kata Fattah. Semua terdiam, susana teras yang tadinya ceria kini malah menjadi tidak bersahabat.
“Kalau ngerjain proker doang? kita dapat apa sih?” kata Vania. “Nilai? terus apa gunanya KKN?” lanjut Vania.
“Vania? kita disini bukan pergi main main,” balas Fattah.
“Tapi ini bukan kepanitian kampus juga, ini masyarakat asli!” Protes Vania.
“Kalau kalian ada apa apa, gua yang akan disalahkan! bukan kalian!” Tegas Fattah.
“Kalau kami hanya dapat nilai saja gak dapat ilmu berarti elo juga yang salah Pak kordes! coba gua tanya pak kordes, bu kasih dan bu kristina. Kalian tahu gak nama bapak yang kasih kita rambutan kemarin?” tanya Vania. Mereka bertiga terdiam. “Kalian tau gak nama yang punya warung pecel di samping kantor desa?” tanya Vania lagi.
“Gilang lo tahu?” tanya Vania.
“Tahu gua, bu maesaroh,” jawab gilang.
“Ian lo tahu?” tanya Vania.
“Pak Ali, dia itu mantan kepala desa sebelum kepala desa sekarang,” jawab gua.
“Lo tahu gak anak KKN diomongin penduduk desa karena dibilang banyak yang sombong?” kata Vania lagi. “Jelas kalian gak tahu kan? Yang gua lihat banyak berbaur cuman Aulia, Gilang, chua, Adrian, yang lain ngikut pak kordes yang setelah tugas selesai masuk ke dalam penginapan.” Ceramah Vania.
Gua pelan pelan keluar dari forum yang membuat gua tidak nyaman itu. Gua pergi ke dapur untuk membuat kopi pahit yang menurut gua enak banget.
“Ada apa le?” tanya Bu dewi pemilik penginapan. “Lagi ada ribut ribut kayaknya di depan?” lanjut bu dewi.
“Biasa bu masalah masalah sedikit,” jawab gua.
“Bantu konco koncomu ya, jangan dilepas terus apalagi ditinggalkan.” kata Bu dewi.
“Kenapa bu?”
“Ibu lihat kamu yang paling bisa berbaur ke orang orang desa, ibu kaget juga banyak yang kenal nak Adrian.”
“Kebetulan aja bu saya disuruh ngajar di sekolah sama Pak kepsek, jadi kadang saya berkunjung kerumah murid murid saya. Mereka kadang nunjukin anyaman anyaman yang bagus bu, jadi saya penasaran aja mungkin saya bisa pasarkan di malang,” kata gua.
“Hal itu mungkin yang belum ada di beberapa teman temanmu, keluwesan untuk mencoba hal baru, jangan dilepas ya. Biar datangnya kalian ke sini bisa jadi hal positif buat warga desa,” kata Bu dewi.
Rasa penasaran gua selama KKN ini kini berubah menjadi beban. Selama ini Gua ditugaskan di dalam desa oleh pak kordes, membuat gua banyak mengeksplore desa, gua banyak berinteraksi dengan warga desa. Karena gua bukan dari jawa membuat warga desa sangat ramah menyambut gua. Rasa ketertarikan gua seolah direspon dengan sangat luar biasa oleh mereka semua. Gilang, chua, aulia sering gua ajak karena mereka juga tampak tertarik seperti gua.
Kini setelah Bu dewi mengatakan semua itu, gua jadi merasa bertanggung jawab.
“Ian dicari tuh sama Pak Ali!” panggil Thomas.
“Oke,” Sebelum thomas kembali ke forum gua menarik bajunya. “Ributnya udah selesai?”
“Selesai dari mana? mereka malah berdepat siapa yang paling benar. Fattah gak mau kalah karena pesan dari Bu ketua KKN kan kita gak boleh terlalu terikat mengingat kasus kasus dulu,” kata Thomas.
“Oke oke,”
“Bu kopinya saya titip dulu,” kata gua ke Bu dewi karena kopi gua baru saja di seduh.
“Ya le,” kata bu Dewi.
Gua lalu berjalan ke depan menemui Pak Ali. Semua mata tertuju kepada gua karena Pak Ali membawa setumpuk keranjang dari anyaman rotan. Beberapa hari yang lalu gua mencoba menantang pak Ali membuat keranjang dari anyaman rotan dengan model yang gua inginkan. Rencananya gua akan coba pasarkan ke hotel hotel yang punya link sama usaha gua di malang.
“Udah selesai keranjangnya Mas Adrian, ini ada beberapa versi,” kata Pak Ali.
“Cepet sekali pak jadinya, saya lihat dulu ya pak,” kata gua.
“Ibuk ibuk itu memang kerjanya cepat mas,” kata Pak Ali.
Teman teman memandang gua heran, disaat orang sedang berdebat tentang sejauh apa kami bisa berbaur dengan warga desa, gua malah mencoba menjalin kerjasama bisnis dengan Pak Ali. Gua tidak peduli pandangan mereka, karena gua rasa ini gunanya gua datang jauh jauh ke desa ini.
“Rapi banget ini pak, bahannya juga bagus. Apalagi yang versi ini pak. Motifnya keliatan rumit tapi katanya ibu pengerajinnya malah ini yang lebih gampang dibuat ya?” kata Gua.
“Ya benar mas, dulu pernah ada yang mesan model kayak gini jadi ibu-ibu udah hafal aja cara menganyamnya tapi udah lama dan semenjak bapak gak jadi kepala desa lagi, bapak kehilangan kontak orangnya” Cerita Pak Ali.
“Ini oke banget sih pak, saya ambil semua contohnya. Seperti yang kita bahas kemarin saya bawa dulu ke malang sebagai sampel. Sebenarnya saya sudah ada deal dealan dengan vendor lain tapi mereka sering miss deadline. Jadi saya perlu backup pak,” Jelas gua.
“Atur dah mas, intinya Pak Ali hanya ingin produksi anyaman desa bisa bangkit lagi,” kata Pak Ali.
“Beres pak,” kata Gua.
Setelah gua mengobrol ngalur ngidul bersama Pak Ali beberapa menit, Pak Ali akhirnya pamit pergi. Gua lalu mengambil kopi hitam gua yang sudah dingin dan kembali menuju Forum.
“Tadi itu masuk program kerja gak ian?” tanya Fattah.
“Yang mana? Pak ali tadi?” kata gua.
“Ya,”
“Enggak, antara gua sama Pak Ali aja,” jawab gua.
“Kalau ada masalah gimana?”
“Masalah gimana?”
“Kalau Kerajinannya gak laku lalu mereka nuntut anak KKN yang menipu” Kata Fattah. Semua anak KKN tampak tegang.
“Kalau lo berfikir gua beli anyaman itu karena gua mau bangkitkan potensi desa, lo salah besar. Gua beli anyaman itu karena gua tahu hal ini mengentungkan. Harganya 50% lebih rendah daripada harga pasaran. Kualitasnya jauh lebih bagus. Produksinya juga cepat. Gak ada barang gak laku, adanya penjual yang gak punya strategi untuk memasarkannya.” kata Gua.
“Sederhananya gini, Semua program kerja yang menjadi tanggung jawab gua, akan gua jalani dengan baik sesuai aturan, tapi jangan halangi gua untuk mengexplore desa ini lebih dalam lagi. Sepakat ya?” kata gua lalu melanjutkan menyeruput kopi. Fattah tampak masih ingin membantah namun alokasi waktu untuk rapat siang ini sudah terlalu lama. Forum itu akhirnya selesai dengan banyak permasalahan yang muncul. Ada yang kembali ke penginapan ada yang diam diam ingin pergi ke sungai tanpa sepengetahuan fattah.
********************************************
KKN sudah berjalan lebih dari satu minggu. Setelah hari pertama gua bisa menelfon Ipeh, hari berikutnya susah sekali mencari sinyal. Ponsel Chua juga setelah hari itu mendadak tidak bisa lagi menelfon keluar. Walau rasa khawatir gua telah berkurang namun aneh aja rasanya tidak tahu kabar Ipeh dan teman teman lebih dari satu minggu. Gua kadang meminjam telfon di kantor kepada desa untuk menghubungi karyawan gua di malang namun sungkan rasanya kalau gua gunakan untuk menelfon pribadi apalagi harus menelfon di depan bapak bapak ibu pegawai kantor desa.
“Mas Adrian sudah punya pacar?” tanya Bu Retno , bagian administrasi di Kantor Desa.
“Masih Jomblo dia bu,” Samber pak Kades. “Kenapa gak dikenalin sama Zaza aja bu,” Kata Pak Kades tiba tiba. Gua hanya bisa tersenyum. “Zaza belum pulang bu?” tanya pak kades.
“Belum pak, minggu ini katanya dia sudah libur.” kata Bu retno.
Gua hanya celingak celinguk aja mendengar Pak kades ngobrol dengan Bu Retno.
“Adrian bingung itu bu,” Canda Pak kades.
“Bukannya Zaza buat saya ya bu Retno,” kata Mas Yahya, operator komputer di kantor desa. “Kok sekarang malah dikenalin ke Adrian” Canda mas Yahya.
“Saingan dong Yahya sama Adrian,” kata Pak kades.
“Oke pak siapa takut pak,” kata Mas Yahya. “Bu retno ada laporan yang mau dibantu, saya bisa ketikkan,” kata Mas yahya kepada Bu retno.
“Hahahaha Bagus bagus Yahya, strateginya deketein ibunya dulu ya,” Canda Pak Kades.
“Ya dong pak,” Balas Mas Yahya. Gua hanya celingak celinguk mendengar obrolan mereka. Di kantor Desa itu gua gak sendiri ada Vania yang sibuk mengeprint dan ada juga Thomas yang sibuk dengan laporan di Laptopnya. Gua? Gua hanya datang menemani mereka berdua yang sungkan meminta izin untuk menggunakan Printer di desa. Kebetulan gua sering meminjam telfon desa jadi gua lumayan akrab dengan pengurus kantor Desa.
“Zaza memang kuliah di mana bu?” Vania memberanikan Diri berbaur.
“Di malang juga sama kayak kalian, Sebentar lagi lulus. Dia ambil pendidikan Biologi.” kata Bu retno.
“lebih tua dari kita setahun kayaknya ya, Ian siap jadi brondong gak?” Canda Vania.
“kalau beda satu dua tahun mah gak masalah atuh,” Sambar Bu Retno.
“Nah calon mertua udah setuju tuh Ian,” Kata Vania lagi.
“Vania ini gak pak peka bu Retno, padahal jelas jelas Adrian suka sama dia tapi dia malah jodoh jodohin saya, Lo kenapa sih?” kata Gua kepada Vania. Vania langsung terbatuk batuk.
“Uhuk uhuk,”
Thomas langsung kaget dan melihat kearah gua.
“Hahahaha Bercanda Van, elo baru dibecandain gitu langsung batuk batuk, Ini minum dulu,” kata Gua mengambil Air dari galon di dalam kantor desa. Sontak semua pegawai desa tertawa.
“Hati hati Mbak Vania sama Adrian,” kata Mas Yahya. “Banyak akalnya,”
“Jangan Fitnah dong mas yahya,” jawab gua.
“Adrian proposal kemarin sudah dibantu di cek?” tanya Pak kades.
“Sudah pak, sudah saya revisi dan saya tandai kuning pak. Nanti mungkin bisa di cek kembali.” kata gua sambil memberi Flashdisk ke Pak kades.
“Terima kasih Adrian, ini Flashdisknya dipakai sekarang?” tanya Pak kades.
“enggak kok pak, bawa aja dulu,” jawab Gua.
“Itu proposal kebun rambutan itu pak?” tanya Bu Retno.
“Ya bu, kemarin saran Dari Adrian agar dibuatkan penjualan yang central aja biar harganya bisa dikendalikan, kalau setiap orang jual sendiri sendiri jadinya kayak tahun kemarin Bu. Ada yang untungnya besar ada yang kecil, kasian.” kata Pak kades.
“Bagus itu,” kata Bu Retno.
Setelah bebera jam di kantor Desa akhirnya kami izin untuk melanjutkan Program kerja kami yang lain. Pegawai di kantor desa tampak senang kami di sana karena suasana kantor jadi ramai dan kadang kami bisa membantu beberapa hal yang agak membingungkan bagi mereka.
“Mbak Vania sering sering main ke kantor ya?” kata Mas yahya. “kalau gak Adrian eh gilang yang kesini, saya kan bosen lihatnya,” kata mas Yahya.
“Enggih mas,” kata Vania sambil tersenyum. Kami akhirnya pergi meninggalkan kantor Desa.
“Lo gak beneran suka sama gua kan?” tanya Vania saat Thomas melipir ke warung pecel. Gua dan Vania memutuskan untuk pulang.
“Kenapa? Lo gak suka sama gua?” tanya gua menggoda Vania.
“Oke oke gua paham sekarang,” kata Vania setelag mengamati wajah gua. “Lo emang seram ya, wajah elo gak bisa gua baca serius atau enggaknya. Tapi elo jelas becandain gua. Semoga gua gak berurusan perasaan sama orang kayak elo ian,” kata Vania.
“hahaha, kenapa?”
“Elo pasti akan sangat menyebalkan,” kata vania.
“Jadi lebih baik berurusan dengan Fattah,” kata Gua.
“Fattah itu baik banget tapi gua gak mau berurusan dalam kerjaan atau kegiatan sama dia. Kami pasti beda pendapat. Seperti sekarang ini, secara personal dia itu cocok banget sama gua,” kata Vania.
“Kalau gua?”
“Elo itu seram, unpredictable. Gak mau gua bayangin,” jawab Vania.
*****************************************
Evaluasi berikutnya, terjadi perang dingin antara Vania dan Fattah. Vania ternyata diam diam pergi dengan beberapa teman ke sungai untuk mandi. Setelah dua hari berkahir disembunyikan akhirnya Fattah tahu kejadian itu. Fattah memimpin evaluasi dengan wajah tak santai, beberapa kali laporan kegiatan kami diserang habis habisan dan dituduh tidak maksimal. Laporan gua juga gak lepas dari kritikan Fattah, karena gua terlalu menurut sama pak Kepsek dan terlalu banyak terjun di kegiatan belajar mengajar di sekolah. Gua sadari memang hal itu tidak diperbolehkan walau pada dasarnya tugas gua memang semua beres.
Gua gak mau terlalu mempermasalahkan kritik kritik itu karena memang gua salah. jadi gua mah bodo amat.
“Fattah ngincer elo tuh,” bisik Gilang.
“Biarin aja, emang gua salah hihi,” jawab gua.
“Tapi kan proker elo beres semua, harusnya dia apresiasi dong,” kata Gilang.
“Biarin ajalah, gak ngaruh juga kan,”jawab gua.
“Elo ye, kadang sabar kadang gahar,” sindir gilang.
“Selama gak menggangu mah gua santai aja,” jawab gua.
“Besok ikut yuk ke desa sebelah, proker divisi pendidikan kan kosong dua hari kedepan,” kata Gilang.
“Boleh tuh,”
“Deal ya, jangan sampai ketahuan Fattah lo, tau sendiri lo lo gak boleh keluar desa sama dia,” kata gilang.
“Tenang aja,” jawab gua.
************************************************
“Nanti sore kita ke Sungai yuk, kata penduduk desa di utara sana ada sungai besar yang bisa dipakai buat mandi.” kata Aulia.
“Gua ikut dong, pasti seru tuh bisa mandi di sungai,” kata Thomas.
“Gua juga ikut,” kata Heri. “Lo juga ikut gak Van?” tanya Heri.
“Gua mah ayo aja,” jawab Vania.
“Sungai itu terletak diluar desa kita, bahkan masuk ke kecamatan sebelah. Jadi tidak boleh ada yang kesana,” kata Fattah. Semua terdiam, susana teras yang tadinya ceria kini malah menjadi tidak bersahabat.
“Kalau ngerjain proker doang? kita dapat apa sih?” kata Vania. “Nilai? terus apa gunanya KKN?” lanjut Vania.
“Vania? kita disini bukan pergi main main,” balas Fattah.
“Tapi ini bukan kepanitian kampus juga, ini masyarakat asli!” Protes Vania.
“Kalau kalian ada apa apa, gua yang akan disalahkan! bukan kalian!” Tegas Fattah.
“Kalau kami hanya dapat nilai saja gak dapat ilmu berarti elo juga yang salah Pak kordes! coba gua tanya pak kordes, bu kasih dan bu kristina. Kalian tahu gak nama bapak yang kasih kita rambutan kemarin?” tanya Vania. Mereka bertiga terdiam. “Kalian tau gak nama yang punya warung pecel di samping kantor desa?” tanya Vania lagi.
“Gilang lo tahu?” tanya Vania.
“Tahu gua, bu maesaroh,” jawab gilang.
“Ian lo tahu?” tanya Vania.
“Pak Ali, dia itu mantan kepala desa sebelum kepala desa sekarang,” jawab gua.
“Lo tahu gak anak KKN diomongin penduduk desa karena dibilang banyak yang sombong?” kata Vania lagi. “Jelas kalian gak tahu kan? Yang gua lihat banyak berbaur cuman Aulia, Gilang, chua, Adrian, yang lain ngikut pak kordes yang setelah tugas selesai masuk ke dalam penginapan.” Ceramah Vania.
Gua pelan pelan keluar dari forum yang membuat gua tidak nyaman itu. Gua pergi ke dapur untuk membuat kopi pahit yang menurut gua enak banget.
“Ada apa le?” tanya Bu dewi pemilik penginapan. “Lagi ada ribut ribut kayaknya di depan?” lanjut bu dewi.
“Biasa bu masalah masalah sedikit,” jawab gua.
“Bantu konco koncomu ya, jangan dilepas terus apalagi ditinggalkan.” kata Bu dewi.
“Kenapa bu?”
“Ibu lihat kamu yang paling bisa berbaur ke orang orang desa, ibu kaget juga banyak yang kenal nak Adrian.”
“Kebetulan aja bu saya disuruh ngajar di sekolah sama Pak kepsek, jadi kadang saya berkunjung kerumah murid murid saya. Mereka kadang nunjukin anyaman anyaman yang bagus bu, jadi saya penasaran aja mungkin saya bisa pasarkan di malang,” kata gua.
“Hal itu mungkin yang belum ada di beberapa teman temanmu, keluwesan untuk mencoba hal baru, jangan dilepas ya. Biar datangnya kalian ke sini bisa jadi hal positif buat warga desa,” kata Bu dewi.
Rasa penasaran gua selama KKN ini kini berubah menjadi beban. Selama ini Gua ditugaskan di dalam desa oleh pak kordes, membuat gua banyak mengeksplore desa, gua banyak berinteraksi dengan warga desa. Karena gua bukan dari jawa membuat warga desa sangat ramah menyambut gua. Rasa ketertarikan gua seolah direspon dengan sangat luar biasa oleh mereka semua. Gilang, chua, aulia sering gua ajak karena mereka juga tampak tertarik seperti gua.
Kini setelah Bu dewi mengatakan semua itu, gua jadi merasa bertanggung jawab.
“Ian dicari tuh sama Pak Ali!” panggil Thomas.
“Oke,” Sebelum thomas kembali ke forum gua menarik bajunya. “Ributnya udah selesai?”
“Selesai dari mana? mereka malah berdepat siapa yang paling benar. Fattah gak mau kalah karena pesan dari Bu ketua KKN kan kita gak boleh terlalu terikat mengingat kasus kasus dulu,” kata Thomas.
“Oke oke,”
“Bu kopinya saya titip dulu,” kata gua ke Bu dewi karena kopi gua baru saja di seduh.
“Ya le,” kata bu Dewi.
Gua lalu berjalan ke depan menemui Pak Ali. Semua mata tertuju kepada gua karena Pak Ali membawa setumpuk keranjang dari anyaman rotan. Beberapa hari yang lalu gua mencoba menantang pak Ali membuat keranjang dari anyaman rotan dengan model yang gua inginkan. Rencananya gua akan coba pasarkan ke hotel hotel yang punya link sama usaha gua di malang.
“Udah selesai keranjangnya Mas Adrian, ini ada beberapa versi,” kata Pak Ali.
“Cepet sekali pak jadinya, saya lihat dulu ya pak,” kata gua.
“Ibuk ibuk itu memang kerjanya cepat mas,” kata Pak Ali.
Teman teman memandang gua heran, disaat orang sedang berdebat tentang sejauh apa kami bisa berbaur dengan warga desa, gua malah mencoba menjalin kerjasama bisnis dengan Pak Ali. Gua tidak peduli pandangan mereka, karena gua rasa ini gunanya gua datang jauh jauh ke desa ini.
“Rapi banget ini pak, bahannya juga bagus. Apalagi yang versi ini pak. Motifnya keliatan rumit tapi katanya ibu pengerajinnya malah ini yang lebih gampang dibuat ya?” kata Gua.
“Ya benar mas, dulu pernah ada yang mesan model kayak gini jadi ibu-ibu udah hafal aja cara menganyamnya tapi udah lama dan semenjak bapak gak jadi kepala desa lagi, bapak kehilangan kontak orangnya” Cerita Pak Ali.
“Ini oke banget sih pak, saya ambil semua contohnya. Seperti yang kita bahas kemarin saya bawa dulu ke malang sebagai sampel. Sebenarnya saya sudah ada deal dealan dengan vendor lain tapi mereka sering miss deadline. Jadi saya perlu backup pak,” Jelas gua.
“Atur dah mas, intinya Pak Ali hanya ingin produksi anyaman desa bisa bangkit lagi,” kata Pak Ali.
“Beres pak,” kata Gua.
Setelah gua mengobrol ngalur ngidul bersama Pak Ali beberapa menit, Pak Ali akhirnya pamit pergi. Gua lalu mengambil kopi hitam gua yang sudah dingin dan kembali menuju Forum.
“Tadi itu masuk program kerja gak ian?” tanya Fattah.
“Yang mana? Pak ali tadi?” kata gua.
“Ya,”
“Enggak, antara gua sama Pak Ali aja,” jawab gua.
“Kalau ada masalah gimana?”
“Masalah gimana?”
“Kalau Kerajinannya gak laku lalu mereka nuntut anak KKN yang menipu” Kata Fattah. Semua anak KKN tampak tegang.
“Kalau lo berfikir gua beli anyaman itu karena gua mau bangkitkan potensi desa, lo salah besar. Gua beli anyaman itu karena gua tahu hal ini mengentungkan. Harganya 50% lebih rendah daripada harga pasaran. Kualitasnya jauh lebih bagus. Produksinya juga cepat. Gak ada barang gak laku, adanya penjual yang gak punya strategi untuk memasarkannya.” kata Gua.
“Sederhananya gini, Semua program kerja yang menjadi tanggung jawab gua, akan gua jalani dengan baik sesuai aturan, tapi jangan halangi gua untuk mengexplore desa ini lebih dalam lagi. Sepakat ya?” kata gua lalu melanjutkan menyeruput kopi. Fattah tampak masih ingin membantah namun alokasi waktu untuk rapat siang ini sudah terlalu lama. Forum itu akhirnya selesai dengan banyak permasalahan yang muncul. Ada yang kembali ke penginapan ada yang diam diam ingin pergi ke sungai tanpa sepengetahuan fattah.
********************************************
KKN sudah berjalan lebih dari satu minggu. Setelah hari pertama gua bisa menelfon Ipeh, hari berikutnya susah sekali mencari sinyal. Ponsel Chua juga setelah hari itu mendadak tidak bisa lagi menelfon keluar. Walau rasa khawatir gua telah berkurang namun aneh aja rasanya tidak tahu kabar Ipeh dan teman teman lebih dari satu minggu. Gua kadang meminjam telfon di kantor kepada desa untuk menghubungi karyawan gua di malang namun sungkan rasanya kalau gua gunakan untuk menelfon pribadi apalagi harus menelfon di depan bapak bapak ibu pegawai kantor desa.
“Mas Adrian sudah punya pacar?” tanya Bu Retno , bagian administrasi di Kantor Desa.
“Masih Jomblo dia bu,” Samber pak Kades. “Kenapa gak dikenalin sama Zaza aja bu,” Kata Pak Kades tiba tiba. Gua hanya bisa tersenyum. “Zaza belum pulang bu?” tanya pak kades.
“Belum pak, minggu ini katanya dia sudah libur.” kata Bu retno.
Gua hanya celingak celinguk aja mendengar Pak kades ngobrol dengan Bu Retno.
“Adrian bingung itu bu,” Canda Pak kades.
“Bukannya Zaza buat saya ya bu Retno,” kata Mas Yahya, operator komputer di kantor desa. “Kok sekarang malah dikenalin ke Adrian” Canda mas Yahya.
“Saingan dong Yahya sama Adrian,” kata Pak kades.
“Oke pak siapa takut pak,” kata Mas Yahya. “Bu retno ada laporan yang mau dibantu, saya bisa ketikkan,” kata Mas yahya kepada Bu retno.
“Hahahaha Bagus bagus Yahya, strateginya deketein ibunya dulu ya,” Canda Pak Kades.
“Ya dong pak,” Balas Mas Yahya. Gua hanya celingak celinguk mendengar obrolan mereka. Di kantor Desa itu gua gak sendiri ada Vania yang sibuk mengeprint dan ada juga Thomas yang sibuk dengan laporan di Laptopnya. Gua? Gua hanya datang menemani mereka berdua yang sungkan meminta izin untuk menggunakan Printer di desa. Kebetulan gua sering meminjam telfon desa jadi gua lumayan akrab dengan pengurus kantor Desa.
“Zaza memang kuliah di mana bu?” Vania memberanikan Diri berbaur.
“Di malang juga sama kayak kalian, Sebentar lagi lulus. Dia ambil pendidikan Biologi.” kata Bu retno.
“lebih tua dari kita setahun kayaknya ya, Ian siap jadi brondong gak?” Canda Vania.
“kalau beda satu dua tahun mah gak masalah atuh,” Sambar Bu Retno.
“Nah calon mertua udah setuju tuh Ian,” Kata Vania lagi.
“Vania ini gak pak peka bu Retno, padahal jelas jelas Adrian suka sama dia tapi dia malah jodoh jodohin saya, Lo kenapa sih?” kata Gua kepada Vania. Vania langsung terbatuk batuk.
“Uhuk uhuk,”
Thomas langsung kaget dan melihat kearah gua.
“Hahahaha Bercanda Van, elo baru dibecandain gitu langsung batuk batuk, Ini minum dulu,” kata Gua mengambil Air dari galon di dalam kantor desa. Sontak semua pegawai desa tertawa.
“Hati hati Mbak Vania sama Adrian,” kata Mas Yahya. “Banyak akalnya,”
“Jangan Fitnah dong mas yahya,” jawab gua.
“Adrian proposal kemarin sudah dibantu di cek?” tanya Pak kades.
“Sudah pak, sudah saya revisi dan saya tandai kuning pak. Nanti mungkin bisa di cek kembali.” kata gua sambil memberi Flashdisk ke Pak kades.
“Terima kasih Adrian, ini Flashdisknya dipakai sekarang?” tanya Pak kades.
“enggak kok pak, bawa aja dulu,” jawab Gua.
“Itu proposal kebun rambutan itu pak?” tanya Bu Retno.
“Ya bu, kemarin saran Dari Adrian agar dibuatkan penjualan yang central aja biar harganya bisa dikendalikan, kalau setiap orang jual sendiri sendiri jadinya kayak tahun kemarin Bu. Ada yang untungnya besar ada yang kecil, kasian.” kata Pak kades.
“Bagus itu,” kata Bu Retno.
Setelah bebera jam di kantor Desa akhirnya kami izin untuk melanjutkan Program kerja kami yang lain. Pegawai di kantor desa tampak senang kami di sana karena suasana kantor jadi ramai dan kadang kami bisa membantu beberapa hal yang agak membingungkan bagi mereka.
“Mbak Vania sering sering main ke kantor ya?” kata Mas yahya. “kalau gak Adrian eh gilang yang kesini, saya kan bosen lihatnya,” kata mas Yahya.
“Enggih mas,” kata Vania sambil tersenyum. Kami akhirnya pergi meninggalkan kantor Desa.
“Lo gak beneran suka sama gua kan?” tanya Vania saat Thomas melipir ke warung pecel. Gua dan Vania memutuskan untuk pulang.
“Kenapa? Lo gak suka sama gua?” tanya gua menggoda Vania.
“Oke oke gua paham sekarang,” kata Vania setelag mengamati wajah gua. “Lo emang seram ya, wajah elo gak bisa gua baca serius atau enggaknya. Tapi elo jelas becandain gua. Semoga gua gak berurusan perasaan sama orang kayak elo ian,” kata Vania.
“hahaha, kenapa?”
“Elo pasti akan sangat menyebalkan,” kata vania.
“Jadi lebih baik berurusan dengan Fattah,” kata Gua.
“Fattah itu baik banget tapi gua gak mau berurusan dalam kerjaan atau kegiatan sama dia. Kami pasti beda pendapat. Seperti sekarang ini, secara personal dia itu cocok banget sama gua,” kata Vania.
“Kalau gua?”
“Elo itu seram, unpredictable. Gak mau gua bayangin,” jawab Vania.
*****************************************
Evaluasi berikutnya, terjadi perang dingin antara Vania dan Fattah. Vania ternyata diam diam pergi dengan beberapa teman ke sungai untuk mandi. Setelah dua hari berkahir disembunyikan akhirnya Fattah tahu kejadian itu. Fattah memimpin evaluasi dengan wajah tak santai, beberapa kali laporan kegiatan kami diserang habis habisan dan dituduh tidak maksimal. Laporan gua juga gak lepas dari kritikan Fattah, karena gua terlalu menurut sama pak Kepsek dan terlalu banyak terjun di kegiatan belajar mengajar di sekolah. Gua sadari memang hal itu tidak diperbolehkan walau pada dasarnya tugas gua memang semua beres.
Gua gak mau terlalu mempermasalahkan kritik kritik itu karena memang gua salah. jadi gua mah bodo amat.
“Fattah ngincer elo tuh,” bisik Gilang.
“Biarin aja, emang gua salah hihi,” jawab gua.
“Tapi kan proker elo beres semua, harusnya dia apresiasi dong,” kata Gilang.
“Biarin ajalah, gak ngaruh juga kan,”jawab gua.
“Elo ye, kadang sabar kadang gahar,” sindir gilang.
“Selama gak menggangu mah gua santai aja,” jawab gua.
“Besok ikut yuk ke desa sebelah, proker divisi pendidikan kan kosong dua hari kedepan,” kata Gilang.
“Boleh tuh,”
“Deal ya, jangan sampai ketahuan Fattah lo, tau sendiri lo lo gak boleh keluar desa sama dia,” kata gilang.
“Tenang aja,” jawab gua.
************************************************
bebyzha dan 48 lainnya memberi reputasi
49
Kutip
Balas
Tutup