Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"

Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta


Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
223.7K
1.2K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#88
Part 21-B
Hingga sekarang, saat gue menulis ini. Gue tidak mengerti mengapa kata gaul menjadi sebuah kata yang (untuk sebagian orang) memiliki makna tidak positif. Karena menurut gue pribadi 'gaul' seperti memiliki makna yang mengartikan eksistensi sebuah pribadi—manusia—dalam ruang lingkup kehidupan, salah satunya tentu bermasyarakat. 

Mungkin, dalam 'proses gaul' terkadang ada saja orang yang melakukannya dengan cara tidak benar atau dengan cara tidak semestinya. Walaupun pada kenyataannya standar benar dan salah dalam 'proses gaul' itu sendiri begitu selalu akan bias. Namun mungkin karena hal itu, kebiasan, yang kemudian menggeser makna 'ber-gaul' menjadi berkonotasi tidak positif.

Padahal menurut gue (lagi) 'bergaul' itu sebuah keharusan. Penting. Karena tanpa bergaul, siapa yang bisa dan akan mengenal dirimu? Bahkan untuk seorang yang memilih untuk menjadi seorang yang introvert atau terbentuk menjadi introvert, menurut gue juga tidak bisa begitu saja mengabaikan pergaulan.

Dan gue juga tidak mengerti, mengapa gaul selalu identik dengan usia remaja, muda. Padahal di usia berapapun 'bergaul' harusnya tetap disisipkan selagi jeda. Mungkin karena fase usia remaja adalah fase dimana 'proses gaul' berada pada titik kulminasinya; mengeksplore segala hal, memperbanyak jaring pertemanan, jiwa yang cenderung masih kompetitif, haus akan pengakuan, dan rasa ingin tahu yang komprehensif. Hingga akhirnya 'proses gaul' selalu diidentikan dengan usia remaja. 

Orang akan aneh, jika melihat seorang berusia 70-an masih bisa kesana-sini, 'nongkrong' dengan teman-teman sebaya atau bahkan 'nongkrong' dengan orang-orang yang usianya jauh lebih muda. Seolah itu adalah hal yang tidak wajar yang biasanya orang akan menjuluki seorang kakek itu 'Kakek sugiono' eh, sorry. Kakek-kakek gaul maksudnya. Padahal menurut gue itu sama sekali tidak ada yang aneh, mungkin saja si Kakek sedang 'bergaul' guna memperbaharui; informasinya, pengetahuannya, atau referensi bokepnya. Eh. Sedangkan untuk anak usia remaja aktifitas seperti itu—nongkrong—adalah hal yang lumrah.

I'm do not sure what I write, this bridging it's going far to my point, I think emoticon-Hammer (S)

Maksud gue ingin mengatakan; Jika gaul itu tidak salah, bergaul bukanlah sesuatu kegiatan yang tidak positif. Dan pergaulan itu bukanlah suatu hal yang negatif. Jika dilakukan dengan niat dan keinginan dari dalam diri sendiri. Bukan dipaksakan orang lain karena akan berbeda makna jika kamu di-gaul-kan orang lain. 

Lalu sebenarnya gaul itu apa??

I don't know, I not always sure with anything karena gue bukanlah orang yang kompeten dalam bidang itu. Semua hanya berdasarkan 'pengalaman' dan 'pengamalan' hidup gue selama ini dalam bergaul. Tapi walaupun gue tidak yakin. Ketidakyakinan gue hanya bertitik pada apakah kamu sepaham atau tidak? Untuk diri gue pribadi gue meyakini kalau seperti itulah gaul dan gue tidak memaksa untuk kamu atau siapapun sepaham. Karena semua gue mengedepankan sebab-akibat. Dan yang gue tuliskan adalah akibat yang disebabkan pengalaman—gaul itu bukan suatu hal yang tidak positif—pengaplikasiannya yang membuat gaul menjadi negatif—jika sudah melewati batasan-batasan hukum dan norma substantif. Atau biasa disebut 'pergaulan bebas'.

Pergaulan bebas juga menurut gue pribadi masih sangat bias untuk dimaknakan negatif, jika menggunakan batasan-batasan norma substantif; agama, adat, atau kebiasaan kolektif. Ah, gue tidak ingin menjabarkannya. Rasanya ancaman pidana dari UU ITE sedang menodong di kepala gue saat ini. 

Apa? Kalian menganggap ini fiksi?
Oke baiklah.

Contohnya, jika kita mengambil batasan agama dalam memaknai suatu pergaulan digolongkan sebagai sebuah pergaulan bebas—melewati batas. Dalam agama Islam dikatakan, HAROM hukumnya seorang pria dan wanita berada di suatu tempat dalam suatu waktu secara bersamaan. Apa lagi berduaan di dalam kamar. Apa lagi di kamar hotel. Apalagi sampe tidur berdua. Ehmm, what's wrong with that? I mean sleep together, not 'ngos-ngosan' together!

I wanna ask you 'anak kost', yang laki, pernah ga temen (perempuan) kalian nginep? Atau punya sahabat perempuan, terus dia sering nginep di kosan lu? Sering? Lalu apa kalian terima jika kalian dinilai sudah terjerumus dalam pergaulan bebas?

Tapi apapun alasannya dan bagaimanapun kondisinya, semua itu salah! Dalam norma agama, itu bisa dikategorikan dalam suatu perbuatan zinah!

Apa gue salah?

Dan ada satu lagi menurut gue hal yang paling bertanggung jawab atas fenomena pergaulan bebas, terlebih untuk hubungan sex di luar nikah. Yaitu pertanyaan, "pacaran udah ngapain ajah?"

That is a really damned question!

Sekali lagi, jika kalian terlalu suci untuk menyangkal pernah bertanya dan dipertanyakan itu. Maka kali ini gue akan mengakui jika selama ini gue sudah salah dalam memilih teman.

Nata be like: "Yang ada gue yang salah milih temen, anying!"

Oke, oke, calm. Pertanyaan itu semacam pertanyaan satir yang jika dijawab jujur akan membuka aib, namun jika dijawab dengan makna baik—engga ngapa-ngapain—akan tercermin suatu keadaan munafik.

Dan gue tidak munafik, walaupun saat sebelum gue berpacaran dengan Melodi gue dengan 'kritis' mempertanyakan apa itu pacaran. Namun di dalam hati yang paling dalam ada keinginan pacaran supaya gue bisa 'begituan'—Makna bebas tergantung persepsi dan kejujuran kalian saja mengartikan kata 'begituan' yang gue maksud.

Dari awal gue berpacaran dengan Melody, hingga pada saat konser Muse itu sejujurnya gue memiliki hasrat untuk 'begituan', tapi selama itu juga gue hanya sampai konteks bermesraan seperti berpegangan tangan dan berpelukan. Gue bukannya mampu meredam segala hasrat, nafsu dan godaan setan, hanya saja belum ada kesempatan yang menempatkan posisi gue di dalam sebuah cobaan.

Beruntungnya, cobaan itu datang tatkala sepulang konser itu, di tengah perjalanan menuju ke rumah Melody sehabis dari rumahnya Karina. Orang tua Melody mengabarkan jika salah seorang kerabatnya meninggal dan Papah serta Mamanya Melody harus segera berangkat ke rumah duka saat itu juga karena lokasinya berada di luar kota, tepatnya di Kota Jogja. 

Melodi adalah seorang anak sulung dari tiga bersaudara. Jarak usia antara masing-masing anak hanya 2 tahun. Melody dengan adik pertamanya, (sebut saja) Nada. Berjarak dua tahun. Dan jarak usia Nada dengan si Bungsu, (Sebut saja) Harmoni. Berjarak dua tahun. Sehingga saat itu, hanya Harmoni yang diajak oleh Papah dan Mamahnya. Sedangkan Melodi dan Nada ditugaskan untuk di rumah saja (takut covid emoticon-Hammer (S)).

Sesampainya di depan rumahnya, Melody. Awalnya gue ingin langsung pulang ke rumah Nata. Namun Melodi meminta gue untuk mampir sebentar. Gue pun tidak bisa menolak permintaanya. Dan karena gue sadar diri Pak Mul bukanlah supir gue. Walaupun dia mengatakan untuk siap menunggu gue, tapi betapa tak tahu dirilah gue jika gue mengiyakan itu. Akhirnya Pak Mul pun pulang. Dan cobaan untuk gue pun akhirnya datang.

Tidak itu bukan sebuah cobaan, malam itu adalah seindah-indahnya sebuah kesalahan.


 


Last night on earth.

Gue merasakan sebuah colekan di bahu kanan. Dengan sedikit penasaran, gue melepas earphone yang gue kenakan.

"BUDEG!" Teriak seseorang berambut perempuan berambut panjang yang mengenakan kemeja berwarna biru, agak kebesaran, sehingga menutupi celana pendek yang ia kenakan—sekilas seperti hanya memakai kemeja tanpa celana.

"Pengang, dong!" Sahut gue.

"Lagian aku ketok pintunya dari tadi engga nyaut-nyaut." Ujarnya lalu duduk di samping gue kemudian langsung merebut smartphone gue. "Cie dengerinnya, Muse. Suit suit."

"Apa sih." Sahut gue lalu merebut kembali smartphone gue, menghentikan lagu yang sedang berputar, menutup aplikasi pemutarnya kemudian melempar smartphone gue ke sofa yang ada di seberang gue duduk.

"Kangen, yah?" Tanya perempuan itu merapatkan jarak duduknya dengan gue.

"Ish ngapain, sih!? Mana pakeannya begitu. Nanti aku khilaf gimana?" 

"..." Dia hanya tersenyum penuh arti.

"Mel, ah!" Protes gue pada caranya menatap gue.

"Hahaha, Widi widi. Kamu engga pernah berubah, yah."

"Entar kalo ada moster aku berubah."

"Emmp Wibu!" Ledek Melody.

"Biarin, lagian menurut aku tuh generasi milenial itu semuanya wibu."

"Iya-iya. Aku kalah soal itu. Dan kamu belum jawab pertanyaan aku, lho!?"

"Yang mana?" 

"Kamu lagi kangen, yah?" 

"Sama kamu gitu?"

"Emmm, emang ada yang lain yang kamu kangenin?"

"..."

"Wid, kamu tau gak. Aku pernah ngerasa bodoh banget tau pernah ngasih semuanya buat kamu."

"..." Gue terdiam.

"Sebegitu murahnya aku, cuma dibayarin nonton konser. Abis itu wala..." Melody menggelengkan kepala. "I don't know apa yang aku pikirin saat itu sampe satu tiket konser yang cuma gope, dan saat itu aku pikirnya setimpal dengan virginity aku. Padahal kalo dulu aku open BO dan tulis deskripsi aku virgin bisa laku berkali-kali lipatnya dari harga tiket itu kali, yah?"

"Hemmmm" Gue bergumam. "So, do you regret?" Tanya gue.

"Iya. Aku menyesal..."

Karena tidak ada harga yang pantas untuk sebuah 'keperawanan' selain tanda tangan diatas buku pernikahan - Sebut Saja Melody.


oceu
khodzimzz
kakangprabu99
kakangprabu99 dan 27 lainnya memberi reputasi
28
Tutup