Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"

Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta


Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
223.8K
1.2K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#78
Part 20
"Saya ngelawan apa, Pak?" Tanya gue heran bercampur kesal. 

"Ngelawan kamu!? Ngelawan!?" bentak pria itu lagi dan kembali memukul gue lagi.

Saat itu gue baru menyadari jika gue sedang berada di dalam sergapan 'oknum polisi' ketika kedua tangan gue diikat dengan kabel ties dan pria-pria yang ada di dalam mobil ini memeriksa seluruh isi tas serta badan gue, bahkan saat itu gue seluruh baju gue ditanggalkan.

Mobil terus melaju entah kemana tujuan. Jujur saat itu gue perasaan gue bercampur aduk; takut, panik, gelisah, khawatir, dan timbul pikiran-pikiran tentang masa depan; masa depan gue suram, gue akan berakhir di balik jeruji besi. Tapi saat itu gue sekuat tenaga untuk menenangkan diri, gue mencoba tenang dan meyakinkan diri. Jika semua akan baik-baik saja.

"Eh lo simpen di mana barangnya?" Tanya pria yang tadi memukul gue.

"Barang apa, Pak?" Tanya gue mencoba tenang. Namun sepertinya pria itu sedikit kesal mendapat jawaban yang tidak dia harapkan. Dia pun kembali memukul gue.

"Ngaku lo! Di mana lo umpetin barangnya?" Tanya lagi dengan nada yang sedikit lebih keras sambil memukul gue (lagi).

"Barang apa, Pak?" Tanya gue lagi berpura-pura tidak tahu padahal sebenarnya gue tahu apa yang dia maksud.

"Ngelawan lo sama gue lo!" Ucapnya lagi dan memukul gue untuk yang kelima kalinya.

"Saya ngelawan apa, Pak?" Tanya gue lagi.

"Anjing!" Serunya sambil memukul gue lagi untuk yang keenam kali. Gue sudah tidak tahu lagi gimana bentukan wajah gue kala itu.

"Sudah, kamu ngaku saja di mana kamu sembunyikan ganja yang mau kamu jual di sekolah?" Tanya pria yang duduk di kursi kemudi sambil fokus pada laju mobil ini.

"Ganja?" Gue bertingkah seolah heran, namun karena hal itu 'bogem' ketujuh mendarat kencang di wajah gue.

"Ngaku gak lo, hah!" Bogem kedelapan gue dapatkan.

"Ngaku apa, pak?" Tanya gue.

"Dughhhh." Bogem kesembilan plus gagang pistol membuat gue merasakan sesuatu yang dingin mengalir dari kening hingga pipi gue, I'm bleeding.

Untung saja saat itu seragam gue sudah ditanggalkan dan saat itu gue hanya memakai celana dalam saja sehingga darah yang mengalir dari kening gue tidak mengotori seragam gue.

Lalu mobil melaju masuk ke sebuah area pemakaman. Di sana mobil berhenti dan gue mendapat perlakuan verbal dan kekerasan fisik yang makin menjadi-jadi. 

Gue pernah membaca suatu kutipan, dari buku yang gue baca di perpustakaan pribadi keluarganya Nata. Entah buku apa yang gue baca saat itu, namun ada kutipan yang saat itu benar-benar gue ingat dan akhirnya menjadi acuan gue dalam bersikap atas perlakuan terhadap gue tersebut.

"Kebohongan yang diucapkan terus-menerus kelak akan menjadi sebuah kebenaran."


Atas dasar itu, saat gue diverbal gue selalu mempertahankan kebohongan gue. Lagi pula, para pria-pria ini tidak menemukan apa yang mereka cari di tubuh atau pun di barang bawaan gue.

Entah berapa lama kala itu gue berada di dalam mobil; disiksa dan terus ditanyai mengenai sesuatu yang mereka yakini gue membawanya. Hingga luka-luka mengering dengan sendirinya, darah di badan gue sudah mengerak; rasanya gue ingin menyerah, gue tidak kuat menahan sakitnya, tapi gue juga memikirkan kalau-kalau saat itu gue mendekap di dalam penjara, rasanya lebih baik gue mati saja, hingga gue pasrah dan gue hanya diam tanpa satupun pertanyaan mereka yang gue jawab.

"Mati, mati sekalian deh." Gue membatin dan menangis dalam hati. Gue tidak mengenal kata menangis semenjak kepergian Babeh untuk selamanya.

Entah karena bosan menyiksa gue atau menyerah karena tidak mendapat jawaban apapun yang mereka inginkan, ditambah tidak ada barang terlarang apapun yang ditemukan dalam badan atau tas gue. Akhirnya pria-pria itu melepaskan borgol yang mengikat kedua pergelangan tangan gue dan menyuruh gue untuk membersihkan luka serta bekas darah gue menggunakan sebotol air mineral ukuran besar. 

Dengan badan yang terasa sakit setiap gue bergerak barang sedikit, gue pun membersihkan luka serta darah kering yang menempel di badan gue di pinggiran pintu mobil yang pintunya sedikit dibuka untuk gue membersihkan semuanya. Setelah selesai, gue lalu diperintahkan oleh mereka untuk memakai lagi seragam gue.

Setelah gue kembali mengenakan seragam. Pria-pria itu lalu menyuruh gue turun. Dan saat gue turun, pria yang duduk di kursi tengah melemparkan tas serta sepatu gue kemudian langsung pergi begitu saja meninggalkan gue dan sakit hati yang mendalam di hati gue.

Gue bersumpah, jika hal seperti itu terjadi pada gue saat ini, saat menulis cerita ini. Hal itu pasti akan langsung gue adukan pada Propam. Namun sayangnya saat itu gue masih bocah 15 tahun yang belum mengerti itu semua. Ah, walaupun saat itu gue mengerti rasanya gue juga tidak akan pernah melaporkan itu pada propam, capek sendiri, bos!

Setelah dia pergi entah kenapa rasanya semua persendian gue seperti terlepas dari tempatnya. Gue langsung duduk di pinggir trotoar jalanan di tengah pemakaman. Duduk berdiam diri beberapa menit sambil melihat beberapa pengendara motor melintas sambil melihat 'aneh' ke arah gue. Beberapa menit kemudian, karena tidak ingin semakin menjadi pusat perhatian pengendara yang melintas. Gue bergegas memakai sepatu dan berjalan keluar area pemakaman ini.

Di depan gerbang area pemakaman, gue memutuskan untuk sejenak beristirahat di salah satu warung makan kecil di antara deretan warung makan yang ada. Saat gue masuk ke warung makan itu dan duduk di dalamnya. Gue langsung disambut pertanyaan oleh Ibu-ibu yang berdiri di balik etalase makanan, "Ealah itu mukane pada bengep ngopo to, Le?" 

"Gapapa, Bu. Tadi abis dipalak, heheheh." Jawab gue memilih berbohong karena rasanya lebih baik berbohong daripada harus jujur kala itu.

"Astagfirulloh, dipalak di mana? Mana yang malaknya... Jo! Jo!" Ibu-ibu itu terdengar seperti memanggil seseorang, seraya itu seorang pria paruh baya keluar dari bagian dalam warung.

"Ngopo to, Bu?" Tanya Pria itu.

"Iku bocah abis dipalak, coba cari barang kali yang malak belum jauh."

"Eh ga usah Pak, Bu. Yang malak tadi udah naik angkot saya liat. Udah jauh kali!"

"Yang malak kayae apa, Le?" Tanya Pria itu.

"Anak sekolah juga, Pak. Ga tau sekolahan mana."

"Asem! Iku jo pasti anak-anak sekolahan sana tuh, udah sering banget malak anak-anak sekolah sini." Ucap Pria tersebut menunjuk sebuah sekolahan SMA yang berada tepat di depan, tidak jauh, dari area pemakaman umum ini.

"Iki, Le. Minum dulu. Kesian e sampe bengep begitu. Mau mangan apa?" Tanya Ibu-ibu itu sambil menyodorkan segelas teh hangat dan kebetulan setelah habis diverbal entah kenapa saat itu gue merasa lapar. Akhirnya gue pun memesan makanan. 

Sambil makan, gue berbincang bersama pria dan Ibu-ibu itu. Mereka menanyakan kronologi pemalakan itu, yang pastinya gue jawab dengan mengada-ada. Hingga gue selesai makan dan hendak membayar apa yang gue makan, Ibu itu menolak untuk dibayar. "Wis ndak usah mbayar. Simpen uangmu. Kalau kamu pulang tiati, lewat jalan yang ramai saja." Ucap Ibu itu. Gue pun mengucapkan banyak terimakasih pada Ibu dan pria itu yang ternyata suaminya. Lalu gue pun pamit setelah sebelumnya menanyakan jam.

Saat itu masih pukul 10 pagi, masih 2 setengah jam lagi sebelum sekolah gue 'buburan'. Gue pun berniat untuk ke warnet terlebih dahulu menunggu jam pulang. Namun baru beberapa langkah meninggalkan warung tersebut, gue berasa jika seseorang mengikuti gue.

"A' Ale?" Seru gue saat menoleh kebelakang untuk memastikan.

"Gokil, lo! Gokil. Top!" Ucap Bang Ale lalu menyamakan langkah, kami berjalan bersisian.

Awalnya gue bertanya-tanya kenapa Bang Ale bisa tiba-tiba berada di belakang gue; dari mana? Sejak kapan? Sedang apa? Gue mencoba menelaah dan mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hingga gue perlahan gue mengerti jika ini bukanlah suatu kebetulan, Bang Ale tiba-tiba ada di belakang gue.

"Parah lo, A'!" Ujar gue sambil terus melangkah.

"Lah, parah kenape? Kan gue bilang lo bawa keluar gue engga tanggung jawab apa-apaan!?"

"Engga, udeh lo gila, A'! Gue juga mau lo makan!?" 

"Eh, Anjing! Lo pikir gue cepu!" Bang Ale sedikit melotot.

"..." Gue hanya diam dan terus melangkah. Gue kesal, karena gue merasa sudah dijebak oleh Bang Ale. Untung saja gue lolos—tidak terbukti dan gue berteguh pada pendirian gue jika gue tidak bersalah.

Lalu sampai langkah gue dan Bang Ale tiba di sebuah perempatan di samping komplek pemakaman Belanda. Bang Ale, yang tengah berdiri di depan sebuah warung kecil pinggir jalan memanggil gue dan melemparkan gue sebungkus rokok yang di belinya di warung itu. Dan saat gue menangkapnya, Bang Ale menghampiri gue dan berbisik, "gue udah bilang, lo maen beginian musuh lo negara. Kalo lo cengeng mending gak usah!" Bang Ale lalu melangkah mendahului gue. 

"Lo kesana, kan? Gue duluan!" Ucap Bang Ale kemudian dia melangkah mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang akan gue lalui.

"Iyeh, A'. Makasih."

Bang Ale hanya memberikan gestur jempolnya sambil tersenyum dan sedikit memiringkan topi yang dia kenakan.

Beberapa jam kemudian gue sudah duduk di perpustakaan pribadi keluarganya Nata, sebuah ruangan yang cukup besar yang hanya berisikan rak-rak besar yang dipenuhi oleh buku-buku dengan berbagai judul dan tema di dalamnya. 

Sambil menceritakan apa yang terjadi pada gue di pagi hari, gue mencari sebuah buku yang sudah menyelamatkan gue.

"Lo serius tadi pagi ditangkep polisi?" Tanya Nata memastikan karena saat gue menemuinya sepulang sekolah, gue hanya berbisik padanya kalau gue baru saja ditangkap 'oknum polisi'.

"Gak tau beneran polisi apa engga." Jawab gue santai sambil mencari buku yang gue maksud.

"Tapi, kok. Lo sampe bengep parah gitu?"

"Lo pikir kalo polisi nangkep maling terus nanya sama tuh maling kerja sendiri apa sama temen pake cara dielus-elus?" 

"Iya juga, yah. Pasti digerus gak mungkin di elus. Terus gimana caranya lo bisa lolos?"

"Yah orang gue engga salah. Gue ada bukti kalo gue salah."

"Kok bisa? Kan lo bawa ini?" Nata menunjukan se-empel ganja kering yang gue berikan padanya.

"Tadi pas gue kena, itu—ganja—engga ada."

"Anjing! kok bisa?"

"Bisa dong, gue kan David Chaniago."

"David Chaniago?" Nata heran.

"Iye yang pesulap itu."

"David Copperfield begok!"

"Oh udah ganti?"

"Serius tahik!" 

"Yah pas gue berangkat, di metromini itu gele gue selipin di sela-sela jendela. Pas gue turun kan gue turun depan warung Emak—warung kecil tempat biasa gue turun dari metromini untuk berangkat sekolah. Nah pas gue turun langsung gue taro selipin juga. Kan Warung Emak pada bolong-bolong, tuh."

"Kok tu polisi ga sadar lo nyelipin gele di situ?" 

"Emak yang punya warung ae ga sadar, apa lagi polisi yang pasti tadi kealingan metro mini."

"Terus lo dipukulin gitu pas lagi ngapain?"

"Pas ditanya-tanyain, lah. Bego!"

"Ditanyain apa ajah?"

"Cemacem, intinya pas ditanya gue selalu bohong terus gue pertahanin kebohongan gue."

"Anjing! Gak sakit ape digulungin gitu?"

"Menurut lo kalo pala gue sampe begini sakit ga?" 

"Yee sakit, sih."

"Sih?" Gue mempertanyakan kata 'sih' diujung kalimat Nata.

"Tapi kok lo kuat?" Tanya Nata.

"Kalo gue engga kuat, lo pasti udah ikutan kena masalah, Nat. Maen ginian tuh musuhnye negara. Kalo lo ga kuat, kalo lo cengeng mending ga usah maen ginian." Ucap gue menirukan ucapan Bang Ale.

"Tapi, gue heran deh. Kok tuh polisi bisa tau kalo lo bawa-bawa eleg. Ya walaupun engga ketemu pas dia nangkep lo. Tapikan logikanya dia pasti udah tau kalo lo bawa?"

"Nah itu dia, pasti ada yang bilang. Siape ye? Hemmm. Yang tau gue bakalan bawa gele ada dua, nih. Elo sama Bedenya"

"Anjing, mana mungkin gue! Gue kan justru nungguin elo. Justru gue kan pembeli gelenya."

"Siapa tau ye, kan?"

"Lo engga percaya gue?" Tanya Nata.

"Kalo gue engga percaya sama, Lo. Engga mungkin gue kasih tau gimana cara gue ngumpetin itu barang, kan?"

"Berarti Bedenya yang ngasih tau polisinya!?" Ujar Nata.

"PASTI!" Jawab gue dengan yakin.

"Anjing! Bahaya dong kalo gitu kalo beli lagi."

"Anjing, ini gele Nat! Barang terlarang! Nar-ko-ba. Kalo engga mau bahaya lo mabok bensin atau ngelem ae sono!"

"Oh iye ye. Bener lo bener lo bener lo! Hahaha. Seru njir!"

"Seru?" Tanya gue heran.

"Ya justru serunya ginikan? Kalo gele dapetnya gampang yah engga pasti kurang sensasi debar-debarnya, kan?"

"Hmmm iye iye... Bener lo bener lo bener lo" Gue menirukan gaya bicara Nata sebelumnya. "Naaah ini dia, nih!" Gue akhirnya menemukan buku yang gue maksud dan langsung memegangnya setara dengan kepala gue. 

"Al hail Hitler, hidup Gobbers!" Ucap gue sambil mengangkat buku itu.

"GILA!" Celetuk Nata.

"Lo tau gak, gegara baca buku ini nih gue selamet hahaha."

Lalu gue dan Nata melanjutkan perbincangan seputar kejadian yang menimpa gue di pagi hari. Gue terus memeluk buku yang gue anggap sudah menyelamatkan gue itu. Sementara Nata terlihat menghaluskan daun ganja yang sudah kering itu. Hingga tiba gue tersadar sesuatu dan sepertinya juga Nata menyadari hal yang sama, Nata tetiba memandangi gue.

"ini ngelingtingnya gimana!?" Suara gue dan Nata bersamaan. Setelah itu kami saling menyalahkan kebodohan kami berdua, yang belum belajar bagaimana melinting hingga membentuk sebatang rokok ganja.

###
Diubah oleh nyunwie 23-11-2020 16:17
anonymcoy02
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 32 lainnya memberi reputasi
31
Tutup