“Fiuhhh…untung kita keluar hutan ga”
“Yuk, liat yuk! Belum aman nih, ayo jalan buruan!”
Erga dengan seruannya merusak kenyamananku, orang itu sekarang memposisikan tubuhnya dengan berdiri dan tangannya mencoba meraihku yang masih terlentang di jalan beraspal.
Aku dengan sedikit terpaksa mengikuti instruksinya yang memaksaku menambah pundi-pundi lelahku ini.
Erga menyadarkanku bahwa kita sudah berada di lingkungan yang familiar, jalanan ini terlihat asing bagiku tetapi Erga dengan yakin menggiringku ke arah pabrik sesuai penjelasannya.
“Ga salah lagi Yuk, ini jalan ke pabrik!”
“Oke ga, selagi lu bawa gue kembali ke peradaban, gue ikut”, aku mencoba meyakinkan pikiranku yang kalut.
Aku berjalan berdampingan dengan Erga di tengah jalanan berkabut, meniti jalan beraspal agar kita tidak keluar jalur dan masuk kembali kedalam hutan di sebelah kanan dan kiri.
Bagi Erga, jalanan ini sudah dilaluinya saat perjalanan tadi malam dengan mengemudikan mobil menuju lokasi pabrik, namun bagiku yang tertidur di perjalanan, ini adalah jalanan kosong yang menuju ke ujung dunia.
Aku melihat sebuah cahaya dua bola lampu kendaraan mendekat dari arah belakang kami berjalan, dengan sigap pula aku melambaikan tangan dengan menyilangkan keduanya di atas kepalaku.
Aku berharap dapat memberi tanda agar ada seseorang yang dapat mengangkat nasib buruk yang menimpaku.
Erga berlari, menarik bajuku yang sudah compang-camping dengan robekannya, sehingga kita berdua seakan melompat ke tepi jalan beraspal.
Ya Tuhan! Bajuku robek dengan sempurna, terlepas dengan mudahnya dari badanku yang sekarang menggigil karena dingin.
“Ga lu apaan ini baju gue lepas”
“Lu bego Yuk! Gue curiga itu bus setan!”
“Wah bener juga, untung masih jauh ga”, timpalku dengan mengusap tubuhku yang sekarang sudah telanjang setengah badan.
Kami bersembunyi di belakang tumpukan jerami di pinggir jalan, dengan keadaan berbaring tengkurap layaknya kembali mengintai musuh dalam peperangan.
Benar saja, itu adalah bus yang kami lihat di jalan tanah bebatuan penghubung mess dan pabrik.
Aku dan Erga menoleh ke arah masing-masing dari kami, memberi isyarat untuk menunggu bus itu melewati tumpukan jerami tempat kami berlindung.
Beberapa saat kemudian bus itu menghilang, aku disusul dengan Erga membalikan badan sehingga kami kembali merasakan nyamannya memandang ke langit yang tertutup kabut.
“Yuk, ini jalan tempat bus itu ilang dulu, berdoa aja kita ga ikut ikutan ilang terus gentayangan disini”, celoteh Erga dengan nafas tersengkal-sengkal.
“Lu enak nyet! Kalo jadi setan pake baju, pake jaket. Lah gue telanjang gini kaya mau cari belut”.
Semakin lama kita terdiam, semakin lelah menggerogoti tubuhku, dan kurasakan mataku perlahan terlelap dengan dinginnya angin yang berlalu.
Wussshhh...wusshhhh...wussshhh…
Suara beberapa kendaraan yang melewati jalan beraspal membangunkan tidurku.
Kutengok Yuka masih tertidur di sampingku dengan setengah telanjang.
Kucoba membangunkan Yuka yang terlihat kotor dan tidak terurus.
Yuka terbangun, menatapku dengan curiga dan dia mengusap jerami yang menempel di sekujur tubuhnya.
Akhirnya aku dan Yuka berjalan di tepian jalan beraspal yang sepertinya sudah dari beberapa saat yang lalu dilewati beberapa sepeda motor.
Aku merasa selamat, mereka adalah karyawan pabrik yang hendak pulang dan pergi bekerja di pabrik.
Beberapa orang melihat kami dengan pandangan terheran-heran, layaknya melihat dua orang gelandangan yang tidak tahu arah dan tujuan.
Sampailah kita di belokan jalan terakhir sebelum gerbang pabrik, kulihat dari jauh Pak Jum yang sepertinya sudah sehat sedang memandu sebuah truk besar keluar dari dalam kawasan industri.
Kami semakin mendekat dan mempercepat langkah yang tak bertenaga.
Semakin kurasakan luka di tanganku mengering tak berasa, sementara Yuka berceloteh menahan lapar dan malunya.
“Astaga! Mas mas ini dari mana saja?”, Pak Jum menyambut kami dengan penuh tanda tanya besar.
Itulah akhir pelarianku dengan Yuka, kami menuju mess dengan sambutan tak biasa dari teman-temanku disana.
Dibalik perjalananku dan Yuka melewati Hutan Sembarani, jelas bukan hal biasa yang kami alami.
Kami menghilang sejak siang itu, Pak Ono selaku saksi terakhir yang menjumpai kami memberikan banyak sekali keterangan kepada orang-orang.
Di sisi lain, Rasha dan Rena yang mendapati kami menghilang telah melaporkan kejadian ini kepada kantor pusat dan anehnya pihak perusahaan tidak menyetujui adanya laporan kepada pihak berwajib dan menolak melakukan pencarian.
Sementara kami menghilang hampir tiga hari lamanya, Rasha dan Rena mempersiapkan semua persiapan pekerjaan yang baru.
Sambil sesekali mereka menangis karena mengingat apa yang terjadi dengan aku dan Yuka.
Pabrik sudah beroperasi, semua sudah menjalankan tugasnya masing-masing kecuali aku dan Yuka yang harus beristirahat sekitar 2 hari lamanya di kamar mess karena terlalu lelah.
Ada satu yang mengganjal pikiranku selama aku termenung di atas kasur, apakah benar kami menghilang selama 3 hari lamanya? Jika di hitung perdetik pun, rasanya kami hanya melewati hutan itu selama 30 menit.
Atau mungkin kami tertidur di pinggir jalan beraspal itu berhari-hari? Rasanya aneh mengingat tanggal di kalender ponselku masih menunjukan hari yang sama saat kita masuk ke dalam hutan, yaitu hari minggu pertama kedatangan kami disini.
Entah apapun itu, kami sepertinya melompat 3 hari ke masa depan, membawa kesan pertama yang cukup buruk disini.
Dan ternyata semua itu hanya menjadi awal semua ceritaku di tempat berkabut ini, dibawah Bukit Sangkala, di apit oleh heningnya hutan Sembarani.