Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"

Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta


Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
222.5K
1.2K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#67
Part 16
Setiap orang pasti akan mempunyai jawaban sendiri jika dihadapkan pada sebuah pertanyaan, "Apa itu kebahagiaan?" Karena menurut gue pribadi. Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling tidak bisa diukur dengan skala apapun. 

Suatu waktu gue pernah beranggapan, bahagia itu ketika; Pekerjaan, percintaan, persahabatan, pertemanan semuanya berjalan seimbang. Dan tentunya minimal ada 9 digit angka 0 di dalam rekening bank. 

Tapi coba lihat kenyataannya saat ini, saat gue menuliskan kisah hidup ini. Rasanya semua itu hampir tidak ada arti. Maksud gue, apa gunanya itu semua kalau bahkan saat ini gue tidak bisa keluar rumah. Melihat bagaimana saat ini gue sudah sangat bahagia bisa bepergian dengan leluasa. Semakin membuat gue percaya jika bahagia adalah sebuah makna bebas yang tidak akan pernah menetap pada suatu utas.

Dan jika merunut lagi jauh ke belakang, saat dimana peralihan antara tumbuh dan berkembang. Saat kebahagiaan seperti udara yang ada di dalam setiap tarikan nafas. Saat itu gue merasa hidup gue sudah sangat bahagia; gue bisa bermain ps setiap hari di rumah Nata, gue bisa ke warnet setiap hari ditraktir Nata, gue bisa makan enak setiap hari di rumah Nata atau Abdul, gue bisa jajan apa saja walaupun gue tidak mempunyai uang. Semua itu sudah membuat gue bahagia, tanpa harus dipusingkan masalah-masalah perasaan atau cinta yang gue rasa belum seharusnya gue rasakan. 

Sialnya, inilah hidup; tumbuh dan berkembang; waktu selalu mengalihkan, membawa perubahan dan perubahan seperti bayangan; selalu mengikuti dan hanya bisa dilihat di belakang cahaya yang datang; gue tidak akan pernah melihatnya sebelum gue memalingkan wajah dari cahaya yang datang. Dan (lagi-lagi) sialnya, saat gue berhenti untuk sekedar melihat waktu yang telah dilalui. Gue tidak menyadari jika perubahan juga sudah menyambangi. Entah sejak kapan semua kebahagiaan itu akan selalu terasa kurang tanpa adanya siraman-siraman perasaan yang membuat bunga-bunga di dalam hati tumbuh dan berkembang.

Semenjak hari itu; gue mengetik, mencetak, dan memberikan tugasnya Melodi yang dengan terpaksa gue kerjakan. Entah kenapa gue merasa main Playstation rasanya kurang menyenangkan. Rasanya selalu ada yang kurang dan mengganjal di dalam perasaan.

Hari itu minggu pagi, cuaca sangat dingin karena semalaman Jakarta diguyur hujan yang bahkan saat gue terbangun hujan belum juga mereda, ditambah suhu air conditioner yang disetel dalam suhu terendah. Membuat gue terbangun pada pukul empat karena merasakan dingin yang begitu hebat.

Entah kenapa saat itu gue tidak kepikiran untuk menaikan suhu air conditioner. Yang gue lakukan saat terbangun adalah merebut selimut yang seluruhnya menyelimuti tubuh Nata kemudian menggunakannya untuk gue sendiri. "Gantian!" Pikir gue. Lalu kembali melanjutkan tidur.

Tidak lama setelah itu gue merasa Nata beranjak dari tempat tidur lalu gue juga mendengar Nata pergi meninggalkan kamar. Saat itu gue berpikiran kalau Nata pindah ke kamar Bella yang saat itu Bella sudah tinggal di rumahnya sendiri bersama suaminya.

Walaupun kamar dan tempat tidur Nata luas, jika gue menginap di rumah Nata, kami sering berebut selimut seperti itu. Biasanya lebih sering gue mengalah jika sudah berebut seperti itu. Tapi kala itu, entah mengapa. Nata bahkan tidak protes selimut berada dalam kekuasaan gue sepenuhnya—gue beranggapan saat itu Nata pindah ke kamarnya Bella.

Namun anggapan gue saat itu salah. Saat Bibi; asisten rumah tangga di rumah Nata, namun bibi hanya bekerja di pagi hingga sore hari, datang di saat seisi rumah sudah berangkat menjalani aktivitasnya dan pulang saat sudah ada salah satu dari anggota keluarga di rumah ini kembali ke rumah, Bibi juga biasanya libur jika hari libur. Itulah kenapa saat itu gue sedikit kaget saat Bibi mengetuk pintu kamar Gue, maksudnya pintu kamar Nata yang saat itu gue sedang menginap di dalamnya.

"Mas Tole, ini Bibi sudah selesai masaknya. Mas Tole kalau mau makan ada di bawah. Sama ini kunci rumah, Bibi pulang yah."

"haah?" Gue keheranan.

"Iyaaa kan Bapak, Ibu, sama Den Nata lagi pergi. Tadi Bibi di telpon katanya ada kamu di sini. Bibi disuruh masak sebentar buat kamu."

"Lah si Nata engga bilang mau pergi?" 

"Lah gimana. Yaudah Bibi pulang yo, Mas. Kalau mau tidur lagi kunci pintu dulu." 

"Eh iya Bi. Oh iya emang pada pergi kemana?" 

"Ndak tau, Mas. Ibu bilangnya cuma mau kimpoiin Den Nata, gitu."

"Haaah?"

"Si Masnya kaya endak tau Ibu aja. Wong di rumah iki isine Wong Gendeng kabeh, hahaha."

Lalu saat Bibi pulang gue mengunci pintu depan. Kemudian gue mencoba melakukan apa yang biasa Nata lakukan saat minggu pagi. Menyalakan tiga TV yang ada di ruang keluarga rumah ini secara bersamaan; Satu TV untuk menonton kartun minggu pagi, satunya lagi untuk menonton siaran langsung pertandingan NBA, dan satunya lagi untuk menonton channel berita. Gue menonton ketiganya bersamaan sambil sarapan. Dan hasilnya kepala gue rasanya ingin pecah!

Gue juga tidak bisa mengerti mengapa Nata bisa menikmati itu, menonton tiga channel tv secara bersamaan dan bisa menikmatinya. Namun jika mengingat perkataan Bibi sebelumnya jika seisi rumah ini adalah wong gendeng. Ya itu pasti juga termasuk anak bontotnya, Nata.

Iya dia memang gendeng!

Karena merasa pusing pada tiga TV yang menyala dengan channel siaran yang berbeda, akhirnya gue mematikan dua diantaranya dan menyisakan siaran berita saja.

Di tengah-tengah asiknya menikmati sarapan sambil mendengarkan berita dari siaran berbahasa Arab. Gue dikagetkan oleh suara Bel rumah ini yang berbunyi. 

Gue melangkah pelan ke pintu depan. Sedikit bingung karena tuan rumah sedang tidak ada di rumah, gue bingung harus berkata apa pada si tamu nanti jika dia menanyakan hal-hal aneh macam: yang punya rumah siapa? Kamu siapa? Ngapain? Kok bisa kamu disini sementara orang rumahnya ga ada? Kamu maling yah? 

Namun kebingungan itu makin menjadi-jadi saat gue mengintip dari jendela dan melihat Melody sedang berdiri di depan pagar. Lalu gue pun membuka pintu dan menghampirinya.

"Tole." Sapa Melody sambil tersenyum dan hal itu membuat gue makin bertanya-tanya; Mengapa Melody tidak terkejut karena gue yang keluar dari rumah ini bukannya Nata atau siapapun yang seharusnya menyambut tamu di rumah ini.

"Mel, ngapain lo Mel? Natanya engga ada, lagi pergi engga tau kemana." Ucap gue.

"Gue engga nyariin Nata, Le. Gue kesini kan mau ketemu elo."

"Haaah."

"Ini gue didiemin di depan gini ajah nih? Ga di suruh masuk?" 

Jujur saat itu gue sedikit takut, gue takut nanti Nata, Nyokapnya, atau bokapnya menyangka gue memanfaatkan situasi kosongnya rumah ini untuk mengajak Melody ke rumah ini. Ya bagaimana pun gue dianggap keluarga di rumah ini, tetap saja gue orang lain dan tidak etis rasanya menerima tamu saat pemilik rumah ini tidak ada. 

Lalu gue pun membuka pintu gerbang, namun tidak membiarkan Melodi masuk. Gue terlebih dahulu ke rumahnya Abdul untuk membicarakan itu. Namun sayangnya, Abdul dan keluarga juga sedang pergi entah kemana. Akhirnya pun gue merasa bingung sendiri.

"Lo kenapa sih kaya orang bingung?" Tanya Melody.

"Iyalah gue bingung, Mel. Gue bukannya engga mau ngajak lo masuk. Tapi ini bukan rumah gue. Abdul juga ga ada, kalo di rumah Abdul ada orang mungkin gue ngajak lo masuk ke rumah Abdul. Tapi ini dua-duanya rumah ga ada orang dan bukan rumah gue, Mel. Gue takut."

"Oh begitu, tapi gue ke sini di suruh Nata. Katanya suruh temenin lo soalnya dia pulang bakalan malem banget katanya."

"Haaah??" Gue terkejut. "Gendeng emang lo! Gendeng!!" Gue membatin mengutuk Nata.

Melody lalu mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket yang dia kenakan, kemudian menghubungi seseorang.

"Hallo Nat, ini gue udah di depan rumah lo nih." Ucap Melody sepertinya menelpon Nata.

"..." Entah apa yang Nata ucapkan pada Melodi.

"Ada, nih lagi sama gue di depan rumah lo. Katanya ga berani ngajak gue masuk!"

"..."

"Ohh bentar. Le! Ni nata mau ngomong." Melodi menyodorkan ponselnya, gue meraihnya.

"Oit." Ucap gue.

"Udah bangun lo?" Tanya Nata.

"Belom ini masih tidur! Eh setan lo kemane? Kaga bilang kalo mao pergi. Tau gitu gue engga nginep."

"Hahahaha, sengaja! Yaudah kan udah gue suruh Si Melodi buat nemenin lo..."

"Ya mulai gila deh nih anak. Ga lucu, Nat. Sumpah!"

"Hahaha, lagian gue engga lagi ngelucu, Le. Udah lo ajak Melodi masuk, gapapa. Rumah gue kan rumah lo juga."

"..." Gue berdiam.

"Le!"

"Hmmm"

"Coba dulu! Gue, Abdul, Renal ga tega liat bengang-bengong kalo gue gue lagi pacaran. Kan kalo lo pacaran sama Melody kalo kite jalan lo ga jadi obat nyamuk doang! Udeh coba dulu deh. Gue yakin lo juga udah mulai ngerasa kesepian, kan. Ditinggal gue gue pacaran!"

"Amjing!!"

"Udah yah Le ya! Kasian pulsa Melodi entar abis. Have a nice day, Tole. Hahahah!"

"Setan lo!!"

Lalu gue mengajak Melody masuk ke dalam rumahnya Nata dan saat melihat ke meja makan. Gue menyadari jika ini semua sudah direncanakan.

"Pantesan Si Bibi masak banyak banget." Gue membatin. "Mel, lo mau sarapan, Mel?" Tanya gue.

Melodi menggelengkan kepala, "Gue udah sarapan tadi." Ujarnya lalu duduk di sofa yang ada di ruang keluarga rumahnya Nata. "Ini serius lo nonton Al-Jazeera, Le?" Tanya Melodi.

"Ah, oh, iyaa."

"Bahasa Arab gini? Lo ngerti?" 

"Engga juga sih."

"Lah kalo engga ngerti ngapain di tonton?"

"Iseng ajah sih, Mel." Sahut gue kemudian melanjutkan sarapan di meja makan.

"Gue ganti gapapa, yah?"

"Iya, ganti ajah."

"Ehhh Le."

"Kenapa Mel?"

"Ini remote nya yang mana, banyak banget!?"

lalu gue memberikan remote yang tepat. Sudah gue katakan jika di ruang keluarga rumah ini ada 3 TV yang dipasang sejajar dengan masing-masing decoder-nya. Setelahnya Melody mengganti-ganti chanel TV hingga kemudian berhenti pada saluran TV yang fokus menyiarkan anime-anime dari negeri Jepang.

"Lo suka kartun?" Tanya gue.

"Anime?"

"Iyah itu."

"Lumayan. Lo emang engga suka?" Tanya Melody.

"Suka sih, yang tau-tau ajah paling. Engga kaya si Renal sama si Abdul yang maniak banget jejepangan."

"Oh, gue juga suka yang tau ajah. Lo suka apa ajah?" Tanya Melody.

"Yah paling, Dragon Ball, Yugi-Oh, Hunter x Hunter, Nube, Inuyasha, Conan ya... standar aja sih"

"Itu sih bukan standar, dari yang lo sebut ajah gue cuma taunya Conan doang."

"Masa sih, itu kan semuanya ada di Indosiar kalo minggu pagi."

"Gue kan jarang di rumah minggu pagi."

"Oh, kemana?"

"GEREJA."

Let's press the pause button for a while and jump to future!

Gue ingat ada hal menarik pada masa-masa awal pandemi covid-19 ini yang mungkin bisa membuat gue atau kalian sedikit mengerti kondisi setelah gue berduaan dengan Melody di rumahnya Nata kala itu. 

Gue ingat, pada awal-awal pandemi. Di Jakarta, Pemerintah Provinsi menetapkan peraturan ketat yang membatasi kegiatan bersosial warganya secara besar. Mulai dari perkantoran, hiburan, pendidikan bahkan peribadatan semuanya dibatasi kegiatannya dan dianjurkan untuk melakukan segalanya di rumah saja.

Ada hal yang membuat gue tergelitik kala itu, di mana saat semuanya dibatasi, bahkan untuk beribadah di masjid, gue justru melihat beberapa masjid dipenuhi orang. Bahkan gue melihat orang yang biasa tidak pernah ke Masjid, saat itu tiba-tiba menjadi rajin untuk beribadah di masjid. Bukan hanya itu, orang-orang itu juga mengecam pembatasan itu! Bahkan ada beberapa diantara mereka yang lantang berbicara jika Pemerintah sedang melakukan degradasi keimanan—dengan melarang orang untuk beribadah di tempat peribadatan.

That's so foolish funny right!? Maksud gue, kemana saja mereka selama ini, saat beribadah tidak dibatasi, mereka justru enggan untuk menundukan diri kepada Sang Ilahi. Sedangkan di saat ibadah dibatasi demi kebaikan, kesehatan dan keselamatan banyak orang. Mereka justru berteriak lantang seolah mereka paling beriman.

Maksud gue, apakah kita harus dilarang? Karena kita gemar sekali melanggar aturan. Contoh lain saja, HELM. Kita tahu bagaimana helm itu menjadi wajib untuk pengendara roda dua, tapi kadang kala kita mengabaikan keselamatan tempurung kepala. Apakah alasan dekat membuat kita lupa jika jarak malaikat maut dan kita juga begitu dekat?

Garis besarnya mungkin benar jika manusia itu makhluk yang emosional bukan rasional. Karena beberapa kali manusia selalu mengabaikan alasan yang rasional demi memuaskan hasrat emosional. 

Apa kalian tahu bahaya merokok?
Apa di dalam bungkus rokok tidak ditulis ancaman dari sebatang rokok?

Jika sudah jelas rokok membunuh, kenapa masih saja banyak dari kita yang melakukan itu?

Aah, sialnya gue pun masih melakukan itu. Karena sekali lagi gue adalah manusia emosional yang melakukan sesuatu atas dasar emosi dan perasaan hingga kerap mengabaikan hal-hal yang rasional.

Seperti saat gue mengetahui jika Melodi memiliki keyakinan yang berbeda dengan apa yang gue yakini. Gue bukannya meyakinkan hati dengan sesuatu yang rasional yang akan terjadi, gue justru menutup akal gue dengan hasrat emosi untuk memiliki. Ahh, Tuhan! Kenapa manusia selalu senang melakukan hal-hal yang dilarang?

Apakah ini warisan dari Adam dan Hawa?

Gue tidak mengerti, mengapa saat gue mengetahui jika Melody "berbeda" justru timbul hasrat gue ingin mengenalnya lebih dalam. Dan gue juga tidak mengerti kenapa saat itu, tiba-tiba saja percakapan gue dan Melodi menjadi lebih bisa mengalir dari pada sebelumnya. 

Saat itu gue menjadi lebih "bawel" dari biasanya. Bahkan saat itu rasanya gue seperti sedang menginterview Melodi karena memang gue banyak menanyakan pertanyaan padanya. Apalagi pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dengan "Gereja."

"Lo kenapa, sih. Kok kayanya tertarik banget sama Agama gue?"

"Emmpp, karena gue engga percaya ada Agama yang ngajarin buat musuhin Agama lainnya!"

"Maksudnya?" Tanya Melody heran.

"Agama itu suci, Mel. Tapi engga manusianya. Ajaran Agama itu semuanya baik dan untuk kebaikan, Mel. Tapi kadang manusianya engga. Gue engga munafik, kalo ada penceramah di agama gue. Gue engga bilang dia itu guru agama, yah. Gue pernah dateng ke satu acara, yaahhh... Pengajian tapi engga pantes dibilang pengajian. Apa yah, tabligh akbar kali yah."

"..." Melody memperhatikan.

"Yah intinya di sana penceramahnya ya gitu. Ngata-ngatain agama lain. Menurut gue engga pantes ajah begitu! Karena gue diajarin sama guru-guru ngaji gue kalo Agama gue itu menghormati Agama lainnya walaupun berbeda. Tapi intinya tetep sama, kan? Menyembah, menyerahkan diri pada Tuhan."

"Agree! Gue juga berpikir begitu, sih. Toh, engga mungkin ada Agama yang ngajarin kejahatan. Semuanya pasti ngajarin untuk kita semua bersikap baik dan engga melukai."

Gue memandangi Melodi yang tengah berbicara dan entah kenapa hati gue merasakan sebuah perasaan yang sulit dijelaskan. 

Apakah bunga itu tumbuh?


Tanpa terasa gue dan Melody sudah berbincang hingga melewati tengah hari. Lalu gue mengajak Melody makan siang—dengan makanan yang sudah disiapkan Bibi pada pagi harinya.

Sebelum makan gue melihat Melody membekap kedua telapak tangannya kemudian diarahkan sedikit menyentuh bibirnya. Melihat hal itu, gue pun menengadahkan kedua telapak tangan gue ke atas—searaya kami berdua berdoa dengan cara kami masing-masing.

Setelah kami selesai entah kami saling melempar senyum dan tawa, entah apa yang kami tertawakan. 

"Le?" Panggil Melody di tengah makannya.

"Iya, Mel."

"Apa selama ini lo ngehindar dari gue karena ini?" Tanya Melody entah mengapa gue melihat raut wajahnya berubah. "Gue yakin lo pasti tau, Le."

"Pasti tau apa?" Tanya gue memastikan.

"Lo lagi pura-pura polos apa emang beneran polos sih, Le?" Sahut Melodi kemudian meletakan peralatan makannya di atas meja. Entah kenapa gue seperti tidak asing dengan situasi semacam ini—gue teringat Karina yang berbicara hal yang sama dengan apa yang diucapkan Melodi.

"..." Gue berpikir sejenak karena gue ragu apa yang akan gue ucapkan saat itu adalah sesuatu hal yang tepat atau tidak. 

"... Mel?" Panggil gue.

"..." Melodi hanya melirikan matanya.

"Gue engga pantes buat lo, Mel. Lo belom kenal siapa gue..."

"Yah gimana gue bisa kenal sama lo, kalo selama ini lo ngehindarin gue? Lo sadar ga kalo hari ini itu pertama kalinya gue bener-bener ngobrol sama lo?" Sambar Melodi.

"..." Gue terdiam.

"Terus lo ngomong gitu, apa lo ngerasa udah kenal sama gue sampe lo bisa nilai kalo lo engga pantes buat gue?" 

"..."

"Everything about me as you'd know, it's just skin! And everything you know it's just skin.."

"Ah elah, gue heran kenapa sih anak-anak di sekolah demen bat pake bahasa inggris!? Gue kaga ngarti Mel elaaahh!"

"..." Melodi terdiam sejenak lalu tertawa terbahak-bahak. "hahaha... Hahaha... Hahaha... "

"..." Gue hanya memperhatikan dia tertawa.

"... Sorry-sorry. Lo tau, lo itu funny! Menyenangkan. Lo jujur, lo engga munafik, lo apa adanya..."

"Engga juga! Lo belom kenal gue ajah."

"Yaudah kenalan." Melody lalu menyodorkan telapak tangannya. "Gue Melodi!"

"..." 

"Lo engga mau kenalan sama gue?" 

"Mel..." Gue menyambut tangannya. "... Gue Widi, but you can call me Tole."

"Oke, Widi. Nice to meet you."

Gue hanya bisa melihatnya tersenyum sambil merasakan betapa tidak halusnya telapak tangan Melodi. Hey man, she is a guitarist!
MFriza85
joyanwoto
noejbr
noejbr dan 42 lainnya memberi reputasi
43
Tutup