annaonymusAvatar border
TS
annaonymus
The Thread (Pre-words)
Hallo agan-agan dan sista-sista....
Sebelum mulai cerita, kenalan dulu boleh yaah hehehe.
Kenalin, aku Anna, pengguna baru di Kaskus, dan thread yang nanti Anna posting adalah thread pertama Anna. Jadi mohon maaf ya kalau nanti agak berantakan, karena Anna juga masih belajar emoticon-Smilie

Anna spoiler dikit yaah hehehe... 
Thread yang mau Anna share ini cerita fiksi yah, semua murni khayalan Anna aja. Bukan khayalan sih, sebenarnya Anna dapat inspirasi ini dari mimpi. Jadi kalau ada kesamaan nama, latar, tempat, dan lain-lain, atau mungkin agak menyinggung Anna mohon maaf ya, karena Anna nggak bermaksud demikian. 
Thread ini menceritakan tentang Silvana yang hobi baca thread di Twitter. Suatu hari, Silvana nemu thread aneh yang ceritanya cukup seru, tapi thread itu langsung hilang tepat setelah dia baca. 
Suatu hari, Silvana mendapat ajakan open trip ke Pulau Bening. Karena butuh liburan, Silvana pun tertarik untuk ikut. Tapi siapa sangka, ternyata thread yang dia baca beberapa waktu lalu itu ternyata firasat?

Satu lagi, 'The Thread' adalah cerita thriller pertama yang aku tulis. Kalau agan dan sista ada kritik dan saran, silakan yaa. Supaya Anna bisa menulis lebih baik. Tapi kritiknya yang membangun yaa emoticon-Smilie
Cerita ini juga udah aku post di blog pribadi aku, dan udah selesai. Ini link-nya ya agan dan sista: https://catatanceritaannaonymus.blogspot.com/
Silakan mampir ^ ^
Sama seperti kaskus, aku juga baru belajar ngeblog ehehehe. Jadi maaf yah kalau masih berantakan 

Allright then, happy reading!
Quote:


bukhorigan
bleedingscream
tien212700
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
528
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
annaonymusAvatar border
TS
annaonymus
#4
The Thread (Chapter 3)
Silvana mengambil celengan bergambar Frozen yang ia simpan, tepatnya ia pendam, di dalam lemari. Ia membongkar celengan itu dengan menggunakan gunting besar. Celengan itu hanya terbuat dari kardus tebal, jadi tidak sulit membukanya. Setelah terbuka setengah, ia menuang isi celengan itu hingga kosong ke atas tempat tidur, tersebarlah uang recehan mulai dari dua ribu rupiah hingga dua puluhan ribu rupiah. Sebenarnya uang tabungan itu hendak ia gunakan untuk membeli kamera. Tapi tak apalah, saat ini ia juga butuh liburan, dan open trip itu membuat kebutuhan itu kian terasa mendesak. Toh kamera ponselnya masih cukup bagus untuk mengambil gambar.

Uang itu sudah terkumpul dua juta tiga ratus ribu rupiah. Ia masih punya waktu dua bulan untuk menabung sekitar satu juta dua ratus ribu rupiah ditambah uang saku. Pulau Bening, I’m coming!!! Pikir Silvana sambil senyum-senyum merapikan uangnya.

“Aku mau ikut open trip seminggu, Bu,” Silvana meminta ijin ibunya siang itu. Besok ia berencana mendaftar.

“Ke mana? Lama banget seminggu?” tanya Ibu Silvana tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel di genggamannya.

“Pulau Bening.” Sama seperti Silvana, Ibu Silvana juga tidak tahu-menahu tentang Pulau Bening, bahkan belum pernah mendengarnya. Silvana menjelaskan secara singkat tentang letak pulau itu, ditambah spot menarik apa saja yang ada di sana, dan fasilitas yang ditawarkan oleh penyelenggara open trip.

Ibu Silvana meletakkan ponselnya dan terdiam menimbang-nimbang. Dari raut wajahnya, tampaknya Ibu Silvana agak keberatan mengijinkan putrinya untuk pergi. “Bayarnya berapa, Sil?”

“Tiga juta lima ratus. Aku udah ada tabungan sih buat ikut,” kata Silvana cepat-cepat.

Lagi-lagi Ibu Silvana terdiam dengan ekspresi keberatan. “Tapi kok Ibu kayak nggak sreg ya kamu ikut jalan-jalan ke Pulau Bening?” gumam Ibu Silvana.

“Nggak sreg kenapa?” Perasaan tidak suka mulai muncul di benak Silvana. Namun ia berusaha menahannya.

“Nggak tahu. Pulau itu kayak jauh banget. Kalau mau jalan-jalan yang dekat aja.”

Dengan sabar, Silvana mencoba menjelaskan. “Ibu, Silvana kan udah gede, udah bisa jaga diri. Nggak apa-apa lah jalan jauh. Nanti juga perginya ramai-ramai.”

“Iya, Ibu tahu. Tapi kamu nyeberang laut. Apa nggak takut ombaknya gede?”

 Silvana tersenyum. “Ini bulan Agustus, Bu. Musim panas. Insyaallah aman.”

Namun penjelasan itu seolah tak cukup. “Lagian apa nggak kemahalan tiga setengah juta buat jalan-jalan aja? Kan bisa dipakai buat kebutuhan lain.”

Kali ini alasan Ibu Silvana agak membuat Silvana kesal. Kenapa Ibu Silvana melarang Silvana liburan hanya karena biayanya mahal? Bukankah itu sudah jadi hak Silvana? Dia yang bekerja mencari uang, tidak pernah meminta sepeserpun uang untuk biaya kuliah ataupun uang jajan, dan tabungannya adalah hasil keringatnya sendiri. Dan lagi, Silvana bukan anak yang pelit. Ia selalu memberi sebagian besar gajinya kepada ibunya. Meski tidak besar, setidaknya uang itu bisa digunakan untuk tambah-tambah kebutuhan sehari-hari. Silvana tidak pernah egois menghabiskan sendiri uang hasil kerjanya. Ia bahkan selalu menolak kalau Fajar mengajaknya ikut naik gunung atau pergi keluar kota bersama anggota MAPALA.

“Bu, tolong lah, ijinin Silvana liburan. Selama ini kan Silvana nggak pernah ke mana-mana dan nggak pernah ngapa-ngapain selain kuliah sama kerja. Sekali-kali Silvana juga pengen jalan-jalan,” bujuknya setengah mengeluh.

“Iya, Ibu ngerti. Tapi kok kayaknya feeling Ibu nggak sreg ijinin kamu pergi.”

Silvana menghela napas cukup panjang menahan diri supaya tidak marah-marah. Meski saat ini ia kesal setengah mati karena ibunya tidak mengijinkan, beliau tetaplah orang tua Silvana dan Silvana tidak mau jadi anak durhaka yang membentak-bentak ibunya. Akhirnya Silvana tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan jurus pamungkas.

“Yah, Silvana udah terlanjur daftar, udah bayar juga. Kalau Silvana nggak ikut uangnya hangus, nggak bisa kembali.” Kalau udah begini, nggak mungkin kan Ibu mau ngelarang lagi, batin Silvana sambil tersenyum dalam hati.

Wajah Ibu Silvana masih menampakkan ketidak ikhlasan, namun beliau tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kalau sudah begitu, mau bagaimana lagi? “Ya udah, tapi kamu hati-hati ya.”

Silvana menahan diri supaya tidak tersenyum terlalu lebar. Bingo! “Iya, Bu. Tenang aja. Ya udah, Silvana berangkat kerja dulu ya. Assalamualaikum,” ucapnya sambil mencium tangan sang ibu.

“Waalaikumsalam.”

Silvana tahu, meski ibunya mengijikannya pergi, namun beliau tampak tidak ikhlas. Ibu Silvana terpaksa memberinya ijin karena Silvana telah membohonginya dengan mengatakan bahwa ia sudah terlanjur membayar untuk ikut open trip. Sebongkah rasa bersalah membebani hati Silvana, namun ia berusaha menepis perasaan itu. Silvana bukanlah gadis yang suka berbohong, sehingga satu kebohongan kecil terasa sangat tidak mengenakkan.

Tapi kalau tidak begitu, maka Silvana tidak akan pernah pergi. Ia mungkin tidak akan pernah tahu rasanya pergi jauh bersama teman-temannya, upload foto di media sosial bersama teman-teman kampusnya dengan latar belakang pemandangan indah tempat wisata, dan tak pernah punya cerita seru sepanjang kuliah selain pergi ke kampus dan bekerja di kedai kopi. Kemudian Silvana akan menyesal setelah lulus karena tidak pernah bersenang-senang. Ya, sesekali berbohong tak apa-apa. Bukankah itu yang dilakukan kebanyakan anak muda terhadap orang tuanya? Lagipula ia tidak merugikan siapapun. Silvana toh tidak meminta uang untuk biaya perjalanan dan uang saku. Berbeda dengan ibunya yang setiap kali ingin pergi keluar bersama Om Heri selalu menghabiskan uang paling tidak dua ratus ribu rupiah yang selalu membuat Silvana sakit kepala mengatur keuangan rumah.

Silvana mengerjap saat seseorang menjetikkan jari di depan wajahnya. “Apaan sih?! Ngagetin aja!” omelnya.

Fajar tertawa kecil. “Elah, sensi amat,” sahut cowok itu seraya mengenakan celemek dan topi kuning khas kedai kopi tempat mereka bekerja. “Udah daftar open trip?”

Silvana menggeleng kecil. “Duit gue belum cukup.”

“Daftar aja dulu, boleh kok bayar setengahnya. Buat booking. Kuota udah hampir penuh ini. Banyak ternyata yang ikut.”

“Oh ya?” Wah, Silvana harus cepat-cepat memberitahu Tyas sebelum mereka kehabisan kuota dan tidak jadi ikut open trip.

“Iya, Pak Arif sama Pak Sandi aja ikut,” lanjut Fajar seraya mengambil kanebo untuk membersihkan meja bar. Meski Fajar cowok, dia termasuk rajin dan bersih dalam bekerja. Ia bahkan lebih rapi dan bersih daripada Silvana, yang membuat cewek itu terkadang merasa minder.

Pak Arif dan Pak Sandi adalah dosen kampus mereka. Semula, Silvana merasa was-was karena telah membohongi ibunya. Dalam benaknya, ia sedikit merasa takut akan terjadi sesuatu kalau pergi tanpa restu ibunya. Tapi ternyata dua orang dosen ikut dalam open trip Pulau Bening. Silvana yakin perjalanan akan aman karena ada ‘orang tua’ yang bisa melindungi mereka. Semuanya akan baik-baik saja.
0