artrarasAvatar border
TS
artraras
VON


Katanya Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar batas hambanya. Benarkah? Maaf, lagi-lagi aku meragukanmu.



Masih seperti pagi biasanya, Asa bangun dengan peluh membanjiri tubuhnya, bukan dengan alunan suara burung apalagi suara lembut ibu dan tepukan halus. Asa tidak pernah merasakan itu. Dengan malas Asa pun beranjak, meraih handuk yang tergantung dibelakang pintu dan melampirkannya dibahu sedangkan tangan kanannya sibuk mengambil peralatan mandi yang berada didalam gayung. Gayung biru dengan stiker spongebob lagi badmood, mala rada kekelupas pula itu stiker.

Keluar dari kamar kos sambil menguap lebar, berjalan sedikit cepat menuju ke kamar mandi. Kamar mandi umum. Maklum aja, kos murah jadi fasilitas seadanya. Begitu sampai dilantai bawah, tepat didepan kamar mandi, tangannya yang bersiap membuka pintu pun tertahan, tubuhnya sedikit tertarik kebelakang. Kerah bajunya ditarik gaes.

“Et et et.. gue duluan dong. Bocah ngalah ya sama abang”

“Gak, gak bisa” mencoba melepaskan diri tapi lagi-lagi Asa kalah cepat. Barra –pelaku penarikan kerah sudah masuk duluan kedalam kamar mandi.

“Gue ada kelas pagi dek, maklum dong” teriak Barra dari dalam kamar mandi.

Sialan emang, dia kira dia doang yang ada kelas pagi. Asa yang masih SMA ya jelas selalu masuk pagi. Heran sama orang dewasa.

Sambil ngedumel gak jelas, Asa pun berjongkok ngitungin semut yang baris dipojokan dinding. Samar-samar bisa ia dengar suara ibu kos yang dengan bar-bar membangunkan anaknya. Membuat sudut bibir Asa tertarik membentuk lengkung keatas.

“Gila lo ya senyum-senyum sendiri” Barra yang baru keluar kamar mandi dengan handuk diatas rambutnya menatap ngerih Asa yang masih setia jongkok dipojokan.

Asa mendengus “Gak gila gue cuma kebelet beol”

“Baru lo doang yang kebelet tapi senyum-senyum bukan merinding”

“Bicik. Awas minggir” Asa sedikit mendorong bahu Barra dan membanting pintu lumayan keras setelahnya sampai Barra yang masih didepan pintu pun terlonjak kaget dan mengumpat.



Emang sial banget nasib Asa, baru aja sampai gerbang sekolah, ia sudah melihat pemandangan menyakitkan. Sedikit jauh diparkiran motor, ia bisa melihat Una turun dari boncengan Nino. Ya udah biasa sih melihat pemandangan begini, tapi sakitnya masih aja belum terbiasa.

Tau diri aja Sa begitu batin Asa berkata.


Sampai kelas, Asa langsung membagikan makalah kepada beberapa temannya. Maklum aja, kerja jadi joki tugas emang begini bro.

“Makasih Sa, ini gue kasih bonus dikit”

“Nah gini nih baru temen. Ngasih bonus bukan mala nunggak bayar”

“Lo nyindir gue ya nyet” Farel –sahabat Asa yang suka banget nunggak bayar kalau memakai jasa Asa pun protes tidak terima.

“Alhamdulillah sadar”

“Lagian lu sama temen sendiri perhitungan banget sih”

“Sorry rel, tapi bisnis gak mengenal teman. Gue gini untuk bertahan hidup”

Farel mendengus, bibirnya mengerucut sok imut “Rahel gitu sama Farel”

Sontak Asa langsung memukul belakang kepala farel pelan “Gue bukan rahel nying. Jijikin banget lu ah”

“Tuh kan rahelnya gue desah-desah”

Baku hantam pun tidak terhindari, penghuni kelas Cuma bisa geleng-geleng kepala. Terlampau sering melihat pemandangan ini setiap harinya. Farel dan Rahel memang sulit dipisahkan.

“Jadi gak mau temen sama gue nih?” tanya farel sambil merapikan kemejanya yang berantakan setelah aksi baku hantam yang lebih bisa dibilang saling mengelitik satu sama lain tadi.

“Gak”

“Yauda, gak gue kasih nomor wa kak Una”

Kepala asa langsung menoleh kearah farel. Serius nih bocah punya nomor wa Una? Una si kakak kelas yang menjadi primadona sekolah? Una yang menjadi tambatan hati Asa sejak setahun yang lalu? Ya walaupun Una sendiri tidak tau kalau keberadaan Asa ada didunia ini.

“Mau rel. mau mau mau” melupakan penolakannya yang tidak mau berteman beberapa waktu lalu. Kapan lagi coba bisa dapat nomor sang kekasih hati. Gengsi mah ditahan dulu.

“Janji baikan dulu tapi”

“Iya baikan ini baikan” Asa meraih jari kelingking farel dan menautkan dengan miliknya. Kaya bocah. Tapi memang beginilah mereka.

“Yauda, ntar gue tanya Bang Nino”

Bengong. Asa berpikir sejenak. Berusaha memproses apa yang baru saja farel katakan. Ntar gue tanya? Jadi dia belum punya nomornya? Wah sialan. Dirinya ditipu.

Masih mau protes, Pak Hajat –guru matematika mereka sudah masuk kekelas membawa sekotak kapur yang sampai sekarang mereka masih bingung apa fungsinya. Orang kelas ini memakai whiteboard kok. Buat apa pula itu kapur? Hanya Pak Hajat dan Tuhannya lah yang tau.

Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Duabelas
Tigabelas (END)
Diubah oleh artraras 17-09-2020 14:45
eyefirst2
emineminna
maling.sepatu
maling.sepatu dan 10 lainnya memberi reputasi
9
3.3K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
artrarasAvatar border
TS
artraras
#10
SEPULUH
“Pak, ini kuncinya. Udah asa kunci. Tapi ntar cek aja lagi kalau kurang yakin”

Pak kelik mengacungkan jempol “Aman itu tong. Bapak kan disini terus”

“Yauda, Asa pulang ya”

“Eh eh tong” pak kelik menahan tali tas selempang Asa.

“Kenapa pak?”

Pak kelik menunjuk mobil hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang “Teman lo nunggu tuh tong. Udah dari tadi. Udah sana temuin”

Teman? Farel maksudnya? Tunggu, tapi farel kan gak punya mobil seperti itu. Ia biasanya naik jazz putih. Asa yang bingung pun langsung pamit ke Pak Kelik, ia melangkah kearah mobil tersebut.


Kaca terbuka, menampilkan sosok yang benar-benar tak pernah terpikirkan oleh asa akan menemuinya.

“Masuk”

Terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk masuk. Mobil itu melaju cepat menuju entah kemana. Tidak ingin bertanya sama sekali. Hening, tidak ada satupun yang membuka suara. Sampai laju mobil memelan dan kemudian berhenti dipinggir jalan sepi. Seperti jalan lintas menuju luar kota.


“Jangan sentuh milik gue”

Asa mengernyit bingung “Maksud Bang Nino apa?”

Nino mendengus, memukul pelan roda kemudi “Gak usah sok polos. Lo pasti ngerti maksud gue apa”

“Una?”

“Bahkan lo berani sebut namanya tanpa embel-embel? Dimana sopan santun lo? Sadar posisi lo dimana”

Menarik napas dan membuangnya perlahan, asa tidak ingin terbawa emosi. Itu bukan caranya sama sekali “Maaf sebelumnya Bang, gue mungkin terdengar gak sopan tapi gue Cuma mau bilang, lo gak ada hak untuk atur kehidupan Una. Gak ada urusan sama lo dia mau dekat sama siapapun”

“Gue ada hak. Gue ini pacarnya”

“Iya, beberapa bulan yang lalu” asa tersenyum sinis “Una udah cerita semuanya. Alasan kenapa kalian putus. Gue udah expect lo berengsek, tapi gak tau lo seberengsek itu”

Tanpa peringatan, kerah baju asa ditarik kuat membuat tubuhnyanya ikut tertarik mendekat. Bisa asa lihat mata itu tertutupi kebencian dan amarah. Jenis mata yang sering sekali asa lihat dulu. Sedikitnya membuat ia teringat rasa sakitnya dimasa lalu.

“Gue peringatin lo untuk mundur, jangan dekatin una lagi. Jangan sentuh milik gue lagi”

Tangan asa terangkat, melepaskan lengan yang meremat kerah bajunya. Masih dengan wajah yang sangat tenang asa kembali tersenyum “Kalau gue gak mau gimana?”

“Lo akan menyesal. Gue akan buat lo hancur sehancur-hancurnya. Lo akan menderita selamanya”

“Haha, ada campur tangan lo atau gak, hidup gue emang udah hancur, memang penuh penderitaan. Jadi gue gak akan takut dengan itu”

Asa membuka pintu mobil itu “terima kasih jalan-jalannya” keluar dari mobil dan menutup pintunya.

Nino yang merasa kalah pun memukul keras roda kemudi, menghidupkan mesin dan memilih pergi dengan emosi membara.



“Anjir dimana ini?” seperti orang bego, asa milihat kesana kemari, berharap ada orang yang melintas. Tapi nihil, yang ada hanya jalanan sepi dengan pohon-pohon yang mengapit jalan. Untung saja penerangannya lumayan jadi gak begitu seram. Ya tapi tetap saja seram. Kalau ada begal gimana? Kalau ada mbak kun atau mas pon melintas gimana? Asa jadi kebelet pipis.

Meraih telpon, mencari kontak yang ia yakin bisa membantunya. Alhamdulillah tersambung.


“Fareelllll ueueue syukurlah lo belum tidur”

Suara serak seperti bangun tidur menyahut diseberang sana “pala lo belum tidur, lagi mimpi gue nih”

“Mimpi basah kan lo?”

“Gue tutup nih ya”

“Eh eh jangan. I need your help”

“Apaan sih hel, gosah sok ingris deh”

“Rahel tersesat”

“hah? Maksud lo?”

“Ketiduran di bus, kelewatan sampai ntah mana ini” bohong banget emang si Asa.

“Kok bisa sih hel? Lo kalau bego ya ingat tempat dong”

“Farel bicik, mau jemput atau gak nih”

“Grab aja deh”

“Terus gue disangka kang begal order jam segini”

“Bodo yah hel. Situ aja lo jangan kemana-mana. Sharelock buru”

“Farel sheyeng memang terbaik. Jan lama ya bro, asli serem ini. Sepi”
.
.
.
.
.
.
.


Tulang rusuk: Sa sorry baru ngabarin. Hari ini jangan datang dulu

AsaBiru: loh kenapa?

Tulang rusuk: Sian lagi dibawa jalan-jalan sama papa mama

AsaBiru: lo ikut juga?

Tulang rusuk: enggak

AsaBiru: Jadi boleh dong gue datang?

Tulang rusuk: Ya gak lah. Mau ngapain lo?

AsaBiru: nemuin lo?

Tulang rusuk: Haha gue lagi dirumah. Lagi sama ayah


Una memang sudah cerita ke asa mengenai keadaan keluarganya. Dimana mama dan ayahnya menikah karena dijodohkan, kemudian lahirnya una. Mereka pikir dengan kehadiran una bisa mempertahankan keutuhan keluarga kecil mereka yang tanpa cinta, tapi takdir berkata lain. Dua tahun setelahnya mereka memutuskan bercerai. Hak asuh jatuh ke tangan sang mama. Dan setahun kemudian mama pun menikah lagi dengan lelaki yang ia cintai sebelum menikah dengan sang ayah. Jadinya sekarang una mempunyai dua ayah. Satu adalah ayah dan yang satu lagi papa.


AsaBiru: oh, titip salam ya buat calmer

Una yang sedang berada dirumah sang ayah pun terkekeh pelan membaca balasan terakhir asa. Jadian aja belum, apa-apan calmer.

“Siapa tuh yang bikin putri ayah senyum-senyum sendiri begitu?”

Una mendekat ke ayahnya. Ikut menjatuhkan diri disofa ruang tv dimana ayahnya sedang duduk santai. Menyodorkan ponselnya. Membiarkan sang ayah melihat.

“ini ada yang titip salam ke ayah”

Sang ayah pun menelusuri setiap pesan diponsel putrinya itu. Sampai ia menangkap display picture dari pengirim. Bibirnya seketika melengkungkan senyum yang sulit diartikan.

“Siapa ini? Pacar kamu?”

“Calon?” senyum una usil.

“Masih kecil udah pacar-pacaran kamu” rambutnya diacak oleh sang ayah. Kemudian keduanya tertawa lepas ketika una protes rambutnya jadi berantakan.

“Dia anaknya baik loh yah, terus pintar juga. Tahun lalu aja dia jadi juara umum. Kapan-kapan aku kenalkan ke ayah ya.”

“Oh ya?” jari sang ayah menekan foto tersebut. Memperhatikan wajah yang ia kenal itu dalam-dalam “Pintar juga kamu pilih calon pacar”

“Iya dong” ucap una bangga.





Tapi sayangnya, dia milik ayah nak, selamanya milik ayah.
pulaukapok
dwex80
dwex80 dan pulaukapok memberi reputasi
2
Tutup