Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
Cinta Bersemi di Kedai Serabi
Kumpulan Cerita Romantis Bikin Baper



Sumber: gambar di sini

Sepagi ini kedai Mak Otih sudah penuh sesak. Serabi buatan Mak Otih memang yang paling terkenal di desa Cipedes ini. Penganan yang terbuat dari campuran tepung terigu yang gurih dan air kelapa, banyak diburu oleh warga desa ini dan menjadi alternatif pilihan untuk sarapan. Cara memasaknya yang masih tradisional—menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat serta kayu bakar di bawahnya untuk mematangkan serabinya—membuat serabi ini memiliki rasa dan aroma yang khas. Varian serabinya hanya dua macam, yaitu topping oncom sangrai untuk rasa asin, dan serabi disiram kuah gula merah atau kinca untuk yang rasa manis. Bahkan, untuk serabi topping oncom bisa ditambahkan telur agar rasanya semakin gurih.

Sopi mengamati tangan Mak Otih yang menyendok adonan serabi ke dalam wajan tanah liat dengan cekatan. Adonan yang masih cair itu kemudian ditaburi oncom sangrai. Asap mengepul dari sana. Aroma serabi yang hampir matang membuat gadis itu menelan saliva berulang kali. Perutnya semakin keroncongan. Terbayang di mulutnya rasa legit kuah kinca bercampur dengan kue serabi yang gurih, lezat rasanya.

Empat orang pemuda iseng mulai melirik nakal ke arah Sopi yang terlihat cantik. Salah satu dari mereka mulai menggodanya.

"Hai, Neng geulis, sendirian aja nih. Boleh Akang temenin?"

"Akang mah mau langsung kenalan aja, boleh enggak?" Seorang pemuda lainnya mulai mendekati Sopi. Sementara dua pemuda yang lainnya hanya tertawa-tawa.

Sopi mulai jengah dengan gangguan dari keempat pemuda itu. Bahkan salah satunya yang tadi minta kenalan mulai berani mencolek lengannya. Segera saja Sopi menepis tangan jahil pemuda jangkung berambut keriting itu. Memangnya aku ini sabun colek apa? pikir Sopi, kesal.

"Widih, si Eneng meuni sombong ih. Belum tahu ya kita ini siapa? Kita teh F4, tapi bukan pemeran di drama Meteor Garden ya. Saya Firman, itu Fikri, Farid, dan Ferdi." Pemuda berkaus biru donker berlogo salah satu superhero terkenal di dunia, menunjuk ke arah ketiga temannya sambil ikut mendekat ke arah Sopi.

Sopi masih membisu, dalam hati ia geram dengan tingkah para pemuda itu. Perempuan di kedai ini kan banyak, kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti ini? gumamnya.

Melihat gadis itu beranjak dari tempat duduknya, hendak berlalu dari kedai, keempat pemuda itu malah semakin gencar menggodanya.

"Mau ke mana Neng? Buru-buru amat. Kita kan belum saling mengenal. Tukeran nomor hp aja belum, udah mau pergi. Rumahnya di mana sih? Akang antar ya. Tenang, dijamin aman, selamat sampai tujuan." Pemuda berkaus hitam bergambar logo band Linkin Park mengejar Sopi dan menggenggam tangan gadis itu.

Sopi berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman tangan pemuda itu malah semakin kuat. Ia meringis kesakitan. Keempat pemuda itu tertawa puas.

"Heii, kalian! Lepaskan gadis itu. Belum tahu ya kalau dia itu pacar saya? Seenaknya main antar pacar orang. Yuk, Neng Akang antar." Suara seorang lelaki tampan berdandan ala Kabayan berhasil menghalau keempat pemuda itu. Mereka pun menjauh dari Sopi. Setelah berpamitan pada Emaknya yang tengah membalikkan serabi dari wadah, pemuda itu pun berjalan beriringan dengan sang gadis.

"Yuk, Neng. Enggak usah takut, saya mah bukan lelaki cunihin seperti mereka. Kalau mau jahil ke perempuan, saya selalu ingat sama Emak. Gimana kalau Emak juga digodain kayak gitu? Saya pasti marah besar," ucap lelaki itu setelah agak menjauh dari kedai.

Dalam hati, Sopi memuji ucapan pemuda di sampingnya yang sangat santun dan hormat memperlakukan ibunya. Yang jadi istrinya, sudah pasti akan diperlakukan dengan baik juga. Sopi malu sendiri, dan buru-buru menepis pikiran yang baru saja terlintas di benaknya. Mereka berjalan berdampingan. Keduanya sama-sama merasa canggung, tak ada yang berani membuka percakapan. Hanya sesekali mereka saling beradu pandang, kemudian sama-sama tersenyum dan menunduk, malu. Hingga tiba di tempat tujuan pun, mereka masih diam seribu bahasa.

Sementara itu, Pak Asep yang sedari tadi merasakan perasaannya tak enak, selalu terbayang wajah putri cantiknya. Rasa kuatir menggelayuti pikirannya, takut sesuatu menimpa Sopi. Sesekali ia menatap ke arah jalan, mencari sosok yang membuat hatinya gelisah. Tidak berapa lama, ia melihat gadis itu. Namun, ia tidak sendirian, seorang pemuda jangkung terlihat berjalan di sampingnya.

"Hei, pemuda, siapa kamu? Kenapa tampang anakku seperti ketakutan begitu? Hmm, mau macam-macam ya sama anak Jawara Pencak Silat ini? Hayu lah, Bapak mah enggak takut. Kita tandang di lapang sebelah!" Pak Asep sudah pasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang sosok yang terlihat sebagai ancaman bagi putri tersayangnya. Sopi dan Aden pun bengong.

Dengan kekuatan penuh, Pak Asep bersiap melayangkan pukulan ke arah pemuda tampan yang sedang berdiri di samping putrinya.

“Daddy—Daddy, calm down.” Sopi menghalangi serangan ayahnya dengan menggenggam tangan pria paruh baya itu yang sudah bulat terkepal dengan sempurna.

“Minggir, Sopi. Biar dia merasakan bogem mentah Bapak. Walau Bapakmu ini sudah tua, tapi Bapak masih kuat. Ayo sini, pemuda, lawan!” Pak Asep menghempaskan tangan Sopi yang menghalanginya.

“Pak Asep? Ini benar Pak Asep kan? Alhamdulillah, akhirnya kita ketemu juga.” Aden mencium punggung tangan pria di hadapannya yang napasnya masih tak beraturan. Emosi memenuhi rongga dadanya. Kedua matanya memelotot ke arah pemuda itu.

“Apa-apaan kamu? Diajak tanding malah cium tangan? Nyalimu ciut, Jang?” Pak Asep menghempaskan tangan Aden dengan kasar.

“Bapak lupa ya? Ini teh Aden, putranya Mak Otih. Dulu waktu SD Aden kan belajar pencak silat dari Bapak. Wah senangnya masih bisa berjumpa dengan guru bela diri favorit Aden.”

Mendengar penuturan pemuda yang berdiri di hadapannya, perlahan-lahan emosi Pak Asep menurun. “Jadi, ini Aden? Masya Allah, meuni kasep. Maafkan Bapak yang terlalu kuatir dengan keselamatan putri Bapak satu-satunya. Maklum, sejak Ibunya meninggal, hanya dia yang Bapak miliki di dunia ini. Bapak enggak mungkin lupa, hanya tadi mah pangling aja, sampai-sampai enggak ngenalin. Kamu kan yang pernah ngompol, ketakutan karena Bapak bentak, hahaha. Terus kamu itu terkenal paling cengeng di antara murid-murid Bapak yang lain. Kesenggol sedikit saja nangis kejer.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak bekas murid pencak silatnya itu.

Aden tersipu malu sambil melirik gadis cantik di sampingnya yang sedang bengong menyaksikan percakapan antara dirinya dan Pak Asep. “Jadi, Eneng ini teh putrinya Bapak?” lanjutnya.

“Iya, ini namanya Sopi, anak Bapak. Hayu atuh masuk, kita ngobrol-ngobrol di dalam. Sopi suguhkan makanan sama minuman.”

Sopi beranjak menuju dapur menyiapkan suguhan untuk sang tamu. Sementara itu Aden dan sang Ayah sudah duduk di kursi ruang tamu. Sesekali, Pak Asep melirik Aden yang mencuri pandang ke arah Sopi. Sepertinya pemuda itu tertarik pada putrinya. Sebuah senyuman tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. Sementara Aden, yang kepergok sedang curi-curi pandang, jadi salah tingkah. Hatinya mengakui perempuan itu memang cantik, hanya dandanannya saja yang menurutnya terlalu berlebihan alias menor. Andai gadis itu berdandan sederhana, aura kecantikannya akan terpancar alami. Tidak berapa lama, Sopi muncul dengan baki berisi dua gelas teh manis dan beberapa stoples berisi kue kering juga makanan ringan.

“Ayo—ayo dimakan, Den,” tawar Pak Asep setelah Sopi menaruh semua bawaannya di atas meja.

“Eh iya, ngomong-ngomong serabi pesanan Bapak mana?” Kali ini pandangan mata pria itu beralih pada Sopi.

“My mood is going down, Daddy. So maafkan Sovia yang tak jadi membelinya.”
Aden menatap heran gadis yang duduk di samping Pak Asep. Buset, bukan hanya dandanannya yang lain, cara bicaranya juga aneh, gumamnya.

“Kok bisa?” Kening Pak Asep berkerut. Tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan putrinya barusan. Sejurus kemudian, lelaki itu manggut-manggut menyimak cerita putrinya.

“Duh, Den. Maafkan Bapak yang sudah menuduhmu yang bukan-bukan. Terima kasih telah menyelamatkan putri Bapak." Sudah waktunya Sopi punya pendamping hidup, yang akan melindunginya dari marabahaya, gumam Pak Asep dalam hati sambil menatap lekat-lekat Aden yang sedang mencuri pandang ke arah wajah Sopi. Untung saja, pemuda ini baik hati, jadi dia tetap membiarkan Aden memandang wajah Sopi sampai puas. Kalau pemuda culas yang melakukannya, pasti sudah dia gibas tanpa ampun sampai kapok.
***
“Daddy, ini kopinya.”

“Terima kasih, Sopi.” Gadis cantik itu mengangguk dan beranjak hendak menuju kamarnya.

“Sopi, mau ke mana? Sini duduk dulu sebentar, Bapak mau bicara.”

“Daddy, Sovia mau ke kamar, belum beres merapihkan alis.”

“Bentar doang kok. Enggak nyampe lima belas menit.” Pak Asep menyeruput kopinya. “Sopi, kopi buatan kamu mengingatkan Bapak sama almarhumah Ibumu. Racikannya sama-sama enak. Rasa kopi dan gulanya seimbang, pas.”
Sopi tersenyum melihat Ayahnya yang begitu penuh penghayatan menyeruput kopinya, terlihat sekali pria paruh baya itu menikmati setiap tegukan cairan hitam itu yang masuk ke kerongkongannya.

“Jadi begini, Geulis. Kamu sekarang sudah besar. Kuliah pun sudah selesai.” Pak Asep menatap wajah putri tersayangnya sebelum ia melanjutkan bicara. Pria itu tampak memutar otak mencari kalimat yang pas untuk menyampaikan maksudnya pada Sopi. “Sudah saatnya Bapak melepasmu, Sopi,” lanjutnya.

“Maksud Daddy?” Sopi tercengang mendengar ucapan lanjutan dari Ayahnya. Dahinya berkerut, tak paham dengan arah pembicaraan sang Ayah.

“Begini, Neng. Maksud Bapak—kamu—sudah waktunya kamu punya pendamping hidup.”

“What? Jadi maksud Daddy Sovia harus segera married? Menikah begitu? No, Daddy!”

“Dengar dulu Sopi. Bapak sudah pikirkan matang-matang hal ini. Bapak ....”

“Tapi, Daddy. Sovia enggak mau berpisah dari Daddy.” Sopi mulai terisak.

“Jangan nangis atuh, Neng. Bapak kan jadi ikut sedih. Setelah menikah nanti Sopi boleh kok tinggal di sini. Lagian calon kamu juga tinggalnya deket-deket sini kok.” Pak Asep mengelus lembut punggung putri tercintanya itu.

“Memangnya siapa orangnya, Daddy?” tanya Sopi, heran. Keningnya berkerut, seolah mencari siapa sosok pemuda yang tinggal di dekat sini. Ia menggelengkan kepalanya, nihil. Tak satu pun wajah lelaki yang bisa terbayang di benaknya.

“Kamu mau kan Bapak nikahkan sama Aden?” Pak Asep malah balik bertanya.
Sopi terperanjat mendengar Ayahnya menyebut nama itu. “What? Daddy enggak salah jodohin Sovia sama dia? Orangnya ganteng sih, tapi dandanannya persis seperti si Kabayan. Jangan-jangan dia juga pemalas, sama seperti Kabayan itu.”

“Sopi, kamu ingat waktu dia melindungi kamu dari pemuda-pemuda yang mengganggu?” Sopi mengangguk. “Nah, Bapak rasa dia bisa menjaga kamu dengan baik. Kesan pertama melihat dia, Bapak yakin dia anak yang baik, tidak seperti kebanyakan pemuda lainnya.”

Sopi tertegun. Pak Asep membiarkan gadis itu hanya diam saja, mungkin putrinya sedang mencoba meresapi semua ucapannya. Hanya helaan napas gadis cantik itu yang sesekali terdengar.
Setelah hening beberapa saat, tak lama kemudian, Sopi pun buka suara, “Baiklah, Daddy, beri Sovia waktu untuk berpikir.” Gadis itu menyeret langkahnya menuju kamar, meninggalkan Pak Asep yang di hatinya tengah berharap sang putri mau menerima rencana perjodohan ini.
Satu jam berlalu. Namun, tak ada tanda-tanda Sopi keluar dari kamarnya. Pak Asep pun merasa heran. Ia mulai mengetuk pintu kamar Sopi.

“Sopi, Neng, sarapan yuk.” Tak ada sahutan. “Geulis, Bapak udah bikinin telor ceplok kesukaan kamu. Kita makan bareng yuk.” Tetap tak ada sahutan. “Sopi, lagi apa di dalam? Masih dandan atau lanjutin mimpi? Masa baru juga bangun udah tidur lagi.”

Karena tak terdengar juga sahutan dari Sopi, Pak Asep membuka pintu kamar yang ternyata tak dikunci oleh pemiliknya. Namun, betapa kagetnya Pak Asep saat ia tak menemukan putrinya di dalam kamar itu. Ia mendapati jendela kamar putrinya terbuka lebar.

“Sopi? Kamu di mana, Nak? Ini mah ngajak Bapak main petak umpet ya?” Pak Asep mulai berkeliling ke seluruh ruangan, tetapi tetap saja ia tak menemukan putrinya. “Duh, Sopi. Kamu teh ke mana atuh? Bapak jadi kuatir.” Pak Asep memutuskan kembali ke kamar Sopi, siapa tahu di sana dia bisa menemukan petunjuk. Netra Pak Asep jatuh pada secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan tangan Sopi.

Daddy, maaf, Sovia gak bermaksud bikin Daddy cemas. Sovia hanya kesal mendengar rencana Daddy. Biarlah Sovia bertemu jodoh Sovia dengan sendirinya. Dan Sovia akan menikah setelah benar-benar merasa siap. Don’t worry Daddy, saat Daddy membaca surat ini, Sovia sudah berada di rumah Grandma.

Setelah membaca surat itu, Pak Asep yang sedari tadi pikirannya kalut, kini merasa lega. Bergegas lelaki itu melangkah ke luar hendak menyusul Sopi ke rumah Mak Onah. Wanita itu tampak sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Ia merasa heran saat dari kejauhan tampak putranya sedang berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Wanita itu pun menyuruh putranya masuk dan menyodorkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Pak Asep.

“Heh, nyari apaan kamu teh? Tuh minum udah Emak ambilin. Kalau cemilan mah kebetulan lagi kosong.” Mak Onah memandang heran putranya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumahnya.

“Mak, Sopi ada di sini?” Kembali Pak Asep mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Emaknya.

Kening Mak Onah berkerut, heran dengan pertanyaan putranya. “Kalian kan tinggal serumah, kok nanya Sopi ke Emak?”
“Jadi, Sopi enggak ada di sini?” Pak Asep malah balik bertanya. Wajahnya mulai terlihat panik. Ia pun bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana, Sep? Ada apa sebenarnya?” Asep menyerahkan surat yang ditulis Sopi kepada Mak Onah. Sejurus kemudian wanita itu membacanya dengan saksama. Raut wajahnya tampak serius.

“Seharusnya sudah sejam yang lalu dia tiba di sini,” ucap Mak Onah pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Duh, Sopi teh ke mana atuh ya, Mak?” Hati Pak Asep semakin diliputi rasa kuatir. Peluh mulai bercucuran di pelipisnya. Raut wajah Mak Onah pun sama-sama tegang, ikut merasakan kegelisahan yang sedang melanda putranya.

“Makanya, ini kan bukan zaman Siti Nurbaya. Kamu teh meuni seenaknya jodoh-jodohin Sopi.”

Pak Asep menyesali tindakannya, hingga membuat gadis itu pergi dari rumah. Kini entah di mana putrinya berada. Tak berapa lama, ia pun pamit untuk mencari putri kesayangannya. Namun, Mak Onah yang juga merasa sangat kuatir akan keberadaan cucunya, minta untuk ikut mencari. Akhirnya, mereka berdua berjalan menyusuri desa, berharap menemukan sosok cantik yang sangat dicintai.

“Sep, ngapain kamu bawa Emak ke kedai ini? Kamu belum sarapan? Kenapa tadi enggak makan di rumah Emak atuh?!” Mak Onah tampak kesal saat putranya membawa dia ke kedai serabi milik orang yang sangat dibencinya. Dulu, Mak Otih pernah berusaha merebut sang suami. Untunglah almarhum suaminya itu setia, sehingga tidak tergoda sedikit pun. Matanya menerawang, senyumnya terkembang ketika membayangkan sosok gagah perkasa sang suami yang mirip Gatotkaca.

Pak Asep memandang heran Mak Onah yang memasang muka cemberut. Sungguh, ia tak mengerti mengapa Ibunya begitu membenci Mak Otih dan sama sekali tak mau makam kue serabi yang terkenal lezat ini.

“Assalamuaalaikum, Mak. Aden ada?” Pak Asep mencium takzim punggung tangan Mak Otih. Mak Onah memalingkan wajah melihatnya. Sebal.

“Waalaikumsalam, ada, sebentar ya, Den, Aden, ada yang nyari nih!” teriak Mak Otih. Tidak berapa lama, Aden pun keluar.

“Eh, Pak Asep, ada apa Pak?” Aden mencium tangan Pak Asep, kemudian ia hendak mencium punggung tangan Mak Onah, namun Neneknya Sopi itu tak membalas uluran tangan pemuda ganteng itu.

“Sep, Emak mah pulang aja ya, panas lama-lama berada di sini. Kabari Emak kalau Sopi sudah ditemukan.” Mak Onah melangkahkan kakinya lebar-lebar, bergegas meninggalkan kedai itu, diiringi tatapan bengong Pak Asep dan pandangan heran Aden juga Mak Otih.
“Maafin Emak saya, ya. Beliau lagi sakit gigi, jadinya agak sensitif begitu.” Pak Asep mencoba mencari alasan atas sikap Mak Onah.

Aden memandang heran ke wajah mantan guru pencak silatnya yang kelihatan tegang itu. Pak Asep menceritakan tentang kepergian Sopi dari rumah yang katanya mau minggat ke rumah Nenek, tetapi gadis itu tak diketahui ke mana rimbanya. Setelah pamit pada Mak Otih, mereka berdua pun berangkat menyusuri setiap sudut desa mencari keberadaan gadis cantik itu.
***
“Duh, Den, kita harus cari ke mana lagi ya? Belum terlihat tanda-tanda keberadaan Sopi. Kamu di mana atuh Geulis? Baik-baik aja kan di sana?” Pak Asep terlihat sangat cemas. Wajahnya membiaskan kelelahan. Namun, ia tepiskan rasa itu. Kuatir akan keadaan putrinya lebih besar dibandingkan apapun juga.

“Sabar, Pak, kita belum menyusuri seluruh ruas jalan desa ini. Udah Zuhur, Pak. Kita salat dulu di masjid itu yuk, sambil memanjatkan doa buat Neng Sopi juga.” Aden menunjuk sebuah mesjid besar yang terletak di ujung gang.

Pak Asep mengangguk lemah. Tidak berapa lama, mereka berdua sudah berbaur dengan orang-orang, khusyuk menunaikan salat Zuhur berjamaah di mesjid itu serta memanjatkan doa untuk Sopi.

“Den, kita istirahat sebentar di sini.” Pak Asep menenggak air mineral di dalam botol, kemudian ia menyodorkan satu botol lagi pada Aden. “Nih, minum dulu, Den.”

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, boleh Aden tanya-tanya tentang Neng Geulis?” ucap Aden dengan nada ragu dan malu-malu.

“Tentu saja, biar lebih tahu tentang calon istrimu.” Pak Asep memandang wajah pemuda calon menantunya itu, yang raut wajahnya sedang tampak merah jambu itu.

Pipi Aden bersemu merah, hatinya berdesir aneh. “Pak, ngomong-ngomong sejak kapan Ibunya Neng Sopi meninggal?”

“Ibunya meninggal saat melahirkan dia. Makanya Bapak selalu berusaha membahagiakan dia, kasihan sejak kecil dia enggak merasakan kasih sayang seorang Ibu.” Netra Pak Asep berkaca-kaca. Sekelebat bayang wajah sang istri muncul di pelupuk matanya.

Aden manggut-manggut, “Lantas, Pak—maaf sebelumnya kalau Aden lancang, tetapi Aden penasaran sama dandanan juga gaya bicara Neng Geulis yang—maaf, terlihat aneh.”

“Hahaha, iya dia memang unik. Logat bicaranya dan dandanannya seperti itu sejak lulus kuliah jurusan sastra Inggris. Bapak juga enggak tahu dia dapat pengaruh dari mana.” Pak Asep tergelak membayangkan style dandanan dan gaya bicara putri semata wayangnya itu.
Oh, pantesan atuh si Eneng teh begitu. Sekali lagi Aden manggut-manggut.

“Makanya, Den, kalau memang kalian ditakdirkan berjodoh, Bapak titip Sopi ya. Selama ini Bapak belum maksimal membimbing dia, terutama dalam hal agamanya. Tolong, bimbing dia untuk lebih mengenal Islam.” Pak Asep menepuk-nepuk pundak Aden.

Aden mengangguk. “Pak, udah enggak capek kan? Kita lanjutkan mencari Neng Sopi yuk.”

Pak Asep mengangguk, kemudian dua laki-laki itu beranjak dari teras mesjid. Berdua mereka melangkah meninggalkan mesjid, melanjutkan pencarian.
***
Baca cerpen lainnya di sini:
[Link DISINI[URL=]link di sini[/URL]

Diubah oleh suciasdhan 30-06-2020 02:33
lianasari993
firdainayah
novianalinda
novianalinda dan 79 lainnya memberi reputasi
80
13.8K
634
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
suciasdhanAvatar border
TS
suciasdhan
#219
Dia Yang Tak Peka
Dibalik Cueknya Banyak Perhatian Tersembunyi


Sumber: Klik

“Selamat pagi semuanya, mau masak apa hari ini?” sapa Jeng Nadya padaku dan ibu-ibu yang tengah mengerubungi gerobak sayur Mang Ayub.

Sesekali dia mengibas-ngibaskan tangan kanannya yang berhiaskan beberapa cincin emas di jari tengah dan jari manisnya, sementara itu tangan kirinya juga sibuk menyibakkan bagian kerah bajunya. Tangan kirinya pun memakai gelang emas berukuran lumayan besar.

“Pagi, Jeng Nad, tumben nih telat, biasanya paling awal datang ke sini. Iya, nih bingung, mau belanja apa, di rumah pada ngeluh bosan makan masakan yang itu-itu saja,” jawab Bu Dini sambil memilih-milih sayuran mentah dalam gerobak.

Sementara aku masih memperhatikan perhiasan Jeng Nadya yang berkilauan tertimpa sinar mentari pagi. Lengkap bener koleksi yang dipakainya, udah kayak toko emas berjalan aja, Jeng Nad, hehehe.

“Ehem, tadi tuh ada surprise party dulu di rumah. Jadi, gini, lho ceritanya Ibu-ibu, hari ini aku, ultah, terus pas bangun tidur tiba-tiba suami ngasih kejutan. Bagus, nggak, nih?” Dengan senyum yang semakin merekah dan mata yang berbinar-binar, Jeng Nad memperlihatkan kalung rantai emas yang melingkar di lehernya, lengkap dengan bandul berbentuk bulat bertaburan berlian di sekelilingnya.

“Widih, cakep banget, Jeng, pasti ukuran gramnya besar, ya? Rantainya saja gede gitu,” Bu Marsha memperhatikan kalung Jeng Nad tanpa berkedip.

“Kayaknya, sih begitu. Suami saya itu nggak mungkin lah kasih istri tercintanya sesuatu yang biasa-biasa aja.
Setiap saya ulang tahun atau wedding anniversary, dia selalu kasih yang special tentunya, kayak gelang ini nih, ini tuh hadiah anniversary kita." Tawanya membahana sembari memamerkan gelang rantai yang tak kalah besarnya dengan kalung yang melingkar di leher.

"Eh, ngomong-ngomong, suami kalian seromantis apa, sih? Kepo, nih. Bagi sedikit ceritanya.” lanjut Jeng Nad antusias.

“Kalau aku biasanya diajak jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri!” seru Bu Din dengan bangganya.

"Oalah, keren, keren, keren!" Jeng Nad mengacungkan kedua jempolnya ke arah Bu Dini.

“Kalau aku, sih, paling diajak candle light dinner berdua. Untuk merayakan, di rumah biasanya dia bikin pesta," ucap Bu Marsya seakan tak mau kalah.

"Wah, wah, kebayang romantisnya!" Jeng Nad menimpali dengan mata berbinar, begitu juga dengan Bu Dini, wajahnya terlihat antusias.

"Iya, tuh. Udah kayak adegan di film-film romantis!" seru Bu Dini.

"Cerita Jeng Mitha gimana, nih? Kok diam aja dari tadi. Sariawan, ya? Atau barangkali punya kisah yang lebih seru dari kita-kita."

Senggolan sikut Jeng Nad di lenganku, seketika saja menyadarkan dari lamunan.
Huh, apa yang bisa aku banggakan dari Bang Rendi, suami cuekku itu? rutukku geram. Sementara ketiga pasang mata mereka masih menatapku penasaran.

Anniversary-nya besok, jadi belum ada kisahnya.” Aku berusaha tersenyum menutupi keresahan. Mereka semua serempak memalingkan wajah sembari berdecak kecewa.

Tak berapa lama, aku pamit, meninggalkan mereka yang menatapku penuh keheranan. Aku melangkah terburu-buru, ingin segera mendinginkan hati dan pikiran.

"Kasihan, ya, Jeng Mitha. Suaminya kurang perhatian."

"Iya, Bu Mar. Beliin kosmetik atau baju aja kayaknya nggak pernah."

"Bener, tuh, Bu Din. Baju yang dipake Jeng Mitha memang yang itu itu aja. Kayaknya, nih, wajah Jeng Mitha nggak kenal make up apalagi skincare mahal."

"Ya, mau gimana lagi, Jeng Nad, Bu Din, gaji guru honorer, kan, memprihatinkan."

Sayup-sayup masih kudengar obrolan mereka yang membuat isi kepalaku semakin mendidih.
***
“Lho, De, mana belanjaannya? Datang-datang, kok, cemberut, gitu? Di jalan ada yang gangguin? Siapa orangnya? Biar Abang gibas pakai jurus seribu bayangan,” tanya suamiku heran sambil menyingsingkan kedua lengan bajunya.

“Nggak jadi belanjanya, bingung mau masak apa!” jawabku ketus.

“Ade kenapa, sakit?” Dia meraba dahiku dan menatap dengan rasa khawatir. Kubalas pertanyaannya dengan gelengan saja. Dia terlihat semakin resah.

"Ya sudah jangan dipaksakan masak, kita makan di luar aja, yuk," ajaknya bersemangat.

“Nggak ah. Lagi malas makan.”

“Ade lagi diet? Nanti maag-nya kambuh, lho. Lagian, badan udah ideal gitu, nggak usah lah, diet-diet. Ayo ganti baju, sesekali lah kita makan di luar, mumpung weekend.”

“Nggak mau. Kalau lapar, Abang makan aja sendiri. Ade lagi nggak mood.” Air mataku hampir jatuh, namun berusaha ditahan. Kulangkahkan kaki ke kamar. Bergegas ia mengikuti dari belakang.

“De, kenapa? Kalau Abang punya salah, Abang minta maaf, ya.” Dia mengelus lembut punggungku.

“Abang tahu nggak besok tanggal berapa?” Aku berbalik ke arahnya sembari menatap tepat di manik matanya, berharap ia ingat wedding anniversary kami. Syukur-syukur sambil ngasih kejutan indah.

“Tanggal dua Mei, Hari Pendidikan Nasional. Oh iya, De makasih, lho, udah ngingetin. Abang minta tolong disetrika batik PGRI Abang, ya. Buat besok upacara.”

“Selain itu ingat, nggak tanggal segitu ada hal penting lain apa?” cecarku masih berharap ia ingat.

“Apa De? Abang nggak ingat." Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat.

“Abang beneran nggak ingat?”

Aku mendengkus sebal kala melihat dia menggeleng. Duh, kecewa rasanya hati ini mendengar jawaban darinya. Kudorong tubuhnya keluar kamar. “Bang, tinggalin Ade sendiri, ya, Ade mau istirahat, pusing.”

“Lho, De, katanya tadi nggak sakit. Sarapan dulu, ya, terus minum obat, atau mau periksa ke dokter?”

Braak!!!

Aku membanting pintu kamar, merebahkan badan di atas kasur, tumpah sudah air mata yang sedari tadi berusaha sekuat tenaga aku tahan untuk tak jatuh.
***

Sumber: Klik

“De, bangun, Sayang. Masih sakit? Kita ke dokter, yuk. Abang udah siapin sarapan, semalam Abang khawatir. Seharian kemarin Ade nggak makan sama sekali. De, makan, ya, terus minum obat.”

Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Mataku sembab, akibat menangis semalaman, perut pun keroncongan.

“De, buka, pintunya, dong, Abang kangen, nih.”

Aku tertawa mendengar ucapannya barusan. Hatiku seketika luluh. Perlahan kubuka pintu kamar dan melangkah menuju ke meja makan, kemudian duduk di salah satu kursinya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Masya Allah, rapih bener, lantainya wangi cairan pembersih, sepertinya baru saja dipel.

Aku masih pura-pura cuek dan memasang wajah masam, lalu beranjak menuju dapur. Lagi-lagi aku dibuat takjub. Piring kotor yang menumpuk kemarin sudah tertata rapi di rak. Aku kembali ke meja makan dengan perasaan yang tak menentu. Haru, trenyuh, dan sekaligus merasa bersalah.

“De, jangan jogging di dalam rumah, yuk sarapan. Abang masak nasi goreng nih.”

Kulirik suami yang tengah sarapan, ia telah berdandan rapi dan mengenakan batik PGRI. Bajunya masih tampak sedikit kusut.

Seketika timbul rasa bersalah, telah memperlakukan suami dengan sedemikian buruknya, hanya karena terpengaruh dengan cerita ibu-ibu kompleks kemarin. Aku yang tak mampu bersyukur. Ternyata, walaupun suamiku tak peka, namun ia sangat perhatian. Terbukti kemarin ia begitu khawatir saat aku seharian mengurung diri dalam kamar. Tergambar jelas dari matanya yang sedikit sayu. Kemungkinan semalaman dia tak tidur karena mengkhawatirkanku. Dan ia tak gengsi mengerjakan pekerjaan rumah.
Ini lebih berharga dari perhiasan emas, candle light dinner, atau jalan-jalan. Aku tak butuh semua itu.

“Maafkan sikap Ade kemarin, ya, Bang. Sini, Ade setrika dulu batiknya.” Lidahku mendadak kelu. Hanya itu yang mampu terucap. Aku malu sekali padanya. Tumpah kembali air mataku dengan derasnya.

Dia mendekat dan berlutut di hadapanku. Jemarinya mengusap lembut rinai yang membanjiri pipiku.

“Maafkan Abang juga, ya, De. Nggak usah disetrika, De." Dia melirik jam sporty di pergelangan tangan kirinya.

"Sepertinya Abang udah kesiangan. Kita jalan-jalan aja, yuk. Hitung-hitung merayakan anniversary," ajaknya dengan mata yang berbinar.

"Oh iya, ini, ada sesuatu, nih, buat Ade. Happy wedding anniversary, Sayang. Maaf, ya, Abang cuma mampu kasih ini.” Ia mengeluarkan kotak berwarna merah muda berbentuk hati dan mengeluarkan isinya. Aku melebarkan pandangan ketika melihat isinya. Sebuah cincin emas mungil, ia sematkan di jari manisku.

“Jadi .... Bang Rendi nggak lupa?” tanyaku dengan bergetar dan terbata-bata.

Ia mengangguk dan sekali lagi jemarinya menari di kedua pipiku, menghapus bulir-bulir yang enggan berhenti berjatuhan.

"Maaf, kemarin Abang keterlaluan. Udah ngerjain Ade. Sebenarnya, Abang ingat dan mempersiapkan kejutan ini dari jauh-jauh hari."

Aku terharu mendengar penuturannya, lalu memeluk dia erat. Sementara di luar terdengar sayup-sayup suara keributan.

"Ih, ya, Allah, siapa yang tega mengambil semua perhiasanku? Mami nggak mau tahu, Pi. Pokoknya polisi harus menemukan pencurinya, kalau perlu kejar sampai ke ujung dunia. Ya Allah! Ya Allah! Habis ini semuanya, ampun, deh!"

"Iya, Nadya, Sayang. Sabar. Semua butuh proses."

Di luar semakin ramai dengan suara-suara gumaman tentang Jeng Nad yang baru saja kena hipnotis. Seluruh perhiasannya raib tak bersisa.

Baca cerpen lainnya: Klik

#BelajarBersamaBisa

Diubah oleh suciasdhan 01-09-2020 18:06
ningka
ismilaila
riwidy
riwidy dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup