Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

patma62Avatar border
TS
patma62
Sebatas online


Senja, awan hitam mulai menampakkan, matahari berangsur turun dari peraduannya. Aku duduk menerawang bebas menatap langit, menikmati hembusan angin sore hari. Sesekali aku memainkan Handphone bermerk Oppo keljaran terbaru. Kuscroll naik turun di beranda instagram. Mataku tertuju pada postingan tentang parenting. Lalu, kubaca beberapa komentar dari netizen. Satu nama dari mereka mencuri perhatianku. Ia adalah Raditya, pria pemilik garis keturunan Tionghoa. Berkulit putih, berdada bidang, dan berambut cepak.
aku mengklik profilnya, menjelajah lebih dalam tentang biografinya. Di bio profil tertulis ia adalah seorang single parents. Memiliki seorang anak perempuan yang masih berusia empat tahun. Pekerjaannya sebagai driver sekaligus suplier seefood. Entah kenapa ada rasa inginku mengenalnya lebih jauh, tak sungkan memfollow akun itu berharap ia mau memfollow juga. Dalam hitungan bulan ternyata ia meresponku dengan cepat. Hingga suatu ketika dalam sebuah status di instastory ia menanggapi.

[Lebaran tanpa saudara]

Ting
Dalam hitungan menit ponselku berdering. Kulihat satu notifikasi satu pesan instagram dari Raditya.

Raditya : [Semangat]

Aku tersenyum membaca pesan darinya. Ada rasa senang entah itu apa. Lalu, dengan cepat aku membalas pesannya.

Aku : [Iya. Terima kasih 😊]

Pesan telah terkirim. Kuletakkan ponsel di meja. Lalu, meneguk kopi yang sedari tadi sudah dingin.

Ting
Ponsel kembali berdering. Segera kuambil dan membuka pesan berharap itu dari Raditya.

Raditya : [Sama-sama. Memangnya nggak mudik kamu atau gimana?]

Benar saja, pesan itu masih dari Raditya. Aku pun kembali membalas pesan tersebut.

Aku : [Kagak. Tahun ini nggak mudik, karena jatah cuti setelah lebaran]
Bekerja di salah satu perusahaan TV swasta di kota Jakarta memaksaku untuk tetap bekerja di malam Idul Fitri. Jatah cutiku jatuh di hari setelah dua hari lebaran.

Ia rupanya masih membalas pesan. Kami pun masih melanjutkan perbincangan di kotak pesan Instagram.

***
Hari semakin petang, keasyikan membalas pesan membuatku kelupaan waktu sudah azan maghrib. Aku bergegas masuk kontrakan.

Lia, teman seperjuanganku sekaligus teman satu kontrakan. Ia adalah gadis berparas ayu. Terdapat tahi lalat di atas bibir kanan, berkulit sawo matang, dan berambut ikal. Dia orang yang cerewet perhatiannya melebihi seorang teman. Aku mengganggapnya sebagai kakakku sendiri.

Aku berjalan menghampirinya yang sedang asyik menonton TV. Lalu, duduk di sebelahnya.

"Lo, di luar habis ngapain sih. Dari tadi gue perhatiin sibuk mulu ama ponsel lo," celoteh Lia sembari makan beberapa snack.

"Nyawang sore," jawabku. Dengan tawa meledek.

Tanganku menjulur mengambil snack yang ada di tangan Lia. Dengan cepat Lia menepis tanganku.

"Ish, nggak boleh. No no no!" timpalnya. Seraya menggoyangkan jari telunjuknya pertanda tidak.

"Sialan lo, itu kan gue yang beli," ucapku kesal. Aku memalingkan wajahku dengan muka cemberut dan bersedekap tangan di atas perutku.

"Ahelah, gitu aja ngambek kaya anak kecil minta permen. Nih, gue kasih." Lia menjulurkan snack yang ada di tangannya ke arahku.

Aku memungutnya dengan sedikit tertawa sebal oleh tingkah Lia.

"Rese lo," tukasku seraya mengacak-acak rambut ikal Lia.

"Rere!" teriaknya.

Dengan bersamaan ponselku kembali berdering. Aku bergegas beranjak mengambil gawai yang kutaruh di meja makan. Notifikasi pesan instagram rupanya dari Raditya.

Raditya : [Hai, sibukkah?]

Perasaan senang kembali menyelimuti hati dan entah kenapa perasaan aneh terjadi begitu saja. Apakah dampak kelamaan jomlo atau hanya praduga saja? Entahlah. Aku mengernyitkan alis dan membalas pesan darinya.

Aku : [Nggak kok. Ini lagi santai bareng temen. Gimana? ]

Aku kembali duduk di sebelah Lia, seraya menunggu pesan dari Raditya.

Ting

Gawaiku kembali bergetar satu notifikasi instagram dari Raditya. Seiring waktu komunikasi kami semakin jauh. Tanpa segan aku memberikan nomor teleponku.

Raditya : [Oh gitu, oh ya ini nomorku kalau ada apa-apa boleh hubungi aku. ]

Aku meringis bimbang yakinkah memberikan nomor telepon atau membiarkan berlalu. Namun, lama menyendiri kehadirannya cukup mengurangi kekosongan hati. Aku pun mengiyakan pernyataannya.

Aku : [Iya. Nanti ya aku hubungi]
Kuketik pesan lalu mengirim pesan tersebut. Saat tengah asyik meringis sendirian. Lia yang sedari tadi di sampingku dengan usil menyenggol bahuku membuat aku terjatuh setengah badan ke kiri.

“Ya Allah, Lia!” teriakku. Tangan kiri masih memegangi ponsel sedang tangan kanan menyanggah dada.

“Habisnya, lo dari tadi ceringisan sendirian. Kesambet lo, ya!” celotehnya sambil tertawa senang.

“Ahelah, lo mah iseng baget si!” ketusku. Kembali duduk seperti semula. “Lo, kepo.” Aku mencubit pipinya yang chuby dengan keras. Seketika Lia kesakitan oleh ulahku. Dengan bersamaan aku tertawa terbahak.

“Puas lo. Seimbang kan kita. Satu berbanding satu,” kataku terkekeh. Sembari beranjak meninggalkan Lia yang masih kesakitan dengan memanyunkan bibir. Aku berjalan berlalu untuk menunaikan sholat maghrib.

**
Hari berlalu lebaran hanya di rumah kontrakan membuatku merasa bosan. Apalagi cuti hanya tiga hari. Mau pulang kampung tapi nanggung. Di sela-sela kebosanan yang terus melanda Raditya cukup menghiburku meski kami belum ada rencana bertemu. Komunikasi hanya lewat chat dan telepon. Sesekali kami video call lewat aplikasi WhatAps demi tau rupa masing-masing. Aktifitas ini cukup mengurangi kejenuhan di kontrakan.

Raditya : [Re, aku senang bisa mengenal kamu]

Ia mengirim pesan saat aku tengah asyik makan. Sebentar aku menghentikan menyuap nasi dan membalas pesan dari Raditya.

Aku :[Sama kok, hehe]

Meletakkan gawai lalu melanjutkan makan.

Ting
Hanya beberapa detik ia membalas lagi. Rupanya ia mengirim dua pesan.

Raditya : [Cie, kita samaan. Asikk]
[Bolehkah aku mengenal kamu lebih dekat lagi?]

Aku tertegun usai membaca pesan darinya. Memilih untuk melanjutkan makan.

**
Aku duduk di teras rumah. Suasana pagi terasa hangat rupanya matahari mulai menampakkan diri. Aku kembali bermain gawai jariku berputar di logo berwarna hijau. Membaca ulang pesan dari Raditya. Lalu, mengetik pesan untuknya.

Aku : [Boleh kok]

[Btw kamu lagi apa?]

Selesai mengetik pesan. Jariku masih asyik menari di layar ponsel. Sesekali aku buka beberapa akun medsos.

Ting

Satu notifikasi pesan Whatsapp. Jariku beralih ke logo hijau.

Raditya : [Alhamdulillah. Makasih, ya. Aku lagi santai aja ini]

Aku kembali mengetik pesan.

[Ok]

Rupanya ia tak lagi membalas pesan. Aku beranjak memilih masuk menemui Lia.

**
Masa cuti telah habis. Hari ini aku sudah mulai masuk kantor. Suasana jalanan kota masih renggang. Tampaknya orang-orang belum pada balik ke kota ini. Aku menghela nafas, akhirnya aku bisa menikmati jalanan kota tanpa hiruk pikuk kemacetan sana sini. Aku mengendarai sepeda motor metic bernama Scopy berwarna hitam, bersama Lia.

Waktu terus berlalu tanpa terasa sudah tiga bulan aku mengenal Raditya. Sepulang kantor kami bermaksud untuk ketemuan di salah satu cafe Jakarta. Sebelum pulang, aku memilih berganti pakaian. Mengenakan celana jeans, baju tunik bercorak batik. Menabur bedak tipis di pipi tirusku, dan mengoles sedikit lipstik berwarna merah muda di bibir. Selesai aku kembali menatap cermin memastikan penampilanku sudah rapi. Aku bergegas keluar dari ruang ganti menuju area parkir lalu menyalakan motor.

Sampai lah di cafe tempat aku dan Raditya bertemu. Aku mengambil gawai dari tas slempang. Mengetik pesan.

Aku : [Mas Radit, kamu di mana? Aku sudah sampai di depan cafe]

Selesai mengetik pesan. Aku masih berdiri menunggu balasan dari Raditya.

Ting

Ponselku berdering. Segera aku membuka layar gawai.

Raditya : [Masuk aja. Aku di nomor empat pakai kemeja hijau pendek]

Tanpa menunggu aku segera masuk dan mencari tempat tersebut. Mataku tak henti melirik sana sini. Ketemu, di nomor empat terletak di pojok belakang barisan pertama. Aku segera menghampirinya. Tampaknya ia tengah asyik bermain gawai.

“Hai, Mas Radit,” Sapaku tepat berdiri di hadapannya.

“Hai. Kamu Rere, kan?” ucapnya kaget. Memalingkan dari gawai lalu menatapku. Ia pun berdiri dan mempersilahkan aku duduk di hadapannya.

Aku pun menarik kursi, lalu duduk di depannya. Di meja cafe terdapat beberapa makanan khas luar negeri. Satu piring sushi ukuran sedang dan satu loyan pizza ukuran small serta dua cangkir cappuccino yang di hias berbentuk hati. Rupanya ia sudah memesan lebih dulu.

“Maaf, telat. Sudah Membuatmu menunggu?” kataku gugup. Lalu tersenyum.

“Iya, nggak apa-apa. Yaudah, kita makan yuk,” ajaknya. Ia pun membalas senyumku dengan senyum mengambang.

Seketika aku terdiam menyaksikan senyuman manis di wajahnya membuatku tak bisa berkutik. Jantungku tak henti berdebar, rasa bahagia menyelimuti hati ini. Ia benar-benar tampan lebih dari fotonya. Aku meneguk capucino menenangkan jantung yang tak juga henti berdebar. Kami pun mengobrol banyak hal. Saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Aku mengaguminya sekaligus merasa iba saat mendengar cerita kegagalannya dalam membina bahtera rumah tangga. Terbesit di pikiranku, kenapa lelaki seganteng ini dan se-asyik ini harus menjadi single parents? Wanita itu benar-benar bodoh melepaskan lelaki sebaik dia. Tuhan, kalau saja aku istrinya pasti akan aku jaga sebaik mungkin. Di waktu bersamaan Radit memanggil namaku, membuyarkan lamunan. Aku terkejut.

“Eh, iya. Kenapa Mas?” ucapku.

“Malah bengong,” katanya. Menatapku tajam.

“Eh, nggak kok.” Aku menunduk tak mampu membalas tatapan darinya. Kami pun saling diam.

Tak lama kemudian kami pulang menuju rumah masing-masing. Sejak pertemuan pertama komunikasi kami semakin intens. Ada perasaan yang tak aku mengerti itu apa. Sesekali kami saling memuji, saling mengutarakan rasa. Namun, tak jelas hubungannya ke mana.

Waktu semakin berlalu. Lama aku mengenalnya rasa semakin menggebu tetapi tidak dengan hubungan yang tengah kami jalani. Tetiba, Raditya memutuskan hubungan begitu saja. Setelah berharap hubungan ini jelas arahnya. Namun, ia memilih untuk mengakhiri dengan alasan aku bukan kriterianya dan hanya sebatas online.
Ting

Dering ponsel mengagetkanku saat aku tengah asyik menonton TV bersama Lia. Aku mengambilnya di bawah TV yang tersender di almari TV. Kubuka layar ponsel rupanya pesan itu dari Raditya.

Raditya : [Maaf, kita nggak bisa lanjut. Kita hanya sebatas teman online. Jadi jangan pernah baper dengan aku]

Aku terdiam membaca pesan dari Raditya. Perasaanku hancur tak karuan setelah bertemu dan sama-sama mencurahkan. Berujung seperti ini. Kabar darinya seperti diterpa angin badai. Lalu, apa arti dari semua ini? Entahlah aku benar-benar tak mengerti. Tetiba, airmata berlinang begitu saja. Lia yang sedari tadi di sampingku kaget bukan kepalang melihat aku menangis.

“Re, kamu kok nangis kenapa?” tanyanya. Ia mendekatiku.

“Radit,” ucapku lirih. Menyodorkan ponsel ke Lia.

Lia hanya terdiam setelah membaca isi pesan tersebut. Lalu, ia menyilangkan tangannya ke pundakku menuntun kepalaku untuk bersender di pundaknya.
Diubah oleh patma62 26-08-2020 12:13
asmulfaisi
fiksyau
thedreamcrusher
thedreamcrusher dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.9K
54
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
muyasyAvatar border
muyasy
#4
Quote:


Okay ....
Semangat Yups emoticon-Kiss
patma62
patma62 memberi reputasi
1
Tutup