TS
sriwijayapuisis
Kumpulan Puisi untuk Ibu
Cahaya Surga
Ilustrasi gambar google.com
Ilustrasi gambar google.com
Dalam gelap ananda merayap
Tersandung adalah obat perih
Ketika cahayamu tak lagi menyinari
Duniaku seolah tak berarti
Lentera yang selalu terpancar
Kini padam tanpa hembusan angin
Malammalam menjadi dingin
Tiada sentuh hangat dari jemarimu yang lelah
Kepada siapa surga kan terharap
Bila kasihmu bak lenyap
Suaramu mendayu pilu
Merintih di penghujung waktu tanpa adaku
Oh ibu, ananda kian tersayat sembilu
Melihatmu kian jauh dari dekapanku
Sedang kasihmu tiada pernah pupus
Menyinari dunia layaknya cahaya surga
Mungkinkah ananda bisa menjamah kakimu dan bersujud
Melebur segala salah khilaf diri
Sedang cintamu serupa peri
Tak pinta balas meski tersakiti
Matesih 2019
Perempuan diujung Senja
Iris choklat itu tak mampu kupandang
Meski sekejap untuk mengenang
Aku takut dan segan
Bilakah iris itu menatap kegetiran
Di ufuk barat langkahnya kian cepat
Membenamkan kaki pada langit semburat jingga
Wajahnya kian terpancar merona
Ada seribu bahasa tersimpa di balik iris coklatnya
Ia terdiam dalam sepi
Meresapi hawa jahat jua cahaya keputihan
Ia bersidekap dengan masa yang lewat
Melerai kenangan ketika senja bertandang
Kaki ringkihnya seolah menjerit di keheningan
Pada ujung waktu yang tak sempat terucapkan
Bila ia datang dengan ketabahan paling lapang
Memeluk ufuk yang menjauh pergi
Dari bukit turun ke lembah-lembah yang subur
Di ujung senja ia bertafakur
Mungkin esok irisnya tiada lagi memancar
Seperti hari yang melukis senja diujung harap
Batinnya kuat memukul gamang
Adakah waktu berpulang tenang
Saat dedaun muda mulai melebar mayang
Matesih, 2019
Selendang Kasih Bunda
Matahariku telah bersinar Bunda
Saat fajar tenggelam mengerikan embun
Lembut sentuhannya menghangatkan kulitku
Tapi apakah rasa itu sama
Saat kecupan hangatmu membelai mesra
Ketika hangat sentuhmu menentramkan jiwa
Gemuruh di dada seolah mengoyak batin
Bak debur ombak menyapu samudera
Aku seolah karam di bibir pantai
Renjana telah memasung belantara jiwa tanpa belas kasih
Tersyukur pilu di tepi keramaian insan
Bagai mati dalam kenangan
Merangkul muara kasih sayang
Oh Bunda, butiran kasihmu melena
Hanyutkan aku dalam lautan kasih abadi
Kini aku merindu sentuh hangat senjamu
Bunda … arus zaman telah aku lewati
Bersama selendang yang kauikat di pinggang ini
Warnanya kian memudar, bersama kecupanmu yang jarang kurasakan
Bunda … sentuh kasihmu tiada terganti, dalam lelapku merangkai mimpi
Selendang sutramu berkibar
Melambai pada senja yang hampir termakan gulita
Oh Bunda, aku merasa kalah
Tak dapat menyuguhkan lautan kasih seperti yang kauberi
Garam asin air lautan seolah hambar
Kala senandung tentangmu berdendang
Butiran tirta menerobos keluar
Meremas hatiku tanpa cela
Aku jatuh berselendang kasih bunda
Membungkus tirai yang tak lagi sama
Dalam sayu pandang ini melena
Pada bayangmu yang jauh di mata
Aku rindu memeluk sang bunda
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Potret Tua
Senja
Getir terasa
Buram pandang mata
Saat melihat potret tua
Rindu membuncah kalbu
Menghalangi jarak pandangku
Hujan jatuh perlahan
Teringat masa silam
Raut wajahmu ayu
Tersenyum simpul berkarisma
Menawan sejuta hikayat cinta
Setiap masa yang ada
Hati terasa pilu
Tersiram butiran haru
Saat potret tua terpandang
Rindu menyergap datang
Hendak memeluk dalam dekapan sayang
Malang! Tinggal kenangan
Karena dia telah pergi
Memenuhi panggilan Ilahi
Ibu … i love you
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Rembulan Senja
Seraut wajah hadir di pelupuk mata
Memasung rintik pilu di kedalaman jiwa
Dekap erat ilusi diri
Memotong guratan suci di palung hati
Jatuh sudah bergemintang bintang
Pada rembulan yang melamun bimbang
Gemuruh ombak menyapu pandang
Menawan semburat jingga di langit
kelam
Kulihat ia mematung ragu
Pada bulan bercahaya ayu
Teduh pandang itu
Meremang bersama waktu, lalu ….
Titik nadir berdenyut syahdu
Melantunkan puisi racu
Rembulan senja memandang pilu
Indah sinarnya sayu
Ah, rembulan senjaku kini tak lagi memuja
Pada alam bernuansa jingga
Ia telah mendekap malam
Bersama sejuta kenangan
Di gubuk tua itu, sejarah cerita telah berlalu
Merakit mimpi salju dengannya rembulan senjaku
Kini rindu akan masa indah itu
Bermuara kasih ibu
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Salam untuk Sang Pelita
Lambaian tanganmu meruntuhkan hati ini
Kulihat embun kaca kian buram
Halangi pandang kian dalam
Mentari seolah tersenyum kecut ke arahku
Saat kaki ini melangkah maju
Berat terasakan
Debar dadaku tak terarah
Meninggalkan jejak di bilik netramu
Sesak menghimpit kalbu
Namun aku terus maju menyeberangi lautan kasih sayangmu
Salam ibu aku mengembara
Mengikuti era yang berbeda
Pada zaman yang semakin tua
Melintasi jarak dan masa
Restumu kubawa serta
Melekat dalam benak kepala
Salam untuk sang pelita hati, atas kerinduan ini
Lambaian tanganmu akan kukenang
Sebagai batu loncatan, menuju masa depan
Sampai waktu jadi pemersatu, menyatukan kita dalam temu
Ingin aku memelukmu syahdu
Rangkul aku kembali ibu dalam kasihmu
Aku rindu mengecup kening tua itu
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Melihat
Aku hanya bisa mendengar
Ketika virus datang menyerang
Gerogoti tubuh ringkihmu
Pilu
Aku hanya bisa melihat
Ketika senja menghiasi paras ayumu
Menguliti kelopak mata ini
Nyeri riang bernyanyi
Memperolok diri
Mengapa bukan aku yang menjadi balutan lukamu
Saat tubuh itu termakan virus dunia
Menua
Matesih, 25-6-2019
Oleh: Sriwijaya
Maafkan Aku Ibu
Duhai kau yang tersebut pelita hati
Guru kala kaki belum menapak bumi
Petuah bijakmu bagai lagu riang gembira
Saat telinga ini masih menuli dari dunia
Celoteh manjamu adalah senandung lelapku
Kidung asmaradhana di kelopak mata
Kini kautelah menua
Meringkih dalam balutan senja
Wahai kaupelita hati aku malu
Samudera asmara kauberi
Tanpa pinta balas jasa
Tapi apa yang aku beri dimasa senjamu
Hanya ratapan pilu berdinding senyum palsu
Aku tahu pahatan luka mengoyak batin
Hingga derai jatuh tanpa arah
Kau tersedu di ranjang tua
Meruntuh hati membalut lara
Mengapa buah hatimu terluka
Sedang awan masih mengelambu di langit
Tanpa datangkan hujan dimasa gersang
Oh ibu, maafkan aku
Tak bisa membalas jasamu
Hanya pilu buah lelaku insan
Menoreh sayatan buah hatimu
Dan kau yang meruntuh pilu atas luka hatiku
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Terima Kasih Kunjangannya
Tersandung adalah obat perih
Ketika cahayamu tak lagi menyinari
Duniaku seolah tak berarti
Lentera yang selalu terpancar
Kini padam tanpa hembusan angin
Malammalam menjadi dingin
Tiada sentuh hangat dari jemarimu yang lelah
Kepada siapa surga kan terharap
Bila kasihmu bak lenyap
Suaramu mendayu pilu
Merintih di penghujung waktu tanpa adaku
Oh ibu, ananda kian tersayat sembilu
Melihatmu kian jauh dari dekapanku
Sedang kasihmu tiada pernah pupus
Menyinari dunia layaknya cahaya surga
Mungkinkah ananda bisa menjamah kakimu dan bersujud
Melebur segala salah khilaf diri
Sedang cintamu serupa peri
Tak pinta balas meski tersakiti
Matesih 2019
Perempuan diujung Senja
Iris choklat itu tak mampu kupandang
Meski sekejap untuk mengenang
Aku takut dan segan
Bilakah iris itu menatap kegetiran
Di ufuk barat langkahnya kian cepat
Membenamkan kaki pada langit semburat jingga
Wajahnya kian terpancar merona
Ada seribu bahasa tersimpa di balik iris coklatnya
Ia terdiam dalam sepi
Meresapi hawa jahat jua cahaya keputihan
Ia bersidekap dengan masa yang lewat
Melerai kenangan ketika senja bertandang
Kaki ringkihnya seolah menjerit di keheningan
Pada ujung waktu yang tak sempat terucapkan
Bila ia datang dengan ketabahan paling lapang
Memeluk ufuk yang menjauh pergi
Dari bukit turun ke lembah-lembah yang subur
Di ujung senja ia bertafakur
Mungkin esok irisnya tiada lagi memancar
Seperti hari yang melukis senja diujung harap
Batinnya kuat memukul gamang
Adakah waktu berpulang tenang
Saat dedaun muda mulai melebar mayang
Matesih, 2019
Selendang Kasih Bunda
Matahariku telah bersinar Bunda
Saat fajar tenggelam mengerikan embun
Lembut sentuhannya menghangatkan kulitku
Tapi apakah rasa itu sama
Saat kecupan hangatmu membelai mesra
Ketika hangat sentuhmu menentramkan jiwa
Gemuruh di dada seolah mengoyak batin
Bak debur ombak menyapu samudera
Aku seolah karam di bibir pantai
Renjana telah memasung belantara jiwa tanpa belas kasih
Tersyukur pilu di tepi keramaian insan
Bagai mati dalam kenangan
Merangkul muara kasih sayang
Oh Bunda, butiran kasihmu melena
Hanyutkan aku dalam lautan kasih abadi
Kini aku merindu sentuh hangat senjamu
Bunda … arus zaman telah aku lewati
Bersama selendang yang kauikat di pinggang ini
Warnanya kian memudar, bersama kecupanmu yang jarang kurasakan
Bunda … sentuh kasihmu tiada terganti, dalam lelapku merangkai mimpi
Selendang sutramu berkibar
Melambai pada senja yang hampir termakan gulita
Oh Bunda, aku merasa kalah
Tak dapat menyuguhkan lautan kasih seperti yang kauberi
Garam asin air lautan seolah hambar
Kala senandung tentangmu berdendang
Butiran tirta menerobos keluar
Meremas hatiku tanpa cela
Aku jatuh berselendang kasih bunda
Membungkus tirai yang tak lagi sama
Dalam sayu pandang ini melena
Pada bayangmu yang jauh di mata
Aku rindu memeluk sang bunda
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Potret Tua
Senja
Getir terasa
Buram pandang mata
Saat melihat potret tua
Rindu membuncah kalbu
Menghalangi jarak pandangku
Hujan jatuh perlahan
Teringat masa silam
Raut wajahmu ayu
Tersenyum simpul berkarisma
Menawan sejuta hikayat cinta
Setiap masa yang ada
Hati terasa pilu
Tersiram butiran haru
Saat potret tua terpandang
Rindu menyergap datang
Hendak memeluk dalam dekapan sayang
Malang! Tinggal kenangan
Karena dia telah pergi
Memenuhi panggilan Ilahi
Ibu … i love you
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Rembulan Senja
Seraut wajah hadir di pelupuk mata
Memasung rintik pilu di kedalaman jiwa
Dekap erat ilusi diri
Memotong guratan suci di palung hati
Jatuh sudah bergemintang bintang
Pada rembulan yang melamun bimbang
Gemuruh ombak menyapu pandang
Menawan semburat jingga di langit
kelam
Kulihat ia mematung ragu
Pada bulan bercahaya ayu
Teduh pandang itu
Meremang bersama waktu, lalu ….
Titik nadir berdenyut syahdu
Melantunkan puisi racu
Rembulan senja memandang pilu
Indah sinarnya sayu
Ah, rembulan senjaku kini tak lagi memuja
Pada alam bernuansa jingga
Ia telah mendekap malam
Bersama sejuta kenangan
Di gubuk tua itu, sejarah cerita telah berlalu
Merakit mimpi salju dengannya rembulan senjaku
Kini rindu akan masa indah itu
Bermuara kasih ibu
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Salam untuk Sang Pelita
Lambaian tanganmu meruntuhkan hati ini
Kulihat embun kaca kian buram
Halangi pandang kian dalam
Mentari seolah tersenyum kecut ke arahku
Saat kaki ini melangkah maju
Berat terasakan
Debar dadaku tak terarah
Meninggalkan jejak di bilik netramu
Sesak menghimpit kalbu
Namun aku terus maju menyeberangi lautan kasih sayangmu
Salam ibu aku mengembara
Mengikuti era yang berbeda
Pada zaman yang semakin tua
Melintasi jarak dan masa
Restumu kubawa serta
Melekat dalam benak kepala
Salam untuk sang pelita hati, atas kerinduan ini
Lambaian tanganmu akan kukenang
Sebagai batu loncatan, menuju masa depan
Sampai waktu jadi pemersatu, menyatukan kita dalam temu
Ingin aku memelukmu syahdu
Rangkul aku kembali ibu dalam kasihmu
Aku rindu mengecup kening tua itu
Matesih, 21 April 2019
Oleh: Sriwijaya
Melihat
Aku hanya bisa mendengar
Ketika virus datang menyerang
Gerogoti tubuh ringkihmu
Pilu
Aku hanya bisa melihat
Ketika senja menghiasi paras ayumu
Menguliti kelopak mata ini
Nyeri riang bernyanyi
Memperolok diri
Mengapa bukan aku yang menjadi balutan lukamu
Saat tubuh itu termakan virus dunia
Menua
Matesih, 25-6-2019
Oleh: Sriwijaya
Maafkan Aku Ibu
Duhai kau yang tersebut pelita hati
Guru kala kaki belum menapak bumi
Petuah bijakmu bagai lagu riang gembira
Saat telinga ini masih menuli dari dunia
Celoteh manjamu adalah senandung lelapku
Kidung asmaradhana di kelopak mata
Kini kautelah menua
Meringkih dalam balutan senja
Wahai kaupelita hati aku malu
Samudera asmara kauberi
Tanpa pinta balas jasa
Tapi apa yang aku beri dimasa senjamu
Hanya ratapan pilu berdinding senyum palsu
Aku tahu pahatan luka mengoyak batin
Hingga derai jatuh tanpa arah
Kau tersedu di ranjang tua
Meruntuh hati membalut lara
Mengapa buah hatimu terluka
Sedang awan masih mengelambu di langit
Tanpa datangkan hujan dimasa gersang
Oh ibu, maafkan aku
Tak bisa membalas jasamu
Hanya pilu buah lelaku insan
Menoreh sayatan buah hatimu
Dan kau yang meruntuh pilu atas luka hatiku
Matesih, 26 Juni 2019
Oleh: Sriwijaya
Terima Kasih Kunjangannya
Quote:
Diubah oleh sriwijayapuisis 09-04-2021 04:14
dalledalminto dan 36 lainnya memberi reputasi
37
16.3K
400
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
sriwijayapuisis
#342
Puisi Kemerdekaan
Kidung Anak Negeri
pintarest
pintarest
Katanya negara kita sudah merdeka
Adil makmur sentosa
Aman tentram dan bersahaja
Benarkah itu saudara-saudara?
Merdeka!
Kemerdekaan adalah hak segenap bangsa
Itulah kutipan teks yang menggema
Berkibar sang saka gagah di udara
Mengharu batin entah mengapa
Ah, apalah arti merdeka bila kami hanya pengais emperan iba
Tiada tempat bernaung duka lara, kecuali padaNya
Negeri ini kaya, nyatanya kami lapar di tanah merdeka
Negeri ini subur, nyatanya kami tak bisa berkumur di sumur
Negeri ini aman, nyatanya kami tersingkir dari kampung halaman
Negeri ini sentosa, nyatanya kami hanya menjadi sampah-sampah mata
Itukah merdeka?
Benarkah sudah merdeka?
Dimana kemerdekaan itu ada?
Di dalam dada burung garuda?
Atau bersemayang dalam jiwa raga
Entahlah
Namun, kami bangga menjadi bagian Indonesia
Walau keberadaan kami hanyalah debudebu jalanan
Meski kami tak pernah dipedulikan
Kami tetap cinta tanah kelahiran
Hai penguasa, rangkul kami dengan kebesaran jiwa
Beri kami petunjuk jalan ke arah merdeka
Bukan terkebiri di tanah sendiri
Esok makan hari ini busung lapar
Sedang engkau asyik berhokya-hokya
Makan darah nanah keringat kami sang jelata
Oh penguasa, sepatumu klimis
Jasmu necis amis
Pecimu sabda adidaya
Namun mengapa langkahmu panjang sebelah
Untuk para pemuda
Siapkan iman dan taqwa
Berbesar kelapangan dada
Entah esok lusa pun nanti
Negeri ini milik sendiri
Ibu pertiwi
Pemuda jagalah tanah air kita
Dari para perusak jagat raya
Di tanah pertiwi ini kita terlahir di dunia
Tumbuh dewasa dalam rangkulan ibunda
Lihatlah betapa makmurnya negeri ini, hamparan sawah hijau nan subur
Beribu-ribu budaya menjadi corak warna
Suku-suku membentang di sepanjang pulau
Coba katakan pemuda, tak indahkah negeri kita?
Wahai para pemuda
Kepakan sayap garuda untuk mengudara sampai ke jagat raya
Lewati segala arah lintang yang ada
Tak peduli cemooh membabi buta
Kita adalah satu berbangsa bernegara
yaitu Indonesia
Jayakan negeri di kaca dunia
Harum mewangi mengelokkan mata
Itulah negeri tercinta
Berbhinneka Tunggal Ika
Pegang teguhlah semboyan negara kita
Pancasila sebagai dasar negara
Agar Indonesia tetap utuh tak mudah roboh
Mari saling berjabat erat
Merajut kasih sayang diantara kesatuan yang tercipta
Damaikan negeri
Damailah bangsa
Kami cinta padamu Indonesia
Matesih, 18 Agustus 2020
Oleh: Sriwijaya
abahekhubytsany dan dalledalminto memberi reputasi
3
Tutup