tutorialhidupAvatar border
TS
tutorialhidup
KU BUNUH ISTRIKU DEMI PELAKOR

Quote:
Diubah oleh tutorialhidup 01-09-2020 23:17
defriansah
kyaikanjeng77
lumut66
lumut66 dan 18 lainnya memberi reputasi
11
5.4K
85
Thread Digembok
Tampilkan semua post
tutorialhidupAvatar border
TS
tutorialhidup
#18
Pagi menjelang, cahaya matahari menyusup lewat celah-celah jendala kaca bening dengan gorden berwarna peach. Cahaya itu berhasil mengusik tidur nyenyakku.

Mata ini mengerjap, mencoba untuk mengumpulkan nyawa ke dalam tubuh. Aku dan Safira tertidur pulas setelah mengubur jasad Laila. Safira mengganti seprai dan selimut yang penuh dengan noda darah semalam dengan yang baru.

Laila adalah seorang yatim piatu jadi kalaupun dia mati pasti tidak 'kan ada orang yang mencarinya.

Tapi di mana Safira sekarang? Kenapa ia tidak ada di sini? Setelah membersihkan diri dalam kamar mandi dan mengganti pakaian aku beranjak turun ke lantai bawah. Rumah besar ini benar-benar sepi sebab tiga hari yang lalu aku meliburkan semua pembantu dan penjaga.

Itu sengaja kulakukan agar rencana buruk menyingkirkan Laila bisa berjalan dengan lancar. Para pambantu dan penjaga itu aku liburkan selama satu bulan tapi gaji mereka tetap jalan.

Aroma masakan yang lezat menguar menembus indra penciuman ini. Sepertinya arahnya dari dapur. Kaki terus melangkah menuju sumber aroma.

Netra ini menangkap seorang wanita cantik yang tengah asyik berkutat dengan peralatan dapur. Lihai tangan mungil itu dengan mengaduk nasi di salam wajan dan sesekali ia menambahkan bumbu-bumbu serta sayuran lainnya untuk menambah cita rasa masakannya.

Safira Ratina--istri mudaku--aku menikahinya satu bulan yang lalu dan tentu itu semua tanpa sepengetahuan dari Laila. Sengaja aku berdehem agar dia berbalik dan melihatku. Berhasil, Safira berbalik dengan senyuman tipis di wajahnya yang dapat menggentarkan hati pria manapun jika melihatnya.

"Kau sudah bangun, Sayang?"

Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan pertanyaanya. Sigap istri mudaku itu menyajikan nasi goreng ke atas meja dengan asapnya yang masih mengepul di udara.

Safira lalu memgambil piring menyendokkan nasi ke dalam piring tersebut lalu memberikannya padaku. Meneguk air lalu aku mulai menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut. Menguyahnya secara perlahan ini pertama kalinya Safira memasak untukku.

Istriku itu ikut duduk di meja makan bersamaku. Safira memerhatikanku yang sedang mengunyah nasi goreng buatannya dengan tatapan seperti ragu.

"Huek ... asin!" ucapku memuntahkan nasi dari dalam mulut.

Safira segera menyodorkan segelas air padaku. Kuminum air dalam gelas hingga tandas. Lalu kembali meletakkan gelasnya ke atas meja dengan kasar hingga Safira terkejut.

"Kamu gak papa, Sayang," ucapnya dengan sorot mata khawatir.

"Kamu gak bisa masak?!" Aku menatap tajam ke arah Safira.

Wanita cantik itu menunduk takut sambil menggelengkan kepalanya.

"Maaf, Mas, aku gak bisa masak," ucapnya.

Ck, aku pikir dia sama seperti Laila. Cantik,lembut dan pintar memasak ternyata dugaanku salah. Memasak nasi goreng saja dia tidak bisa apalagi makanan yang lain. Huft, ya sudahlah walaupun Safira tidak bisa memasak tapi setidaknya ia bisa memberikanku keturunan nantinya.

"Ya sudah tidak apa-apa, nanti akan kucarikan pembantu untuk memasak untuk kita," ucapku.

****

Malam kembali menyapa. Tubuh ini remuk hampir tak bertenaga setelah bekerja seharian penuh. Setelah sampai di rumah aku langsung menghempaskan tubuh di sofa ruang tamu.

"Laila! Tolong pijitin aku dong, Sayang!" teriakku.

Hening, tak ada yang menyahut. Menengok ke belakang tidak ada siapa-siapa di rumah ini selain diriku ke mana Laila sebenarnya?

Astaga! Aku menepuk jidat lupa kalau Laila sudah aku bunuh kemarin malam. Ck, aku sendirian di rumah ini Safira pasti masih belum pulang dari rumah orang tuannya.

Ya sudahlah aku sangat lelah. Kuputuskan untuk naik ke atas dan membersihkan diri di kamar mandi.

Lima belas menit berlalu aku keluar dari dalam kamar mandi dengan bertelanjang dada hanya ada sebuah handuk yang melilit di pinggang ini.

Netra ini terfokus pada jendela kamar yang terbuka. Angin malam berhembus membuat gorden melayang-layang, segera aku mendekat dan mulai menutupnya.

Bulu kudukku meremang saat tangan menyentuh jendela kaca yang bening. Bau bunga melati menguar memasuki rongga hidung tapi beberapa detik kemudian bau lembut bunga melati ini terganti oleh bau busuk serta anyir darah.

Hampir saja aku muntah karena bau anyir yang begitu menyengat itu. Menutup hidung dengan kedua belah tangan tapi bau itu tetap saja menyesak rongga hidung.

Tiba-tiba saja kurasakan ada sentuhan halus di pinggang. Aku menunduk menatap ke bawah perut, mata melebar kala mendapati sebuah tangan putih nan pucat melingkar di pinggang ini.

Seketika aku berbalik. Namun tak ada siapapun yang di tangkap oleh mata ini.

Tes!
Tes!
Tes!

Terdengar suara air menetes bak rintik hujan. Mata ini kembali melebar kala mendapati sesuatu yang menetes tersebut. Bukan, itu bukanlah suara air tapi darah segar dari atas ranjang menetes mengotori lantai.

Kudapati kasur king size bersprai putih milikku kini berubah menjadi merah bersimbah darah. Dari mana datangnya darah sebanyak ini?

Tangan ini terulur menyentuh seprai berdarah tersebut. Mengusap cairan berwarna merah pekat itu tiba-tiba saja sebuah nama terlintas di kepalaku.

"Laila," gumamku.

Semilir angin malam berhembus dari jendela kaca yang belum sempat kututup tadi. Membawa rasa dingin yang teramat sangat menusuk tulang belulang terlebih diriku yang saat ini hanya menggunakan sebuah handuk di pinggang.

Kembali bulu kuduk meremang. Aku merasakan seolah ada seseorang yang berdiri di belakangku sekarang. Kembali kurasakan sebuah tangan halus melingkar di pinggang ini tanpa adanya suara derap langkah kaki mendekat dari tadi.

"Kau masih mengingat diriku, Mas." Sebuah bisikan halus mendarat di telingaku.

"L-Laila, apakah itu kau?"

"Ini aku, istri tuamu yang telah kau bunuh," bisiknya lagi dengan suara lirih.

"Pergi! Pergi kau dari sini!" teriakku mengibas-ibaskan tangan ke udara.

"Pergi!"

Berjalan memutar sambil menatap tajam ke sekeliling kamar. Lagi-lagi mahkluk itu hilang dari pandangan.

"Jangan ganggu aku, Laila!" teriakku lagi.

Namun, hanya ada suara angin malam yang berhembus menyambut suara ini yang pecah memenuhi seisi kamar.

"Mas! Kau kenapa?" Suara seorang wanita menyadarkanku.

Segera aku berbalik, kudapati Safira tengah berdiri di depan pintu dan menatapku heran. Perempuan cantik itu lalu mendekat dan menanyakan keadaanku sekarang sambil menyandarkan sebelah tangannya di bahuku.

"Aku tidak apa-apa," ucapku sambil menggeleng.
key.99
key.99 memberi reputasi
1