miss.autumnAvatar border
TS
miss.autumn
Chapter 3: Paper, 2020 (A story from one heart)
Chapter 3: Is It You?

"'Cause This Is All We Know"
(The Chainsmokers ft. Phoebe Ryan - All We Know)


***
Magelang - 03.00
Al akhirnya sampai juga ke kota ini. Kota yang menjadi saksi bisu bagaimana luka lamanya tumbuh. Kota yang menjadi rumah tempat Al mengadu pada Eyang perihal kerasnya Ayah saat mendidik Al. Kota tempat Al pertama kali merasakan bagaimana rasanya jatuh hati pada hati yang tidak akan pernah menjadi miliknya. Semuanya masih tersimpan rapi termasuk memori dan segala lukanya. Jadi, jangan heran rasanya jika dari tadi Al menahan segala umpatannya saat melihat Cafe dan Jalanan yang seolah menertawakan kehadiran Al.

“Anjir ngapain juga si lewat sini”, ucap Al saat menyadari nama jalan yang ada di sebelah kanannya.

Jalan Cempaka yang lokasinya dekat Alun-Alun kota Magelang ini merupakan tempat pertama Al bertemu dengan mantannya, tepatnya mantan terbaiknya. Trotoar di sepanjang jalan ini masih sama, dan seolah membuat Al mengingat kembali bagaimana kenangan ia dan gadis itu saat berjalan kaki demi mencari Kertas Manila berwarna Hitam untuk keperluan Masa Orientasi Saat SMA.

Tiba-tiba, Al reflek menghentikan mobilnya tepat didepan Taman Wisata Kyai Langgeng. Kenangan itu masih jelas dan nyata. Waktu itu, ia sempat mengajak gadis itu jalan ke tempat ini dengan alasan mencari spot foto yang bagus. Namun tanpa diduga dan entah keberanian dari mana, Al mengungkapkan perasaannya pada gadis itu. Saat itu, mereka baru saja masuk SMA. Walaupun bersekolah di sekolah yang berbeda, namun hubungan mereka tetap berjalan layaknya kisah kasih di SMA pada umumnya. Kisah cinta mereka pun tak jauh berbeda dari cerita Dilan dan Milea. Hanya saja, Al tidak memiliki banyak kesempatan untuk sekedar hangout dengan gadis itu, karena kesibukannya dalam belajar untuk menghadapi SNMPTN, sesuai tuntutan Ayahnya. Ayah Al memiliki sifat yang tegas, berbanding terbalik dengan Ibu Al yang memiliki sifat begitu lembut. Namun, meskipun memiliki sifat yang tegas, Ayah Al memiliki hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, sehingga tak jarang jika beliau sering meminta waktu untuk mengobrol dengan kedua putranya.

“Al, udah nyampe ya?”, tanya Aretha sembari mengucek kedua matanya.

“Udah ia, rumah lo dimana? Ini kita masih di alun-alun”, ucap Al tetap fokus mengemudi.

“Gua turun disini aja deh, soalnya udah deket juga. Gua mau pesen Ojol ini”, jawab Retha lalu fokus ke Hp nya.

“Gak usah, bahaya naik Ojol jam segini.  Gua anterin sampe rumah aja. Rumah lo dimana?”, Al tentu tidak akan membiarkan Aretha pulang sendirian. Setelah melihat Retha pingsan kemarin sore, tiba-tiba ia jadi parno membiarkan Retha bepergian seorang diri.

“Engga Al, jangan. Ga enak gua”, jawab Retha sembari menggeleng pelan.

“Aretha, ini masih pagi ya. Jangan macem-macem mau pulang sendirian pake Ojol. Lo katanya Reporter, masa gatau kasus pelecehan gegara……..”

“Iya, oke. Rumah gua di daerah Bondowoso, Perum Citra Harmoni”, jawab Retha cepat. Ia lupa bahwa kemarin sempat viral kasus pelecehan yang dimaksud Al barusan. Jadi, ia memilih untuk mengikuti saran Al saja.

“Nah gitu, udah tidur lagi sana. Nanti kalo nyampe gua bangunin”, jawab Al sembari tersenyum puas.

“Enggak ah, takut lo kesasar”

“Yee, gua mah dah khatam semua daerah Magelang mah

“Btw, rumah lo emang dimana Al?, tanya Retha. Entahlah, tiba-tiba ia ingin kepo sedikit tentang Al.

“Di Jurangombo selatan, Bukit Permata, tau nggak?”

“Enggak hehe. Cuma sering denger doang dari orang lain”,

“Makannya main ia, jangan dirumah terus”

“Gada yang ngajak main, gimana dong?”

“Kalo gua ajak keliling Magelang, main ke Jogja, mau gak?”

Aretha hanya reflek diam. Pertanyaan ini, adalah pertanyaan yang ia dapatkan setahun yang lalu. Pertanyaan dari seseorang yang pernah ia anggap begitu berharga, namun sayangnya ia tidak pernah menjadi berharga untuk orang itu. Jika ditelaah kembali, kenangan bersama orang itu adalah kenangan yang begitu berharga sekaligus kenangan luka bagi pribadi Aretha selama setahun ini. Namun, mau bagaimana lagi? Bukankah manusia tidak bisa melawan garis takdir?

“Rumah lo sebelah mana?”, tanya Al membuyarkan lamunan Retha.

“Belok kanan Al, yang cat warna hijau”

Al pun memakirkan mobilnya didepan rumah yang Aretha maksud dan ikut keluar sembari membawakan Tas Ransel milik Aretha. Sesaat setelah memasuki pagar kecil, Al dan Aretha langsung disambut oleh senyum manis kedua orang tua Retha.

“Ayah…..”, ucap Retha lalu menghambur ke pelukan Ayahnya. Sudah sangat lama rasanya ia tidak merasakan pelukan nyaman pria berumur 45 tahun itu.

“Badan kamu masih panas mba ia, ini temanmu ya mba?”, tanya Ibu Retha sembari menempelkan punggung tangannya di kening anak gadisnya.

“Kenalin ini Al, temen ia. Dia orang magelang juga kebetulan kita balik bareng”, jawab Retha lalu melepas pelukan Ayahnya.

Yo wis, ayo masuk dulu nak Al”, ajak Ayah Retha.

“Ehm, saya mau langsung pulang aja Bu, Pak”, jawab Al sopan.

“Sini dulu, istirahat dulu. Kalian kan habis perjalanan jauh, ayo masuk”, ajak Ibu Retha sembari menepuk punggung Al pelan.

Mau tak mau, Al pun akhirnya menerima tawaran kedua orang tua Retha. Ini masih pukul 03.47 WIB, dan suasana pagi di Magelang terasa sangat dingin. Tak lama, Ibu Retha datang sembari membawa 2 gelas kopi dan sepiring pisang goreng.

“Maaf ya mas, ia pasti ngerepotin”, ujar Ibu Retha pelan, sementara Retha sudah lebih dahulu masuk ke kamarnya.

Mbotenbu (tidak bu), kan sekalian pulang juga hehe. Kebetulan searah juga”, jawab Al sambil tersenyum. Ternyata ibu sama anak tidak jauh berbeda. Sifatnya mudah merasa tidak enakan.

“Mas Al suka kopi? Atau mau minum yang lain?”

“Suka kok bu”

Yo wis, monggodiminum ya Mas. Ibu mau ngompres ia dulu”.

Setelah Ibu Retha pergi, Al pun fokus mengobrol dengan Ayah Retha. Tebakan Al benar, Retha merupakan anak yang masih sangat diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Al bahkan sampai diintrogasi habis-habisan oleh Ayah Retha. Meskipun terkesan kepo, namun Al masih memaklumi sikap Ayah Retha. Beliau terkesan seperti orang yang sangat teliti dalam hal menjaga putrinya, jadi wajar saja jika ia ingin mengetahui banyak tentang siapa teman Retha.

“Mas, kamu itu anak Pak Syailendra bukan? Yang tinggal di Bukit Permata?”, tanya Ayah Retha penasaran.

“Iya pak hehe. Alhamdulillah bapak masih ingat saya”, jawab Al sembari tersenyum puas.

“Oalah Mas, pantas saja wajah kamu sangat mirip sama beliau. Nanti kalo sampai rumah, tolong sampaikan salam bapak ya Mas. Bilang saja dari Pak Heri”

“Siap pak, pasti saya sampaikan ke Ayah”
*******

“Mba, mba, mba ia bangun woy mbaaaa”, ucap Asya. Asya Alvirory An Nasr, merupakan adik laki-laki Aretha yang tengah duduk di bangku SMA. Sekarang, Asya lagi sibuk dengan setumpuk tugas Bahasa Inggrisnya, jadi jangan salahkan Asya kalau dia agak sedikit bar-bar membangunkan Aretha. Remaja itu membawa sebuah mangkok dan juga sendok, lalu ia menggunakan kedua benda itu beradu, persis seperti Tukang Bakso yang biasa jualan di depan rumah mereka.

“Mas, lo kenapa si? Berisik tau gak? Gua lagi sakit”, keluh Retha dengan nada ketusnya.

“Lo sakit mba? Nanti siang bisa sembuh kaga? Tugas gua banyak banget mba, bantuin dong”

“Searching napa? Teori banyak di web?”

“Yah kaga bisa gitu mbak. Gua si pinter suruh searching tapi kan tetep ga ngerti”

“Iya oke! Gua bangun nih, pergi sana. Gua mau cuci muka”, ucap Retha final. Adik satu-satunya ini terkadang begitu merepotkan dan juga manja. Jadi, terpaksa Retha harus terus mengalah pada Asya.

***

Aretha hanya bisa sabar melihat adik lelakinya yang ternyata tidak paham dengan apa yang telah dia ajarkan barusan. Sekarang, ujung-ujungnya Retha yang ngerjain tugasnya. Meski lelah karena mengerjakan tugas Asya yang banyak, tapi semuanya kebayar dengan jajanan indomaret yang telah Asya beli.

“Nih mba ia yang ayu, gua dah beliin semuanya sampe duit gua abis. Nanti jam 3 harus udah kelar oke?”

 “Siap. Jam 3 kelar bos”, ucap Retha sambil mengacungkan jempolnya.

***

“Mas Adhi, bangun dulu. Ayo makan siang”, ucap Ibu Adhi sembari mengelus rambut anak sulungnya.

“Bu, Adhi capek. Nanti deh sejam lagi”, jawab Adhi dan kembali bergelung dengan selimut tebalnya. Dia baru saja tertidur 2 jam yang lalu karena tugas kuliahnya.

“Ayo makan, yuk”, bujuk Ibu lagi.

Dengan terpaksa Al pun bangun dan lalu mencuci muka nya. Setelah mengganti kaosnya, Al pun melangkahkan kakinya ke ruang makan. Disana ada Ayah, Ibu, dan juga adiknya.

“Eh ada abang. Lo pulang jam berapa bang?”

Itu adalah Arka Anbiyaa Syailendra, adek tunggal nya Al. Dia baru aja pulang les, soalnya bulan depan ada Ujian Kenaikan Kelas.

“Tadi pagi jam 05.00”, jawab Adhi singkat. Sungguh, Adhi ingin segera makan dan melanjutkan tidurnya.

“Kenapa dateng jam 5 Mas? Emangnya macet?”, tanya Ayah menanggapi.

“Enggak kok Yah, Adhi pulang sama temen. Trus nganterin dia ke rumahnya dulu”

“Laki-laki apa Perempuan Mas?”, tanya Ibu ikut nimbrung.

“Perempuan bu, orang Magelang juga. Rumahnya di Bondowoso”, jawab Adhi seadanya.

Ayah Adhi reflek terdiam dan menunda makan siangnya. Lantas, Ibu, Arka, dan Adhi menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Adhi, Ayah pernah bilang sama kamu. Kamu nggak perlu sebaik itu sama orang lain. Apalagi ini kankonteksnya perempuan. Kalo dia berharap lebih bagaimana? Trus, katanya tadi kamu sampe nganterin dia ke rumahnya, apa kata orang tua nya? Mereka ngira kamu pacarnya nanti. Eh, apa jangan-jangan itu pacarmu ya mas?”, tanya Ayah panjang lebar.

“Bukan Yah, itu temen Adhi. Tapi kankasian Yah, dia lagi sakit. Jadi Adhi anterin pulang”, jawab Adhi seadanya. Ia berharap semoga persoalan ini tidak akan menjadi perdebatan panjang di siang ini. Come on, Adhi hanya ingin segera makan dan melanjutkan nugas, lalu pergi tidur.

Nah, ini masalahnya. Kamu itu tidak bisa melihat perempuan susah sedikit. Mas, mereka itu juga bisa jaga diri. Sudahlah kamu ngga usah dekat sama perempuan dulu. Fokus ke kuliah sama karirmu, jodoh kan sudah diatur sama Gusti Allah”, ucap Ayah serius. Terlampau serius bahkan.

“Ayah, tapi kan ngga bisa gitu juga. Adhi ini udah dewasa, jadi ngga ada salahnya juga kan, buat dekat sama teman perempuannya”, Ibu menanggapi dengan nada lembut seperti biasanya.

“Ibu, harusnya Ibu juga jangan terlalu membebaskan Adhi. Sekarang ini, banyak perempuan yang tidak baik lho masalahnya. Bagaimana kalo nanti Adhi terpengaruh?”

“Tapi kan Mas Adhi juga butuh pacar Yah, kasian dia ga bisa move ondari mantannya”, bahkan si bungsu Arka tiba-tiba menanggapi.

“ARKA!!!!!!”, ucap Ibu, Ayah, dan Adhi kompak.

“Ya maaf, tapi kan bener”, Arka hanya menjawab seadanya, lalu mengambil lauk yang ada didekatnya.

“Ya sudah. Lain kali kamu harus lebih hati-hati Mas, jangan terlalu dekat sama perempuan asing Mas”, ucap Ayah. Begitulah karakter Ayah, kadang tegas, namun kadang juga bisa lembut seperti sekarang ini.

“Iya Yah”

****

“Bang, pindah dong ke kamar sana. Gua mau nugas ni, temen gua mau ke sini”, ucap Arka dengan mata yang masih fokus pada layar Hp.

“Apaan si? Gua juga lagi nugas kali. Di kamar gua Wi-Finya jelek”, jawab Adhi tidak mau mengalah.

“Yaelah bang, lo kan banyak duit. Tinggal beli paketan apa susahnya bang?”

“Bacot anjir…”

“Adhi, Arka, ngomongnya gak boleh kasar”, tiba-tiba Ibu muncul dengan penampilannya yang sudah rapih.

“Eh ibu hehe”, jawab Adhi tertawa kecil.

“Mas Adhi bisa anter Ibu ke Rumah Sakit? Ayah lagi ada kerjaan katanya, jadi gak bisa nemenin Ibu”

“Bisa bu. Bentar ya, mau mandi dulu”

Yo wissana mandi. Biar gantengnya keliatan”

“Kan ini juga udah ganteng hehe”, Ibu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Kedua anak lelakinya memang terlampau percaya diri dengan wajah tampan mereka. Dan tentunya, sifat ini menurun dari suaminya.

****

“Bu, kita mau jenguk siapa?”, tanya Adhi penasaran saat mereka telah sampai di Rumah Sakit.

“Jenguk Mbok Surni Mas, anaknya baru saja melahirkan”, jawab Ibu singkat.

Adhi pun hanya mengangguk dan fokus mengikuti langkah ibunya, hingga tiba-tiba saja ia melihat siluet gadis masa lalunya. Gadis itu memakai jas dokter dengan tangan kanannya yang memegang beberapa dokumen. Adhi ingin meminta pada Tuhan jika sekarang ia sedang bermimpi saat ini, tapi nyatanya ia malah ditampar fakta, semuanya adalah nyata.

Athena Marchindya Safaira, atau biasa akrab dipanggil Dyas, merupakan mantan kekasih sekaligus mantan terbaik Adhi yang tengah kuliah di jurusan kebidanan. Waktu itu, Dyas memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Adhi karena mengaku telah mencintai seseorang dibelakang Adhi. Entahlah, Adhi merasa tidak tertarik untuk membahas masalah tempo lalu. Jadi, ia lebih memilih pergi mengikuti langkah Ibunya daripada fokus pada siluet gadis itu.

Sesaat setelah menemukan ruangan anak Mbok Surni, Adhi langsung masuk bersama Ibunya dan matanya langsung terfokus pada bayi yang tengah tertidur dalam inkubator. Bayi itu mirip dengan Almarhum adik Adhi yang meninggal saat berusia 3 hari karena Asfiksia. Asfiksia adalah kondisi saat bayi kekurangan oksigen yang ditandai dengan kulit bayi yang membiru, sesak nafas, dan juga denyut jantung bayi yang menurun.

Adhi masih ingat dengan jelas bagaimana ia dan Ayahnya melewati masa sulit tersebut. Ibunya hampir depresi, semua pihak dari keluarga Ibu Adhi menganggap segala yang terjadi adalah kesalahan murni Ibu Adhi. Adhi yang hanya berusia 15 tahun hanya mampu bersabar saat semua orang menjauhi keluarganya. Hingga, tepat setelah 3 bulan kepergian Almarhum adiknya, Ibunya akhirnya bisa hidup normal kembali dengan berita kehamilannya. Segalanya pun berubah normal, dan Adhi selalu beranggapan bahwa hadirnya Arka adalah sebuah berkah paling berkesan dalam hidupnya. Karena itu, sekesal apapun ia pada adiknya, Adhi tidak akan pernah mampu berlama-lama menjauhi Arka.

Tiba-Tiba saja pintu terbuka dengan datangnya seorang Bidan dan membuat semuanya menoleh ke arah pintu masuk, tak terkecuali Adhi.

Adhi hanya bisa mematung saat melihat siapa yang datang, entah mengapa takdir terasa menikamnya. Dyas datang sembari membawa stetoskop yang setia menggantung di bahunya. Adhi hanya terpaku pada objek tersebut, berbeda dengan Dyas yang terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka tempo lalu. Dyas masih sama, senyumnya masih sehangat dulu, namun perbedaan tercetak jelas pada wajah cantiknya. Kantung matanya terlihat begitu jelas, menandakan bahwa dia kekurangan banyak waktu tidur.
Ibu Adhi yang menyadari siapa Bidan nya, dengan segera mengusap lengan kanan Adhi, seolah-olah ia ikut merasakan luka yang tengah puteranya rasakan. Adhi pun hanya mampu menghembuskan nafasnya. Sekedar memastikan bahwa ia mencoba baik-baik saja, walau pun ia mengaku bahwa hatinya tidak baik-baik saja. Sungguh, sebenarnya banyak hal yang harus mereka bicarakan. Namun, Adhi memilih untuk bungkam saja, layaknya Dyas yang bertingkah seolah memang mereka baik-baik saja.
“Kita kan udah putus, jadi ga perlu ada penjelasan apapun”.


To be continue.............
Cahayahalimah
nomorelies
muthialaqilah
muthialaqilah dan 43 lainnya memberi reputasi
44
1.3K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
blunarAvatar border
blunar
#5
niiccee..... pada dapet inspirasi dari mana sih kok pada bisa bikin cerbung begini gan hahaha ane kurang kreatif nih pengen juga bisa bikin cerbung 😅
0
Tutup