Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
Rakha (Penjara Pemilik Surga)
Cerbung



Prolog

1998

Di sudut kamar, ibu menangis meraung-raung. Sementara adik di atas kasur tak kalah kencangnya menangis.

Aku berlari, menghambur ke arah ibu, bermaksud menenangkannya. Namun, respon ibu di luar dugaan. Ia justru mendorong tubuhku yang ingin memeluknya, hingga aku terjerembab di lantai.

"Pergi! Anak pembawa sial, gara-gara kamu, ayah pergi. Ibu benci kamu, benci!"

Aku hanya bisa menangis, kemudian keluar kamar. Menggendong adik dan menenangkannya, sampai Henry tertidur pulas karena lelah.

*****

2015

Aku pulang dengan semringah. Ijazah SMA telah ada di tangan. Meskipun tidak termasuk siswa berprestasi ada kebanggaan tersendiri bisa lulus sekolah.

Ibu sudah menunggu di pintu rumah, dengan sesungging senyum di sudut bibirnya. Tanpa kata, ia mengambil map di tanganku, kemudian membukanya dengan tergesa.

"Besok, siapkan lamaran, biar cepet kerja!" ucap Ibu penuh penekanan. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

*****

Agustus, 2016

Rasanya berat sekali pulang ke rumah dengan membawa kabar buruk. Gagal dalam tes interview, membuatku kehilangan kesempatan untuk bisa bekerja di sebuah perusahaan. Bukan sekali ini terjadi puluhan kali.

Namun, tak tau kemana harus pergi selain ke rumah, hingga tanpa sadar aku sudah di depan pintu.

Ibu keluar, ia seperti sudah tau apa yang terjadi.

"Gagal lagi?" Pertanyaan menohok meluncur dari mulutnya.
Aku hanya bisa diam menunduk tak menjawab.

"Ya udah, bantuin ibu di toko!" Perintahnya sambil memakai sendal jepit dan melangkah pergi.

"Muka Bos, nasib Jongos!" umpat ibu sambil berlalu, terdengar begitu menyakitkan. Namun, aku tak bisa menyangkal. Hanya bisa diam, membiarkan kata-kata itu tenggelam di lubuk terdalam. Menjadi racun yang terus mengikis rasa percaya diri dari waktu ke waktu.



Part 1


Eforia lulus SMA hanya bertahan seminggu. Hari-hari selanjutnya kulalui dalam kebimbangan. Seandainya saja otakku cemerlang mungkin aku bisa kuliah dengan beasiswa. Sementara aku, Rakha Prakasa harus berucap lega, ketika dinyatakan lulus dari SMA.

Fisik tampan, tinggi ideal tidak membuat hidup menjadi lebih mudah. Mungkin karena kemampuan otak pas-pasan, dan aku juga punya masalah kepercayaan diri.

Gagal di tahap interview sering kali menjadi hambatan untuk mendapat pekerjaan. Rasanya sudah habis perusahan di Bandung kujajaki, tak satu pun yang menerimaku sebagai karyawan.

Menjadi pengangguran, sekadar membantu ibu berjualan di toko kelontongan, menjadi pilihan.

Ibu cerewet dan otoriter. Ia kecewa, karena aku tak bisa memenuhi harapannya menjadi sukses dan kaya. Membuatnya semakin hilang kendali dalam berkata-kata. Meski aku tahu ia sayang, tetapi hatiku bukan batu yang tak merasakan pilu.

"Aa!"

Aku terkejut, saat suara ibu memanggil, membuat sesendok gula pasir yang tengah kuisikan ke dalam plastik tak masuk sasaran. Justru jatuh ke lantai berserakan.

"Gawat, ibu pasti marah besar karena hal kecil ini," gumamku.

Aku beranjak dari tempatku duduk, dan bergegas menghampiri ibu di depan toko. Seorang lelaki baru saja pergi, tampak punggungnya saja, tak sempat kulihat siapa.

Aneh, wajah ibu tampak berseri. Ada gurat bahagia yang berbeda dari senyum ibu. Siapa lelaki itu?

"Aa, kadie. Ibu mau bicara," ucap Ibu datar.

Aneh, biasanya ibu bicara kasar, tetapi kali ini nada suara ibu terdengar lebih lembut. Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang ingin ibu bicarakan?

"Duduk sini," ucap Ibu lagi, sambil mempersilahkanku duduk di kursi plastik di depannya.

Aku menuruti perintah ibu, dan siap mendengarkan segala ucapannya.

Bersambung

Part.2

Gambar Pinterest edit by Canva

Ruji, 24 Juli 2020

gambar

Indeks
Diubah oleh husnamutia 09-09-2020 21:25
redrices
inginmenghilang
manik.01
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
41
26.4K
1.1K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
husnamutiaAvatar border
TS
husnamutia
#64
Rakha, Part. 9
Aku sedikit mengabaikan suara Yuda yang memanggil. Kedua mata ini tak lepas memandang pria berambut keriting. Dasar biang kerok, entah apa maksudnya sengaja menghalangi langkahku.

"Sorry, Brow," katanya sambil tertawa tanpa dosa. Kedua tangannya ia angkat, sebagai tanda ketidak sengajaan. Aku hanya tersenyum tipis. Rasanya tak mungkin memberi pelajaran padanya. Aku masih anak bawang di sini.

Aku hanya tersenyum datar, kemudian menghampiri Yuda, bermaksud duduk di sebelahnya. Entah kebetulan atau apa Yuda mempersilahkan aku duduk dekat jendela, ia seperti tahu kesukaanku saja.

"Rakha," panggil Yuda, membuatku urung memasang hedset ke telinga.

Aneh, sikap Yuda membuatku mengernyitkan dahi. Smart, penilaian yang sempat kuberi untuknya, gugur seketika. Ia memamerkan kaca mata bening miliknya, dan menarik turunkan dengan jari. Konyol.

"Keren gak, gueh pakai kaca mata?" tanyanya. "Terlihat smart, bukan?"

"Gak! Konyol sih iya!" Tentu saja kata itu hanya tersimpan di hati. Aku hanya tersenyum dengan tingkahnya, meskipun merasa ilfil, dengan perubahan sikapnya. Rasanya tak etis jika aku menjawab demikian.

"Office lembur. Berangkat, Beh!" lantang suara yang entah siapa pemiliknya memberi komando. Perlahan bus bergerak keluar parkiran HCM. Sengaja kupejamkan mata untuk menghindari obrolan dengan Yuda.

Setelah beberapa saat aku membuka mata, ternyata Yuda sudah lebih dulu pulas di kursinya.

Melihat pemandangan di luar, masih menarik perhatianku. Ingin lebih jauh mengenal lingkungan baru ini. Ah, gerimis. Perbedaan musim antara Bandung dan Kalimantan kah? Perasaan masih masuk musim kemarau, tetapi kenapa gerimis turun.

Aku terhenyak, melihat pemandangan tak biasa. Di trotoar, dekat lampu merah, seorang wanita cantik tengah menaburkan bunga. Namun, sayangnya bus terus melaju membuat gadis itu hanya mampu kulihat sekilas. Cantik. Hanya itu kesan yang tertinggal.
*****
Setelah mengucapkan salam, pelan aku menggeser pagar yang tak terkunci. Di bagasi tak tampak mobil Mang Nanang, berarti beliau belum pulang.

Aku duduk di kursi teras, setelah sebelumnya membuka sepatu dan meletakkannya di rak. Meluruskan kaki dan badan yang terasa sedikit pegal. Hemm! Rasanya mulut ini terasa dingin, sedingin cuaca sore ini. Aku ingin kehangatan, secangkir kopi dan ...

Aku berlari kecil keluar halaman, sepertinya tiga rumah dari sini ada warung klontongan. Ternyata tak salah duga, setelah mendapatkan barang yang dicari, aku bergegas pulang ke rumah.

Tak disangka Bi Entin telah menunggu di depan pintu. Wajahnya terlihat masam, membuat rasa tak enak hadir begitu saja.

"Rakha, kemana lagi kamu tadi?" tanya Bi Entin, yang lebih mirip interogasi.

"Ini, Bi, dari warung?"

"Lain kali ganti acuk heula, tong langsung ngelayab kitu."

"Muhun, Bi," lirihku.

"Hemm." Bi Entin bergumam, kemudian melangkah masuk. Aku mengikutinya dari belakang. Bergegas masuk kamar, ganti baju dan menyegarkan diri dengan guyuran shower. Terasa dingin, tetapi segar terasa setelahnya.

Hampir jam delapan malam, perut ini terasa diremas-remas. Lapar. Akan tetapi tak ada basa-basi apa pun dari Bi Entin, menyuruhku makan. Ah, Ibu. Aku merebahkan tubuh di ranjang. Terasa dua kali lipat lebih empuk dari kasurku di kampung. Namun, tetap tak senyaman di rumah. Setelah sejauh ini, baru terasa betapa rumahku surgaku. Cerewetnya ibu juga usilnya Henry masih terasa manis dibandingkan masamnya wajah Bi Entin seperti sore tadi.

"Rakha!"

"Iya, Bi."

Spontan aku menyahut sambil bergegas keluar kamar saat terdengar ketukan pintu serta suara Bi Entin memanggil.

"Makan dulu, yu," ajak Bi Entin. Aku mengangguk mengiyakan, kemudian mengikuti langkah Bi Entin dari belakang.

Di ruang makan, Mang Nanang dan Dimas telah menunggu. Dengan posisi melingkar kami duduk bersama, terlihat hangat dan harmonis. Namun, terkadang sesuatu memang tak seperti kelihatannya. Air muka Bi Entin, tak sejernih kemarin saat aku baru datang. Baru dua hari, perbedaan itu terlihata nyata.

"Rakha, gimana tadi?" tanya Mang Nanang di sela-sela suapan nasinya.

"Alhamdulillah, katampi, Mang. Bagian Teknisi," jawabku senang.

"Bagus, kalau gitu, satu bagian jeung Mamang."

"Tapinya beda level kan, A?" timpal Bi Entin, sambil melirikku penuh arti.

"Mamah, nanaonan sih?"

"Tos, makan! Ulah ngobrol, pamali!" sahut Bi Entin.

Aku terdiam, ada rasa nyeri di hati. Mendadak suasana menjadi tak nyaman. Kulirik Dimas, ah bocah itu, kenapa tatapannya begitu menusuk. Entah apa yang ia pikirkan tentang aku.

Setelah makan malam selesai, aku bergegas membereskan piring kotor dan mencucinya.

"Hugh!"
Tiba-tiba Bi Entin keluar dari kamar mandi, dengan wajah bersungut-sungut. Ia tampak begitu kesal, terlihat saat ia melotot ke arahku dan berlalu sambil menghentak kaki ke lantai.

Apa lagi kesalahan yang kubuat? Kenapa Bi Entin menjadi berubah seperti ini?

Bersambung

Part. 10

Pict. Google & Pixabay

Ruji, 12 Agustus 2020
Diubah oleh husnamutia 22-08-2020 20:00
OkkyVanessaM
redrices
Araka
Araka dan 9 lainnya memberi reputasi
10