Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rainydwiAvatar border
TS
rainydwi
Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)
Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)
Pixabay

Balada Diet si Papi


Oleh Reny Dwi Astuti

Banyak yang bilang, emak-emak suka enggak konsisten saat melakukan sesuatu. Contohnya, bilang kepingin diet, tetapi kala melihat camilan nganggur di piring, ia mendadak lupa. Saat diingatkan, pasti berkelit dengan mengatakan, "Besok aja mulai dietnya. Sayang nih, dari pada mubazir."

Ternyata eh ternyata, nih, Gaes, bukan cuma emak-emak yang enggak konsisten dalam melakukan sesuatu. Bapak-bapak pun demikian, loh, meskipun tidak sebanyak kaum emak-emak. Contohnya, si Papi, suamiku ....

♨️

Pernah di Jumat malam, kuungkapkan kepada Papi rencana untuk berolahraga.

"Pi, besok pagi olahraga, yuk?" ajakku.

"Ayo!" jawabnya penuh semangat. "Olahraganya ngapain aja, Mi? Di mana?"

"Kalo aku sih biasanya lari, Pi. Meski terkadang banyak jalannya."

"Kenapa olahraganya nggak di rumah aja, Mi? Resik-resik rumah, gitu. Itu, 'kan, termasuk olahraga juga. Keringetnya dapet, rumah juga jadi bersih dan rapi," usul suamiku.

"Ya nggak sama, dong Pi. Belum tentu semua kegiatan beres-beres bikin kita keluar keringet. Kalo ngelakuinnya sambil duduk? Hehehe ...," kilahku seraya mengerling manja kepadanya.

"Papi mau, 'kan? Kita puterin komplek ini aja."

Papi manggut-manggut. "Ya," jawabnya singkat.

"Bener, ya, Pi? Besok habis sholat Subuh, kita jalan pagi," ajakku.

♨️

Esoknya, seperti yang telah disepakati, aku dan suami keluar rumah untuk jalan pagi. Namun, baru saja berjalan sejauh kurang lebih tiga ratus meter, Papi mengeluh sakit perut. Pingin buang air besar, katanya.

"Loh, Pi. Tadi, 'kan, Papi udah ke belakang. Kok sekarang sakit perut lagi, sih? Jangan-jangan, alasan Papi aja kali, nih." Aku sedikit menuduh.

"Enggak tau nih, Mi. Perutku kok tiba-tiba mules, ya?"

Kuperhatikan raut muka sang imam dan sepertinya ia tidak sedang berbohong. Tampak jelas bila suamiku itu seperti sedang menahan rasa sakit. Merasa tidak tega, akhirnya kuturuti permintaan Papi untuk pulang.

"Perutku emang suka begini, Mi. Kalo kena hawa dingin pasti mules. Pingin buang air," jelasnya.

Aku malas berkomentar, kesal. Acara olahraga hari ini gagal total. Yang terjadi selanjutnya adalah, kami malah leyeh-leyeh enggak jelas di rumah.

Pernah sekali lagi kami sepakat melakukan jalan pagi. Kali ini, drama sakit perut tidak terjadi. Namun, saat baru separuh perjalanan ditempuh dari rute yang disepakati, Papi malah minta makan bubur ayam.

Waaah, ini sih judulnya bukan kepingin langsing, tetapi malah nambah gembul. Keringat yang beberapa saat sebelumnya keluar tidak sebanding dengan kalori yang masuk ke tubuh. Mana makan bubur ayamnya pake acara tambah sate usus dan sate telor puyuh, lagi. Hadeeeh .... 😔😔

Kalau tahu bakal begini akhirnya, mending tadi aku olahraga sendiri saja. Ngajak Papi, mah, sama saja bohong. Ampun, Pi. Nyerah deh aku.

♨️

Pernah di suatu pagi sebelum kami berangkat ngantor ....

"Mi, celanaku kok agak sesak, ya? Apa aku tambah gemuk?" tanya Papi usai memakai celana jeans favoritnya. For your info, nih, meskipun kerja kantoran, perusahaan tempat suamiku bekerja tidak pernah melarang memakai baju jenis ini.

Aku cermati tubuh pria yang baru menjadi suamiku selama dua tahun itu dari atas sampai bawah.

"Ah, perasaan sama aja, Pi. Nggak ada yang berubah kayaknya. Kok Papi bisa bilang begitu? Indikasinya apa?"

"Kemarin-kemarin kalo aku pake celana jeans ini nggak ngepas kayak gini. Tapi barusan, aku mau masukin kancingnya aja agak susah. Sedikit sempit di bagian perut."

"Makanya, Pi. Kalo habis makan malam, Papi jangan langsung tidur. Harusnya duduk dulu, leyeh-leyeh sebentar. Nah, kira-kira satu jam kemudian, Papi baru tidur."

Alih-alih berkomentar, Papi malah manggut-manggut. Suatu hal yang sudah menjadi kebiasaan beliau kala mencerna kata-kata yang didengarnya atau saat setuju dengan inti pembicaraan.

"Mulai besok kita diet, yuk, Mi. Nggak usah makan malam. Pagi atau siang, makan banyak nggak papa. Tapi, malamnya kita puasa. Kalau lapar, banyakin minum air putih aja."

Tak lama berselang, Papi mendekatiku seraya berkata, "Kamu juga sekarang makin gemuk, Mi. Kelihatan banget dari ini."

Dijawilnya bokongku lembut.

Aku tertawa. Lalu kubilang, "Dari dulu boncenganku memang udah gede, kali, Pi. Bukannya Papi suka?" Kusenggol bahu kanannya dengan manja.

"Eh tapi ... ini serius Papi mau diet? Yakin? Wong kalau kelaparan, malamnya pasti Papi enggak bisa tidur. Iya, 'kan? Ngaku aja deh."

"Ya diniatin, dong, Mi. Siang dipuas-puasin makan yang kenyang. Malamnya, puasa. Kalau laper, minum air putih aja yang banyak."

"Wew? Perutku bisa kembung, dong, Pi."

"Yo ndak, lah. Paling bolak-balik ke kamar mandi. Nguyuh*."

Papi tertawa, terdengar ada nada puas di sana.

Akhirnya disepakati bahwa mulai malam ini kami mencoba untuk tidak makan malam.

♨️

Aku tersadar dari alam mimpi dan mendapati kalau ternyata suamiku tidak ada di sisi. Kuraba meja kecil yang ada di dekat tempat tidur, mencari kacamata agar bisa melihat dengan jelas alat penunjuk waktu yang ada di dinding. Rupanya masih pukul 00:30.

Dikarenakan ingin tahu keberadaan Papi, aku pun keluar kamar.

Kulihat Papi tengah duduk di kursi makan dan segera menghampirinya.

"Papi lagi apa?" tanyaku seraya memindai apa saja yang ada di atas meja. Secangkir teh yang asapnya masih terlihat mengepul dan sebungkus biskuit yang isinya tinggal beberapa buah. Mata ini membelalak sempurna.

Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)
Sumber : pixabay

"Papi habis makan?"

"Aku ora iso turu, Mi. Awakku nderedek*. Kelaparan," paparnya.

Spontan aku tertawa. Lalu kubilang, "Makanya, Pi. Jangan sok-sokan mau diet deh. Aku tuh tau kalo Papi orangnya enggak kuat nahan lapar."

"Ya ... namanya juga usaha, Mi," kilahnya sambil memasukkan sebuah biskuit ke mulut.

"Ya udah gini aja, Pi. Dari pada Papi diet tapi ujung-ujungnya makan juga karena enggak kuat, mending olahraga aja, deh ya?"

Papi tidak berkomentar dan hanya manggut-manggut. Malam itu beliau bertekad untuk mulai melakukan diet. Namun, kalian tahu, Gaes? Seperti yang sudah-sudah, usaha Papi untuk diet tidak pernah terlaksana.

Tamat.

Direvisi kembali di Bekasi, 14 Juli 2020.

Catatan:
*nguyuh = buang air kecil
*Aku ora iso turu, Mi. Awakku nderedek = aku nggak bisa tidur, Mi. Badanku gemetaran.

Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)

Lihat juga cerpen ane yang lain :
Saking Car
Mencari Cinta
Gado-gado
Bakso Mas Bedjo
Di Balik Cerita Diet si Wati
Kenang-kenangan
Tanpamu
Diubah oleh rainydwi 02-01-2021 11:43
enyahernawati
tien212700
runny.n.tesla
runny.n.tesla dan 29 lainnya memberi reputasi
28
3.9K
492
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
rainydwiAvatar border
TS
rainydwi
#55
Mencari Cinta


Oleh Reny Dwi Astuti

Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)
Pixabay

[Kita ketemuan di Warung Kopi, ya?]

[Jam setengah delapan in syaa Allah aku udah di sana]

Pesan singkat di aplikasi WhatsAppterpampang jelas di gawaiku. Another blind date yang akan kulakoni di beberapa jam ke depan demi mengubah status diri yang sudah cukup lama menjomlo ... lagi.

Jujur saja, aku tidak terlalu tertarik melakukan ini. Bertemu orang yang sama sekali asing—kenal dalam waktu singkat via aplikasi pencarian jodoh di internet—sungguh tidak membuatku nyaman. Apalagi, risiko yang mungkin timbul pun tidaklah enteng. Kurang waspada sedikit saja bisa berakibat buruk bagi masa depan.

Namun, apa boleh buat, ini adalah satu dari banyak cara yang harus kutempuh. Sekadar untuk membuktikan kepada kerabat, teman, atau orang lain bahwa aku benar-benar berusaha dan tidak diam saja menunggu jodoh datang begitu saja.

Ini kali ketiga aku berikhtiar dalam menemukan pasangan hidup. Sukur-sukur, bisa menjadi belahan jiwa. Harapannya sih begitu, tetapi yah ... pasrah sajalah. Biar Tuhan yang mengatur segalanya. Kewajibanku hanyalah berusaha.

Kencan butaku yang pertama adalah dengan seorang pria yang mengaku single. Kesan pertama, ia mendekati sempurna—memenuhi kriteria pasangan idaman. Postur tubuh ideal, berkulit bersih, dan penampilannya terlihat terpelajar.

Namun, kesan tersebut sungguh mengecoh. Selama dua jam bersama, kusimpulkan bahwa ia adalah seorang self-centered. Pria itu lebih banyak bercerita tentang apa yang disuka dan tidak disuka, tentang cita-cita dan harapannya. Aku hanya menjadi pendengar yang baik. Tak sedikit pun ia mencoba mencari tahu tentangku. Hmmm … bukankah komunikasi itu hidup bila dilakukan dua arah?

Beruntung, sebuah panggilan menyelamatkanku dari situasi ini. Beralasan ada keperluan mendadak, aku pun pamit pulang. Well, fixed! Pria ini segera kuhapus dari daftar.

Blind date yang kedua, terjadi enam bulan yang lalu. Kami bertemu di sebuah restoran Jepang di kawasan Jakarta Pusat. Kali ini, pria yang kutemui adalah seorang duda yang mengaku bekerja di sebuah instansi pemerintahan.

Sebenarnya kami tidak benar-benar janjian. Hanya saja, dia meminta bertemu di saat terakhir menjelang istirahat siang—di mana aku sudah terlanjur ada janji makan siang dengan beberapa kolega. Dia yang menawarkan diri untuk bergabung. Well, why not? Lumayan, ‘kan? Kali aja ada yang bayarin. Eh ....

Namanya Mas Yudi, berperawakan tinggi besar dan berbadan tegap. Ternyata, pria ini merupakan purnawirawan anggota militer negeri yang kini lebih memilih berkarier di belakang meja. Tutur kata terpola, sopan, baik, dan ia bisa mengimbangi kami, tiga single ladies.

Namun, nasib baik belum berpihak kepadaku. Pasca pertemuan tersebut, intensitas komunikasi kami menurun drastis. Belakangan diketahui, salah seorang teman yang ikut hadir di kencan buta waktu itu, ternyata menaruh hati pada pria tersebut. Di belakangku, mereka sering bertemu.

Hmmm ... mungkin sudah nasibku menjadi jalan pembuka jodoh bagi teman. Ya sudahlah.

Next!

Kini, aku kembali akan melakukan kencan buta dengan seorang pria yang dikenal masih melalui aplikasi pencarian jodoh. Sebelum memutuskan untuk bertemu, kami beberapa kali berkomunikasi via WhatsApp. Kalau dilihat dari isi chatting selama ini, sepertinya ia berbeda dari pria-pria yang pernah kukencani. Bahasa penulisannya santun. Satu nilai plus yang ia miliki.

♡♡♡

Pasca memarkirkan motor, aku mengecek pesan. Mas Hadi, si teman kencan buta, sudah lebih dulu sampai di kafe ini. Setelah memastikan penampilan, aku melangkah masuk.

Meja 12 yang terletak di pojok. Begitu informasi yang kuterima mengenai lokasi persis keberadaannya sekarang. Saat diri ini akhirnya menemukan tempat yang dimaksud, Mas Hadi langsung mengenaliku dan melambaikan tangan.

Jantung mendadak mengeluarkan irama rock. Ritmenya cepat bagai genderang yang bertalu-talu. Meski pernah beberapa kali melakukan kencan buta, tetapi rasa gugup itu masih saja datang. Kuhirup oksigen sebanyak yang kubisa kemudian melepaskannya dan memantapkan langkah menuju meja 12.

"Hai! Ayu ...," sapaku terlebih dahulu seraya mengajak pria itu berjabat tangan.

"Hadi ...." Dia menyambut uluran tanganku.

"Udah lama sampai?"

"Enggak kok. Aku yang datangnya terlalu cepat," terangnya seraya tersenyum.

Kami duduk berhadapan. Setelah sesi perkenalan, mengalirlah cerita demi cerita serta obrolan demi obrolan. Semua keluar begitu saja, tanpa ragu dan tanpa beban. Sepertinya kami merasa nge-klik satu sama lain.

"Jadi, Mbak Ayu pernah menikah?" tanya pria itu pada akhirnya. "Boleh tau kenapa Mbak Ayu memutuskan berpisah?"

Ah ... akhirnya, masalah yang sensitif itu mulai dibahas, batinku. Aku mengangguk.

"Hum ... pernikahan kami hanya seumur jagung," ungkapku, "kami memutuskan berpisah setelah dua tahun bersama."

Aku menyesap teh lemon panas, minuman favoritku.

"Bisa dibilang, saat itu ego kami masih sama-sama tinggi. Aku nggak mau bilang kalo salah satu dari kami yang benar atau sebaliknya. Namun, bila kembali lagi berpandang dari sudut agama, ya ... jodoh kami memang cuma sampai di situ."

Mas Hadi manggut-manggut tanpa ekspresi. Untuk beberapa saat, keheningan mengelilingi kami.

"Kalo Mas Hadi sendiri, sudah berapa lama menduda?"

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia membetulkan posisi duduknya.

"Mantan istri saya kembali ke pelukan pacar semasa SMA-nya. Ditinggal berbulan-bulan di laut membuat ia merasa kesepian. Hingga akhirnya, nafsu mengalahkan semua. Kesetiaan, janji suci, juga … cinta."

Dia kini meneguk kopi hitamnya.

"Benar kata Mbak Ayu tadi. Mungkin, jodoh kami memang hanya sampai di situ. Tuhan pasti mempunyai rencana lain untuk saya. Bertemu dengan Mbak Ayu, salah satunya."

Ujung-ujung bibir pria itu sedikit tertarik.

Aih, senyumnya itu ... sungguh memesona. Entah disadari atau tidak, tatapan yang terpancar dari kedua irisnya sangat meneduhkan. Bagai embusan angin yang mampu meredupkan api amarah.

Hati ini berdesir. Kubalas tatapannya tanpa berkedip. Berusaha membaca maksud ucapannya barusan.

Entah berapa lama ini terjadi. Namun, mendadak aku jadi salah tingkah. Sadar masih membalas tatapannya, pandangan segera kualihkan ke arah lain.

Pelayan datang sambil membawakan pesanan. Thank God, aku akhirnya terselamatkan.

♡♡♡

Bunyi jangkrik terdengar bagai alunan indah yang syahdu. Bintang-bintang seolah mengelilingi diri, menemani serta menerangi hati yang selama ini gelap bagai tak bercahaya.

Di dalam kamar, aku tak bisa berhenti tersenyum. Kencan buta kali ini meninggalkan kesan yang indah. Mas Hadi memang berbeda dari dua pria yang pernah kutemui sebelumnya.

Sebelum pulang, Mas Hadi sempat berkata akan menghubungiku lagi dalam waktu dekat. Barusan, pria itu sudah membuktikan ucapannya. Ia mengutarakan maksudnya untuk membina hubungan yang lebih serius.

Bunga cinta dalam diriku mulai menampakkan kembali kuncupnya. Setelah sekian lama berusaha, dengan bermacam cara yang halal, impian untuk menemukan tambatan hati akan terwujud. Semoga saja, ini akan berakhir indah.

Mas Hadi, aku ... mengharapkanmu.

Tamat.

@rainydwi

Direvisi di Jakarta, 12 Agustus 2020.

Ketika Jari Ini Menari (Kumpulan Cerita Pendek Berbagai Genre)

Kuy, baca cerpen ane yang lain :
Balada Diet si Papi
Shaking Car
Gado-gado
Bakso Mas Bedjo
Di Balik Cerita Diet si Wati
Kenang-kenangan
Tanpamu
Diubah oleh rainydwi 02-01-2021 11:41
erina79purba
indrag057
weihaofei
weihaofei dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup