Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue 
(私のスレッドへようこそ)




TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR

Spoiler for Season 1 dan Season 2:


Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:




INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH


Spoiler for INDEX SEASON 3:


Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:



Quote:


Quote:

Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:25
sehat.selamat.
JabLai cOY
al.galauwi
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
331.7K
4.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#2300
Penawar_Part 2
“Itu salah menurut kamu? Menurut kamu dia begitu karena apa Ja? Karena dia berpikir bagaimana di posisi kamu… Dia pasti berpikir, kalau dia maksain diri untuk terus berhubungan sama kamu, Ija bakalan kesusahan. Ija pasti makin diteror ibu dan adik kamu. Ija pasti bakalan nggak betah di rumah. Dan jeleknya Ija dan Emi nggak akan pernah dapet restu dari keluarga kamu…
Tetapi Emi memilih untuk mengalah dan mikirin Ija, sampe dia rela ngorbanin semua usaha dan perjuangannya selama ini. Dia sekarang pergi ninggalin kamu… Harusnya kamu sadar itu dan nggak sia-siain perjuangan Emi itu dengan kabur dari rumah. Tapi harusnya kamu berusaha perbaiki semuanya… Tunjukin sama keluarga kamu kalau mereka salah selama ini.”

Saat ini, gue bukan lagi melihat Ara seperti Emi. Tetapi gue hanya melihat Ara sebagai dirinya. Memang kalau dari sisi kesempurnaan, gue masih merasa Emi lebih mengisi hidup gue ini daripada Ara. Tetapi entah kenapa, ketika hidup gue kalut begini, selalu ada Ara yang berusaha menenangkan suasana ini. Bahkan ketika gue bingung tanpa arah karena kepergian Emi, Ara ada di sisi untuk menguatkan gue.

Apa selama ini gue salah memilih? Apa jalan gue seharusnya dengan Ara? Kalau jalan gue nggak sama Emi, apa gue harus memilih Ara sebagai pendamping hidup gue?

“Kamu mirip banget sama Emi, Ra…”

“Aku punya jalan sendiri, begitu juga dia. Aku nggak mau kamu jadinya ngebandingin aku sama Emi ketika kamu lagi di posisi sekarang Ja… Aku yakin, Emi pasti juga nggak mau diperlakukan demikian. Kebetulan aja ada beberapa hal di diri aku sama dia yang sama. Tapi pasti jauh di dalam hati kamu, kamu bisa memilih mana yang kamu butuhkan…”

“Mungkin kamu yang lebih aku butuhkan, Ra… Bukan Emi?” Tanya gue dalam hati gue sambil memandang wajah Ara.

“Gimana? Udah lega sekarang? Pokoknya, aku nggak mau kamu jadi ngejauh dari keluarga kamu ya Ja. Kamu nggak boleh kabur dari rumah begini terus. Kamu harus balik ke rumah. Inget pesen Emi… Kamu harus selesein masalah keluarga kamu dan bener-bener temuin orang yang kamu sayang. Jangan malah kabur dan cari pelarian atas cinta kamu itu… Oke?”

“Iya Ara sayang baweeel!” Gue hanya fokus pada wajah imut dia yang berusaha sok galak dengan memarahi gue. Entah dia ngomong apa lagi tadi.

“Apaan sih kamu Ja. Wooo! Kamu mau kemana sekarang? Kan sesi curhatnya udah beres?”

“Aku mau tinggal di sini aja boleh?”

“Dih apaan kamu! Haha. Apa kata tetangga aku pas tau janda kayak aku nginepin cowok lain di rumah? Yang ada mereka nuduh kamu jadi perusak rumah tangga aku dulu lagi…”

“Hush! Jangan begitu ngomongnya!”

“Makanya, kamu boleh main-main kesini tapi nggak tinggal lama-lama di sini ya… Kamu nggak usah cari-cari tempat tinggal lagi. Kamu pulang lagi ke rumah. Nanti kita berdua coba benahi hubungan kamu dengan keluarga kamu… Mudah-mudahan bisa kembali lagi ya Ja.”

“Dan dia berusaha untuk membantu gue untuk memperbaiki keadaan. Apa Emi sebenernya kabur dari masalah keluarga gue ini? Nggak seperti Ara yang malah menemani gue untuk memperbaiki keadaan keluarga gue? Ah! Kenapa hanya karena Ara mengisi kekosongan hati gue, gue malah berbalik jadi memandang jelek Emi sih? Bener, gue nggak boleh membandingkan Ara sama Emi. Mereka hanya terlihat sama, tetapi mereka nggak boleh dibandingin. Gue nggak mau Ara jadi pelarian cinta gue karena gue kehilangan Emi. Tetapi mungkin… Gue lebih baik memilih Ara untuk jadi muara pencarian cinta gue daripada Emi?” tanya gue dalam hati.

“Ih malah bengong ngeliatin aku.” Ara mencubit pipi gue. “Aku bikinin kamu roti lapis ya. Kamu masih suka kan makan begitu? Kasian, anak Tante Rina ini kurusan karena nggak pulang-pulang ke rumah. Saatnya perbaikan gizi… Hehe.”

Ara berjalan meninggalkan gue lagi. Gue melihat dia dari belakang. Tubuh Ara terlihat lebih berisi daripada dulu gue mengenal dia. Piyama tipis yang dia pakai memperlihatkan lekuk tubuh dia. Dia seperti nggak memakai celana dalam bahkan bisa dibilang, karena nggak terlihat berbentuk di piyama yang dia pakai. Sepertinya dia memakai celana dalam thong. Di sini gue paham, Ara memang sudah dewasa. Dia pasti membeli celana seperti itu karena dia sudah bersuami.

“Heh! Kamu lagi liat-liat pantat aku ya?” tanya Ara sambil melempar kain lap ke arah gue.

“Abis aku bingung dari tadi, kamu kok kayak nggak make celana dalam. Lagi make celana dalam seksi ya kamu? Tau aku dateng, eh langsung make celana dalam begitu. Haha.”

“Dih apaan sih kamu Ja! Pornooo! Haha.” Jawab Ara singkat. Dia kembali melanjutkan kesibukannya di dapur. Ara terlihat tidak risih dengan becanda gue yang sedikit menjurus itu, ya karena memang dia sudah pernah menikah.

Rumah Ara ini nggak begitu besar dan berada di komplek tua yang nggak jauh dari komplek rumah gue. Otomatis penghuni di komplek tersebut isinya nggak jauh berbeda dengan penghuni di komplek gue. Tetangga di sini pun kebanyakan adalah orangtua teman mainnya ketika kecil dulu.

Kenapa gue bilang ‘orangtua’? Karena kebanyakan teman mainnya Ara sudah pada menikah dan nggak lagi tinggal di komplek ini. Mereka memilih tinggal di rumah mereka sendiri, either kontrakan, rumah sendiri, atau mungkin apartemen. Jadi, tinggallah para orangtua yang sudah semakin berumur di komplek ini.

Dulu saat gue SMA, beberapa kali gue diomongin tetangga di sini ketika gue sering main ke rumah Ara. Dari mulai digosipin pacaran nggak bener lah, gue anak urakan lah, sampai Ara pernah dapat omongan kalau dia seorang jabl*y. Tetapi karena memang gue dan Ara nggak melakukan apapun, jadi kami memilih untuk bersikap biasa aja sampe akhirnya mereka berhenti sendiri.

Sekitar lima menit kemudian, Ara datang dengan dua roti sandwichdengan isi kesukaan gue. “Kamu masih hafal aja kesukaan aku. Makasih ya, Ra. Hehee.” Gue mengambil roti di piring yang disediakan Ara.

“Aku itu udah kenal kamu dari jaman kita SMP loh! Hmm. Ya nggak kecil-kecil banget sih. Hehe. Pokoknya aku udah lama deh kenal kamu. Jadinya aku tau lah kebiasaan-kebiasaan kamu. Masa begitu aja lupa cuma karena aku udah nikah? Tapi tau deh kamu ngeh nggak sama apa aja kebiasaan-kebiasaan aku…” katanya tiba-tiba melipat tangan di dadanya dan bermimik sok cemberut.

“Laah, ngapain kamu ekspresinya kayak gitu? Minta dijailin banget. Haha.”

“Aku nggak minta dijailin. Aku lagi siap-siap aja ngomelin kamu kalau kamu nggak hafal kebiasaan aku!”

“Siapa bilang nggak hafal? Aku tau lah Ra. Cuma ngapain aku sebutin satu-satu? Kan enakan kaya gaya aku, suka tiba-tiba aja. Biar surprise! Kamu kan selalu seneng tuh kalau tau-tau aku bisa hafal kebiasaan kamu. Hehe.”

Siapa yang nggak seneng bukan?

“Hmm. Iya sih emang. Jadi inget, pas jaman kita SMA dulu itu udah so sweet banget tau rasanya, Ja. Hehe.” Atau mungkin kalau gue memang memutuskan untuk bersama Ara sedari SMA, gue sudah menikah sama dia sekarang kali ya?

“Haha. Ngarep ni yeee sama orang populer….”

“Yeeee. Sialan amat sih emang ni anak. Minta ditabokin…” kata Ara sambil tersipu kemudian memukul lengan kiri gue dengan kepalan tangan kanannya sampai tiga kali. Gila, tenaganya janda ternyata kuat banget loh. Berasa sakit pukulannya.

“Aduh kok beneran sih kamu? Sakit loh ini….” gue meringis kesakitan sambil mengusap lengan kiri gue.

“Abis kamu ngeselin. Dari dulu ngeselinnya.” Kali ini dia memasang mimik muka loli yang selalu gue rindukan.

“Ra, udah deh…nggak usah pasang muka begitu, nanti aku kangen lagi…”

“Dih. Yang punya muka aku, mau aku pasang kayak gimana juga ya biarin aja kali…weeek..” lidahnya menjulur sempurna dari mulutnya. Meskipun tubuhnya pendek, dia memiliki lidah yang cukup panjang.

“Eh kita jalan yuk Ra. Mau nggak?”

“Kemana?”

“Kemana aja, ke mall dikota juga boleh, gimana?”

“Hmm..yaudah deh boleh. Tapi kamu beneran mau jalan sama aku?”

“Lah kenapa emang?”

“Aku kan janda, Ja.”

“Urusannya apaan? Janda kan status doang. Kalo penampakan kan masih bocil karena kate (pendek). Hahaha.”

“Iiiih. Ijaaaa. Awas ya kamu…” kali ini dia mencubit perut gue. sakit banget cubitan orang-orang pendek emang. Emi juga kalau nyubit itu sakitnya bukan main.

Ara pun beranjak dari sofa ruang tamu ke kamarnya untuk berganti pakaian. Ibunya yang memilih mudik ke kampung halaman membuat Ara tinggal seorang diri di rumah ini.

Rumah yang dulu sempat jadi saksi bisu gimana keingintahuan gue dan dia akan hal-hal yang dianggap tabu semasa SMA. Walaupun nggak aneh-aneh, tapi ya lumayan lah buat pengalaman. Hehe.

Gue pun iseng mengikutinya. Karena gue sudah sangat terbiasa dengan rumah ini, jadinya rumah ini ya seperti rumah gue sendiri.

Kamar Ara sendiri memiliki dua pintu, yaitu pintu utama yang kelihatan dari ruang TV, dan pintu yang tembus ke kamar belakang yang dulu dijadikan kamar tamu, kemudian berubah menjadi gudang.

Gue iseng mau masuk dari pintu yang ada dikamar belakang ini. ternyata beruntung, pintunya nggak dikunci. Gue pun berhasil masuk ke kamar belakang dan mencoba membuka pintu tembus ke kamar Ara yang hanya di kunci dengan selot tanpa ada kenop dan pegangan pintu.

“BAAAAAAAAAAA…..” gue langsung mengagetkan Ara dengan tiba-tiba membuka pintu. Tapi gue bingung, kenapa Ara nggak berdiri di dekat lemari yang ada cerminnya. Biasanya dia senang berlama-lama disana sambil ngaca dan dandan mencocokkan baju.

“Hahahaha. Aku nggak kaget. Aku udah tau kebiasaan iseng kamu Ja. makanya aku ada disamping sini..” ujarnya sambil terkekeh.

“Sialan. Aku kira kamu lagi dandan. Haha.”

“Nggak dong. Aku udah beres. Dan aku emang menunggu momen kamu masuk dari pintu itu. Aku udah tau apa yang kamu pikirin Ja. hahaha. Yaudah yuk, kita cabut. Nanti keburu hujan. Soalnya kayaknya rada mendung.”

“Padahal aku kan mau liat kamu nggak pake apa-apa, Ra. Hehehe.”

“Yeeee. Maunyeeee…”

“Ya emang mau. Hahaha.”

Gue dan Ara pun akhirnya keluar dari rumah itu. Seperti biasa, dia memakai pakaian kasual yang selalu match atasan dan bawahan serta kerudungnya. Rumahnya nggak begitu besar, tapi tertata rapi. Sangat cocok dengan kebiasaan gue yang selalu taat dalam keteraturan yang sebenarnya cukup berlebihan bagi sebagian orang.

Gue sempat melihat koleksi parfum Ara. semakin banyak aja. sama seperti gue yang dulu suka mengoleksi parfum. Dan diantara koleksi yang masih ada, walaupun sudah kosong isinya, dia masih menyimpan botol parfum yang pernah gue berikan kepadanya dulu.

Sebuah parfum limited edition yang gue belikan untuknya dengan cara menabung dalam waktu cukup lama ketika gue masih sekolah. gue nggak nyangka aja. Mungkin terdengar terlalu percaya diri, tapi gue yakin itu adalah parfum yang dulu pernah gue belikan.

Seperti biasa, gue dan dia memutuskan untuk naik angkutan umum. Pokoknya kayak jaman kami sekolah dulu. Kemana-mana naik angkutan umum, dari mulai angkot, ojek, bus kota, kereta, sampai ke becak.

Kami memutuskan untuk ke mall dengan menggunakan kereta. Satu hal yang mirip lagi antara Ara dan Emi adalah, mereka sama-sama orang yang selalu ketakutan dan ragu-ragu kalau menyebrang.

Sampai di stasiun pun, kebiasaan Ara ini nggak berubah.

“Udah sini pegangan sama aku. Kita nyebrang rel, ok?”

“Aku takut Ja…..” katanya, sambil merangkul lengan kiri gue.

“Udah, kan ada aku.”

Kami menyebrang dengan berpegangan tangan. Nggak aneh, tapi gue merasa ada kenyamanan yang dulu pernah gue rasakan semasa SMA. Berbeda ketika gue kuliah dan Ara sudah jadi manajer band gue. kenapa Ara jadi sehangat ini lagi? Apa jangan-jangan si Ara malah ngarep sama gue juga? Entah lah. Yang penting saat ini gue taunya Ara adalah pengobat luka hati gue.
namikazeminati
putudarmaji
khodzimzz
khodzimzz dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup